Cerpen Faisal Syahreza
NINA tak menyadari siang itu tak hanya dia sendiri sebagai perempuan yang menangisi jasad suaminya saat dikebumikan. Ibu suaminya yang sekaligus mertua Nina, malah bukan lagi menangis. Beberapa jam lalu sudah pingsan tak sadarkan diri. Juga seseorang di balik pohon kersen yang rimbun daunnya meneduhkan. Tak jauh dari upacara pemakaman, seorang perempuan menumpahkan air mata tak kalah hebat dari Nina dan mertuanya. Gadis mempunyai wajah yang manis dengan lesung pipi serta senyuman yang indah. Perempuan itu bernama Rengganis.
Rupanya kepergian Gito yang mendadak itu, tak hanya meninggalkan duka maha dalam bagi Nina, dan ibunya. Melainkan bagi Rengganis yang juga kekasihnya. Sungguh pemakaman yang berjalan memilukan, setidaknya bagi mereka bertiga yang merasa kehilangan. Tak melenceng dari perkiraan banyak orang, kematian Gito yang tak wajar, sebab seorang preman yang semasa hidupnya hanya meninggalkan permasalahan. Ketika pengumuman dari masjid mengabarkan berita kematiannya, dengan nada datar Ustaz Gufron terpaksa bersedia memandikan jasad sekaligus mengimami salat gaibnya. Belum lagi orang-orang di pasar yang biasa dimintai uang keamanan, dengan ogah-ogahan menutup toko untuk pergi melayat. Para tetangga yang malas pergi ke rumah Gito untuk sekadar tahlilan. Beberapa orang bahkan terlihat menghindar ketika dimintai bantuan. Hanya beberapa pesuruh yang pergi mengukur tanah untuk digali ke tempat permakaman umum, itu pun hanya kerabat dekat.
Gito ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, tergeletak di depan toko jamu di pasar. Mulutnya yang menganga mengalirkan cairan berbusa. Di sekujur tubuhnya berlumuran darah. Dan sisa sayatan yang memenuhi bagian-bagian tubuhnya. Matanya melotot merah menyala, seperti sedang menahan rasa sakit. Serentak subuh itu, para pedagang di sekitar pasar yang akan membuka toko-tokonya mengerumuni jasadnya. Memang malam itu ada sebuah jeritan panjang dari seorang perempuan.
"Mudah-mudah keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Amin," Ustaz Gufron menutup doanya seperti terburu-buru. Ia mengusap keringat di wajahnya.
Orang-orang saling bertatapan di permakaman yang hambar itu. Kemudian mengingat-ingat lagi kejadian semalam.
***
Malam seperti compang-camping oleh sinar lampu jalanan yang remang. Udara yang berjalan lambat, dengan sisa-sisa debu yang diterbangkan sesekali oleh lalu-lalang jalan. Gito di persimpangan jalan, dengan lima kawannya yang tak dikenal, asyik menenggak arak. Mereka seperti sedang khusyuk menikmati terpaan sinar rembulan yang sebentar-bentar terhalang awan. Sebelumnya, Gito sedang siap-siap pulang setelah menghitung uang setoran dari beberapa tukang parkir dan uang keamanan toko-toko pasar. Di bawah terpaan lampu jalan yang remang, Gito terhenti melangkahkan kakinya setelah lima orang menghalangi tepat di hadapannya. Mereka kemudian terlibat dalam satu perbincangan. Setelah beberapa saat, mereka kemudian memutuskan kembali ke arah pasar, rupanya toko jamu yang mereka tuju.
Mereka sesekali tertawa keras, mengisi gelas yang terasa selalu kosong karena disambut oleh tegukan tanpa ragu. Baru ketika Rengganis yang sedari sore mencari-cari Gito menghampiri kerumunan, mereka terhenti sejenak.
"Kang pulang! sudah malam. Nanti istri dan anakmu nyari." Suara Rengganis terasa menyusup di antara kelam malam. Angin terasa mengendap di sepanjang jalan.
Gito melirik, matanya sudah tak sempurna menangkap wajah siapa yang dilihatnya. Bayang-bayang perempuan itu terasa bercabang.
"Eh, Ganis. Akang mau ke kost kamu saja, ah."
"Jangan, sebaiknya pulang saja!" Rengganis wajahnya sedikit cemas. Lima kawanan yang juga ikut memerhatikan, menelisik ke seluruh lekuk tubuhnya. Karena kesal, Rengganis pergi meninggalkan tanpa memedulikan lagi.
"Gito, siapa itu? Cantik sekali." Seseorang bertanya pada Gito yang masih mematung memandang Rengganis pergi.
"Dia kekasihku. Dia adalah mata air di hidupku yang gersang." Gito menjawab dengan tawanya yang renyah. Seperti sedang ngelantur. Dan kemudian mereka semakin terbenam ditangkup malam.
***
Rengganis sebenarnya tak seperti yang sering dibicarakan kebanyakan orang. Dia perempuan pekerja yang ulet dan tak gampang menyerah. Hatinya lembut, perhatian pada setiap orang. Ramah dan murah senyum, rupanya membuat dirinya jadi dicurigai banyak orang.
Dia hampir dikatakan tak punya teman, kesibukannya menjaga toko kue dan makanan di pasar membuat dirinya lebih banyak menghabiskan waktu dengan bekerja. Dia hanya mempunyai kekasih, yaitu Gito. Rengganis tahu, Gito sudah mempunyai istri. Bukan sekali dua kali dia menolak ajakan untuk menjalin hubungan gelap dengan Gito. Namun berawal dari ancaman Gito sampai akhirnya Rengganis pun terbawa menikmatinya. Mereka saling sulang merayakan buaian kisah cinta yang menggairahkan. Setiap sore, Gito menyempatkan waktunya ke indekos Rengganis di ujung jalan menuju pasar, seberang kantor kecamatan. Tentu sehabis mandi di WC umum, Gito selalu datang dengan sekotak martabak dan sekantung gorengan hangat.
"Kang, silakan masuk," suara Ganis lembut menyambut, suatu ketika Gito tiba menjelang malam. Di setengah pintu yang terbuka, Gito mengecup pipi Ganis. Sebelum akhirnya, mereka saling rangkul dan berpelukan cukup lama. Mereka bermuara di atas kasur yang tergeletak di lantai sudut kamar. Bergumul sampai melupakan waktu yang begitu saja lewat di sampingnya.
***
Upacara pemakaman pun selesai setelah Ustaz Gufron membacakan doa terakhir bagi Gito. Orang-orang mulai bergegas meninggalkan gundukan tanah yang baru saja di tancapkan kayu sebagai nisan. Taburan bunga dan kucuran air sebagai tanda bakti dari keluarga yang ditinggalkan telah selesai. Orang-orang dengan rasa pura-pura menyampaikan kembali rasa belasungkawa pada istri Gito.
Istrinya kemudian mengucurkan kembali air mata, setelah merasa dirinyalah sendiri yang tersisa di permakaman. Sambil meratapi, ia kemudian berbisik pelan dalam keheningan.
“Kang sudah saya maafkan semua kesalahan dan kurelakan kepergian. Akang bisa pergi dengan tenang.” Istrinya beranjak dari makam suaminya. Dengan tak henti-henti isak tangis menyela setiap langkahnya.
Hingga akhirnya istrinya menghilang dari pandangan Ganis yang sedari tadi memerhatikan. Baru Ganis pun berani melangkahkan kaki kesepiannya, menghampiri makam. Lantas, seakan-akan ia pun menuntaskan rasa kehilangan, Ganis meratapi sekencang-kencangnya tepat persis di samping makam.
"Akang sayang, maafkan aku. Semua ini hanyalah gara-garaku." Ganis seolah-olah sedang menumpahkan penyesalan. Dengan mata yang tiada henti mengalirkan air mata.
"Tahukah Kang, orang-orang kini menganggap aku seorang pelacur? Tapi sudahlah itu tak penting lagi." Rengganis seperti ingin menyampaikan isi hatinya. Tak tertahankan lagi, Ganis meratap sambil suara tangisnya tak terdengar.
"Mudah-mudahan Akang bisa pergi dengan tenang. Meski sekarang, Ganis tak tahu lagi dengan siapa harus berbagi kesepian." Lantas ia menaburkan bunga yang dari tadi dibawanya dalam keranjang, tepat di atas makam kekasihnya.
Keluarga dan para warga yang menghadiri pemakaman Gito siang itu mempunyai pikiran yang sama. Di bawah terik matahari yang tiada ampun menyengati ubun-ubun kepala, mereka menggerutu dan menyumpahi perbuatan Gito. Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah mereka masing-masing. Di dalam hati, mereka mencibir dan diam-diam bersyukur atas kepergian Gito. “Mudah-mudahan dijauhkan, harus mati gara-gara rebutan seorang pelacur,” lirih hati mereka.
(Bandung, Maret 2010)
-----------
Faisal Syahreza, lahir di Cianjur, 3 Mei 1987. Karya Sekretaris Komite Sastra Dewan Kesenian Cianjur ini tergabung dalam berbagai antologi bersama. Berkali-kali memenangkan sayembara sastra.
Lampung Post, Minggu, 30 Mei 2010
Sunday, May 30, 2010
Sunday, May 23, 2010
Beberapa Rencana Bunuh Diri
Cerpen Aris Kurniawan
1
Dia membaca petunjuk di selebaran itu. Manggut-manggut. Melipatnya, lantas memasukannya ke dalam saku jaket. Tapi segera dirogohnya kembali, dibuka, dan dibaca lagi. Beberapa kali. Meraba tengkuknya. Sesuatu yang dingin bagai menjalar melewati punggungnya. Dia berjalan tergesa memasuki mal dengan pandangan lurus ke depan. Bunuh diri. Ide itu menghantuinya sejak beberapa pekan terakhir. Membuat tidurnya gelisah. Hasrat yang menggebu kerap memang mengganggu tidur. Keinginan menunaikan ide yang cukup menarik. Dia merasa tertantang.
"Aku harus melakukannya," gumamnya saat membaca selebaran yang berisi petunjuk untuk menjalankan ide itu. "Inilah saatnya untuk membuktikan keberanianku, sekaligus membalas kekecewaanku," bisiknya pada diri sendiri. Seringai aneh menyembul di bibirnya. Tak ada lagi alasan untuk berdiam diri menunggu. Momen itu bisa lewat begitu saja. Itu tidak boleh terjadi. Sekaligus ini akan mengakhiri semua urusan. Dia tiada merasa merugi jika harus meninggalkan semua urusan (ataukah urusan yang meninggalkannya?).
Dia masuk ke area food court. Perutnya keroncongan. Dia baru ingat sejak malam memang belum makan, kecuali minuman bersoda dan asap tembakau dan bubuk heroin. Mama sering menelepon cuma untuk mengingatkan sudah makan atau belum. Acap dia mengabaikan peringatan itu. Tapi kali ini tanpa diperingatkan pun dia harus makan. Dia tak mau mengakhiri semua ini dalam keadaan perut kosong. Semuanya harus berlaku sebagaimana mestinya. Dilihatnya jam digital di pergelangan tangannya. Pukul 14.00. Mal masih sepi. Dia akan menunggu sampai pukul empat atau lima ketika orang-orang memenuhi lantai-lantainya. Akan kubuat kalian terlonjak dan menjerit ngeri, bisiknya lagi. Percikan darahku akan menggenangi pikiran kalian, dan kalian akan melihat tak ada yang lebih berharga dalam hidup ini selain kematian. Lalu terbayang mama yang menangis histeris. Papa yang dirundung sesal dan rasa salah. Inilah utang yang harus kalian bayar. Semalam dia menulis di buku diary-nya, seperti ini:
Jon, maafkan jika aku mati lebih dulu. Kurasa ini lebih memudahkan aku. Aku tidak mau kehilangan momen. Ketinggalan tren. Jika kamu sempat bertemu dengan papa dan mamaku, katakan pada mereka bahwa kematianku membawa serta kebencianku pada mereka. Tak ada cara lain yang lebih mudah dan ampuh dilakukan untuk membalas kebencianku pada mereka selain kematian.
