Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim
TIBA-TIBA saja Nunung terjangkit penyakit diam. Rekan-rekan indekosnya sempat dibikin celingukan. Selama ini ia dikenal sebagai gadis yang lincah, periang, dan teramat mudah untuk beradaptasi. Di mana ada Nunung, disitulah terjadi suasana gelak tawa meledak-ledak. Namun, sampai sore ini ia masih diam seribu bahasa. Bahkan berbagai permintaan pengisian acara juga ditolaknya tanpa berkomentar apa-apa.
Nunung memang tergolong gadis serbabisa. Ia pernah menjuarai lomba karaoke, aktris teater, dan deklamator terbaik tingkat daerah, maupun lomba-lomba pada tingkat nasional. Belum lagi grup musiknya yang sudah demikian kondang. Dari seringnya ia mengisi acara dan show kemana-mana itulah, rekan-rekannya menjulukinya gadis balcony.
Tentu saja Nunung tidak memperoleh semuanya itu dengan begitu saja. Segalanya telah diperjuangkannya sejak kecil dengan pengorbanan yang tidaklah sedikit; pengorbanan waktu, tenaga, dan tentu saja pengorbanan biaya. Demikian kehendak orang tuanya, agar kelak ia menjadi seorang gadis yang dapat menaklukkan balcony. Dan ia sama sekali tidak menolaknya, sebab Nunung memang mempunyai kehendak yang sama. Sehingga hampir tiada waktu yang tersisa di masa-masa kecilnya.
Dan kini semuanya telah teraih. Hampir tiap malam ia tak pernah ada di rumah indekosnya. Mulai dari permintaan baca puisi di pertemuan-pertemuan resmi kampus, sampai dunia tarik suara. Maklum ia menguasai hampir seluruh lagu-lagu dari jenis pop, keroncong, sampai pada irama musik dangdut yang sekarang lagi tren. Padahal hampir setiap pagi ia harus pergi ke kampus studinya.
Tapi apa makna dari semua ini bagi Nunung? Ia sudah demikian jauh dengan gebyar sorak-sorai warna tepukan. Toh perjalanan pentas tak pernah menemui ujungnya. Bagai meneguk air lautan; semakin direguk makin bertambah haus saja. Lalu sampai di manakah bakal menemukan batas balcony itu.
Tak terasa air matanya meleleh mengaliri pucat pipinya dengan seribu kegalauan. Air mata ketakpastian. Sebab, dari dunia balcony inilah Nunung membiayai seluruh bekal yang diperlukan dalam menyangga hidupnya. Rasanya ia tak bisa meninggalkan begitu saja dunianya. Namun, rasanya ia juga tak bisa terus menerus mengikuti begitu saja dunia yang kini mengalirinya.
�Tidak usah menangis Nunung��.,� sergah Ipah, teman kampus sefakultasnya yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya. �Sebab, tangisan itu hanyalah sebuah kesia-siaan yang tertunda.�
�Aku lagi kalut, Pah���..�
�Dari kesempitanlah manusia bisa menciptakan kesempatan.�
�Aku serius, Pah. Aku butuh bantuan untuk mencari jawaban.�
�Lebih baik terlebih dahulu memahami pertanyaan dari pada mencari jawaban��..�
�Ah, Ipah. Aku tidak main-main. Besok di kampus saja kuladeni kamu untuk berilusi-ria memperdebatkan soal-soal filsafat!�
�Hi�hi�hi��Nunung�Nunung. Rupanya gadis semacam kamu masih juga memiliki waktu untuk bersedih.�
�Ipah, kiranya aku segera meninggalkan dunia balcony-ku.�
�Jangan tergesa-gesa kamu memutuskan seperti itu, Nung.�
�Apalagi yang harus kucari? Nama besar? Ketenaran? Pujian? Huh! Semuanya hanya penipuan yang terselubung. Pada kesenian sulit kutemukan kebersahajaan diri, ketulusan hidup, dan kejujuran. Ternyata seni cuma mengajariku untuk mengerti apa itu waktu. Tetapi tak pernah mengajariku untuk memahami apa itu ruang.�
�Kemudian apa yang kau perbuat?�
�Diam, barangkali.�
�Diam itu kematian, Nung!�
�Apa beda jalan diam dan jalan gerak?! Diam itu sebuah titik, Pah. Dan gerak adalah merupakan gabungan dari titik-titik itu. Lalu salahkah jika aku hendak menjadi hanya sebagian dari titik-titik itu?!�
�Kenapa tidak kita gunakan kesempatan saat orang masih mau mengasih kita peluang?�
�Diriku cuma tahu siapakah aku. Tapi aku yakin, kau tidak mengerti siapakah sebenarnya diriku ini��..!�
Keduanya diam. Tak seperti biasanya. Biasanya, gadis dwi tunggal ini selalu mengakhiri perdebatan dengan tawa ria. Atau jika permasalahannya belum selesai, keduanya berpesan untuk kapan bertemu kembali dengan saling mengerutkan wajah. Dan kali ini cuma kesedihan yang letih. Keduanya seakan baru tersadar.
Nunung seolah memahami kalau soal yang tengah dipermasalahkan adalah kenyataan hidup yang riil, bukan persoalan-persoalan realita academica yang bisa dijadikan bahan perdebatan dengan gadis calon filusuf ini. Demikian juga dengan Ipah, ia seakan baru memahami tantangan kejadian yang tengah menimpah sahabat karibnya. Dan kini keduanya mencoba sama-sama mengerti dalam diam.
Nunung sebenarnya tengah mendendam luka lama. Enam tahun silam, saat pertama kali ia menginjak kakinya ke Jakarta, adalah merupakan puncak-puncak kesedihan hidupnya. Beban kematian kedua orang tuanya yang cuma selisih beberapa bulan belum terobati, malah muncul luka hati yang sama sekali di luar perkiraannya; om dan tante yang turut membesarkannya malah akan menikahkan dirinya dengan salah seorang direktur muda dari sebuah perusahaan di Jakarta.
Padahal pada waktu itu ia baru duduk di kelas satu SMA. Maka dengan bekal pertengkaran yang berkepanjangan itulah, Nunung memutuskan dirinya untuk meninggalkan rumah om dan tantenya. Barangkali Jakarta lebih ramah dari Bandung yang kukuh dan angkuh. Dan nyatanya, Jakarta memang sedikit ramah ketimbang Bandung. Bahkan seluruh teman-teman dekatnya tak satu pun yang membenci kehadirannya. Sehingga hidupnya yang sebatangkara terasa lebih ramai dan penuh suasana keakraban. Bahkan Nunung telah menjadi pusat persahabatan.
Lalu untuk siapakah semua ini ia perjuangkan? Apakah perjalanan-perjalanan panjang kehidupannya ia pergunakan untuk meraih kemegahan hidup? Ataukah demi menciptakan sebuah gelas kaca yang akan dapat menampung segala kejanggalan luka dan dendam amarahnya?
Yang jelas, kini Nunung hendak menempuh jalan kedamaian. Ia sudah meraih kemegahan hidup bersama orang tuanya dulu dengan berlimpah harta dan benda. Sedang dengan luka yang lama, biarlah itu menjadi gugusan kenangan yang akan sirna tenggelam bersama kedamaian. Maka diputuskan untuk menjadikan hidup dengan cara yang diputuskannya sendiri.
Waktupun kian berlalu. Satu tahun sudah Nunung menjalani hidup dengan diam. Kini ia jarang sekali keluar kemana-mana. Nunung benar-benar sendiri bersama gemebyar kenangan masa lalunya dan barangkali dengan seonggok mimpi tentang esok dan lusa. Di kamarnya yang sunyi, ia hidup dengan hamparan luka hati dan jajaran ilusi.
Betapa tidak? Kesendirian Nunung ternyata tidak membuahkan kedamaian diri, melainkan sebuah keputusan yang terpendam barangkali. Ia hanyalah bak melempar sebuah kerikil ke dasar sungai yang berombak tenang dipermukaan. Terlempar jatuh ke dalam, untuk kemudian hilang tanpa masa depan. Buktinya Nunung makin hari bertambah kurus dengan wajah cekung ketua-tuaan.
�Apa sebenarnya yang kau cari, Nunung?� Teriak hatinya bimbang. Ternyata pada diamnya pun kau juga tak lebih paham. Kini kau bisa merasakannya sendiri bahwa sepi tak selamanya punya hati. Sepi ternyata tak menjanjikan ketenangan-ketenangan yang selama ini kau impikan. Kini kau mengerti kalau dalam kesunyian tak selalu menawarkan benih kedamaian. Bahkan sunyi kini telah membelenggumu dalam jarring-jaring kenyataan yang tak pernah kau fahami; Sebuah kenyataan semu di mana dirimu hanya hidup sebagai benda pasif yang tak tahu mana yang harus kau tentukan. Bagai memandang garis maya. Sebuah peta tentang jalan yang tanpa arah.
Kemudian apa makna kesendirianmu sampai kini? Bukankah ini arah surut yang buntu? Sebuah kematian di atas kematian jiwa raga? Sedang untuk meniti kembali setapak jalan lalumu, jelas merupakan sesuatu yang tak mungkin terwujud. Sebab kau sendiri telanjur membelanya dengan rasa benci.
�Apa yang tengah kau tangisi, Nung?!� tanya Ipah sambil mengangkat bahu Nunung secara lembut perlahan.
�Aku bingung, Pah. Ternyata hidup ini hanyalah jalanan ilusi yang berkepanjangan. Aku tak pernah menemukan kebahagiaan batinku sendiri. Dalam canda tawa ria���, dalam keramaian masa laluku, yang aku rasakan sebenarnya sebuah tangisan yang pahit di lubuk hatiku yang teramat dalam. Dan pada sunyi kesendiran pun ternyata masih tak kutemukan pula jiwa ketenteraman.�
�Nunung, keramaian, kesunyian, hanyalah permainan raga. Kita sering kali tak bisa menipu batin sendiri. Dalam keramaian tak jarang kita merasakan napas kesepian. Begitu pun dalam kesunyian, terkadang kita malah bergolak dengan deru batin kita sendiri.�
�Lalu kapan aku harus mendapatkannya��..?�
�Mintalah jawaban dari batinmu sendiri. Sebab dialah yang lebih mengerti. Bertanyalah kepadanya, benarkah dalam perjalanan kesendirianmu yang telah lalu adalah untuk mengejar kedamaian hidup? Ataukah sekadar untuk mengubur kelelapan masa lalumu?�
�Jika jawaban yang kedua, salahkah yang aku lakukan?! Aku sungguh-sungguh tak ingin kembali menjamah dunia balcony-ku yang sering kali menginjak-nginjak rasa kemanusiaanku sendiri. Aku ingin menjadi manusia apa adanya. Bukan dengan balcony yang kamuflase itu! Dan karena gejolak hatiku masih menjadi-jadi untuk meloncat-loncat pada dunia balcony-ku, terpaksa aku menyelesaikannya dengan rasa diam hingga semua rasa gejolak itu hilang.�
�Kau tak sedang menyelesaikannya, Nung. Tapi kau sedang mengakhirinya. Ingatlah Nung, sesuatu yang berusaha kita lupakan sebenarnya ia merupakan sesuatu yang paling sering kita ingat. Dan penyelesaian tidak harus dengan jalan meninggalkan segala-galanya. Kalau sesuatu itu bisa kita manfaatkan sebagai media kebenaran untuk bekal batin kita, mengapa harus kita tinggalkan?�
�Lalu apa yang harus aku lakukan, Pah?�
"Saya kira kamu lebih tahu daripada saya, Nung.�
Mendengar jawaban itu Nunung jadi diam kembali. Pikirnya, kalau dirinya tahu dengan apa yang dia perbuat, tentu tak bakalan dia menanyakan hal itu padanya. Dia sendiri tak tahu, kenapa Ipah tak mau menjawabnya dengan terus terang. Bahkan cenderung menmbelit-belit kata.
Kini ia tak mengeluarkan sepatah kata pun, hingga Ipah pamitan keluar. Dan Nunung pun hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar yang penuh dengan berbagai problematika yang tak kunjung menemukan jalan keluarnya.
Lama sekali Nunung berada dalam kesendirian semacam itu. Untung saja, di ujung kebimbangannya ibu indekosnya datang membawa segelas air rohani. Di elusnya rambut Nunung dengan penuh kasih sayang. Dan Nunung pun segera menyandarkan tubuhnya pada ibu indekos dengan manja, bagai seorang anak yang rindu kasih sayang ibunya.
�Apa yang sebenarnya terjadi, Nung?� tanya ibu indekosnya dengan suara khasnya yang menyejukkan.
�Entahlah, Bu. Saya benar-benar kalut. Dan saya kira Ibu sudah mengerti apa yang tengah saya alami.�
�Aku cuma mendengar sedikit dari Ipah. Tapi aku tak percaya jika orang seperiang kamu bisa mengalami hal semacam itu.�
�Apa yang dikatakan Ipah benar, Bu. Begitulah yang saya alami sekarang. Saya benar-benar dalam keadaan bingung, Bu���..�
�Mintalah jalan kepada Tuhan, Nung. Sebab Dialah yang tahu persis jalan yang akan mengantarmu ke dalam kedamaian. Dan senantiasalah ingat pada-Nya, niscaya kedamaian dan ketenteraman akan segera meliputi kehidupanmu.�
Nasihat yang bersahaja itu, di kalbu Nunung terasa bagai air penyejuk. Kata-kata itu mengalir ke seluruh celah-celah jiwanya. Sehingga ketulusan batin Nunung terpadu jadi satu dengan semilir angin kebersahajaan menyusuri hamparan ruang dirinya dengan sepercik harapan baru; sebuah semangat untuk menyongsong masa depan matahari yang bercahaya benderang dengan seperangkat senyum kejujuran.
Kini garis-garis peristiwa yang berkepanjangan itu telah usai dilaluinya. Semoga esok hari cahaya itu berwujud sesuai dengan yang berada di tabung kepalanya. Dan tak lagi jadi bayang-bayang yang justru menguburnya kediriannya.
Jakarta, 29 Maret 2010
Lampung Post, Minggu, 25 April 2010
Sunday, April 25, 2010
Sunday, April 18, 2010
Seruni
Cerpen Sunlie Thomas Alexander
DI Bubus tak ada wayang, selain ponton-ponton1 terus memanjang. Berjejer dari ujung ke ujung; dari lantai pantai hingga jauh ke tengah laut China Selatan. Membuat ombak yang biru berubah kecokelatan oleh solar, lumpur, dan sampah polutan.
Dan terkadang mereka saling menyalib. Entahlah, membuat ombak kian berbuih. Sehingga ketegangan pun sering terbangun diam-diam, memanas terpanggang matahari. Untung jarang terjadi perkelahian di tengah laut. Karena seperti pula para nelayan memelihara adat, mereka kukuh berpantang tak boleh berseteru di lautan. Sebab kau tahu, laut di mana pun sama-tak di Bubus, Buton, Makassar, Selat Sunda, atau pesisir Jawa-mengandung tuah, kutuk, dan amarah, bila yang mencari makan tak bertata krama!
Tatkala petang jatuh, kau pun bakal melihat pria-pria dengan tubuh sekokoh perunggu, kuyup, dan dekil mengusung pipa-pipa panjang dari arah laut, tentunya pula berkarung-karung pasir timah diseret turun dari ponton. Lalu malam akan bertandang tak ubahnya pasar malam. Warung-warung berjejer dengan aroma alkohol. Aneka permainan judi pun tergelar. Begitulah perempuan-perempuan muda dengan dandan menor berseliweran. Musik terus bergoyang. Langit tampak muram. Dan ponton-ponton di laut itu menjelma makhluk-makhluk asing yang berjaga di keremangan. Oh, dengarlah suara debur laut Bubus seperti mengisak tertahan! Ya kau benar, aku salah seorang perempuan penghibur di pantai ini. Namaku sebetulnya Seruni, tapi kau boleh memanggilku Selly...
Demikian aku menjalani hari-hariku di tepian pulau yang porak-poranda ini. Menjadi penawar kesepian pria-pria perunggu yang bernasib selegam bijih timah. Dari pelukan ke pelukan. Tentu, di kamar-kamar pengap belakang warung, di balik batu seperti sembunyi udang atau dalam perahu rusak tertambat gamang. Oh, terkadang, kau tahu, di atas ponton yang terapung-apung liar! Terombang ke kiri ke kanan. Kata mereka bibirku seranum perawan, tapi tentu saja aku janda kembang. Ah, di Bubus, kau tahu, semua bakal lampus!2
SUNGGUH, ponton-ponton itu terus memanjang. Kepada-Mu tentu aku mesti bersyukur, Gusti. Lantaran bertambahnya ponton dan para pria perunggu berarti bertambah pula rezekiku di pantai rawan ini, yang setiap bulan mesti kukirim ke rumah di pesisir Lampung sana; tanah transmigrasi yang gersang, tempat bapak dan simbokku menggarap tandus sepetak sawah.
Maka kau pun tahu, kenapa aku harus menguras kantong pria-pria perunggu itu. Jika tidak, dari mana bapak peroleh uang perluas sawah dan memperbaiki rumah, juga adik-adikku punya sekadar biaya buat sekolah? Ah, meski rasanya seperti menghisap cucuran keringat mereka di atas ponton membara, mencekik jalan napas mereka yang tersengal menghirup udara kompresor di kedalaman laut layaknya!
Sekali lagi, namaku Seruni, tapi kau boleh memanggilku Selly. Tentu awalnya tak pernah terbayang olehku bakal jadi seorang perempuan penghibur di tepi pantai. Oh, tak terbayang! Mulanya, seorang tetanggalah yang mengenaliku pada Mbak Marni yang datang ke kampung kami. Kepadaku dan kedua orang tuaku, dijanjikannya aku bekerja di sebuah restoran sea food di Pangkalpinang. Tapi nyatanya, ya seperti bisa kau duga, aku dibawa ke sebuah lokalisasi terkenal di pulau ini. Umurku waktu itu 17 tahun lewat, baru tiga minggu diceraikan Mas Parjo yang menikah lagi ketigakalinya dengan seorang gadis pendatang baru dari Jawa. Waktu itu, aku hanya bisa menangis menyadari diriku telah terjebak di sarang iblis. Tapi apalah dayaku, duh Gusti, selain pasrah menerima nasib yang selalu mesti kita bagi bersama ini? Duh, di tangan-Mu aku seolah wayang, walau dalam kisah carangan...
Kutuk aku, Gusti! Laknat aku, Simbok! Bila kemudian aku ketagihan jadi perempuan jalang. Bukankah kau tahu, iblis sungguh lelaki elok rupa? Maka kulampiaskan kemarahanku pada Mas Parjo yang menceraikanku dengan keliaran bercumbu, kukuras penghasilan para pria perunggu dengan rayuan maut seorang Drupadi. Bukankah enak bekerja begini? Tinggal mengelus dada para lelaki, lenggangkan paha, dapat kau elus pula dompet tebal. Oho, diam-diam aku pun berhasrat menjadi dalang!
Mungkin aku memang berbakat jadi perempuan penggoda lelaki.
Mungkin aku memang telah Kau takdirkan jadi pelacur paling memukau di sini. Entah dari mana kuperoleh kepiawaian bercinta hingga setiap lelaki bakal mabok kepayang dalam pelukku. Padahal ketika dipinang Mas Parjo, aku masihlah gadis remaja kencur yang menggigil ketakutan di sudut ranjang. Karena itu, namaku bukan lagi Seruni, panggil aku Selly...
Ya di tepi pantai Bubus ini, selanjutnya kuteruskan petualanganku bersama pria-pria perunggu, oh para penambang perkasa! Kurengkuh nasib mereka yang legam dengan dekap membara. Membuat mereka menggelepar bak ikan terjaring pukat.
Ya semenjak penambangan lepas pantai di pulau ini mulai marak, satu per satu kami pun hengkang dari lokalisasi ke pantai-pantai indah yang perlahan amblas: Pantai Tikus, Rebo, Batu Atap, Pesaren, Bubus...
Tentu kau tahu, pria-pria perunggu itu, sebagaimana kami dan para pemilik warung datang dari beragam penjuru. Dari Riau Silip hingga Pulau Buton yang jauh. Dari Dabo-Singkep sampai pesisir timur Jawa. Terang, mereka penyelam tangguh yang dibesarkan oleh alam. Tapi laut, alangkah garang, selalu saja memanggil korban, meminta tumbal! Meski orang-orang Melayu kerap melaksanakan upacara taber3, walau orang-orang Tionghoa sering membakar hio dan gelar sesajen. Di Bubus, seandainya kau tahu, batas hidup dan mati sungguh seperti sehelai rambutmu yang terbasuh asin air laut China Selatan!
Duh, beban-risiko sebagai penyelam di tambang lepas pantai (mereka menyebut tambang apung) sungguh tak sepadan dengan upahmu yang begitu menggiurkan. Kau mesti menyelam dalam ke dasar hanya dengan sebuah kacamata selam murahan dan bantuan udara dari selang kompresor. Ya, tak mungkin disedia untukmu tabung oksigen sebagaimana para penyelam profesional. Dan risiko terbesar adalah jika mendadak saja mesin kompresor mati ketika sedang berada di kedalaman! Bila tak cepat kau menyembul ke permukaan atau tanganmu tak keburu mencengkram selang, alamat biji matamu pun bakal tersedot keluar!
Ah, betapa aku masih bergidik mengingat seorang pria perunggu yang menjerit-jerit dengan dua mata bolong mengerikan saat diangkat beramai-ramai dari dasar lautan... Atau tiba-tiba kau telah tertimbun hidup-hidup di bawah sana karena gundukan pasir mendadak longsor ketika sedang menyedot bijih timah dengan pipa ke atas ponton. Tentu tak ada asuransi. Seolah kecelakaan bagimu memang kewajaran, risiko penyelam yang telah disepakati tanpa harus dituliskan.
Adakah kau tahu bagaimana rasanya melihat jenazah seorang lelaki yang semalam bercinta denganmu tahu-tahu telah mati begitu mengenaskan? Hm, hiruplah udara bertuba ini, niscaya akan berkelenengan suara logam dalam perutmu!4 Ya ponton-ponton itu terus memanjang, terombang-ambing bagai nasib yang tak terteka.
Terkadang, aku begitu merindukan bapak dan simbok, merindukan jatilan, tari gambyong, atau serimpi, campursari, dan wayang.
MEMANG di Bubus tak ada wayang, tapi banyak dalang.5 Bukankah sebagai pemilik tambang liar, kau mesti pintar bersiasat dengan para penguasa? Atau lihatlah, bagaimana para penguasa membungkam mulut para wartawan dan aktivis LSM agar tak banyak bacot tentang kerusakan lingkungan. Ataupun para preman lokal yang kerap memasang gertak-sambal serupa pukat harimau untuk menjerat jatah lebih dari pembagian untung para penambang.