Lokasinya di lantai paling atas. Di sudut kanan, dekat gerai pakaian. Ya, dia kan mendekat pilar, naik ke sekat kaca setinggi dada, lantas meluncur dari sana. Hssh, tiba-tiba dia merasa tak sabar ingin segera merasakan sensasi dari aksi ini. Dia melahap nasi goreng, menenggak minuman bersoda kegemarannya. Lantas menyalakan sebatang rokok. Sambil menghisap asap tembakau dia melihat bayangan dirinya yang memantul di dinding kaca sebelahnya. Dia tampak tampan dengan kaus lengan panjang berwarna putih bertuliskan “fuck you” yang dipadu dengan celana jins belel. Paduan yang akan menjadi pakaian terakhirnya. Masih tercium harum pewangi pakaiannya, aroma segar sabun mandi dan sampo di tubuh dan rambutnya yang berkilau lembut dielus sinar lampu. Dia yakin akan kembali ke rumah, menemukan papa dan mama yang kerap saling berdiam diri, bila tidak saling memaki. Namun tak pernah telat memberi dia uang.
2
Sebagai orang muda aku tak mau ketinggalan mengikuti tren. Kau tahu, menjadi orang muda yang ketinggalan tren akan menjadi sasaran ceomohan yang menyakitkan. Tak peduli tren itu berguna atau tidak, tidak penting bagiku. Lagi pula untuk urusan tren, tak ada istilah tak berguna atau berguna. Melainkan keren atau tidak keren. Yang penting aku tidak dikucilkan dari pergaulan. Kau pikir, apa yang lebih berguna dalam hidup ini selain menjadi pusat perhatian?
Aku beruntung, selama ini selalu bisa mengikuti tren. Berapa pun mahal ongkos untuk mengikuti sesuatu yang sedang tren. Karena kedua orang tuaku tidak pernah bisa menolak permintaanku. Mereka selalu menggelontorkan berapa pun jumlah uang yang kubutuhkan untuk mengikuti tren. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan masing-masing. Maka memenuhi apa pun keinginanku merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang mereka padaku. Jadilah aku paling depan dalam mengikuti tren apa pun yang tengah mewabah. Mereka membelikan aku mobil yang tengah jadi tren. Aku mencukur rambutku dengan mode yang tengah tren. Aku ikut balapan mobil di arena sirkuit, gank sepeda motor, mendaki gunung, panjat tebing, selancar di laut. Semua. Semua yang menjadi bahan perbincangan dan kecenderungan pergaulan.
Mungkin kau pun tahu betapa gembiranya mendapati diri menjadi bagian dari tren. Orang-orang akan memujimu sebagai orang yang selalu meng up-date tren. Menjadi pusat perhatian dan gunjingan di klub-klub pergaulan. Meskipun kadang tren yang kau ikuti tidak terlalu kau sukai. Tapi demi menjunjung tinggi pergaulan, tentulah aku sepakat untuk tak perlu merisaukan perasaan semacam itu. Seperti yang kubilang tadi: yang penting keren.
Dan sekarang aku bersiap-siap mengikuti tren bunuh diri. Kurasa dari sekian tren yang pernah kuikuti, inilah tren yang paling menantang dan bergengsi. “Ada beberapa cara bunuh diri. Kamu harus memilih mana kira-kira yang paling cocok untuk kepribadian kamu.” Begitulah petunjuk yang aku baca dari selebaran yang kudapat dari klub bunuh diri.
"Jika kamu seorang pengecut, mungkin yang paling tepat bagimu adalah dengan cara menenggak racun serangga." Lanjut selebaran tersebut. Bunuh diri cara begini tak akan ada darah keluar dari tubuh yang beku. Tapi kukira ini bukan cara yang sesuai dengan kepribadianku.
"Jika kamu seorang pemberani, cara bunuh diri yang cocok adalah menyayat leher, menusuk jantung, atau menjatuhkan diri dari ketinggian," kata selebaran itu. Hmm, kurasa ini menarik. Aku ingin orang-orang menggunjingkanku sebagai si pemberani. Tentulah sangat mudah mendapatkan pisau untuk menyayat leher atau menusuk jantung. Di dapur pelbagai jenis pisau tersedia. Baiklah, aku harus bersiap-siap. Akan kutelepon beberapa orang kawanku tentang cara bunuh diri ini.
Inilah reaksi sinis beberapa kawan yang kutelepon.
"Kapan? Wah, bakal heboh tuh. Kamu bakal terkenal. Ha ha ha..."
"Kamu yakin cara itu cocok buat kamu?"
"Ya."
"Tapi kurasa dampaknya tidak seheboh jika kau bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari lantai tujuh belas mal. Kamu tahu Rasti, dia dielu-elukan. Pemberani sekali dia, jatuh meluncur dengan kepala di bawah."
"Wah itu terlalu merepotkan orang."
"Loh, apa pedulimu? Bukankah semakin orang repot semakin heboh? Dan karenanya kematianmu mengundang perhatian?"
Aku mulai menimbang masukan yang bagus tersebut. Benar juga. Apa urusannya dengan merepotkan orang? Toh saat itu pasti mereka tidak bisa mengejarku untuk meminta tanggung jawab. Karena aku sudah tiada, mungkin aku akan menjadi arwah yang tak kelihatan, tapi bisa melihat mereka yang kelimpungan. Wah sungguh mengasyikkan.
3
Jon terpuruk di kamarnya, air matanya meleleh. Seluruh persendian tubuhnya seperti hancur. Dia baru saja pulang dari melayat Yos yang mati bunuh diri dengan cara menenggak racun serangga. Wajah Yos yang biru membeku tampak bahagia. Jon merasa sangat cemburu pada maut yang merenggut Yos. Kenapa Yos tak menepati janji. Bukankah kemarin Yos sudah sepakat untuk mati bersama dengan cara menabrakkan diri pada kereta di Stasiun Jatinegara?
"Jon," suara mama memanggil. Jon tak menyahut. Tumben mama ada di rumah siang-siang begini.
"Jon, mama bawakan makanan kesukaan kamu, bangunlah, Sayang," kata mama. Dia duduk di tepi ranjang, membelai-belai kepala anaknya. Mama membuka pintu kamar Jon menggunakan kunci duplikat. Jon sebal dengan cara mama yang seperti ini. Main selonong, tak menghargai wilayah pribadi orang sekalipun dia anaknya. Dari dulu mama memang menyebalkan, setali tiga uang dengan papa. Jon kadang tak habis pikir kenapa dia dilahirkan di tengah-tengah mereka; orang-orang yang menganggap dirinya sekadar semacam kelinci percobaan yang tidak punya kehendak.
"Jon, mama sudah bawa formulir pedaftaran masuk sekolah musik."
Jon bergeming. Dia hafal, pasti mama juga sudah mengisinya. Dan ini artinya dia akan bertengkar lagi. Kalau Yos masih hidup, Jon tinggal lari ke rumahnya, lantas pergi dan melakukan apa saja yang mereka suka. Beberapa pekan terakhir mereka mendatangi sebuah klub yang membawa tren baru:
"Aku lebih suka menyeburkan diri ke laut," kata Yos.
"Papamu tidak akan tahu, orang-orang tak akan ada yang tahu," sergah Jon. "Kamu hanya akan dianggap hilang. Bukan bunuh diri. Lagi pula itu cara pengecut."
"Aku takut melihat darah."
"Menabrakkan diri pada kereta api kita tidak akan sempat melihat darah."
Sekarang Jon tidak tahu dengan siapa akan melakukan rencananya melenyapkan diri. Di klub bunuh diri itu dia tidak bertemu seorang pun, kecuali seorang resepsionis berwajah dingin. Dari perempuan ini Jon menerima pesan-pesan yang dicetak di selebaran atau dikirim melalui internet. Perempuan bergincu ungu itu hanya memberinya secarik kertas petunjuk dan sebuah anak kunci. Dengan petunjak di secarik kertas itu Jon memasuk lorong-lorong dalam gedung itu. Lorong-lorong kusam berlampu suram. Lantas menemukan pintu. Dengan anak kunci itu Jon membuka pintu tersebut. Di dalamnya sebuah ruangan berlampu remang. Terdapat meja dengan sebuah pesawat televisi di atasnya. Di hadapannya sofa merah mengonggok. Jon duduk di sana dan tangannya segera menyentuh remote control. Dia menekan remote dan seketika layar televisi suram itu menyala, mengetengahkan adegan-adegan bermacam cara bunuh diri. Adegan-adegan yang membuatnya bergidik sekaligus terpukau dan tertantang.
4
Tubuh itu meluncur cepat sekali. Menabrak apa saja yang menghambat perjalanannya meluncur dengan keras. Terdengar suara berdebam dan tulang remuk patah. Tengkorak kepala belah dan melontarkan segala isinya ke lantai yang dingin, disusul jeritan yang menggetarkan dinding-dinding kaca.
Bibir pucat itu sedikit bergetar saat bertemu bibir botol berisi cairan racun serangga. Cairan berwarna kekuningan itu menggelontor lekas melalui tenggorokan, meluncur melalui usus ke dalam lambung, membakar seluruh organ tubuh yang ada di dalamnya. Menghentikan kerja jantung, merobek ginjal. Membekukan darah.
Mata pisau itu merobek urat nadi, memancar darah deras sekali, bagai bendungan bedah. Digigitnya bibir menahan sakit yang menyayat…
Tubuh itu pecah bagai balon air yang robek pecah saat kereta dengan kecepatan tinggi menyambut tubuh yang melayang, mengadang.
Api itu menjilat-jilat dari tungku pembakaran yang membara. Ketika tubuh itu jatuh ke sana segera terdengar bunyi nges, disusul suara gemeretak daging dan tulang hangus serta aroma daging terbakar.
5
"Ayolah, Jon, bangun."
Jon melirik mama sekilas. Dalam sekilas itu Jon melihat wajah mama yang makin asing, yang merontokkan hasratnya mengutarakan perasaan.
"Baiklah, Jon. Kalau ada apa-apa panggil mama, ya. Mama gak ke mana-mana," ujar mama, lalu perempuan itu beranjak keluar.
Setengah jam berikutnya, Jon melihat perempuan itu menjerit histeris mendapati tubuhnya beku membiru, dengan mulut mengeluarkan buih, dan mata terbelalak. Jon hanya mendengar suara jeritan mama lamat-lamat.
Pondok Pinang, Maret 2010
---
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005).
Lampung Post, Minggu, 23 Mei 2010
1
Dia membaca petunjuk di selebaran itu. Manggut-manggut. Melipatnya, lantas memasukannya ke dalam saku jaket. Tapi segera dirogohnya kembali, dibuka, dan dibaca lagi. Beberapa kali. Meraba tengkuknya. Sesuatu yang dingin bagai menjalar melewati punggungnya. Dia berjalan tergesa memasuki mal dengan pandangan lurus ke depan. Bunuh diri. Ide itu menghantuinya sejak beberapa pekan terakhir. Membuat tidurnya gelisah. Hasrat yang menggebu kerap memang mengganggu tidur. Keinginan menunaikan ide yang cukup menarik. Dia merasa tertantang.
"Aku harus melakukannya," gumamnya saat membaca selebaran yang berisi petunjuk untuk menjalankan ide itu. "Inilah saatnya untuk membuktikan keberanianku, sekaligus membalas kekecewaanku," bisiknya pada diri sendiri. Seringai aneh menyembul di bibirnya. Tak ada lagi alasan untuk berdiam diri menunggu. Momen itu bisa lewat begitu saja. Itu tidak boleh terjadi. Sekaligus ini akan mengakhiri semua urusan. Dia tiada merasa merugi jika harus meninggalkan semua urusan (ataukah urusan yang meninggalkannya?).
Dia masuk ke area food court. Perutnya keroncongan. Dia baru ingat sejak malam memang belum makan, kecuali minuman bersoda dan asap tembakau dan bubuk heroin. Mama sering menelepon cuma untuk mengingatkan sudah makan atau belum. Acap dia mengabaikan peringatan itu. Tapi kali ini tanpa diperingatkan pun dia harus makan. Dia tak mau mengakhiri semua ini dalam keadaan perut kosong. Semuanya harus berlaku sebagaimana mestinya. Dilihatnya jam digital di pergelangan tangannya. Pukul 14.00. Mal masih sepi. Dia akan menunggu sampai pukul empat atau lima ketika orang-orang memenuhi lantai-lantainya. Akan kubuat kalian terlonjak dan menjerit ngeri, bisiknya lagi. Percikan darahku akan menggenangi pikiran kalian, dan kalian akan melihat tak ada yang lebih berharga dalam hidup ini selain kematian. Lalu terbayang mama yang menangis histeris. Papa yang dirundung sesal dan rasa salah. Inilah utang yang harus kalian bayar. Semalam dia menulis di buku diary-nya, seperti ini:
Jon, maafkan jika aku mati lebih dulu. Kurasa ini lebih memudahkan aku. Aku tidak mau kehilangan momen. Ketinggalan tren. Jika kamu sempat bertemu dengan papa dan mamaku, katakan pada mereka bahwa kematianku membawa serta kebencianku pada mereka. Tak ada cara lain yang lebih mudah dan ampuh dilakukan untuk membalas kebencianku pada mereka selain kematian.