Karena itu, di pantai rawan ini, diam-diam aku pun belajar jadi dalang. Kupikat pria-pria perunggu dan para cukong tambang yang tertarik pada kemolekan tubuhku hingga mereka mabok kasmaran. Serupa Engkau, duhai Gusti, kupermainkan cinta mereka hingga memujaku setengah teler! Ah, Ko A Khiong pemilik belasan unit ponton itu, misalnya, mati-matian merayuku agar mau jadi gundiknya. Dijanjikan padaku rumah, rekening, dan hidup mewah. Tapi aku pura-pura bergeming, sembari melirik Mang Buding, bujangan tua yang selalu royal memanjakanku dengan apa saja kupinta: perhiasan, pakaian, ponsel... Atau Bang Udin yang dengan serius bersimpuh di kakiku sambil bilang, "Kalau aku sudah kumpulkan banyak uang, ikutlah denganku pulang ke Bau-bau, Sayang."
Sst, sebenarnya di antara mereka, ada seorang yang diam-diam aku suka. Ah, entahlah, kenapa aku selalu merasa tenteram dalam dekapan Bang Rudi setiapkali kami bercumbu mesra. Silakan kau mencemooh, aku pun tak yakin apakah benar-benar telah jatuh cinta. Atau lantaran aku memang tak punya keberanian lagi untuk mencintai? Duh, dalam teduh matanya Gusti, seolah dapat kusimak suara debur ombak Bubus yang mengisak lirih!
Karena itu, biarlah ponton-ponton itu terus memanjang ke batas cakrawala, ke batas senja. Memanjang serupa sejarah timah di pulau celaka ini! Ya di Bubus, kau tahu, sejarah hanya kembali berulang. Betapa pria-pria perunggu yang berdatangan dari segala penjuru, betapa kami, perempuan-perempuan penghibur yang terus bersolek di tepian, atau warung-warung remang yang terus bermekaran di tiap sudut pantai, bakal ingatkanmu pada berbondong-bondong kuli dari China daratan. Yang datang menjual anak babi dan hanya berbekal sebuah buntalan kumal, lalu membangun parit dan jalan, dirikan desa dan kota dagang. Tapi kau tahu pula, Bubus bukan Las Vegas, gorong-gorong tambang emas yang menjelma kota kasino di film-film Hollywood yang kutonton. Meski arena judi kian marak di sepanjang pantai.
Karenanya, sungguh, tak ada yang tahu tentang hikayat pantai malang ini. Tak bakal ada babad yang memberimu sekadar riwayat tentang nama tepian. Tak ada sekelumit cerita selain ingatan samar orang-orang Tionghoa tentang bagaimana nenek moyang mereka para singkek6 pekerja parit pikul7 mendirikan kampung di pantai yang menghadap keangkeran Laut China Selatan ini setelah menancapkan tiga batang hio.
DEMIKIANLAH, ponton-ponton itu kian memanjang di laut Bubus yang mengisak tertahan. Tapi terkadang, hanya terkadang, isak itu pun seolah berubah dendang. Maka lihatlah, aku seolah menjelma jadi penari gambyong yang berlenggak-lenggok gemulai di atas panggung pertunjukan. Kakiku yang mulus dengan lincah meniti buih gelombang, suaraku merdu bertembang di sela deru ombak menerpa karang. Serasa diiringi gamelan, diiringi gendang!
Bila begitu, kau akan segera mafhum, pantai yang rawan ini pun jadi demikian ramah dan bersahaja. Dengan kemilau cahaya matahari pagi terasa hangat di kulitku yang halus dan kencang. Oh, matahari yang terpancar dari sepasang mata teduh Bang Rudi tersayang! Dengan lembut dijilatinya wajahku, disisirnya rambutku yang hitam panjang, disihirnya keruh laut Bubus yang cokelat kehitaman jadi berwarni-warni seperti gunungan wayang.
Tapi kemilau hangat matahari pagi itu pulalah yang menghantar mahaduka dari laut dalam, laut kelam. Membuat limbung gerakanku menari di atas titian buih titian gelombang. Sempoyongan sepagi itu aku berlari menyongsong orang-orang yang berseru panik sembari melompat turun dari ponton.
"Ada apa, Mas Ramli?" teriakku tak kalah panik, detak jantungku serasa berpacu dengan debur ombak Bubus yang garang. Ia menatapku dengan mata terbelalak dan keras mencekal kedua bahuku, "Oh, Selly! Rudi, Rudi terbenam pasir longsor di bawah, Selly!"
Duh Gusti, aku tahu, kalau di neraka jahanam matahari hanya sejengkal dari ubun-ubunku! Aku tahu, kini matahari di pantai celaka ini sepanas siksa-Mu di dasar jurang naar. Ah, kurasakan tubuhku meleleh, mencair dan lumer bersatu dengan pasir dan buih ketika akhirnya tubuh pria paling perunggu itu berhasil juga diangkat oleh orang-orang dari dasar laut keruh. Laut yang pilu. Oh, betapa tampannya dia, ya Gusti! Sempurna sudah tubuhku meleleh, lalu perlahan diseret gemuruh ombak ke tengah laut gamang. .
Maka, apabila suatu saat, suatu hari yang tak terduga seperti nasibmu yang rawan, kau berkunjung ke tepian Bubus ini, Sayang. Bisikanlah dengan mesra namaku di bibir pantai sembari mengingat merdu irama gamelan dan gendang, maka niscaya aku pun bakal menyembul ke permukaan laut untuk bercinta denganmu, lelaki pejantan! Dan debur laut Bubus, alangkah mencemaskan seperti lidah ki dalang yang bawakan sebuah akhir tragis dalam pengkisahan wayang!*
Catatan:
1. Rakit besar yang terbuat dari drum-drum plastik dengan bekas ban-ban mobil terikat kuat tali tambang di atas batang-batang kayu untuk penambangan lepas pantai (atau lebih lazim disebut Tambang Inkonvensional (TI) Apung-untuk membedakannya dengan TI darat).
2. Ingatan samar pada puisi Raudal Tanjung Banua, "Bubus" (Koran Tempo, 2006).
3. Upacara adat untuk mengusir sengkala atau sial.
4. Meminjam selarik puisi Nurhayat Arif Permana, "Lanskap Pulau Timah" dalam booklet puisi "Suara Kota Utara Pulau Lada" (KPSPB, 2000).
5. Ingatan samar pada sebuah puisi Willy Siswanto dalam antologi "Kaki-kaki Telanjang" (Yayasan Aktualita Karsa, Pangkalpinang, 2005) yang terlupa judulnya.
6. Sebutan untuk para pendatang totok dari Cina daratan.
7. Sistem penambangan timah di zaman kolonial Belanda.
-----
Sunlie Thomas Alexander, lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia dan Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sembari bergiat di Parikesit Institute. Buku cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Malam Buta Yin (Gama Media, 2009).
Lampung Post, Minggu, 18 April 2010
DI Bubus tak ada wayang, selain ponton-ponton1 terus memanjang. Berjejer dari ujung ke ujung; dari lantai pantai hingga jauh ke tengah laut China Selatan. Membuat ombak yang biru berubah kecokelatan oleh solar, lumpur, dan sampah polutan.
Dan terkadang mereka saling menyalib. Entahlah, membuat ombak kian berbuih. Sehingga ketegangan pun sering terbangun diam-diam, memanas terpanggang matahari. Untung jarang terjadi perkelahian di tengah laut. Karena seperti pula para nelayan memelihara adat, mereka kukuh berpantang tak boleh berseteru di lautan. Sebab kau tahu, laut di mana pun sama-tak di Bubus, Buton, Makassar, Selat Sunda, atau pesisir Jawa-mengandung tuah, kutuk, dan amarah, bila yang mencari makan tak bertata krama!
Tatkala petang jatuh, kau pun bakal melihat pria-pria dengan tubuh sekokoh perunggu, kuyup, dan dekil mengusung pipa-pipa panjang dari arah laut, tentunya pula berkarung-karung pasir timah diseret turun dari ponton. Lalu malam akan bertandang tak ubahnya pasar malam. Warung-warung berjejer dengan aroma alkohol. Aneka permainan judi pun tergelar. Begitulah perempuan-perempuan muda dengan dandan menor berseliweran. Musik terus bergoyang. Langit tampak muram. Dan ponton-ponton di laut itu menjelma makhluk-makhluk asing yang berjaga di keremangan. Oh, dengarlah suara debur laut Bubus seperti mengisak tertahan! Ya kau benar, aku salah seorang perempuan penghibur di pantai ini. Namaku sebetulnya Seruni, tapi kau boleh memanggilku Selly...
Demikian aku menjalani hari-hariku di tepian pulau yang porak-poranda ini. Menjadi penawar kesepian pria-pria perunggu yang bernasib selegam bijih timah. Dari pelukan ke pelukan. Tentu, di kamar-kamar pengap belakang warung, di balik batu seperti sembunyi udang atau dalam perahu rusak tertambat gamang. Oh, terkadang, kau tahu, di atas ponton yang terapung-apung liar! Terombang ke kiri ke kanan. Kata mereka bibirku seranum perawan, tapi tentu saja aku janda kembang. Ah, di Bubus, kau tahu, semua bakal lampus!2
SUNGGUH, ponton-ponton itu terus memanjang. Kepada-Mu tentu aku mesti bersyukur, Gusti. Lantaran bertambahnya ponton dan para pria perunggu berarti bertambah pula rezekiku di pantai rawan ini, yang setiap bulan mesti kukirim ke rumah di pesisir Lampung sana; tanah transmigrasi yang gersang, tempat bapak dan simbokku menggarap tandus sepetak sawah.
Maka kau pun tahu, kenapa aku harus menguras kantong pria-pria perunggu itu. Jika tidak, dari mana bapak peroleh uang perluas sawah dan memperbaiki rumah, juga adik-adikku punya sekadar biaya buat sekolah? Ah, meski rasanya seperti menghisap cucuran keringat mereka di atas ponton membara, mencekik jalan napas mereka yang tersengal menghirup udara kompresor di kedalaman laut layaknya!
Sekali lagi, namaku Seruni, tapi kau boleh memanggilku Selly. Tentu awalnya tak pernah terbayang olehku bakal jadi seorang perempuan penghibur di tepi pantai. Oh, tak terbayang! Mulanya, seorang tetanggalah yang mengenaliku pada Mbak Marni yang datang ke kampung kami. Kepadaku dan kedua orang tuaku, dijanjikannya aku bekerja di sebuah restoran sea food di Pangkalpinang. Tapi nyatanya, ya seperti bisa kau duga, aku dibawa ke sebuah lokalisasi terkenal di pulau ini. Umurku waktu itu 17 tahun lewat, baru tiga minggu diceraikan Mas Parjo yang menikah lagi ketigakalinya dengan seorang gadis pendatang baru dari Jawa. Waktu itu, aku hanya bisa menangis menyadari diriku telah terjebak di sarang iblis. Tapi apalah dayaku, duh Gusti, selain pasrah menerima nasib yang selalu mesti kita bagi bersama ini? Duh, di tangan-Mu aku seolah wayang, walau dalam kisah carangan...
Kutuk aku, Gusti! Laknat aku, Simbok! Bila kemudian aku ketagihan jadi perempuan jalang. Bukankah kau tahu, iblis sungguh lelaki elok rupa? Maka kulampiaskan kemarahanku pada Mas Parjo yang menceraikanku dengan keliaran bercumbu, kukuras penghasilan para pria perunggu dengan rayuan maut seorang Drupadi. Bukankah enak bekerja begini? Tinggal mengelus dada para lelaki, lenggangkan paha, dapat kau elus pula dompet tebal. Oho, diam-diam aku pun berhasrat menjadi dalang!
Mungkin aku memang berbakat jadi perempuan penggoda lelaki.
Mungkin aku memang telah Kau takdirkan jadi pelacur paling memukau di sini. Entah dari mana kuperoleh kepiawaian bercinta hingga setiap lelaki bakal mabok kepayang dalam pelukku. Padahal ketika dipinang Mas Parjo, aku masihlah gadis remaja kencur yang menggigil ketakutan di sudut ranjang. Karena itu, namaku bukan lagi Seruni, panggil aku Selly...
Ya di tepi pantai Bubus ini, selanjutnya kuteruskan petualanganku bersama pria-pria perunggu, oh para penambang perkasa! Kurengkuh nasib mereka yang legam dengan dekap membara. Membuat mereka menggelepar bak ikan terjaring pukat.
Ya semenjak penambangan lepas pantai di pulau ini mulai marak, satu per satu kami pun hengkang dari lokalisasi ke pantai-pantai indah yang perlahan amblas: Pantai Tikus, Rebo, Batu Atap, Pesaren, Bubus...
Tentu kau tahu, pria-pria perunggu itu, sebagaimana kami dan para pemilik warung datang dari beragam penjuru. Dari Riau Silip hingga Pulau Buton yang jauh. Dari Dabo-Singkep sampai pesisir timur Jawa. Terang, mereka penyelam tangguh yang dibesarkan oleh alam. Tapi laut, alangkah garang, selalu saja memanggil korban, meminta tumbal! Meski orang-orang Melayu kerap melaksanakan upacara taber3, walau orang-orang Tionghoa sering membakar hio dan gelar sesajen. Di Bubus, seandainya kau tahu, batas hidup dan mati sungguh seperti sehelai rambutmu yang terbasuh asin air laut China Selatan!
Duh, beban-risiko sebagai penyelam di tambang lepas pantai (mereka menyebut tambang apung) sungguh tak sepadan dengan upahmu yang begitu menggiurkan. Kau mesti menyelam dalam ke dasar hanya dengan sebuah kacamata selam murahan dan bantuan udara dari selang kompresor. Ya, tak mungkin disedia untukmu tabung oksigen sebagaimana para penyelam profesional. Dan risiko terbesar adalah jika mendadak saja mesin kompresor mati ketika sedang berada di kedalaman! Bila tak cepat kau menyembul ke permukaan atau tanganmu tak keburu mencengkram selang, alamat biji matamu pun bakal tersedot keluar!
Ah, betapa aku masih bergidik mengingat seorang pria perunggu yang menjerit-jerit dengan dua mata bolong mengerikan saat diangkat beramai-ramai dari dasar lautan... Atau tiba-tiba kau telah tertimbun hidup-hidup di bawah sana karena gundukan pasir mendadak longsor ketika sedang menyedot bijih timah dengan pipa ke atas ponton. Tentu tak ada asuransi. Seolah kecelakaan bagimu memang kewajaran, risiko penyelam yang telah disepakati tanpa harus dituliskan.
Adakah kau tahu bagaimana rasanya melihat jenazah seorang lelaki yang semalam bercinta denganmu tahu-tahu telah mati begitu mengenaskan? Hm, hiruplah udara bertuba ini, niscaya akan berkelenengan suara logam dalam perutmu!4 Ya ponton-ponton itu terus memanjang, terombang-ambing bagai nasib yang tak terteka.
Terkadang, aku begitu merindukan bapak dan simbok, merindukan jatilan, tari gambyong, atau serimpi, campursari, dan wayang.
MEMANG di Bubus tak ada wayang, tapi banyak dalang.5 Bukankah sebagai pemilik tambang liar, kau mesti pintar bersiasat dengan para penguasa? Atau lihatlah, bagaimana para penguasa membungkam mulut para wartawan dan aktivis LSM agar tak banyak bacot tentang kerusakan lingkungan. Ataupun para preman lokal yang kerap memasang gertak-sambal serupa pukat harimau untuk menjerat jatah lebih dari pembagian untung para penambang.
Karena itu, di pantai rawan ini, diam-diam aku pun belajar jadi dalang. Kupikat pria-pria perunggu dan para cukong tambang yang tertarik pada kemolekan tubuhku hingga mereka mabok kasmaran. Serupa Engkau, duhai Gusti, kupermainkan cinta mereka hingga memujaku setengah teler! Ah, Ko A Khiong pemilik belasan unit ponton itu, misalnya, mati-matian merayuku agar mau jadi gundiknya. Dijanjikan padaku rumah, rekening, dan hidup mewah. Tapi aku pura-pura bergeming, sembari melirik Mang Buding, bujangan tua yang selalu royal memanjakanku dengan apa saja kupinta: perhiasan, pakaian, ponsel... Atau Bang Udin yang dengan serius bersimpuh di kakiku sambil bilang, "Kalau aku sudah kumpulkan banyak uang, ikutlah denganku pulang ke Bau-bau, Sayang."
Sst, sebenarnya di antara mereka, ada seorang yang diam-diam aku suka. Ah, entahlah, kenapa aku selalu merasa tenteram dalam dekapan Bang Rudi setiapkali kami bercumbu mesra. Silakan kau mencemooh, aku pun tak yakin apakah benar-benar telah jatuh cinta. Atau lantaran aku memang tak punya keberanian lagi untuk mencintai? Duh, dalam teduh matanya Gusti, seolah dapat kusimak suara debur ombak Bubus yang mengisak lirih!
Karena itu, biarlah ponton-ponton itu terus memanjang ke batas cakrawala, ke batas senja. Memanjang serupa sejarah timah di pulau celaka ini! Ya di Bubus, kau tahu, sejarah hanya kembali berulang. Betapa pria-pria perunggu yang berdatangan dari segala penjuru, betapa kami, perempuan-perempuan penghibur yang terus bersolek di tepian, atau warung-warung remang yang terus bermekaran di tiap sudut pantai, bakal ingatkanmu pada berbondong-bondong kuli dari China daratan. Yang datang menjual anak babi dan hanya berbekal sebuah buntalan kumal, lalu membangun parit dan jalan, dirikan desa dan kota dagang. Tapi kau tahu pula, Bubus bukan Las Vegas, gorong-gorong tambang emas yang menjelma kota kasino di film-film Hollywood yang kutonton. Meski arena judi kian marak di sepanjang pantai.
Karenanya, sungguh, tak ada yang tahu tentang hikayat pantai malang ini. Tak bakal ada babad yang memberimu sekadar riwayat tentang nama tepian. Tak ada sekelumit cerita selain ingatan samar orang-orang Tionghoa tentang bagaimana nenek moyang mereka para singkek6 pekerja parit pikul7 mendirikan kampung di pantai yang menghadap keangkeran Laut China Selatan ini setelah menancapkan tiga batang hio.
DEMIKIANLAH, ponton-ponton itu kian memanjang di laut Bubus yang mengisak tertahan. Tapi terkadang, hanya terkadang, isak itu pun seolah berubah dendang. Maka lihatlah, aku seolah menjelma jadi penari gambyong yang berlenggak-lenggok gemulai di atas panggung pertunjukan. Kakiku yang mulus dengan lincah meniti buih gelombang, suaraku merdu bertembang di sela deru ombak menerpa karang. Serasa diiringi gamelan, diiringi gendang!
Bila begitu, kau akan segera mafhum, pantai yang rawan ini pun jadi demikian ramah dan bersahaja. Dengan kemilau cahaya matahari pagi terasa hangat di kulitku yang halus dan kencang. Oh, matahari yang terpancar dari sepasang mata teduh Bang Rudi tersayang! Dengan lembut dijilatinya wajahku, disisirnya rambutku yang hitam panjang, disihirnya keruh laut Bubus yang cokelat kehitaman jadi berwarni-warni seperti gunungan wayang.
Tapi kemilau hangat matahari pagi itu pulalah yang menghantar mahaduka dari laut dalam, laut kelam. Membuat limbung gerakanku menari di atas titian buih titian gelombang. Sempoyongan sepagi itu aku berlari menyongsong orang-orang yang berseru panik sembari melompat turun dari ponton.
"Ada apa, Mas Ramli?" teriakku tak kalah panik, detak jantungku serasa berpacu dengan debur ombak Bubus yang garang. Ia menatapku dengan mata terbelalak dan keras mencekal kedua bahuku, "Oh, Selly! Rudi, Rudi terbenam pasir longsor di bawah, Selly!"
Duh Gusti, aku tahu, kalau di neraka jahanam matahari hanya sejengkal dari ubun-ubunku! Aku tahu, kini matahari di pantai celaka ini sepanas siksa-Mu di dasar jurang naar. Ah, kurasakan tubuhku meleleh, mencair dan lumer bersatu dengan pasir dan buih ketika akhirnya tubuh pria paling perunggu itu berhasil juga diangkat oleh orang-orang dari dasar laut keruh. Laut yang pilu. Oh, betapa tampannya dia, ya Gusti! Sempurna sudah tubuhku meleleh, lalu perlahan diseret gemuruh ombak ke tengah laut gamang. .
Maka, apabila suatu saat, suatu hari yang tak terduga seperti nasibmu yang rawan, kau berkunjung ke tepian Bubus ini, Sayang. Bisikanlah dengan mesra namaku di bibir pantai sembari mengingat merdu irama gamelan dan gendang, maka niscaya aku pun bakal menyembul ke permukaan laut untuk bercinta denganmu, lelaki pejantan! Dan debur laut Bubus, alangkah mencemaskan seperti lidah ki dalang yang bawakan sebuah akhir tragis dalam pengkisahan wayang!*
Catatan:
1. Rakit besar yang terbuat dari drum-drum plastik dengan bekas ban-ban mobil terikat kuat tali tambang di atas batang-batang kayu untuk penambangan lepas pantai (atau lebih lazim disebut Tambang Inkonvensional (TI) Apung-untuk membedakannya dengan TI darat).
2. Ingatan samar pada puisi Raudal Tanjung Banua, "Bubus" (Koran Tempo, 2006).
3. Upacara adat untuk mengusir sengkala atau sial.
4. Meminjam selarik puisi Nurhayat Arif Permana, "Lanskap Pulau Timah" dalam booklet puisi "Suara Kota Utara Pulau Lada" (KPSPB, 2000).
5. Ingatan samar pada sebuah puisi Willy Siswanto dalam antologi "Kaki-kaki Telanjang" (Yayasan Aktualita Karsa, Pangkalpinang, 2005) yang terlupa judulnya.
6. Sebutan untuk para pendatang totok dari Cina daratan.
7. Sistem penambangan timah di zaman kolonial Belanda.
-----
Sunlie Thomas Alexander, lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia dan Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sembari bergiat di Parikesit Institute. Buku cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Malam Buta Yin (Gama Media, 2009).
Lampung Post, Minggu, 18 April 2010
Sunday, April 11, 2010
Embun di Mata Wie
Cerpen Syaiful Irba Tanpaka
SETIAP menjelang pagi mata Wie dibasahi butiran embun. Seperti di atas daun, butiran embun itu tampak bulat bening dan segar. Dan bila matahari muncul menyinarinya; butiran embun itu berkilau-kilauan bak permata sehingga membuat mata Wie bercahaya. Dan bila itu terjadi, maka setiap orang akan terpukau memandang kecantikan Wie yang berubah seperti bidadari.
"Sungguh, sebetulnya aku tidak suka butiran embun itu bersila di mataku," ungkap Wie suatu kali kepadaku. "Tapi bagaimana aku bisa menolaknya? Ia begitu saja muncul di mataku setiap menjelang pagi ketika aku bangun dari tidur."
Wajah Wie sendu.
"Bukankah seharusnya engkau bersuka cita dengan butiran embun yang tergenang di matamu? Karena ia telah menambah kecantikanmu. Dan orang-orang terpukau memandang keelokan parasmu?"
"Justru itulah masalahnya. Karena ada butiran embun di mataku. Karena butiran embun itu telah mengubah kecantikanku. Aku merasa bukan menjadi diriku lagi."
"Apakah kau tidak suka menjadi bertambah cantik?"