Lokasinya di lantai paling atas. Di sudut kanan, dekat gerai pakaian. Ya, dia kan mendekat pilar, naik ke sekat kaca setinggi dada, lantas meluncur dari sana. Hssh, tiba-tiba dia merasa tak sabar ingin segera merasakan sensasi dari aksi ini. Dia melahap nasi goreng, menenggak minuman bersoda kegemarannya. Lantas menyalakan sebatang rokok. Sambil menghisap asap tembakau dia melihat bayangan dirinya yang memantul di dinding kaca sebelahnya. Dia tampak tampan dengan kaus lengan panjang berwarna putih bertuliskan “fuck you” yang dipadu dengan celana jins belel. Paduan yang akan menjadi pakaian terakhirnya. Masih tercium harum pewangi pakaiannya, aroma segar sabun mandi dan sampo di tubuh dan rambutnya yang berkilau lembut dielus sinar lampu. Dia yakin akan kembali ke rumah, menemukan papa dan mama yang kerap saling berdiam diri, bila tidak saling memaki. Namun tak pernah telat memberi dia uang.
2
Sebagai orang muda aku tak mau ketinggalan mengikuti tren. Kau tahu, menjadi orang muda yang ketinggalan tren akan menjadi sasaran ceomohan yang menyakitkan. Tak peduli tren itu berguna atau tidak, tidak penting bagiku. Lagi pula untuk urusan tren, tak ada istilah tak berguna atau berguna. Melainkan keren atau tidak keren. Yang penting aku tidak dikucilkan dari pergaulan. Kau pikir, apa yang lebih berguna dalam hidup ini selain menjadi pusat perhatian?
Aku beruntung, selama ini selalu bisa mengikuti tren. Berapa pun mahal ongkos untuk mengikuti sesuatu yang sedang tren. Karena kedua orang tuaku tidak pernah bisa menolak permintaanku. Mereka selalu menggelontorkan berapa pun jumlah uang yang kubutuhkan untuk mengikuti tren. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan masing-masing. Maka memenuhi apa pun keinginanku merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang mereka padaku. Jadilah aku paling depan dalam mengikuti tren apa pun yang tengah mewabah. Mereka membelikan aku mobil yang tengah jadi tren. Aku mencukur rambutku dengan mode yang tengah tren. Aku ikut balapan mobil di arena sirkuit, gank sepeda motor, mendaki gunung, panjat tebing, selancar di laut. Semua. Semua yang menjadi bahan perbincangan dan kecenderungan pergaulan.
Mungkin kau pun tahu betapa gembiranya mendapati diri menjadi bagian dari tren. Orang-orang akan memujimu sebagai orang yang selalu meng up-date tren. Menjadi pusat perhatian dan gunjingan di klub-klub pergaulan. Meskipun kadang tren yang kau ikuti tidak terlalu kau sukai. Tapi demi menjunjung tinggi pergaulan, tentulah aku sepakat untuk tak perlu merisaukan perasaan semacam itu. Seperti yang kubilang tadi: yang penting keren.
Dan sekarang aku bersiap-siap mengikuti tren bunuh diri. Kurasa dari sekian tren yang pernah kuikuti, inilah tren yang paling menantang dan bergengsi. “Ada beberapa cara bunuh diri. Kamu harus memilih mana kira-kira yang paling cocok untuk kepribadian kamu.” Begitulah petunjuk yang aku baca dari selebaran yang kudapat dari klub bunuh diri.
"Jika kamu seorang pengecut, mungkin yang paling tepat bagimu adalah dengan cara menenggak racun serangga." Lanjut selebaran tersebut. Bunuh diri cara begini tak akan ada darah keluar dari tubuh yang beku. Tapi kukira ini bukan cara yang sesuai dengan kepribadianku.
"Jika kamu seorang pemberani, cara bunuh diri yang cocok adalah menyayat leher, menusuk jantung, atau menjatuhkan diri dari ketinggian," kata selebaran itu. Hmm, kurasa ini menarik. Aku ingin orang-orang menggunjingkanku sebagai si pemberani. Tentulah sangat mudah mendapatkan pisau untuk menyayat leher atau menusuk jantung. Di dapur pelbagai jenis pisau tersedia. Baiklah, aku harus bersiap-siap. Akan kutelepon beberapa orang kawanku tentang cara bunuh diri ini.
Inilah reaksi sinis beberapa kawan yang kutelepon.
"Kapan? Wah, bakal heboh tuh. Kamu bakal terkenal. Ha ha ha..."
"Kamu yakin cara itu cocok buat kamu?"
"Ya."
"Tapi kurasa dampaknya tidak seheboh jika kau bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari lantai tujuh belas mal. Kamu tahu Rasti, dia dielu-elukan. Pemberani sekali dia, jatuh meluncur dengan kepala di bawah."
"Wah itu terlalu merepotkan orang."
"Loh, apa pedulimu? Bukankah semakin orang repot semakin heboh? Dan karenanya kematianmu mengundang perhatian?"
Aku mulai menimbang masukan yang bagus tersebut. Benar juga. Apa urusannya dengan merepotkan orang? Toh saat itu pasti mereka tidak bisa mengejarku untuk meminta tanggung jawab. Karena aku sudah tiada, mungkin aku akan menjadi arwah yang tak kelihatan, tapi bisa melihat mereka yang kelimpungan. Wah sungguh mengasyikkan.
3
Jon terpuruk di kamarnya, air matanya meleleh. Seluruh persendian tubuhnya seperti hancur. Dia baru saja pulang dari melayat Yos yang mati bunuh diri dengan cara menenggak racun serangga. Wajah Yos yang biru membeku tampak bahagia. Jon merasa sangat cemburu pada maut yang merenggut Yos. Kenapa Yos tak menepati janji. Bukankah kemarin Yos sudah sepakat untuk mati bersama dengan cara menabrakkan diri pada kereta di Stasiun Jatinegara?
"Jon," suara mama memanggil. Jon tak menyahut. Tumben mama ada di rumah siang-siang begini.
"Jon, mama bawakan makanan kesukaan kamu, bangunlah, Sayang," kata mama. Dia duduk di tepi ranjang, membelai-belai kepala anaknya. Mama membuka pintu kamar Jon menggunakan kunci duplikat. Jon sebal dengan cara mama yang seperti ini. Main selonong, tak menghargai wilayah pribadi orang sekalipun dia anaknya. Dari dulu mama memang menyebalkan, setali tiga uang dengan papa. Jon kadang tak habis pikir kenapa dia dilahirkan di tengah-tengah mereka; orang-orang yang menganggap dirinya sekadar semacam kelinci percobaan yang tidak punya kehendak.
"Jon, mama sudah bawa formulir pedaftaran masuk sekolah musik."
Jon bergeming. Dia hafal, pasti mama juga sudah mengisinya. Dan ini artinya dia akan bertengkar lagi. Kalau Yos masih hidup, Jon tinggal lari ke rumahnya, lantas pergi dan melakukan apa saja yang mereka suka. Beberapa pekan terakhir mereka mendatangi sebuah klub yang membawa tren baru:
"Aku lebih suka menyeburkan diri ke laut," kata Yos.
"Papamu tidak akan tahu, orang-orang tak akan ada yang tahu," sergah Jon. "Kamu hanya akan dianggap hilang. Bukan bunuh diri. Lagi pula itu cara pengecut."
"Aku takut melihat darah."
"Menabrakkan diri pada kereta api kita tidak akan sempat melihat darah."
Sekarang Jon tidak tahu dengan siapa akan melakukan rencananya melenyapkan diri. Di klub bunuh diri itu dia tidak bertemu seorang pun, kecuali seorang resepsionis berwajah dingin. Dari perempuan ini Jon menerima pesan-pesan yang dicetak di selebaran atau dikirim melalui internet. Perempuan bergincu ungu itu hanya memberinya secarik kertas petunjuk dan sebuah anak kunci. Dengan petunjak di secarik kertas itu Jon memasuk lorong-lorong dalam gedung itu. Lorong-lorong kusam berlampu suram. Lantas menemukan pintu. Dengan anak kunci itu Jon membuka pintu tersebut. Di dalamnya sebuah ruangan berlampu remang. Terdapat meja dengan sebuah pesawat televisi di atasnya. Di hadapannya sofa merah mengonggok. Jon duduk di sana dan tangannya segera menyentuh remote control. Dia menekan remote dan seketika layar televisi suram itu menyala, mengetengahkan adegan-adegan bermacam cara bunuh diri. Adegan-adegan yang membuatnya bergidik sekaligus terpukau dan tertantang.
4
Tubuh itu meluncur cepat sekali. Menabrak apa saja yang menghambat perjalanannya meluncur dengan keras. Terdengar suara berdebam dan tulang remuk patah. Tengkorak kepala belah dan melontarkan segala isinya ke lantai yang dingin, disusul jeritan yang menggetarkan dinding-dinding kaca.
Bibir pucat itu sedikit bergetar saat bertemu bibir botol berisi cairan racun serangga. Cairan berwarna kekuningan itu menggelontor lekas melalui tenggorokan, meluncur melalui usus ke dalam lambung, membakar seluruh organ tubuh yang ada di dalamnya. Menghentikan kerja jantung, merobek ginjal. Membekukan darah.
Mata pisau itu merobek urat nadi, memancar darah deras sekali, bagai bendungan bedah. Digigitnya bibir menahan sakit yang menyayat…
Tubuh itu pecah bagai balon air yang robek pecah saat kereta dengan kecepatan tinggi menyambut tubuh yang melayang, mengadang.
Api itu menjilat-jilat dari tungku pembakaran yang membara. Ketika tubuh itu jatuh ke sana segera terdengar bunyi nges, disusul suara gemeretak daging dan tulang hangus serta aroma daging terbakar.
5
"Ayolah, Jon, bangun."
Jon melirik mama sekilas. Dalam sekilas itu Jon melihat wajah mama yang makin asing, yang merontokkan hasratnya mengutarakan perasaan.
"Baiklah, Jon. Kalau ada apa-apa panggil mama, ya. Mama gak ke mana-mana," ujar mama, lalu perempuan itu beranjak keluar.
Setengah jam berikutnya, Jon melihat perempuan itu menjerit histeris mendapati tubuhnya beku membiru, dengan mulut mengeluarkan buih, dan mata terbelalak. Jon hanya mendengar suara jeritan mama lamat-lamat.
Pondok Pinang, Maret 2010
---
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005).
Lampung Post, Minggu, 23 Mei 2010
Sunday, May 16, 2010
Susan
Cerpen Isbedy Stiawan Z.S.
PADA hari kesembilan dari pertemuanku yang pertama dengan Susan, sehabis isya kami berjumpa lagi di tempat sama--perjumpaan tanpa sengaja. Kutegaskan tidak sengaja, sebab tanpa didahului dengan perjanjian karena aku tak pernah menghubunginya melalui telepon selular sekadar helo. Apalagi sampai saling mengirim pesan pendek. Bahkan aku hampir saja sudah lupa dengannya, lupa dengan pertemuan kami pertama kali, Rabu malam lalu.
Kini Jumat malam. Aku ingin mencari-cari suasana lain, setelah seharian bekerja dan rasanya membosankan hanya menghabisi waktu malam ini sebelum ke peraduan. Lalu kupilih tempat itu, sebuah taman kota yang setiap malam selalu banyak dikunjungi warga kota. Taman ini, pada 18 Agustus 1945, pernah dijadikan tempat apel akbar para pejuang untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan. Teks proklamasi yang dibacakan Soekarno-Hatta ditulis ulang secara kilat dari mendengar di radio pemerintah.
Inilah taman kota yang dipertahankan dan dilindungi oleh seluruh warga tatkala pemerintah hendak menyulapnya jadi pasar modern terbesar dan termegah. Warga yang didukung oleh kelompok swadaya mandiri, pemerhati lingkungan hidup, pecinta taman kota menyatukan visi untuk menentang rencana pemerintah provinsi untuk "meremajakan" kawasan itu, dengan cara menukar guling dengan lahan di pinggiran kota. Alasan menentang kebijakan pemerintah itu, disebabkan kawasan itu sudah menjadi icon daerah ini. Selain itu, jika kawasan itu disulap menjadi area pasar modern, lalu di mana lagi ruang hijau terbuka bagi warga kota?