"Setiap perempuan-seperti kita-pasti ingin menjadi cantik, tapi kalau kecantikan itu membuat diri kita menjadi imitasi, tidakkah itu suatu malapetaka!"
Aneh! Mungkin lebih tepatnya unik. Ya! Buatku Wie adalah seorang gadis yang unik. Karena baru kutemukan gadis seperti dia. Sementara gadis-gadis yang lain-- termasuk aku--ingin menjadi lebih cantik dengan berbagai cara, justru Wie merasa masygul dengan kecantikannya yang berkilauan seperti bidadari karena butiran embun yang muncul di matanya setiap menjelang pagi ketika ia bangun dari tidur.
Wie pernah mencoba pergi ke dokter mata untuk mengonsultasikan perihal embun yang tiba-tiba muncul di matanya. Setelah beberapa waktu diperiksa, dokter memberinya obat. Tapi hingga beberapa kali kedatangannya secara berkala ke dokter mata, embun itu tetap tidak bisa dicegah kehadirannya.
Setiap menjelang pagi ketika Wie bangun dari tidur, embun itu selalu muncul di matanya. Seperti di atas daun, butiran embun itu tampak bulat bening dan segar. Dan bila matahari muncul menyinarinya; butiran embun itu berkilau-kilauan bak permata sehingga membuat mata Wie bercahaya. Dan bila itu terjadi, setiap orang akan terpukau memandang kecantikan Wie yang berubah seperti bidadari.
Aku membayangkan seandainya saja embun itu muncul di mataku. Ach! Betapa menyenangkan menjadi bertambah cantik seperti bidadari. Aku akan menjadi pusat perhatian di mana-mana. Semua orang akan terpesona. Ya! Mungkin serupa cerita nabi Yusuf yang digilai banyak wanita. Aku akan digandrungi banyak laki-laki. Betapa aku akan bersuka cita. Aku bisa membalas rasa dendam kepada laki-laki. Karena aku bisa memilih pasanganku seenaknya. Bahkan mungkin gonta-ganti pacar. Dan bila aku merasa bosan, aku bisa menendang dan meninggalkannya semauku. Kapan dan di mana saja.
Maaf! Imajinasiku memang sering ekstrem terhadap laki-laki. Karena terus terang, tiga kali sudah aku dikecewakan laki-laki; sakit hati bahkan mendekati frustasi. Mereka cuma mau enak sendiri, egois, dan cenderung diktator. Wajar kalau ada ujar-ujar yang mengatakan “cuma mau enak tapi ga mau anak”. Meskipun seorang kawan lelakiku membela kaumnya dengan mengetengahkan lagu Basofi Sudirman, "Tidak Semua Laki-laki". Tapi persetanlah! Mana mungkin kepedihan hatiku bisa terhapuskan dengan alasan yang absurd seperti itu. Lagian aku sampai sekarang belum menemukan laki-laki yang pinjam istilah iklan sebuah deodoran; setia setiap saat.
Rasa sakit hatiku kepada lelaki menumbuhkan semacam tombak amarah. Jika saja ada kesempatan untuk membalas, tentu tombak itu akan kutusukan dalam-dalam. Dan pada luka yang terjadi akibat tusukan itu, akan kusiram air cuka. Bisa kubayangkan ketika ia menjerit-jerit kesakitan, aku akan memaki dan menyumpah serapah dengan tawa kemenangan.
Bahkan, lebih gila lagi, aku pernah membayangkan seandainya saja Tuhan memberi pasangan untuk perempuan dari jenis selain lelaki. Mungkin beberapa jenis dan apalah namanya. Dan untuk mengembangkan keturunan, dengan melakukan persetubuhan dengan cara yang lain. Walaupun untuk hal ini aku kadang geli sendiri.
Tapi sayang aku cuma bisa berkhayal. Embun itu tidak muncul di mataku. Embun itu cuma muncul dimata Wie. Mahabesar Tuhan. Kadang yang kita harapkan tidak datang, dan yang datang tidak kita harapkan. Begitu misteri kehidupan dari Yang Mahaagung.
"Atau mungkin kamu datangi orang pintar saja, Wie," saranku suatu kali di suatu pagi yang cerah. "Siapa tahu keinginanmu bisa terwujud. Embun itu tidak lagi datang kepadamu."
"Maaf, Aku tidak suka pada hal yang berbau klenik."
"Ya, mungkin ini suatu pengecualian. Namanya juga usaha."
Wie hanya terdiam. Aku memandanginya dalam-dalam. Wie betul-betul terlihat cantik memesona. Butiran embun di matanya berkilau-kilauan. Bagaikan kilauan batu permata yang tak ternilai. Wajah Wie terlihat begitu segar. Ada semacam aura yang membetot pandangan untuk selalu menatapnya. Namun, mengapa hal ini justru membuatnya gundah. Aku sering tidak habis pikir. Di saat semua perempuan mendambakan hal serupa itu bisa terjadi pada dirinya.
"Kenapa denganmu, Wie?" suaraku memecah kebisuan
Wie mendesah. Ia meluruskan tatapannya padaku. Subhanallah! Tiba-tiba Wie terasa asing buatku. Aku seperti melihat seseorang yang sama sekali belum pernah kukenal. Mungkin benar ia bidadari dari kayangan. Selama ini aku belum pernah beradu pandang serupa ini. Kepalaku menjadi pusing. Aku seakan memasuki sebuah lorong cahaya yang gemerlapan. Dan aku tersedot dalam pusarannya yang tanpa batas. Melayang dan terus melayang, melayang dan terus melayang, menempuh jarak jutaan kilometer.
"Wiiiiiiieeeeeee.....!" aku menjerit.
Aku tersadar ketika Wie menyodorkan segelas air minum di mulutku. Aku terbaring lemas di atas tempat tidurnya.
"Kau tidak apa-apa, Lesli?" Wie menyapa dengan lembut.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Wie mencoba mengajakku tersenyum.
Peristiwa itu telah mengubah pikiranku tentang embun di mata Wie. Barangkali itu satu hal yang telah membuat Wie merasa masygul.
"Aku hanya ingin hidup sebagai perempuan sewajarnya," ungkap Wie ketika kami kembali bertemu.
"Aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan damai, dan bukan sebagai sumber petaka."
"Tapi semua yang terjadi bukankah di luar keinginanmu, Wie?"
"Karena itulah aku lebih senang menyendiri. Kamu bisa bayangkan, seandainya ada sejuta lelaki yang terpesona menatapku, maka sebanyak itulah yang akan menjadi korban."
Aku membatin. Seandainya saja embun itu muncul di mataku. Akan kubuat habis seluruh laki-laki di dunia ini. Sayang, embun itu hanya muncul di mata Wie - seorang gadis yang lugu. Gadis dengan impian yang sederhana.
Wie pernah bercerita kepadaku. Bila ia menemukan lelaki yang menyintai dan dicintainya, dia akan membina rumah tangga. Ia ingin tinggal di sebuah desa yang asri sebagai petani.
"Kenapa harus jadi petani, Wie, bila kamu bisa menjadi lebih baik dari itu?"
"Tidak ada yang lebih baik dari petani, Lesli," ujarnya.
"Kalau kau jadi pedagang, kau takkan bisa luput dari kebohongan. Dan bila kau jadi buruh, karyawan atau pejabat, kau takkan bisa luput dari korupsi."
"Lantas apa baiknya petani?" tanyaku penasaran.
Wie tersenyum.
"Petani? Setelah menggarap sawah atau ladangnya, selebihnya ia serahkan kepada Allah Swt. Ia cuma berdoa semoga mendapat panen yang berlimpah. Tapi ia tidak pernah bisa tahu apakah musim berpihak atau tidak kepadanya. Jika tiba-tiba hama wereng atau tikus atau bencana alam melanda. Kau mengerti itu, Lesli?"
Aku tersenyum getir mendengarnya. Wie memang pantas disebut bidadari. Hatinya, prilakunya. Dan kini keelokannya. Aku mulai menduga-duga; jangan-jangan embun itu muncul dari hatinya sehingga tidak akan bisa dicegah oleh siapa pun, bahkan oleh orang pintar yang memiliki kesaktian canggih mandraguna.
"Kalau begitu, segeralah kau menikah," saranku.
"Ya! Betapa aku menginginkannya. Tapi dengan siapa? Kau tahu, selama ini aku selalu menghindar dari keramaian. Aku menghindar dari lelaki."
"Bukankah kau bisa keluar sebentar. Memasuki keramaian. Berjalan-jalan di pusat kota atau mal, kafe, restoran, taman rekreasi, dan tempat manalah yang kau inginkan untuk mencari dan menemukan jodohmu."
Wie tertawa. Suaranya terdengar begitu renyah.
"Kenapa kau tertawa?"
"Andai saja itu dapat kulakukan dengan mudah."
"Bukankah kau seorang bidadari? Dengan aura embun di matamu, lelaki mana yang tidak akan bertekuk lutut."
"Kau salah mengerti, Lesli. Itulah yang menjadi kekhawatiranku. Mungkinkah aku bisa melakukan hal itu padahal aku tidak menginginkan lelaki yang jatuh hati kepadaku karena ia semaput dengan kecantikanku."
"Kau membuatku jadi bingung..."
"Aku sendiri juga bingung, Lesli..."
Kami berdua tertawa. Aku tidak tahu, apakah ini merupakan keriangan atau keprihatinan buat Wie. Buat seorang gadis dengan pendirian yang permata. Gadis dengan embun di matanya. Di mana aku menduga-duga; jangan-jangan embun itu muncul dari hatinya sehingga tidak akan bisa dicegah oleh siapa pun, bahkan oleh orang pintar yang memiliki kesaktian canggih mandraguna.
***
Lebih dari setahun sudah aku tidak berjumpa dengan Wie. Karena kepindahanku ke luar daerah. Karena aku diterima bekerja pada sebuah perusahaan. Karena kesibukan-kesibukanku sebagai karyawan. Tapi sesekali aku masih menjalin komunikasi dengan Wie lewat hape. Menanyakan kabarnya. Menanyakan embun di matanya. Menanyakan kehidupannya. Sampai suatu hari Wie mengabarkan berita yang mengejutkan buatku. Wie akan menikah.
"Kamu ga becanda, kan?"
"Serius! Kamu datang, ya?" suaranya terdengar ceria.
Aku bersyukur. Wie akhirnya menemukan lelaki sejatinya. Lelaki dambaannya seperti yang sering diceritakannya padaku. Lelaki yang tidak hanya melihat perempuan secara lahiriah. Aku bisa membayangkan betapa bahagianya Wie.
Sayangnya aku tidak bisa menghadiri pesta pernikahannya. Karena pada saat yang sama aku harus menjalani tes promosi jabatan di tempatku bekerja. Karena itu kukatakan aku akan mengunjunginya setelah aku memiliki waktu luang.
"Gapapa kok, aku bisa maklum. Tapi jangan lupa janjimu ya, Lesli!"
"Ya, ya, ya..."
Sebulan kemudian aku membuktikan ucapanku. Aku datang ke tempat Wie. Dengan perasaan berbunga-bunga aku membayangkan pertemuan dengannya. Rumahnya tampak sepi. Pembantu rumahnya mengatakan ayah ibu Wie sedang keluar kota, dan suaminya sedang bekerja. Wie sendiri berada di taman belakang. Karena aku terbiasa main di rumahnya, maka aku tidak kesulitan untuk sampai di taman belakang tempat Wie berada.
Kulihat Wie sedang duduk sambil memainkan gitar mengalunkan lagu cinta. Karena aku berada di belakangnya Wie sama sekali tidak tahu kehadiranku. Pelan-pelan aku melangkah mendekatinya. Dan setelah dirinya dalam jangkauanku mendadak kupegang pundaknya sambil aku berteriak: "Surprise....!"
Di luar dugaan, doronganku terlalu keras hingga membuat Wie terjatuh.
"Aduuhh...!" Wie menjerit spontan. Lalu ia mencoba bangkit. Tangannya meraba-raba ke sana kemari. Aku terkesiap menyaksikannya.
"Lesli...! Lesli....! Apakah itu kamu?"
Aku mencari-cari butiran embun di mata Wie. Butiran embun yang bulat bening dan segar. Dan bila matahari muncul menyinarinya; butiran embun itu berkilau-kilauan bak permata sehingga membuat mata Wie bercahaya. Dan, bila itu terjadi, setiap orang akan terpukau memandang kecantikan Wie yang berubah seperti bidadari...
Bandar Lampung, Maret 2009--2010
Lampung Post, Minggu, 11 April 2010
SETIAP menjelang pagi mata Wie dibasahi butiran embun. Seperti di atas daun, butiran embun itu tampak bulat bening dan segar. Dan bila matahari muncul menyinarinya; butiran embun itu berkilau-kilauan bak permata sehingga membuat mata Wie bercahaya. Dan bila itu terjadi, maka setiap orang akan terpukau memandang kecantikan Wie yang berubah seperti bidadari.
"Sungguh, sebetulnya aku tidak suka butiran embun itu bersila di mataku," ungkap Wie suatu kali kepadaku. "Tapi bagaimana aku bisa menolaknya? Ia begitu saja muncul di mataku setiap menjelang pagi ketika aku bangun dari tidur."
Wajah Wie sendu.
"Bukankah seharusnya engkau bersuka cita dengan butiran embun yang tergenang di matamu? Karena ia telah menambah kecantikanmu. Dan orang-orang terpukau memandang keelokan parasmu?"
"Justru itulah masalahnya. Karena ada butiran embun di mataku. Karena butiran embun itu telah mengubah kecantikanku. Aku merasa bukan menjadi diriku lagi."
"Apakah kau tidak suka menjadi bertambah cantik?"
"Setiap perempuan-seperti kita-pasti ingin menjadi cantik, tapi kalau kecantikan itu membuat diri kita menjadi imitasi, tidakkah itu suatu malapetaka!"
Aneh! Mungkin lebih tepatnya unik. Ya! Buatku Wie adalah seorang gadis yang unik. Karena baru kutemukan gadis seperti dia. Sementara gadis-gadis yang lain-- termasuk aku--ingin menjadi lebih cantik dengan berbagai cara, justru Wie merasa masygul dengan kecantikannya yang berkilauan seperti bidadari karena butiran embun yang muncul di matanya setiap menjelang pagi ketika ia bangun dari tidur.
Wie pernah mencoba pergi ke dokter mata untuk mengonsultasikan perihal embun yang tiba-tiba muncul di matanya. Setelah beberapa waktu diperiksa, dokter memberinya obat. Tapi hingga beberapa kali kedatangannya secara berkala ke dokter mata, embun itu tetap tidak bisa dicegah kehadirannya.
Setiap menjelang pagi ketika Wie bangun dari tidur, embun itu selalu muncul di matanya. Seperti di atas daun, butiran embun itu tampak bulat bening dan segar. Dan bila matahari muncul menyinarinya; butiran embun itu berkilau-kilauan bak permata sehingga membuat mata Wie bercahaya. Dan bila itu terjadi, setiap orang akan terpukau memandang kecantikan Wie yang berubah seperti bidadari.
Aku membayangkan seandainya saja embun itu muncul di mataku. Ach! Betapa menyenangkan menjadi bertambah cantik seperti bidadari. Aku akan menjadi pusat perhatian di mana-mana. Semua orang akan terpesona. Ya! Mungkin serupa cerita nabi Yusuf yang digilai banyak wanita. Aku akan digandrungi banyak laki-laki. Betapa aku akan bersuka cita. Aku bisa membalas rasa dendam kepada laki-laki. Karena aku bisa memilih pasanganku seenaknya. Bahkan mungkin gonta-ganti pacar. Dan bila aku merasa bosan, aku bisa menendang dan meninggalkannya semauku. Kapan dan di mana saja.
Maaf! Imajinasiku memang sering ekstrem terhadap laki-laki. Karena terus terang, tiga kali sudah aku dikecewakan laki-laki; sakit hati bahkan mendekati frustasi. Mereka cuma mau enak sendiri, egois, dan cenderung diktator. Wajar kalau ada ujar-ujar yang mengatakan “cuma mau enak tapi ga mau anak”. Meskipun seorang kawan lelakiku membela kaumnya dengan mengetengahkan lagu Basofi Sudirman, "Tidak Semua Laki-laki". Tapi persetanlah! Mana mungkin kepedihan hatiku bisa terhapuskan dengan alasan yang absurd seperti itu. Lagian aku sampai sekarang belum menemukan laki-laki yang pinjam istilah iklan sebuah deodoran; setia setiap saat.
Rasa sakit hatiku kepada lelaki menumbuhkan semacam tombak amarah. Jika saja ada kesempatan untuk membalas, tentu tombak itu akan kutusukan dalam-dalam. Dan pada luka yang terjadi akibat tusukan itu, akan kusiram air cuka. Bisa kubayangkan ketika ia menjerit-jerit kesakitan, aku akan memaki dan menyumpah serapah dengan tawa kemenangan.
Bahkan, lebih gila lagi, aku pernah membayangkan seandainya saja Tuhan memberi pasangan untuk perempuan dari jenis selain lelaki. Mungkin beberapa jenis dan apalah namanya. Dan untuk mengembangkan keturunan, dengan melakukan persetubuhan dengan cara yang lain. Walaupun untuk hal ini aku kadang geli sendiri.
Tapi sayang aku cuma bisa berkhayal. Embun itu tidak muncul di mataku. Embun itu cuma muncul dimata Wie. Mahabesar Tuhan. Kadang yang kita harapkan tidak datang, dan yang datang tidak kita harapkan. Begitu misteri kehidupan dari Yang Mahaagung.
"Atau mungkin kamu datangi orang pintar saja, Wie," saranku suatu kali di suatu pagi yang cerah. "Siapa tahu keinginanmu bisa terwujud. Embun itu tidak lagi datang kepadamu."
"Maaf, Aku tidak suka pada hal yang berbau klenik."
"Ya, mungkin ini suatu pengecualian. Namanya juga usaha."
Wie hanya terdiam. Aku memandanginya dalam-dalam. Wie betul-betul terlihat cantik memesona. Butiran embun di matanya berkilau-kilauan. Bagaikan kilauan batu permata yang tak ternilai. Wajah Wie terlihat begitu segar. Ada semacam aura yang membetot pandangan untuk selalu menatapnya. Namun, mengapa hal ini justru membuatnya gundah. Aku sering tidak habis pikir. Di saat semua perempuan mendambakan hal serupa itu bisa terjadi pada dirinya.
"Kenapa denganmu, Wie?" suaraku memecah kebisuan
Wie mendesah. Ia meluruskan tatapannya padaku. Subhanallah! Tiba-tiba Wie terasa asing buatku. Aku seperti melihat seseorang yang sama sekali belum pernah kukenal. Mungkin benar ia bidadari dari kayangan. Selama ini aku belum pernah beradu pandang serupa ini. Kepalaku menjadi pusing. Aku seakan memasuki sebuah lorong cahaya yang gemerlapan. Dan aku tersedot dalam pusarannya yang tanpa batas. Melayang dan terus melayang, melayang dan terus melayang, menempuh jarak jutaan kilometer.
"Wiiiiiiieeeeeee.....!" aku menjerit.
Aku tersadar ketika Wie menyodorkan segelas air minum di mulutku. Aku terbaring lemas di atas tempat tidurnya.
"Kau tidak apa-apa, Lesli?" Wie menyapa dengan lembut.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Wie mencoba mengajakku tersenyum.
Peristiwa itu telah mengubah pikiranku tentang embun di mata Wie. Barangkali itu satu hal yang telah membuat Wie merasa masygul.
"Aku hanya ingin hidup sebagai perempuan sewajarnya," ungkap Wie ketika kami kembali bertemu.
"Aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan damai, dan bukan sebagai sumber petaka."
"Tapi semua yang terjadi bukankah di luar keinginanmu, Wie?"
"Karena itulah aku lebih senang menyendiri. Kamu bisa bayangkan, seandainya ada sejuta lelaki yang terpesona menatapku, maka sebanyak itulah yang akan menjadi korban."
Aku membatin. Seandainya saja embun itu muncul di mataku. Akan kubuat habis seluruh laki-laki di dunia ini. Sayang, embun itu hanya muncul di mata Wie - seorang gadis yang lugu. Gadis dengan impian yang sederhana.
Wie pernah bercerita kepadaku. Bila ia menemukan lelaki yang menyintai dan dicintainya, dia akan membina rumah tangga. Ia ingin tinggal di sebuah desa yang asri sebagai petani.
"Kenapa harus jadi petani, Wie, bila kamu bisa menjadi lebih baik dari itu?"
"Tidak ada yang lebih baik dari petani, Lesli," ujarnya.
"Kalau kau jadi pedagang, kau takkan bisa luput dari kebohongan. Dan bila kau jadi buruh, karyawan atau pejabat, kau takkan bisa luput dari korupsi."
"Lantas apa baiknya petani?" tanyaku penasaran.
Wie tersenyum.
"Petani? Setelah menggarap sawah atau ladangnya, selebihnya ia serahkan kepada Allah Swt. Ia cuma berdoa semoga mendapat panen yang berlimpah. Tapi ia tidak pernah bisa tahu apakah musim berpihak atau tidak kepadanya. Jika tiba-tiba hama wereng atau tikus atau bencana alam melanda. Kau mengerti itu, Lesli?"
Aku tersenyum getir mendengarnya. Wie memang pantas disebut bidadari. Hatinya, prilakunya. Dan kini keelokannya. Aku mulai menduga-duga; jangan-jangan embun itu muncul dari hatinya sehingga tidak akan bisa dicegah oleh siapa pun, bahkan oleh orang pintar yang memiliki kesaktian canggih mandraguna.
"Kalau begitu, segeralah kau menikah," saranku.
"Ya! Betapa aku menginginkannya. Tapi dengan siapa? Kau tahu, selama ini aku selalu menghindar dari keramaian. Aku menghindar dari lelaki."
"Bukankah kau bisa keluar sebentar. Memasuki keramaian. Berjalan-jalan di pusat kota atau mal, kafe, restoran, taman rekreasi, dan tempat manalah yang kau inginkan untuk mencari dan menemukan jodohmu."
Wie tertawa. Suaranya terdengar begitu renyah.
"Kenapa kau tertawa?"
"Andai saja itu dapat kulakukan dengan mudah."
"Bukankah kau seorang bidadari? Dengan aura embun di matamu, lelaki mana yang tidak akan bertekuk lutut."
"Kau salah mengerti, Lesli. Itulah yang menjadi kekhawatiranku. Mungkinkah aku bisa melakukan hal itu padahal aku tidak menginginkan lelaki yang jatuh hati kepadaku karena ia semaput dengan kecantikanku."
"Kau membuatku jadi bingung..."
"Aku sendiri juga bingung, Lesli..."
Kami berdua tertawa. Aku tidak tahu, apakah ini merupakan keriangan atau keprihatinan buat Wie. Buat seorang gadis dengan pendirian yang permata. Gadis dengan embun di matanya. Di mana aku menduga-duga; jangan-jangan embun itu muncul dari hatinya sehingga tidak akan bisa dicegah oleh siapa pun, bahkan oleh orang pintar yang memiliki kesaktian canggih mandraguna.