Salah seorang pelukis asal dari daerah ini dan kini sudah terkenal di Jakarta, pernah menyatakan di media lokal agar pemerintah menjadikan kawasan ini sebagai ruang kontemplatif. Pemerintah harus menjaga agar nilai-nilai sejarah perjuangan masyarakat di daerah ini tetap abadi. "Jangan sampai demi kemajuan kota, lapangan yang sudah menyimpan sejarang bagi perjuangan kemerdekaan ditumpas habis," kata pelukis itu yang pernah kubaca di media lokal.
Taman kota. Bukan saja jadi sebuah ruang hijau terbuka bagi warga, juga dimanfaatkan untuk mencari nafkah bagi para pedagang sekoteng, jagung bakar, rokok, dan minuman--baik minuman biasa ataupun beralkohol. Warung-warung yang berjajar di sepanjang jalan pinggir taman, siapa pun tahu, adalah rendezvous bagi penjaja berahi dan para hidung belang. Kawasan ini kerap dirazia, dan ternyata paling banyak menggaruk prostitusi dan pengunjung yang abai membawa kartu tanda penduduk (KTP). Dan aku selalu berulang mengecek dompetku apakah tertinggal sebelum berangkat, karena di dalam dompetku bersemayam KTP, SIM, ATM, dan surat-surat lain.
Dia duduk di penjual jagung bakar manis. Di meja di depannya sudah tersaji beberapa buah jagung bakar dan minuman botol. Mas Agus, pedagang jagung, menyambutku dengan senyuman. Kemudian matanya berkedip ke arah Susan. Aku mengangguk. Memesan dua buah jagung bakar dan minuman kaleng. Meletakkan sebungkus rokok beserta korek gas kesayanganku di meja, persis di dekat tangan Susan. Aku berharap ia terusik, lalu melirik.
Ternyata tidak. Dia asyik menikmati sebuah jagung bakar yang belum habis. Tak ada rokok yang terjepit di antara jari telunjuk dan tengah tangan kirinya. Ia juga masih belum melihatku. Dingin.
Aku mendehem. Ia tak acuh. Aku sengaja menyenggol meja agar bergeser dan dia kuharap terganggu atau kaget, lalu melihatku dan tersenyum, kemudian menyapa: "Malam...."
Tak juga. Aku sabar. Jagung bakar pesananku disorongkan pedagang ke depanku. Sengaja kubesarkan suaraku, ketika mengucapkan: "Terima kasih, Mas. "Akan tetapi, Susan tak juga terusik. Jangan-jangan dia sudah tak mengenalku. Mungkin saja dia lupa dengan wajahku. Boleh jadi, sejak pertemuan pertama delapan hari lalu, karena sudah banyak yang ia jumpai sehingga wajahku tak lagi mengekal di benaknya? Boleh jadi.
Di sebuah tempat keramaian seperti ini, di mana orang-orang bisa lalu-lalang, datang dan pulang, serta berganti-ganti orang. Maka setiap orang bisa saja tak mengenal atau tak dikenal. Bahkan sesama pengunjung yang mungkin tiap malam ke tempat ini, sulit menghafal atau mengingatnya. Kalaupun ada tegur sapa atau obrolan, itu tak lebih cuma basa-basi. Lebih baik basa-basi ketimbang sumpah seranah. Pikirku.
Karena itu, tatkala perempuan yang pernah kukenal delapan malam lalu dan kami sempat mengobrol cukup lama, seraya diselingi banyolan, kritikan terhadap pemerintah, kasus Century yang kini nyaris tak lagi digubris, sampai pula bicarakan soal impian lelaki-perempuan ideal di mata masing-masing.
"Juga.... itu sebabnya, kau masih sendiri?" tanyaku kemudian waktu itu.
Susan mengangguk.
"Karena itu pula kamu hati-hati mencari perempuan untuk pasangan hidup?" dia balik bertanya, setelah terdiam beberapa detik.
Aku mengiyakan.
"Seandainya dua orang yang lain jenis bertemu, dan keduanya belum punya teman intim.... lalu apakah keduanya bisa saling mengerti untuk mencintai?"
"Saya tak bisa mengandai-andai. Aku orangnya realistis..." sergah dia.
"Baik, kalau tak mau berandai-andai. Bagaimana menurutmu, jika suatu pertemuan lelaki dan perempuan lalu keduanya saling mengetahui bahwa masing-masing masih belum punya kekasih. Apakah keduanya bisa memulai untuk mengenal lebih dalam?" aku berucap dengan memilih cara ucap yang lain.
"Maaf saya tak berani komentar, apalagi hanya pakai ukuran menurut. Menurut siapa? Menurutku, menurutmu? Itu masih tidak pasti. Saya inginnya realistis. Hidup ini adalah kenyataan, penuh dengan realitas-realitas...."
"Tapi jangan lupa, hidup ini juga dipenuhi kemungkinan-kemungkinan. Lalu, bukankah ini sama artinya prasangka, berandai, menduga, dan menurut ini itu?"
Dia diam. Menarik napas lalu mengempaskan ke udara.
"Boleh saya ambil rokokmu? Untuk menghapus rasa dingin...."
Aku mempersilakan. Dia mengambil sebatang rokok. Kusorong korek yang sudah kuhidupkan apinya. Susan mendekatkan rokoknya yang terselip di bibirnya. Aku sangat hati-hati menyalakan rokoknya. Hati-hati agar tak terpecik api lalu mengenai bibirnya yang mungil, yang dihiasi pewarna bibir. Ah, sekiranya aku bisa... Gila! Aku tak boleh berkhayal, apalagi hal-hal yang merusak pikiranku.
"Kuamat-amati kamu seperti orang yang biasa merokok, ya?"
"Ah, apakah cara merokok harus ada keahlian. Biasa dan berpengalaman?"
Aku menggeleng. Rasanya aku jadi si bodoh di depan perempuan ini.
Dan, itulah kebodohanku yang kesekian: aku lupa menanyakan alamat rumahnya. Aku juga tak berani menawarkan untuk mengantarnya pulang. Sebagai lelaki, seharusnya kutunjukkan kejantananku dengan menawarkan diri mengantar. Seakan-akan aku mampu melindunginya...
YA. Kini aku jumpa lagi. Susan mulai menggeserkan bangkunya. Aku sengaja bergerak, menggeser sedikit. Agar dia melihatku, karena aku seolah-olah khawatir terkena tubuhnya. Benar. Dia melihatku. Hanya senyum.
"Malam," aku memulai.
Dia tersenyum. Mengangguk.
"Bukankah kau Susan?"
"Benar. Kenapa? Mungkin aku mirip dengan temanmu?"
"O tidak... maaf, aku mau tanya: Apakah kita pernah bertemu delapan malam silam?"
Susan mulai mengerutkan dahinya.
"Mungkin ya. Tapi di mana?"
"Di sini juga," kataku cepat. Kupanggil penjual jagung bakar, untuk memastikan.
"Mas pekan lalu saya ke sini kan? Mengobrol dengan Mbak ini, kan?"
Pedagang jagung itu mengangguk.
"Benar kan?"
"Mungkin ya."
"Bukan mungkin, tapi kita benar-benar pernah bertemu. Di sini. Kita bahkan sempat ngobrol..."
"Ah, maaf. Bagaimana anggap saja kita baru jumpa malam ini? Aku malas mengingat-ingat sesuatu yang sudah lalu."
"Baiklah...."
Tetapi aku benar-benar penasaran. Susan benar-benar menghapus kenangan, bahkan boleh jadi setiap yang pernah ingin mengekal di benaknya. Dia selalu ingin membuka lembaran baru. Halaman yang pertama, kemudian dirobek. Dia buka lagi buku dan dibuka halaman pertamanya, namun bukan untuk ditulis setiap kenangan yang mampir. Hanya dibiarkan tanpa noktah tinta.
Aku jadi benar-benar ingin tahu. Sayangnya ketika aku ingin lebih dekat, dengan menawarkan diri untuk mengantarnya, dengan santun dia menolak.
"Tak usah, saya tak ingin merepotkan orang..."
"Aku rasa aku tak repot. Aku juga tak lagi diburu-buru waktu. Boleh aku antar?"
Dia menggeleng.
"Besok malam kita jumpa lagi kan?" tanyanya. "Aku suka ngobrol, aku menyukaimu karena mau menemaniku..."
"Hanya itu?"
"Untuk saat ini kujawab ya. Kuharap kau tak kecewa," ujar Susan.
Aku menggeleng. Inilah gelengan kepala yang pertama dariku selama dua kali bersama Susan. Karena selalu aku mengangguk atau mengatakan "ya" di hadapannya. Sepertinya aku sangat khawatir dia tersinggung jika aku menggeleng.
Ah....
SUDAH tiga jam aku menanti. Sudah lima jagung bakar kusantap dan dua kaleng minuman kureguk. Susan tak juga datang.
"Mungkin dia lupa, Bang.... Atau jangan-jangan..."
"Jangan ngomong yang tak pasti ah! Hanya kira-kitra, mungkin, atau jangan-jangan. Itu pernyataan dari orang yang bimbang. Kita harus opitimis, Mas..."
"Tapi, buktinya Mbak itu tidak datang?"
Ya buktinya Susan memang benar-benar tidak datang. Kutinggalkan pedagang jagung bakar itu, kuhidupkan mobil tuaku. Di depan gerbang taman kota itu, kulihat samar-samat Susan berada di dalam mobil sedan putih yang berpapasan denganku: menuju penjual jagung bakar.
Tadinya aku berniat ingin membalikkan mobilku. Setidaknya dari jauh akan kuamati Susan dengan teman lelakinya itu. Cuma hatiku yang lain menolak: "Untuk apa kau buru perempuan yang tak menepati janji? Lalu datang bersama lelaki lain? Hanya ibumu akan tetap ibumu, meskipun dia pernah mendustaimu."
Aku pun memacu mobilku. Pulang.
Sebelum kubuka baju, handphone-ku bergetar. Deretan angka yang belum kukenal terpajang di layar handphoneku. Kutekan tombol OK.
"Kenapa cepat-cepat pulang? Kan aku kemarin janji pasti datang, kita bertemu. Kata abang tukang jagung ini kau baru saja pulang, karena bosan menunggu kedatanganku. Untung saja kau meninggalkan nomor kontakmu dengan penjual jagung. Mau ke sini lagi?"
"Wah, aku sudah di rumah. Sudah ganti pakaian. Mau istirahat..."
"Masak iya secepat itu sudah ganti pakaian? Bagaimana kalau kutunggu? Enggak lama kan?" dia bertanya, seperti berharap. Atau setidaknya menggoda...
"Maaf, besok malam saja," aku berdusta.
Kupikir untuk apa kutemui dia lagi, kalau ia datang bersama lelaki lain? Paling tidak, ia sudah tak menepati janji. Cukup lama aku menunggu.
Sampai beberapa minggu aku tak datang ke taman kota itu. Aku sudah melupakan Susan. Pada bulan ketiga aku kembali datang. Ingin mencari suasana lain saja. Sekadar cari angin, cuci pandangan, ganti sesuatu yang selama ini kurasa itu-itu saja.
Aku baru tahu dari pedagang jagung bakar, kalau Susan masih sering datang. Juga ditemani seorang lelaki yang kulihat membawanya dulu. Cuma, entah benar atau dusta, kata penjual jagung bakar itu bahwa lelaki yang menemaninya adalah adik kandung Susan.
"Kemarin Mbak itu datang ditemani adiknya. Dia pamit mau pindah ke Makassar, karena tugas kerja. Dia titip salam untuk Abang..."
"Surat?"
"Cuma titip salam..."
Kuhubungi nomor yang pernah meneleponku. Hanya terdengar: "Telepon yang Anda hubungi berada di luar area, atau sudah tidak aktif lagi."
Aku mendesah. Panjang.
10042010: 01.01
Lampung Post, Minggu, 16 Mei 2010
PADA hari kesembilan dari pertemuanku yang pertama dengan Susan, sehabis isya kami berjumpa lagi di tempat sama--perjumpaan tanpa sengaja. Kutegaskan tidak sengaja, sebab tanpa didahului dengan perjanjian karena aku tak pernah menghubunginya melalui telepon selular sekadar helo. Apalagi sampai saling mengirim pesan pendek. Bahkan aku hampir saja sudah lupa dengannya, lupa dengan pertemuan kami pertama kali, Rabu malam lalu.
Kini Jumat malam. Aku ingin mencari-cari suasana lain, setelah seharian bekerja dan rasanya membosankan hanya menghabisi waktu malam ini sebelum ke peraduan. Lalu kupilih tempat itu, sebuah taman kota yang setiap malam selalu banyak dikunjungi warga kota. Taman ini, pada 18 Agustus 1945, pernah dijadikan tempat apel akbar para pejuang untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan. Teks proklamasi yang dibacakan Soekarno-Hatta ditulis ulang secara kilat dari mendengar di radio pemerintah.
Inilah taman kota yang dipertahankan dan dilindungi oleh seluruh warga tatkala pemerintah hendak menyulapnya jadi pasar modern terbesar dan termegah. Warga yang didukung oleh kelompok swadaya mandiri, pemerhati lingkungan hidup, pecinta taman kota menyatukan visi untuk menentang rencana pemerintah provinsi untuk "meremajakan" kawasan itu, dengan cara menukar guling dengan lahan di pinggiran kota. Alasan menentang kebijakan pemerintah itu, disebabkan kawasan itu sudah menjadi icon daerah ini. Selain itu, jika kawasan itu disulap menjadi area pasar modern, lalu di mana lagi ruang hijau terbuka bagi warga kota?
Salah seorang pelukis asal dari daerah ini dan kini sudah terkenal di Jakarta, pernah menyatakan di media lokal agar pemerintah menjadikan kawasan ini sebagai ruang kontemplatif. Pemerintah harus menjaga agar nilai-nilai sejarah perjuangan masyarakat di daerah ini tetap abadi. "Jangan sampai demi kemajuan kota, lapangan yang sudah menyimpan sejarang bagi perjuangan kemerdekaan ditumpas habis," kata pelukis itu yang pernah kubaca di media lokal.
Taman kota. Bukan saja jadi sebuah ruang hijau terbuka bagi warga, juga dimanfaatkan untuk mencari nafkah bagi para pedagang sekoteng, jagung bakar, rokok, dan minuman--baik minuman biasa ataupun beralkohol. Warung-warung yang berjajar di sepanjang jalan pinggir taman, siapa pun tahu, adalah rendezvous bagi penjaja berahi dan para hidung belang. Kawasan ini kerap dirazia, dan ternyata paling banyak menggaruk prostitusi dan pengunjung yang abai membawa kartu tanda penduduk (KTP). Dan aku selalu berulang mengecek dompetku apakah tertinggal sebelum berangkat, karena di dalam dompetku bersemayam KTP, SIM, ATM, dan surat-surat lain.
Dia duduk di penjual jagung bakar manis. Di meja di depannya sudah tersaji beberapa buah jagung bakar dan minuman botol. Mas Agus, pedagang jagung, menyambutku dengan senyuman. Kemudian matanya berkedip ke arah Susan. Aku mengangguk. Memesan dua buah jagung bakar dan minuman kaleng. Meletakkan sebungkus rokok beserta korek gas kesayanganku di meja, persis di dekat tangan Susan. Aku berharap ia terusik, lalu melirik.
Ternyata tidak. Dia asyik menikmati sebuah jagung bakar yang belum habis. Tak ada rokok yang terjepit di antara jari telunjuk dan tengah tangan kirinya. Ia juga masih belum melihatku. Dingin.
Aku mendehem. Ia tak acuh. Aku sengaja menyenggol meja agar bergeser dan dia kuharap terganggu atau kaget, lalu melihatku dan tersenyum, kemudian menyapa: "Malam...."
Tak juga. Aku sabar. Jagung bakar pesananku disorongkan pedagang ke depanku. Sengaja kubesarkan suaraku, ketika mengucapkan: "Terima kasih, Mas. "Akan tetapi, Susan tak juga terusik. Jangan-jangan dia sudah tak mengenalku. Mungkin saja dia lupa dengan wajahku. Boleh jadi, sejak pertemuan pertama delapan hari lalu, karena sudah banyak yang ia jumpai sehingga wajahku tak lagi mengekal di benaknya? Boleh jadi.
Di sebuah tempat keramaian seperti ini, di mana orang-orang bisa lalu-lalang, datang dan pulang, serta berganti-ganti orang. Maka setiap orang bisa saja tak mengenal atau tak dikenal. Bahkan sesama pengunjung yang mungkin tiap malam ke tempat ini, sulit menghafal atau mengingatnya. Kalaupun ada tegur sapa atau obrolan, itu tak lebih cuma basa-basi. Lebih baik basa-basi ketimbang sumpah seranah. Pikirku.
Karena itu, tatkala perempuan yang pernah kukenal delapan malam lalu dan kami sempat mengobrol cukup lama, seraya diselingi banyolan, kritikan terhadap pemerintah, kasus Century yang kini nyaris tak lagi digubris, sampai pula bicarakan soal impian lelaki-perempuan ideal di mata masing-masing.
"Juga.... itu sebabnya, kau masih sendiri?" tanyaku kemudian waktu itu.
Susan mengangguk.
"Karena itu pula kamu hati-hati mencari perempuan untuk pasangan hidup?" dia balik bertanya, setelah terdiam beberapa detik.
Aku mengiyakan.
"Seandainya dua orang yang lain jenis bertemu, dan keduanya belum punya teman intim.... lalu apakah keduanya bisa saling mengerti untuk mencintai?"
"Saya tak bisa mengandai-andai. Aku orangnya realistis..." sergah dia.
"Baik, kalau tak mau berandai-andai. Bagaimana menurutmu, jika suatu pertemuan lelaki dan perempuan lalu keduanya saling mengetahui bahwa masing-masing masih belum punya kekasih. Apakah keduanya bisa memulai untuk mengenal lebih dalam?" aku berucap dengan memilih cara ucap yang lain.
"Maaf saya tak berani komentar, apalagi hanya pakai ukuran menurut. Menurut siapa? Menurutku, menurutmu? Itu masih tidak pasti. Saya inginnya realistis. Hidup ini adalah kenyataan, penuh dengan realitas-realitas...."
"Tapi jangan lupa, hidup ini juga dipenuhi kemungkinan-kemungkinan. Lalu, bukankah ini sama artinya prasangka, berandai, menduga, dan menurut ini itu?"
Dia diam. Menarik napas lalu mengempaskan ke udara.
"Boleh saya ambil rokokmu? Untuk menghapus rasa dingin...."
Aku mempersilakan. Dia mengambil sebatang rokok. Kusorong korek yang sudah kuhidupkan apinya. Susan mendekatkan rokoknya yang terselip di bibirnya. Aku sangat hati-hati menyalakan rokoknya. Hati-hati agar tak terpecik api lalu mengenai bibirnya yang mungil, yang dihiasi pewarna bibir. Ah, sekiranya aku bisa... Gila! Aku tak boleh berkhayal, apalagi hal-hal yang merusak pikiranku.
"Kuamat-amati kamu seperti orang yang biasa merokok, ya?"
"Ah, apakah cara merokok harus ada keahlian. Biasa dan berpengalaman?"
Aku menggeleng. Rasanya aku jadi si bodoh di depan perempuan ini.
Dan, itulah kebodohanku yang kesekian: aku lupa menanyakan alamat rumahnya. Aku juga tak berani menawarkan untuk mengantarnya pulang. Sebagai lelaki, seharusnya kutunjukkan kejantananku dengan menawarkan diri mengantar. Seakan-akan aku mampu melindunginya...
YA. Kini aku jumpa lagi. Susan mulai menggeserkan bangkunya. Aku sengaja bergerak, menggeser sedikit. Agar dia melihatku, karena aku seolah-olah khawatir terkena tubuhnya. Benar. Dia melihatku. Hanya senyum.
"Malam," aku memulai.
Dia tersenyum. Mengangguk.
"Bukankah kau Susan?"
"Benar. Kenapa? Mungkin aku mirip dengan temanmu?"
"O tidak... maaf, aku mau tanya: Apakah kita pernah bertemu delapan malam silam?"
Susan mulai mengerutkan dahinya.
"Mungkin ya. Tapi di mana?"
"Di sini juga," kataku cepat. Kupanggil penjual jagung bakar, untuk memastikan.
"Mas pekan lalu saya ke sini kan? Mengobrol dengan Mbak ini, kan?"
Pedagang jagung itu mengangguk.
"Benar kan?"
"Mungkin ya."
"Bukan mungkin, tapi kita benar-benar pernah bertemu. Di sini. Kita bahkan sempat ngobrol..."
"Ah, maaf. Bagaimana anggap saja kita baru jumpa malam ini? Aku malas mengingat-ingat sesuatu yang sudah lalu."
"Baiklah...."
Tetapi aku benar-benar penasaran. Susan benar-benar menghapus kenangan, bahkan boleh jadi setiap yang pernah ingin mengekal di benaknya. Dia selalu ingin membuka lembaran baru. Halaman yang pertama, kemudian dirobek. Dia buka lagi buku dan dibuka halaman pertamanya, namun bukan untuk ditulis setiap kenangan yang mampir. Hanya dibiarkan tanpa noktah tinta.
Aku jadi benar-benar ingin tahu. Sayangnya ketika aku ingin lebih dekat, dengan menawarkan diri untuk mengantarnya, dengan santun dia menolak.
"Tak usah, saya tak ingin merepotkan orang..."
"Aku rasa aku tak repot. Aku juga tak lagi diburu-buru waktu. Boleh aku antar?"
Dia menggeleng.
"Besok malam kita jumpa lagi kan?" tanyanya. "Aku suka ngobrol, aku menyukaimu karena mau menemaniku..."
"Hanya itu?"
"Untuk saat ini kujawab ya. Kuharap kau tak kecewa," ujar Susan.
Aku menggeleng. Inilah gelengan kepala yang pertama dariku selama dua kali bersama Susan. Karena selalu aku mengangguk atau mengatakan "ya" di hadapannya. Sepertinya aku sangat khawatir dia tersinggung jika aku menggeleng.
Ah....
SUDAH tiga jam aku menanti. Sudah lima jagung bakar kusantap dan dua kaleng minuman kureguk. Susan tak juga datang.
"Mungkin dia lupa, Bang.... Atau jangan-jangan..."
"Jangan ngomong yang tak pasti ah! Hanya kira-kitra, mungkin, atau jangan-jangan. Itu pernyataan dari orang yang bimbang. Kita harus opitimis, Mas..."
"Tapi, buktinya Mbak itu tidak datang?"
Ya buktinya Susan memang benar-benar tidak datang. Kutinggalkan pedagang jagung bakar itu, kuhidupkan mobil tuaku. Di depan gerbang taman kota itu, kulihat samar-samat Susan berada di dalam mobil sedan putih yang berpapasan denganku: menuju penjual jagung bakar.
Tadinya aku berniat ingin membalikkan mobilku. Setidaknya dari jauh akan kuamati Susan dengan teman lelakinya itu. Cuma hatiku yang lain menolak: "Untuk apa kau buru perempuan yang tak menepati janji? Lalu datang bersama lelaki lain? Hanya ibumu akan tetap ibumu, meskipun dia pernah mendustaimu."
Aku pun memacu mobilku. Pulang.
Sebelum kubuka baju, handphone-ku bergetar. Deretan angka yang belum kukenal terpajang di layar handphoneku. Kutekan tombol OK.
"Kenapa cepat-cepat pulang? Kan aku kemarin janji pasti datang, kita bertemu. Kata abang tukang jagung ini kau baru saja pulang, karena bosan menunggu kedatanganku. Untung saja kau meninggalkan nomor kontakmu dengan penjual jagung. Mau ke sini lagi?"
"Wah, aku sudah di rumah. Sudah ganti pakaian. Mau istirahat..."
"Masak iya secepat itu sudah ganti pakaian? Bagaimana kalau kutunggu? Enggak lama kan?" dia bertanya, seperti berharap. Atau setidaknya menggoda...
"Maaf, besok malam saja," aku berdusta.
Kupikir untuk apa kutemui dia lagi, kalau ia datang bersama lelaki lain? Paling tidak, ia sudah tak menepati janji. Cukup lama aku menunggu.
Sampai beberapa minggu aku tak datang ke taman kota itu. Aku sudah melupakan Susan. Pada bulan ketiga aku kembali datang. Ingin mencari suasana lain saja. Sekadar cari angin, cuci pandangan, ganti sesuatu yang selama ini kurasa itu-itu saja.
Aku baru tahu dari pedagang jagung bakar, kalau Susan masih sering datang. Juga ditemani seorang lelaki yang kulihat membawanya dulu. Cuma, entah benar atau dusta, kata penjual jagung bakar itu bahwa lelaki yang menemaninya adalah adik kandung Susan.
"Kemarin Mbak itu datang ditemani adiknya. Dia pamit mau pindah ke Makassar, karena tugas kerja. Dia titip salam untuk Abang..."
"Surat?"
"Cuma titip salam..."
Kuhubungi nomor yang pernah meneleponku. Hanya terdengar: "Telepon yang Anda hubungi berada di luar area, atau sudah tidak aktif lagi."
Aku mendesah. Panjang.