***
Lebih dari setahun sudah aku tidak berjumpa dengan Wie. Karena kepindahanku ke luar daerah. Karena aku diterima bekerja pada sebuah perusahaan. Karena kesibukan-kesibukanku sebagai karyawan. Tapi sesekali aku masih menjalin komunikasi dengan Wie lewat hape. Menanyakan kabarnya. Menanyakan embun di matanya. Menanyakan kehidupannya. Sampai suatu hari Wie mengabarkan berita yang mengejutkan buatku. Wie akan menikah.
"Kamu ga becanda, kan?"
"Serius! Kamu datang, ya?" suaranya terdengar ceria.
Aku bersyukur. Wie akhirnya menemukan lelaki sejatinya. Lelaki dambaannya seperti yang sering diceritakannya padaku. Lelaki yang tidak hanya melihat perempuan secara lahiriah. Aku bisa membayangkan betapa bahagianya Wie.
Sayangnya aku tidak bisa menghadiri pesta pernikahannya. Karena pada saat yang sama aku harus menjalani tes promosi jabatan di tempatku bekerja. Karena itu kukatakan aku akan mengunjunginya setelah aku memiliki waktu luang.
"Gapapa kok, aku bisa maklum. Tapi jangan lupa janjimu ya, Lesli!"
"Ya, ya, ya..."
Sebulan kemudian aku membuktikan ucapanku. Aku datang ke tempat Wie. Dengan perasaan berbunga-bunga aku membayangkan pertemuan dengannya. Rumahnya tampak sepi. Pembantu rumahnya mengatakan ayah ibu Wie sedang keluar kota, dan suaminya sedang bekerja. Wie sendiri berada di taman belakang. Karena aku terbiasa main di rumahnya, maka aku tidak kesulitan untuk sampai di taman belakang tempat Wie berada.
Kulihat Wie sedang duduk sambil memainkan gitar mengalunkan lagu cinta. Karena aku berada di belakangnya Wie sama sekali tidak tahu kehadiranku. Pelan-pelan aku melangkah mendekatinya. Dan setelah dirinya dalam jangkauanku mendadak kupegang pundaknya sambil aku berteriak: "Surprise....!"
Di luar dugaan, doronganku terlalu keras hingga membuat Wie terjatuh.
"Aduuhh...!" Wie menjerit spontan. Lalu ia mencoba bangkit. Tangannya meraba-raba ke sana kemari. Aku terkesiap menyaksikannya.
"Lesli...! Lesli....! Apakah itu kamu?"
Aku mencari-cari butiran embun di mata Wie. Butiran embun yang bulat bening dan segar. Dan bila matahari muncul menyinarinya; butiran embun itu berkilau-kilauan bak permata sehingga membuat mata Wie bercahaya. Dan, bila itu terjadi, setiap orang akan terpukau memandang kecantikan Wie yang berubah seperti bidadari...
Bandar Lampung, Maret 2009--2010
Lampung Post, Minggu, 11 April 2010
Sunday, April 4, 2010
Membunuh Shakespeare
Cerpen Benny Arnas
Julia, maafkan aku
baru kini aku kuasa memberitahumu
dalam kertas bergulung yang kurekat dengan
getah pohon mapel
sungguh, aku tak pernah mampu membuat puisi
-termasuk susunan kata-kata ini
yang mengantar surat ini
jauh lebih layak kaupanggil laki-laki puisi
cintailah Shakespeare sebagaimana
kau pasrah disetubuhi
puisi-puisinya:
sandiwara-sandiwaranya
(Romeo, sebelum dipaksa menenggak racun itu)
Kembali ke Masa Depan
Di meja kayu yang terbuat dari bonggol beringin, gadis dengan syal biru pastel itu menyeracau pada pemuda yang duduk di hadapannya. Ia geram karena pemuda itu tak ingin mengajaknya jalan-jalan. Padahal ia tak minta diantar ke mana-mana. Tidak ke Italia, Jepang, atau Amerika. Ia hanya ingin kembali ke kampungnya yang kini tak lagi bernama. Tak lama, perempuan itu menyiramkan jus terong belanda di gelas kristal bertiang setinggi telunjuk ke laki-laki itu. Mungkin ia terlalu kesal. Namun, ajaib, pemuda itu malah bersimpuh dan mengucapkan sesuatu yang sangat diatur lenggok bahasanya. Oh, jangan-jangan ia sedang merayu. Dan tampaknya berhasil. Wajah gadis itu tiba-tiba merah ceri. Tak lama, mereka sudah berjalan bergandengan. Menyusuri jalan setapak yang dipagari krisan kuning yang berbaris dekat batu apung yang diserakkan di kiri-kanan jalan.
Ketika mereka pergi, kudekati meja kayu tempat mereka berselisih tadi. Betapa takjubnya aku ketika tempat duduk laki-laki tadi tiba-tiba menggeliat. Tak lama, terdengar suara dari situ.
"Aku tahu, Julia. Kau ingin kembali ke masa depan demi menyongsong kenangan itu. Namun, adakah yang kuasa membawamu selain puisiku."
Ah, pasti kursi itu menyadur rayuan Romeo tadi.
Laki-Laki Puisi itu Bukan Kekasihnya
Gadis itu mencangkung di sudut kamarnya. Ia mengeret selimut sampai ke sana. Sebenarnya bukan langit yang berkrayon gelap yang membuatnya menggigil. Namun karena telah dapat ia bayangkan, sebentar lagi bumi akan kuyup. O bukan juga! Bukan perihal hujan. Mungkin petir yang menyambar-nyambar. Blitz yang kadang-kadang dicorongkannya pada orang-orang yang tengah melamun-ria. Dia trauma. Pada suara gelegar langit, pada muntahan laut, pada gemeretak tanah, pada kumparan angin.... Ayahnya disambar petir ketika tengah memetik kelapa muda untuknya. Ibunya digulung tsunami ketika menyusur pantai di selatan kota. Adiknya ditimbun reruntuhan menara kastil ketika gempa. Kakaknya digulung puyuh yang datang tiba-tiba di siang lengang.
"Kenyataan pahit memang berserakan dalam hidupku. Namun, adakah yang mampu meluruhkan rindu?" katanya suatu waktu.
Tak lama, seorang laki-laki mengetuk pintu. Ia hampir saja melonjak kegirangan bila tak segera menyadari bahwa yang datang adalah bukanlah yang dinanti-nantikannya. Namun, ia tak ingin menampakkan keterkejutan. Gegas ia memeluk laki-laki itu. Menangis tersedu-sedan di balik punggungnya.
"Ada apa, Sayang? Mana satpam? Mana pembantu-pembantumu?"
Gadis itu masih menangis.
"Oh, keparat! Mereka makan gaji buta saja!"
Tangis itu makin pilu.
"Aku tahu cuaca sangat tak bersahabat. Namun, keinginanku untuk menghadiahimu sebuah puisi membuat semuanya tak berarti, Sayang." Laki-laki itu merenggangkan pelukan. Ia tatap mata perempuan itu lekat-lekat. "Sudahlah. Aku sudah membawa puisi untukmu...." Laki-laki itu menyeka air mata si gadis. Di tangan kirinya sebuah gulungan kertas digengam erat.
"Mengapa kau yang ke sini, Shakespear?" tanya gadis itu lirih, hampir tak terdengar.
"Maksudmu? Kau lebih mengharapkan Romeo?" Laki-laki itu mengernyitkan dahi. "Kau harus tahu, akulah yang membuat semua puisinya!"
"O ya?" Gadis itu mendongak dengan wajah diseri-serikan (ah, aktingnya begitu sempurna). "Kalau begitu, aku alihkan rindu itu padamu." Mata celik itu berbinar. "Takkan ada yang mengalahkan rinduku ini."
"Ya. Tapi, mengapa kau memertanyakan kepulanganku, Julia? Bukankah kau telah mendapatiku di sini?"
"Aku memang mendapatkanmu, tapi...." Gadis itu bagai bergumam.
Tiba-tiba laki-laki itu terhenyak. Gulungan kertas di tangannya terjatuh. Terdengar bunyi senak dari kerongkongan.
Gadis itu berbalik arah. Membuka pintu. Menerobos hujan yang bergumul dengan halilintar.
"Tapi kau telah membuatku kehilangan rindu itu...." Kali ini ia bercakap pada langit yang marah.
Telah Seberapa Kuyup Kau oleh Puisiku?
Aku akan datang kelak, gumam laki-laki itu.
Pada malam yang sangat dulu, gadis yang hendak ia sunting itu ditelan hujan lagi. Ia tahu sekali. Ya, dulu, Julia takluk oleh hujan yang ia guyur dalam kata-kata.
Awalnya adalah mendung. Lalu rinai. Deras. Hujan pun makin rimbun. Renyai. Ia ingat sekali. Kala itu Julia menelepon. Gadis itu mengungkapkan betapa ia merindukan laki-laki puisi. Ia ingin pemuda itu membacakan beberapa puisi untuknya.
Laki-laki itu tahu betapa bengkak tagihan telepon yang akan dibayar bila ia penuhi permintaan itu. Maka, ia merubah suaranya se-Romeo mungkin.
"Tutup telepon ini, Sayang. Keluarlah. Hitung hujan satu-satu. Lalu, ceritakan padaku. Telah seberapa kuyup engkau oleh puisiku...."
Bakda itu, gadis itu tak pernah menghubunginya lagi.
Laki-laki itu tak pernah tahu kalau Julia terus memintal rindu. Berhelai-helai rindu. Lalu menjahitnya. Kadang memayetnya di beberapa bagian. Setiap hari ia selalu mengenakannya.
Gadis itu ketakutan sendiri bila hujan turun. Ya, itu pertanda Romeo akan menyerangnya dengan puisi yang bertubi-tubi. Namun, itu tak akan pernah menamatkan rindunya. Hingga, Romeo menelepon bahwa ia akan pulang. Ia bilang akan melucuti pakaiannya di malam pertama perjumpaan mereka setelah hampir setahun tak bertemu. Dan gadis itu merasa kematian akan segera menyambanginya. Hayat rindunya akan segera khatam.
"Oh, takkan ada yang boleh mencurinya, merebutnya, apalagi melepas rindu itu dari tubuh yang sudah bersekutu dengan waktu."
Pelukan Berdarah
Mereka bilang: ketika puisi dihadiahkan, maka penulisnya tak ada lagi. Namun, sepertinya tak berlaku bagi Romeo. Ya, bila Julia mengeja larik yang bertipografi itu, tiba-tiba lidahnya mati. Ia tak menemukan kata-kata di sana, selain wajah seseorang yang melemparnya ke masa lalu. Maka, gegas ia berharap agar hari ini bumi tak lagi mandi. Namun, permintaannya tertolak. Hujan menggila. Merajam bumi tak alang kepalang. Suara seng berkereokan. Ia mencangkung di sudut kamar. Selimut yang dieretnya dari ranjang, menutupi kakinya hingga sebatas lutut.
Ia tangkupkan kedua tangannya di kaca jendela yang mulai berkabut. Ia tatap jalan setapak yang meliuk di taman krisan dekat rumah. Meja bonggol-beringin itu sudah berlubang di sana-sini. Entah, ia bagai mendapati gelas kristal yang dulu pernah ia tinggalkan di sana, kini bertengger dekat salah satu kaki kursi yang terbuat dari anyaman damar yang sudah mencokelat. Ia serta merta mundur beberapa langkah ketika kilat tiba-tiba menyilaukan pandangan.
Pintu diketuk. Ia sibakkan gorden. Ia ambil sebilah pisau di dapur. Ia selipkan di pinggangnya. Ia gegas menyambut laki-laki itu. Laki-laki puisi, itu yang dia harapkan datang.
....
Ia peluk laki-laki itu. Erat sekali. Ia menangis. Menangis karena rindu tak tertanggungkan. Rindu tak tepermanai. Ia ingat sekali, bakda diboyong dari taman krisan satu tahun lalu, ia dikurung olehnya, laki-laki puisi palsu itu. Anehnya laki-laki itu meninggalkan nomor telepon Romeo untuknya.