10042010: 01.01
Lampung Post, Minggu, 16 Mei 2010
Sunday, May 9, 2010
Puing-Puing
Cerpen Muhammad Amin
ADA sekelumit hati yang merindukan rumah. Merindukan sebuah bangunan yang bisa ditinggali bersama keluarga. Tapi kapankah? Bukankah harapan itu hanya sia-sia. Karena tak ada lagi orang tua, tak ada lagi suasana rumah seperti dulu. Tak ada kenangan masa kecil. Segalanya telah runtuh menjadi puing.
Dia--seorang anak muda, melihat puing-puing berserakan. Di mana-mana. Di wajah orang tua. Di tanah kering. Ombak pecah jadi puing. Ranting patah jadi puing. Air mata luruh jadi puing. Hujan jatuh jadi puing. Sengketa usai jadi puing. Tawa berderai jadi puing.
Dia ingin punguti satu per satu serakan puing. Namun tak kan pernah usai.
***
Beberapa hari sebelum puing, di sebuah kampung.
Musim subur. Bunga-bunga mekar, rumput-rumput hijau, burung-burung berkicau, dahan-dahan kukuh, buah-buah ranum. Seorang anak lelaki dan perempuan berlarian di halaman.
"Nak, jangan jauh-jauh mainnya."
"Ya, Bu. Kami takkan jauh."
"Lebih baik tengoklah ayahmu di ladang, antar makanannya. Jangan lupa bawa sayuran yang dipetik ayahmu."
"Baik, Bu." Sang anak melaksanakan perintah ibunya.
Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.
"Gantilah pakaianmu, kita akan ke pasar sekarang."
"Ke pasar mau membeli apa, Bu?"
"Mau beli bumbu masakan dan peralatan lain."
"Baik, Bu."
Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.
"Bujang, mari kita ke laut menangkap ikan."
"Bawa pancing, Yah?"
"Bawa tombak dan panah saja."
Lalu ayah dan anak itu berangkat ke laut, menyusuri garis pantai, menombak, dan memanah ikan-ikan besar.
"Sudah cukupkah ini, Yah?"
"Cukup. Dengan ikan sebanyak ini kita bisa membagi pada tetangga. Walaupun kita masih bisa dapat ikan lebih banyak, tapi kita harus memikirkan hari esok dan lusa. Biarkan ikan-ikan itu bertambah besar dan beranak-pinak lagi."
"Mari kita pulang, Yah?"
"Ya, mari kita pulang."
Keduanya pulang membawa sekeranjang besar ikan-ikan segar. Sebagian diberikan pada tetangga, sebagian dimasak oleh perempuan di rumah. Lalu disiapkanlah makanan dan hidangan untuk makan malam yang akan disantap bersama seluruh keluarga di rumah besar ini.
Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.
"Mari kita ke hutan, Nak."
"Untuk apa, Yah?"
"Kita akan berburu kijang atau menjangan."
"Kita bawa senapan?"
"Tidak usah. Bawa perangkap saja. Senapan akan menakut-nakuti mereka."
Keduanya berangkat menyusuri tepi hutan mencari jejak binatang buruan, kemudian memasang perangkap di balik semak. Tak perlu waktu lama, seekor menjangan terjerat dalam perangkap.
"Cukupkah satu ini saja, Yah?"
"Cukup. Biarkan yang lain hidup tenang di dalam hutan, tumbuh besar dan bertambah banyak lagi."
Keduanya pulang memikul seekor menjangan. Sampai di depan rumah, menjangan disembelih dan disaksikan orang ramai. Banyak anak-anak yang menonton. Sebagian daging dibagikan. Sebagian dimasak untuk makanan esok dan hidangan seluruh keluarga nanti malam.
Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.
"Mari kita ke kebun, Nak."
"Mau mengambil apa, Yah?"
"Kita akan mengambil buah jeruk, pisang dan ubi buat esok dan hidangan nanti malam."
Keduanya berangkat ke kebun, memetik buah jeruk, menebang pohon pisang dan menggali ubi. Semuanya dimasukkan ke masing-masing keranjang.
"Cukupkah ini, Yah?"
"Cukup. Biarkan yang lain untuk esok lusa. Cabuti rumput di dekat pohon jeruk dan pisang itu, biar mereka juga berterima kasih dan berbuah banyak. Tanami lagi ubi yng sudah dicabuti."
"Baik, Yah."
Malamnya seluruh keluarga berkumpul di sebuah ruang besar, menghadapi hidangan makan malam. Tertata dan tersaji mengundang selera: sop dan sate menjangan, ikan dengan beraneka menu, sayur dan buah-buahan. Mereka makan malam dengan bahagia dan keakraban keluarga.
Beberapa jam sebelum puing, di sebuah pusat kota.
Seorang anak muda turun dari atas tangga dengan terburu-buru.
"Ardi. Kau sudah makan, Nak?"
"Belum, nanti aku makan di luar saja. Teman-temanku sudah menunggu, Bu."
"Makan dulu di sini walau sedikit. Nanti kamu sakit."
"Tidak Bu, aku buru-buru."
Anak muda bernama Ardi itu keluar membawa mobilnya ke sebuah pesta ulang tahun teman perempuannya. Mereka berpesta hingga larut. Pukul 02.00 Ardi pulang, kemudian masuk kamar, dan tidur.
Sungguh kejadian luar biasa itu tak terduga. Dan terjadi amat cepat. Rumah bergetar. "Ada guncangan..." teriak Ardi dalam hati, dalam mimpi. "Ada guncangan..." teriaknya sekali lagi dalam keadaan setengah tidur.
"Gempa..." ia terhenyah dan bangun seketika.
Dinding-dinding retak dan patah. Lampu padam dan gelap. Suara kaca pecah. Suara jerit kepanikan.
Ardi panik. Dinding dan plafon rumahnya runtuh. Ia tertimpa di bawahnya. Ardi selamat. Ia masih mampu bernapas dan bertahan hidup. Dia tahu ini bencana alam. Ini bencana. Ada gempa bumi!
Dia teringat orang tua dan adik-adiknya. Bagaimana keadaan mereka?
Ardi tak dapat bergerak di bawah reruntuhan rumahnya.
Ardi tak dapat bergerak. Kaki sebelah kakannya terjepit reruntuhan. Reruntuhan beton yang tak dapat disingkirkan.
Dia berteriak. Menjerit. Rasa sakit menderanya.
Seorang lelaki muda menemukannya. Dia menolong Ardi, tapi ia tak mampu mengangkat beban yang amat berat itu sendirian. Dia berusaha sekuat tenaga, tapi beban tersebut sulit disingkirkan dengan tenaga manusia. Lelaki muda itu tak berdaya. Lelaki muda itu kasihan melihatnya.
"Tolonglah, Pak. Bantu saya, kaki saya sakit sekali. Saya ingin segera keluar dari tempat ini. Saya takut ada gempa lagi. Tolong saya..."
"Saya sudah berusaha sekuat tenaga, tapi beban itu sangat berat. Saya akan berusaha mencari bantuan dulu."
"Tunggu, Pak. Kalau cari bantuan akan sangat lama. Saya minta tolong, ambilkan saya gergaji tangan di sekitar tempat ini."
"Gergaji tangan buat apa?"
"Saya sudah tak kuat, Pak. Kaki saya hancur, saya tak bisa berjalan lagi. Lebih baik saya memotongnya dan melepaskan diri sekarang dari tempat ini."
"Jangan berbuat nekat begitu, Nak. Kita cari cara lain."
"Tolonglah Pak, tak ada cara lain. Saya sudah tak kuat."
Lelaki muda itu bimbang. Ia tak tega membiarkan anak muda itu memotong kakinya sendiri. Sementara ia juga tak tega melihatnya merintih menahan kesakitan sepanjang hari di antara reruntuhan rumah.
"Tolonglah saya, Pak. Lepaskan saya dari penderitaan ini. Saya akan sangat berterima kasih jika bapak mau membantu saya."
Akhirnya dengan perasaan bimbang lelaki itu menuruti permintaan Ardi. Namun ia tak tega menyaksikan peristiwa mengerikan itui: seorang anak muda memotong kakinya sendiri.
Beberapa saat setelah puing.
Semua merasakan getarannya. Bahkan mereka sempat terbangun dan berteriak membangunkan semua keluarga, kemudian berhamburan keluar rumah.
Beberapa hari setelah puing.
Seorang anak muda menangis manatap puing-puing rumahnya, meratapi ketiadaan orang tuanya. Mengenang masa indah, mengenang suasana rumah yang selama ini ia abaikan. Selama ini ia selalu sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Ardi tak dapat berebutan bantuan seperti yang dilakukan oleh orang-orang. Banyak orang-orang telantar dan kelaparan.
Beberapa hari setelah gempa, sering terjadi penjarahan. Mereka menggunakan kesempatan untuk mencari barang-barang berharga.
Ardi merindukan rumah, merindukan suasana rumah. Merindukan kekuarga, merindukan kebersamaan keluarga. Dia ingin punguti puing-puing berserakan agar terobati hatinya.
Ardi teringat cerita ibunya tentang kampung yang subur dan makmur ketika kecil dulu. Dia merindukan kebersamaan seperti yang diceritakan ibunya.
Angin sore yang gersang berembus kencang. Ada sekelumit hati yang merindukan masa silam. Manginginkan masa yang tak dapat diputar lagi.
Puing-puing itu makin luas terhampar, seolah tak habis-habis.
Kotaagung, 2010
Lampung Post, Minggu, 9 Mei 2010
ADA sekelumit hati yang merindukan rumah. Merindukan sebuah bangunan yang bisa ditinggali bersama keluarga. Tapi kapankah? Bukankah harapan itu hanya sia-sia. Karena tak ada lagi orang tua, tak ada lagi suasana rumah seperti dulu. Tak ada kenangan masa kecil. Segalanya telah runtuh menjadi puing.
Dia--seorang anak muda, melihat puing-puing berserakan. Di mana-mana. Di wajah orang tua. Di tanah kering. Ombak pecah jadi puing. Ranting patah jadi puing. Air mata luruh jadi puing. Hujan jatuh jadi puing. Sengketa usai jadi puing. Tawa berderai jadi puing.
Dia ingin punguti satu per satu serakan puing. Namun tak kan pernah usai.
***
Beberapa hari sebelum puing, di sebuah kampung.
Musim subur. Bunga-bunga mekar, rumput-rumput hijau, burung-burung berkicau, dahan-dahan kukuh, buah-buah ranum. Seorang anak lelaki dan perempuan berlarian di halaman.
"Nak, jangan jauh-jauh mainnya."
"Ya, Bu. Kami takkan jauh."
"Lebih baik tengoklah ayahmu di ladang, antar makanannya. Jangan lupa bawa sayuran yang dipetik ayahmu."
"Baik, Bu." Sang anak melaksanakan perintah ibunya.
Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.
"Gantilah pakaianmu, kita akan ke pasar sekarang."
"Ke pasar mau membeli apa, Bu?"
"Mau beli bumbu masakan dan peralatan lain."
"Baik, Bu."
Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.
"Bujang, mari kita ke laut menangkap ikan."
"Bawa pancing, Yah?"
"Bawa tombak dan panah saja."
Lalu ayah dan anak itu berangkat ke laut, menyusuri garis pantai, menombak, dan memanah ikan-ikan besar.
"Sudah cukupkah ini, Yah?"
"Cukup. Dengan ikan sebanyak ini kita bisa membagi pada tetangga. Walaupun kita masih bisa dapat ikan lebih banyak, tapi kita harus memikirkan hari esok dan lusa. Biarkan ikan-ikan itu bertambah besar dan beranak-pinak lagi."
"Mari kita pulang, Yah?"
"Ya, mari kita pulang."
Keduanya pulang membawa sekeranjang besar ikan-ikan segar. Sebagian diberikan pada tetangga, sebagian dimasak oleh perempuan di rumah. Lalu disiapkanlah makanan dan hidangan untuk makan malam yang akan disantap bersama seluruh keluarga di rumah besar ini.
Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.
"Mari kita ke hutan, Nak."
"Untuk apa, Yah?"
"Kita akan berburu kijang atau menjangan."
"Kita bawa senapan?"
"Tidak usah. Bawa perangkap saja. Senapan akan menakut-nakuti mereka."
Keduanya berangkat menyusuri tepi hutan mencari jejak binatang buruan, kemudian memasang perangkap di balik semak. Tak perlu waktu lama, seekor menjangan terjerat dalam perangkap.
"Cukupkah satu ini saja, Yah?"
"Cukup. Biarkan yang lain hidup tenang di dalam hutan, tumbuh besar dan bertambah banyak lagi."
Keduanya pulang memikul seekor menjangan. Sampai di depan rumah, menjangan disembelih dan disaksikan orang ramai. Banyak anak-anak yang menonton. Sebagian daging dibagikan. Sebagian dimasak untuk makanan esok dan hidangan seluruh keluarga nanti malam.
Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.
"Mari kita ke kebun, Nak."
"Mau mengambil apa, Yah?"
"Kita akan mengambil buah jeruk, pisang dan ubi buat esok dan hidangan nanti malam."
Keduanya berangkat ke kebun, memetik buah jeruk, menebang pohon pisang dan menggali ubi. Semuanya dimasukkan ke masing-masing keranjang.
"Cukupkah ini, Yah?"
"Cukup. Biarkan yang lain untuk esok lusa. Cabuti rumput di dekat pohon jeruk dan pisang itu, biar mereka juga berterima kasih dan berbuah banyak. Tanami lagi ubi yng sudah dicabuti."
"Baik, Yah."
Malamnya seluruh keluarga berkumpul di sebuah ruang besar, menghadapi hidangan makan malam. Tertata dan tersaji mengundang selera: sop dan sate menjangan, ikan dengan beraneka menu, sayur dan buah-buahan. Mereka makan malam dengan bahagia dan keakraban keluarga.
***
Beberapa jam sebelum puing, di sebuah pusat kota.
Seorang anak muda turun dari atas tangga dengan terburu-buru.
"Ardi. Kau sudah makan, Nak?"
"Belum, nanti aku makan di luar saja. Teman-temanku sudah menunggu, Bu."
"Makan dulu di sini walau sedikit. Nanti kamu sakit."
"Tidak Bu, aku buru-buru."
Anak muda bernama Ardi itu keluar membawa mobilnya ke sebuah pesta ulang tahun teman perempuannya. Mereka berpesta hingga larut. Pukul 02.00 Ardi pulang, kemudian masuk kamar, dan tidur.
Sungguh kejadian luar biasa itu tak terduga. Dan terjadi amat cepat. Rumah bergetar. "Ada guncangan..." teriak Ardi dalam hati, dalam mimpi. "Ada guncangan..." teriaknya sekali lagi dalam keadaan setengah tidur.
"Gempa..." ia terhenyah dan bangun seketika.
Dinding-dinding retak dan patah. Lampu padam dan gelap. Suara kaca pecah. Suara jerit kepanikan.
Ardi panik. Dinding dan plafon rumahnya runtuh. Ia tertimpa di bawahnya. Ardi selamat. Ia masih mampu bernapas dan bertahan hidup. Dia tahu ini bencana alam. Ini bencana. Ada gempa bumi!
Dia teringat orang tua dan adik-adiknya. Bagaimana keadaan mereka?
Ardi tak dapat bergerak di bawah reruntuhan rumahnya.
***
Ardi tak dapat bergerak. Kaki sebelah kakannya terjepit reruntuhan. Reruntuhan beton yang tak dapat disingkirkan.
Dia berteriak. Menjerit. Rasa sakit menderanya.
Seorang lelaki muda menemukannya. Dia menolong Ardi, tapi ia tak mampu mengangkat beban yang amat berat itu sendirian. Dia berusaha sekuat tenaga, tapi beban tersebut sulit disingkirkan dengan tenaga manusia. Lelaki muda itu tak berdaya. Lelaki muda itu kasihan melihatnya.
"Tolonglah, Pak. Bantu saya, kaki saya sakit sekali. Saya ingin segera keluar dari tempat ini. Saya takut ada gempa lagi. Tolong saya..."
"Saya sudah berusaha sekuat tenaga, tapi beban itu sangat berat. Saya akan berusaha mencari bantuan dulu."
"Tunggu, Pak. Kalau cari bantuan akan sangat lama. Saya minta tolong, ambilkan saya gergaji tangan di sekitar tempat ini."
"Gergaji tangan buat apa?"
"Saya sudah tak kuat, Pak. Kaki saya hancur, saya tak bisa berjalan lagi. Lebih baik saya memotongnya dan melepaskan diri sekarang dari tempat ini."
"Jangan berbuat nekat begitu, Nak. Kita cari cara lain."
"Tolonglah Pak, tak ada cara lain. Saya sudah tak kuat."
Lelaki muda itu bimbang. Ia tak tega membiarkan anak muda itu memotong kakinya sendiri. Sementara ia juga tak tega melihatnya merintih menahan kesakitan sepanjang hari di antara reruntuhan rumah.
"Tolonglah saya, Pak. Lepaskan saya dari penderitaan ini. Saya akan sangat berterima kasih jika bapak mau membantu saya."
Akhirnya dengan perasaan bimbang lelaki itu menuruti permintaan Ardi. Namun ia tak tega menyaksikan peristiwa mengerikan itui: seorang anak muda memotong kakinya sendiri.
***
Beberapa saat setelah puing.
Semua merasakan getarannya. Bahkan mereka sempat terbangun dan berteriak membangunkan semua keluarga, kemudian berhamburan keluar rumah.
***
Beberapa hari setelah puing.
Seorang anak muda menangis manatap puing-puing rumahnya, meratapi ketiadaan orang tuanya. Mengenang masa indah, mengenang suasana rumah yang selama ini ia abaikan. Selama ini ia selalu sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Ardi tak dapat berebutan bantuan seperti yang dilakukan oleh orang-orang. Banyak orang-orang telantar dan kelaparan.
Beberapa hari setelah gempa, sering terjadi penjarahan. Mereka menggunakan kesempatan untuk mencari barang-barang berharga.
Ardi merindukan rumah, merindukan suasana rumah. Merindukan kekuarga, merindukan kebersamaan keluarga. Dia ingin punguti puing-puing berserakan agar terobati hatinya.
Ardi teringat cerita ibunya tentang kampung yang subur dan makmur ketika kecil dulu. Dia merindukan kebersamaan seperti yang diceritakan ibunya.
Angin sore yang gersang berembus kencang. Ada sekelumit hati yang merindukan masa silam. Manginginkan masa yang tak dapat diputar lagi.
Puing-puing itu makin luas terhampar, seolah tak habis-habis.
Kotaagung, 2010
Lampung Post, Minggu, 9 Mei 2010
Sunday, May 2, 2010
Sigi Piningit
Cerpen S.W. Teofani
INI adalah masa sulit hidupku. Melewati dua belas tahun usiaku, menjadi petaka bagi ruhaniku yang haus pengetahuan. Saatnya kutinggalkan semua kenang di puri kebijaksanaan. Dipaksa usai memamah hikmah menjadi duka yang tak ku suka. Saat paling mengerikan yang tak pernah kuharapkan kehadirannya. Aku harus berdiam di balik tembok-tembok keangkuhan adat yang menandaskan seluruh cita. Menaati tradisi yang tak kumengerti.
Akan kuhapus kelebat rasa yang membuatku duka. Saat aku dan teman-temanku yang berkulit putih menumbuk biji-biji pemahaman dari guru-guru kami yang bestari. Bagi teman-teman wanita sebangsaku, yang dipasung rigit tradisi, mendedah ilmu tidak mengundang keriaan. Tapi bagiku, yang telah diajarkan menatap dan merasai indahnya cahaya mentari, meninggalkan jendela pengetahuan laksana mandapati gerhana purna.
Apalah arti siang hari, jika surya tertutup bayang-bayang bumi.
Aku merana seorang. Sekelilingku tak memahami dukaku. Bagaimana aku akan menceritakan sulitnya hidup dalam kegelapan, jika gelap itu mereka anggap benderang. Dan kini aku dipaksa menerima semua sebagaimana mereka menerimanya. Mampukah aku legowo pada kenyataan? Dapatkah aku mengamini telikung tradisi sebagai kebenaran jika telah kurasai indahnya kebebasan mengenyam pengetahuan? Akankah kuanggap dunia selebar kamar, sementara kutahu banyak negeri-negeri maju di belahan bumi yang jauh. Kulempangkan kaki, kutuju pintu agar terbebas impit pingit, tapi pintu itu selalu terkunci. Sedang anak kaitnya terlempar di samudera ketidaktahuan.
Hari terakhir manuju rumah pengetahuan menjadi saat paling memilukan. Kuhitung tapak demi tapak dengan dada sesak. Tiap pijak mewakili hari-hari yang sudah, penuh damba sampai ke sekolah. Bertukar pikir dengan gairah tiada menyerah.
Ingin kukembalikan seluruh mula yang mengenalkanku pada bangku-bangku ilmu. Agar tak kurisaukan datangnya hari ini. Hari perpisahan. Berpisah dengan teman-teman, terlepas dari para pengajar. Terberai dari cahaya kehidupan. Meninggalkan jajaran kursi yang menjadi saksi setiap ilmu yang kusigi. Melupa halaman sekolah, syahadah segala ria bersama teman sebaya. Tapi yang lebih memilukan, berpisah dari pelajaran-pelajaran yang mencerahkan.
Aku peluk guru dan teman-temanku satu per satu. Dengan dekap bayi yang takut kehilangan ibu. Ibu kehidupan, yang mengasuh anak-anaknya menjadi manusia purna. Aku bukan sekadar memeluk tubuh-tubuh itu, melainkan roh yang senantiasa berpijar oleh nyala pengetahuan.
Setelah ini, aku akan menjalani hari-hariku yang sunyi. Merentang dari tembok ke pagar, meniti hari dari sunyi ke sepi. Mananti temali takdir yang semakin menelikung seluruh ingin.
Aku mencoba menerima apa-apa yang bisa disangga wanita-wanita Jawa. Berdiam tanpa kata, bergeming tanpa cita. Mengiyakan apa-apa yang digariskan leluhur tanpa bisa mempertanyakannya. Mengamini tradisi dan membiarkan nurani mati.
Sehari demi seputaran mentari waktu kurambati. Pergantian masa kurasa begitu lama. Kubunuh jenuh dengan buku-buku dari Kanjeng Romo. Tapi seberapalah arti buku-buku, tanpa bimbingan sang guru. Kepada siapa aku tanyakan makna-makna di balik isinya. Biasakah si buta berjalan tanpa tongkatnya. Luruskah berjalan di pekat malam tanpa pelita.
Aku begitu cemburu pada teman-teman Eropaku, juga kangmas-kangmasku. Mereka bisa menumbuk pengetahuan ke mana saja, kenapa aku tidak? Meski aku terlahir sebagai Jawa, pelajaranku tak tertinggal dengan mereka yang Eropa. Sekalipun aku wanita, daya tangkapku tak kalah dengan para pria. Apa salahku terlahir sebagai Jawa? Apa yang tidak benar dengan kodratku sebagai wanita?
Aku tak kan membiarkan diri dilumat tradisi begitu lama. Ada gelap berarti ada cahaya. Ada tembok berarti ada cela. Dan, di hati Kanjeng Romo kuharapkan cahaya kasih itu. Pada jiwanya kudamba celah baru.
Kanjeng Romo... ya... hanya Kanjeng Romo yang sangat tahu gejolak manah-ku. Padanya selalu kucurahkan segala ingin. Kanjeng Romo yang mengerti kedalaman batinku. Padanya kusandarkan patahan jiwa.
Kanjeng Romolah yang mengenalkanku indahnya pengetahuan. Meski semua menjadi pertentangan karena melawan kelaziman.
Di sini, di bumi Jawa ini, tak terhormat wanita ningrat membawa senjata kertas dan pena. Seorang raden ajeng diajar menjadi wanita sumarah; nerimo, selalu diam dan tersenyum, meski hatinya tercabik sidik. Seorang raden ajeng dididik meredam dendam, memendam keinginan-keinginan, meski hatinya terluka purna.
Karena kelak, ketika dia menjadi raden ayu, semua akan berguna, ketika dia memanen luka demi luka. Saat menyaksikan suaminya membawa pulang perempuan lain tanpa persetujuannya. Dia harus menerima dengan senyum pembungkus hatinya yang lara. Memendam sakit demi citranya. Berapa pun selir di kediamanya, tak boleh ada yang menyaksikan pedih batinnya. Raden ayu dipaksa menerima semua sebagai ketentuan yang tak bisa dipertanyakan keadilannya.
Raden ayu...raden ayu, engkau manusia kayu. Terlahir untuk merawat ayu, sementara sukmamu tercerabut hingga layu. Dan Kanjeng Romo tak membiarkan aku menjadi raden ayu tanpa bekal ilmu. Kanjeng Romo juga yang memberiku setiap buku-buku yang kumau. Untuk menemani setiap hari yang berwarna sunyi.
Oh... Kanjeng Romo, begitu berartinya dirimu. Andai ku tak memiliki Romo sepertimu, mungkin telah tandas jiwa ini dalam keputusasaan. Kau sirami jiwaku dengan piwulang agung. Tak kau biarkan otakku beku diselubungi adat yang kaku. Tak kau biarkan putrimu mencecap gelap di bilik-bilik nestapa. Meski kau harus menjadi bahan gunjingan banyak orang, karena membiarkan anak perempuanmu melompati pagar tradisi.
Kepadanya kini akan kuwedarkan inginku. Segugus cita menuju menara budi, melanjutkan memamah pengetahuan. Bersanding dengan bangsa kulit putih, duduk tanpa tunduk, berdiri menjajar diri. Aku akan menyusul kangmas-kangmasku. Untuk beradu pikir, mendedah cakrawala batin. Akan kuyakinkan Kanjeng Romo, aku akan belajar sebaik-baiknya. Tidak akan mempermalukannya, membawa serta buah ilmu yang membanggakannya.
Kutemui Kanjeng Romo di singgasana agungnya. Kuberjalan dodok menghampiri. Setapak demi setindak ku mendekat. Setiap depa adalah sekumpulan pahatan doa. Berharap penuh Kanjeng Romo memberi restu. Meski tundukku setakzim gending, kutahu, Kanjeng Romo sedang menatap kebanggaan hatinya dengan kasih. Sampai di hadapan Kanjeng Romo, kutandaskan seba. Disambutnya sembahku dengan senyum tulus. Aku mendekat, hingga rapat pada helanya yang menenteramkan.
Kukatupkan tangan di atas kedua lututku. Kuberanikan menatap kedalaman jiwanya. Sepenuh damba ku bermohon padanya. Meski tersimpan telaga kekhawatiran di sana. Seorang wanita, raden ajeng pula, bisa mencecap sekolah dasar, sudah luar biasa. Tapi aku menawar lebih. Sebab kutahu, sekolah dasar saja tak memenuhi dahaga jiwa. Meski aku juga tahu, Kanjeng Romo pasti didera caci jika mengizinkannya. Rautku penuh harap, sebanding bayi mendamba puting ibunya.
Setelah haturku usai, detik kurasa begitu lama. Ruang melampaui kesunyian angkasa. Kutahan napas demi mananti jawab yang menentukan. Detak jantungku menyamai roda kereta. Kuberhenti bernapas beberapa jeda. Kurasai tangan kukuh Kanjeng Romo mengusap kepala. Menyibakkan anak rambutku sepenuh tulus. Membelai mahkota dengan nada jiwa, tapi tak cukup menenangkan sukma. Karena hatiku menanti jawaban dari pertanyaan yang menentukan. Menentukan nasibku, hari depanku, hidupku, dan bahagiaku.
Akhirnya yang kutunggu datang juga. Dengan kelembutan sempurna, diperdengarkannya jawaban yang kunantikan.
"Tidak!"
Jatiagung, April 2010
* Ditulis berdasar surat R.A. Kartini kepada Nyonya Abendanon, bertarikh Agustus 1900
** Untuk Mamak tersayang, wanita pertama yang "mengenalkanku" pada R.A. Kartini
Lampung Post, Minggu, 2 Mei 2010
INI adalah masa sulit hidupku. Melewati dua belas tahun usiaku, menjadi petaka bagi ruhaniku yang haus pengetahuan. Saatnya kutinggalkan semua kenang di puri kebijaksanaan. Dipaksa usai memamah hikmah menjadi duka yang tak ku suka. Saat paling mengerikan yang tak pernah kuharapkan kehadirannya. Aku harus berdiam di balik tembok-tembok keangkuhan adat yang menandaskan seluruh cita. Menaati tradisi yang tak kumengerti.
Akan kuhapus kelebat rasa yang membuatku duka. Saat aku dan teman-temanku yang berkulit putih menumbuk biji-biji pemahaman dari guru-guru kami yang bestari. Bagi teman-teman wanita sebangsaku, yang dipasung rigit tradisi, mendedah ilmu tidak mengundang keriaan. Tapi bagiku, yang telah diajarkan menatap dan merasai indahnya cahaya mentari, meninggalkan jendela pengetahuan laksana mandapati gerhana purna.
Apalah arti siang hari, jika surya tertutup bayang-bayang bumi.
Aku merana seorang. Sekelilingku tak memahami dukaku. Bagaimana aku akan menceritakan sulitnya hidup dalam kegelapan, jika gelap itu mereka anggap benderang. Dan kini aku dipaksa menerima semua sebagaimana mereka menerimanya. Mampukah aku legowo pada kenyataan? Dapatkah aku mengamini telikung tradisi sebagai kebenaran jika telah kurasai indahnya kebebasan mengenyam pengetahuan? Akankah kuanggap dunia selebar kamar, sementara kutahu banyak negeri-negeri maju di belahan bumi yang jauh. Kulempangkan kaki, kutuju pintu agar terbebas impit pingit, tapi pintu itu selalu terkunci. Sedang anak kaitnya terlempar di samudera ketidaktahuan.
Hari terakhir manuju rumah pengetahuan menjadi saat paling memilukan. Kuhitung tapak demi tapak dengan dada sesak. Tiap pijak mewakili hari-hari yang sudah, penuh damba sampai ke sekolah. Bertukar pikir dengan gairah tiada menyerah.
Ingin kukembalikan seluruh mula yang mengenalkanku pada bangku-bangku ilmu. Agar tak kurisaukan datangnya hari ini. Hari perpisahan. Berpisah dengan teman-teman, terlepas dari para pengajar. Terberai dari cahaya kehidupan. Meninggalkan jajaran kursi yang menjadi saksi setiap ilmu yang kusigi. Melupa halaman sekolah, syahadah segala ria bersama teman sebaya. Tapi yang lebih memilukan, berpisah dari pelajaran-pelajaran yang mencerahkan.
Aku peluk guru dan teman-temanku satu per satu. Dengan dekap bayi yang takut kehilangan ibu. Ibu kehidupan, yang mengasuh anak-anaknya menjadi manusia purna. Aku bukan sekadar memeluk tubuh-tubuh itu, melainkan roh yang senantiasa berpijar oleh nyala pengetahuan.
Setelah ini, aku akan menjalani hari-hariku yang sunyi. Merentang dari tembok ke pagar, meniti hari dari sunyi ke sepi. Mananti temali takdir yang semakin menelikung seluruh ingin.
Aku mencoba menerima apa-apa yang bisa disangga wanita-wanita Jawa. Berdiam tanpa kata, bergeming tanpa cita. Mengiyakan apa-apa yang digariskan leluhur tanpa bisa mempertanyakannya. Mengamini tradisi dan membiarkan nurani mati.
Sehari demi seputaran mentari waktu kurambati. Pergantian masa kurasa begitu lama. Kubunuh jenuh dengan buku-buku dari Kanjeng Romo. Tapi seberapalah arti buku-buku, tanpa bimbingan sang guru. Kepada siapa aku tanyakan makna-makna di balik isinya. Biasakah si buta berjalan tanpa tongkatnya. Luruskah berjalan di pekat malam tanpa pelita.
Aku begitu cemburu pada teman-teman Eropaku, juga kangmas-kangmasku. Mereka bisa menumbuk pengetahuan ke mana saja, kenapa aku tidak? Meski aku terlahir sebagai Jawa, pelajaranku tak tertinggal dengan mereka yang Eropa. Sekalipun aku wanita, daya tangkapku tak kalah dengan para pria. Apa salahku terlahir sebagai Jawa? Apa yang tidak benar dengan kodratku sebagai wanita?
Aku tak kan membiarkan diri dilumat tradisi begitu lama. Ada gelap berarti ada cahaya. Ada tembok berarti ada cela. Dan, di hati Kanjeng Romo kuharapkan cahaya kasih itu. Pada jiwanya kudamba celah baru.
Kanjeng Romo... ya... hanya Kanjeng Romo yang sangat tahu gejolak manah-ku. Padanya selalu kucurahkan segala ingin. Kanjeng Romo yang mengerti kedalaman batinku. Padanya kusandarkan patahan jiwa.
Kanjeng Romolah yang mengenalkanku indahnya pengetahuan. Meski semua menjadi pertentangan karena melawan kelaziman.
Di sini, di bumi Jawa ini, tak terhormat wanita ningrat membawa senjata kertas dan pena. Seorang raden ajeng diajar menjadi wanita sumarah; nerimo, selalu diam dan tersenyum, meski hatinya tercabik sidik. Seorang raden ajeng dididik meredam dendam, memendam keinginan-keinginan, meski hatinya terluka purna.
Karena kelak, ketika dia menjadi raden ayu, semua akan berguna, ketika dia memanen luka demi luka. Saat menyaksikan suaminya membawa pulang perempuan lain tanpa persetujuannya. Dia harus menerima dengan senyum pembungkus hatinya yang lara. Memendam sakit demi citranya. Berapa pun selir di kediamanya, tak boleh ada yang menyaksikan pedih batinnya. Raden ayu dipaksa menerima semua sebagai ketentuan yang tak bisa dipertanyakan keadilannya.
Raden ayu...raden ayu, engkau manusia kayu. Terlahir untuk merawat ayu, sementara sukmamu tercerabut hingga layu. Dan Kanjeng Romo tak membiarkan aku menjadi raden ayu tanpa bekal ilmu. Kanjeng Romo juga yang memberiku setiap buku-buku yang kumau. Untuk menemani setiap hari yang berwarna sunyi.
Oh... Kanjeng Romo, begitu berartinya dirimu. Andai ku tak memiliki Romo sepertimu, mungkin telah tandas jiwa ini dalam keputusasaan. Kau sirami jiwaku dengan piwulang agung. Tak kau biarkan otakku beku diselubungi adat yang kaku. Tak kau biarkan putrimu mencecap gelap di bilik-bilik nestapa. Meski kau harus menjadi bahan gunjingan banyak orang, karena membiarkan anak perempuanmu melompati pagar tradisi.
Kepadanya kini akan kuwedarkan inginku. Segugus cita menuju menara budi, melanjutkan memamah pengetahuan. Bersanding dengan bangsa kulit putih, duduk tanpa tunduk, berdiri menjajar diri. Aku akan menyusul kangmas-kangmasku. Untuk beradu pikir, mendedah cakrawala batin. Akan kuyakinkan Kanjeng Romo, aku akan belajar sebaik-baiknya. Tidak akan mempermalukannya, membawa serta buah ilmu yang membanggakannya.
Kutemui Kanjeng Romo di singgasana agungnya. Kuberjalan dodok menghampiri. Setapak demi setindak ku mendekat. Setiap depa adalah sekumpulan pahatan doa. Berharap penuh Kanjeng Romo memberi restu. Meski tundukku setakzim gending, kutahu, Kanjeng Romo sedang menatap kebanggaan hatinya dengan kasih. Sampai di hadapan Kanjeng Romo, kutandaskan seba. Disambutnya sembahku dengan senyum tulus. Aku mendekat, hingga rapat pada helanya yang menenteramkan.
Kukatupkan tangan di atas kedua lututku. Kuberanikan menatap kedalaman jiwanya. Sepenuh damba ku bermohon padanya. Meski tersimpan telaga kekhawatiran di sana. Seorang wanita, raden ajeng pula, bisa mencecap sekolah dasar, sudah luar biasa. Tapi aku menawar lebih. Sebab kutahu, sekolah dasar saja tak memenuhi dahaga jiwa. Meski aku juga tahu, Kanjeng Romo pasti didera caci jika mengizinkannya. Rautku penuh harap, sebanding bayi mendamba puting ibunya.
Setelah haturku usai, detik kurasa begitu lama. Ruang melampaui kesunyian angkasa. Kutahan napas demi mananti jawab yang menentukan. Detak jantungku menyamai roda kereta. Kuberhenti bernapas beberapa jeda. Kurasai tangan kukuh Kanjeng Romo mengusap kepala. Menyibakkan anak rambutku sepenuh tulus. Membelai mahkota dengan nada jiwa, tapi tak cukup menenangkan sukma. Karena hatiku menanti jawaban dari pertanyaan yang menentukan. Menentukan nasibku, hari depanku, hidupku, dan bahagiaku.
Akhirnya yang kutunggu datang juga. Dengan kelembutan sempurna, diperdengarkannya jawaban yang kunantikan.
"Tidak!"
Jatiagung, April 2010
* Ditulis berdasar surat R.A. Kartini kepada Nyonya Abendanon, bertarikh Agustus 1900
** Untuk Mamak tersayang, wanita pertama yang "mengenalkanku" pada R.A. Kartini
Lampung Post, Minggu, 2 Mei 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)