"Aku dapat saja memisahkan kalian, namun cinta adalah keajaiban yang tak boleh dihentikan, bukan?" Ia terbahak-bahak seraya memberi kode agar para pengawalnya menyeret Romeo keluar.
O ya, laki-laki itu juga membayar para profesional untuk mengawasi dan memenuhi kebutuhan Julia. Dari satpam, tukang antar makanan, tukang cuci, hingga tukang rias. Dan kemarin, telah ia kirim semua orang bayaran itu bertamasya ke langit. Ia benar-benar yakin, hari ini mereka menangis hingga awan tak kuasa menampung air mata mereka. Ya, mereka hendak mengadu pada sang tuan yang kini dipeluknya.
Tak lama, Julia merenggangkan pelukan. Setelah bercakap sedikit, mata laki-laki itu membelalak. Terhenyak. Sebilah pisau telah tertancap di dadanya yang tak bidang itu.
Perempuan itu pergi. Menerobos hujan. Merayakan kematian Shakespear. Merayakan rindu yang takkan pernah mati.
Percakapan di Liang Lahat
Oh, bila kejadian ini disaksikan oleh orang-orang yang memuja mereka, pasti banyak yang terhenyak.
Bukan! Bukan karena Julia memaki-maki Romeo yang membawa setangkai bunga matahari. Bukan pula karena terlampau kasar cercaannya. Tapi.... Ah, nantilah kalian akan tahu sendiri. Ini adalah satu dari cerita yang tak pernah diumumkan.
Ialah ketika pemuda itu menanyakan mengapa Julia tak membalas puisi yang dikirimnya malam itu. Julia balik bertanya, bukahkah Shakespearlah yang menulis semuanya.
"Apalagi ia juga yang mengantarnya," lanjutnya. "Takkah kau tahu betapa aku membenci Shakespear, hah?! Aku benar-benar lelah terus berpura-pura mencintaimu, Romeo."
"Berpura-pura?"
"Ya. Kupikir kaulah laki-laki puisi itu." Julia melipat kedua tangannya di dada.
"Shakespeare juga telah meracuniku sebelumnya, Julia," wajah Romeo itu tiba-tiba sayu.
"Dan si tua bangka itu telah terlebih dahulu berkoar pada dunia, bahwa kita mati karena cinta yang sejati, sehidup semati!" Dada Julia turun naik meredam sesak.
"Malam itu," bibir Romeo bergetar, "Aku hanya ingin berbagi, Julia. Dan aku tak cukup lelaki untuk mengutarakannya tanpa basa-basi. Ya, aku berharap, puisi tak membuatku lemah sebagai kekasih."
"Ja... ja... ja... di," Julia gagu, "Benar puisi itu kau yang menulisnya, Romeo?"
Romeo mengangguk. "Tapi aku tak layak menjadi laki-laki puisi sebagaimana kau bayangkan."
Hening.
"Malam itu, Shakespear memintaku menulis puisi untukmu. Hanya puisi yang malam itu. Selebihnya karya Shakespear." Romeo jujur. "Yang menyambut teleponmu di malam ketika kau merinduiku, pun Shakespeare..." Romeo tertunduk.
"Sudahlah. Kalaupun kau benar mencintaiku, tak demikian dengan aku. Mungkin bila kita diberi waktu hidup lebih lama, dunia akan tahu bahwa kita hanya diperbudak pengarang hebat itu untuk saling memuja."(*)
Lubuklinggau, 09 Februari 2010
------------
Benny Arnas, lahir di Ulak Surung, kampung di utara Lubuklinggau, 08 Mei 1983. Meraih Anugerah Sastra Batanghari Sembilan 2009.
Lampung Post, Minggu, 4 April 2010
Julia, maafkan aku
baru kini aku kuasa memberitahumu
dalam kertas bergulung yang kurekat dengan
getah pohon mapel
sungguh, aku tak pernah mampu membuat puisi
-termasuk susunan kata-kata ini
yang mengantar surat ini
jauh lebih layak kaupanggil laki-laki puisi
cintailah Shakespeare sebagaimana
kau pasrah disetubuhi
puisi-puisinya:
sandiwara-sandiwaranya
(Romeo, sebelum dipaksa menenggak racun itu)
Kembali ke Masa Depan
Di meja kayu yang terbuat dari bonggol beringin, gadis dengan syal biru pastel itu menyeracau pada pemuda yang duduk di hadapannya. Ia geram karena pemuda itu tak ingin mengajaknya jalan-jalan. Padahal ia tak minta diantar ke mana-mana. Tidak ke Italia, Jepang, atau Amerika. Ia hanya ingin kembali ke kampungnya yang kini tak lagi bernama. Tak lama, perempuan itu menyiramkan jus terong belanda di gelas kristal bertiang setinggi telunjuk ke laki-laki itu. Mungkin ia terlalu kesal. Namun, ajaib, pemuda itu malah bersimpuh dan mengucapkan sesuatu yang sangat diatur lenggok bahasanya. Oh, jangan-jangan ia sedang merayu. Dan tampaknya berhasil. Wajah gadis itu tiba-tiba merah ceri. Tak lama, mereka sudah berjalan bergandengan. Menyusuri jalan setapak yang dipagari krisan kuning yang berbaris dekat batu apung yang diserakkan di kiri-kanan jalan.
Ketika mereka pergi, kudekati meja kayu tempat mereka berselisih tadi. Betapa takjubnya aku ketika tempat duduk laki-laki tadi tiba-tiba menggeliat. Tak lama, terdengar suara dari situ.
"Aku tahu, Julia. Kau ingin kembali ke masa depan demi menyongsong kenangan itu. Namun, adakah yang kuasa membawamu selain puisiku."
Ah, pasti kursi itu menyadur rayuan Romeo tadi.
Laki-Laki Puisi itu Bukan Kekasihnya
Gadis itu mencangkung di sudut kamarnya. Ia mengeret selimut sampai ke sana. Sebenarnya bukan langit yang berkrayon gelap yang membuatnya menggigil. Namun karena telah dapat ia bayangkan, sebentar lagi bumi akan kuyup. O bukan juga! Bukan perihal hujan. Mungkin petir yang menyambar-nyambar. Blitz yang kadang-kadang dicorongkannya pada orang-orang yang tengah melamun-ria. Dia trauma. Pada suara gelegar langit, pada muntahan laut, pada gemeretak tanah, pada kumparan angin.... Ayahnya disambar petir ketika tengah memetik kelapa muda untuknya. Ibunya digulung tsunami ketika menyusur pantai di selatan kota. Adiknya ditimbun reruntuhan menara kastil ketika gempa. Kakaknya digulung puyuh yang datang tiba-tiba di siang lengang.
"Kenyataan pahit memang berserakan dalam hidupku. Namun, adakah yang mampu meluruhkan rindu?" katanya suatu waktu.
Tak lama, seorang laki-laki mengetuk pintu. Ia hampir saja melonjak kegirangan bila tak segera menyadari bahwa yang datang adalah bukanlah yang dinanti-nantikannya. Namun, ia tak ingin menampakkan keterkejutan. Gegas ia memeluk laki-laki itu. Menangis tersedu-sedan di balik punggungnya.
"Ada apa, Sayang? Mana satpam? Mana pembantu-pembantumu?"
Gadis itu masih menangis.
"Oh, keparat! Mereka makan gaji buta saja!"
Tangis itu makin pilu.
"Aku tahu cuaca sangat tak bersahabat. Namun, keinginanku untuk menghadiahimu sebuah puisi membuat semuanya tak berarti, Sayang." Laki-laki itu merenggangkan pelukan. Ia tatap mata perempuan itu lekat-lekat. "Sudahlah. Aku sudah membawa puisi untukmu...." Laki-laki itu menyeka air mata si gadis. Di tangan kirinya sebuah gulungan kertas digengam erat.
"Mengapa kau yang ke sini, Shakespear?" tanya gadis itu lirih, hampir tak terdengar.
"Maksudmu? Kau lebih mengharapkan Romeo?" Laki-laki itu mengernyitkan dahi. "Kau harus tahu, akulah yang membuat semua puisinya!"
"O ya?" Gadis itu mendongak dengan wajah diseri-serikan (ah, aktingnya begitu sempurna). "Kalau begitu, aku alihkan rindu itu padamu." Mata celik itu berbinar. "Takkan ada yang mengalahkan rinduku ini."
"Ya. Tapi, mengapa kau memertanyakan kepulanganku, Julia? Bukankah kau telah mendapatiku di sini?"
"Aku memang mendapatkanmu, tapi...." Gadis itu bagai bergumam.
Tiba-tiba laki-laki itu terhenyak. Gulungan kertas di tangannya terjatuh. Terdengar bunyi senak dari kerongkongan.
Gadis itu berbalik arah. Membuka pintu. Menerobos hujan yang bergumul dengan halilintar.
"Tapi kau telah membuatku kehilangan rindu itu...." Kali ini ia bercakap pada langit yang marah.
Telah Seberapa Kuyup Kau oleh Puisiku?
Aku akan datang kelak, gumam laki-laki itu.
Pada malam yang sangat dulu, gadis yang hendak ia sunting itu ditelan hujan lagi. Ia tahu sekali. Ya, dulu, Julia takluk oleh hujan yang ia guyur dalam kata-kata.
Awalnya adalah mendung. Lalu rinai. Deras. Hujan pun makin rimbun. Renyai. Ia ingat sekali. Kala itu Julia menelepon. Gadis itu mengungkapkan betapa ia merindukan laki-laki puisi. Ia ingin pemuda itu membacakan beberapa puisi untuknya.
Laki-laki itu tahu betapa bengkak tagihan telepon yang akan dibayar bila ia penuhi permintaan itu. Maka, ia merubah suaranya se-Romeo mungkin.
"Tutup telepon ini, Sayang. Keluarlah. Hitung hujan satu-satu. Lalu, ceritakan padaku. Telah seberapa kuyup engkau oleh puisiku...."
Bakda itu, gadis itu tak pernah menghubunginya lagi.
Laki-laki itu tak pernah tahu kalau Julia terus memintal rindu. Berhelai-helai rindu. Lalu menjahitnya. Kadang memayetnya di beberapa bagian. Setiap hari ia selalu mengenakannya.
Gadis itu ketakutan sendiri bila hujan turun. Ya, itu pertanda Romeo akan menyerangnya dengan puisi yang bertubi-tubi. Namun, itu tak akan pernah menamatkan rindunya. Hingga, Romeo menelepon bahwa ia akan pulang. Ia bilang akan melucuti pakaiannya di malam pertama perjumpaan mereka setelah hampir setahun tak bertemu. Dan gadis itu merasa kematian akan segera menyambanginya. Hayat rindunya akan segera khatam.
"Oh, takkan ada yang boleh mencurinya, merebutnya, apalagi melepas rindu itu dari tubuh yang sudah bersekutu dengan waktu."
Pelukan Berdarah
Mereka bilang: ketika puisi dihadiahkan, maka penulisnya tak ada lagi. Namun, sepertinya tak berlaku bagi Romeo. Ya, bila Julia mengeja larik yang bertipografi itu, tiba-tiba lidahnya mati. Ia tak menemukan kata-kata di sana, selain wajah seseorang yang melemparnya ke masa lalu. Maka, gegas ia berharap agar hari ini bumi tak lagi mandi. Namun, permintaannya tertolak. Hujan menggila. Merajam bumi tak alang kepalang. Suara seng berkereokan. Ia mencangkung di sudut kamar. Selimut yang dieretnya dari ranjang, menutupi kakinya hingga sebatas lutut.
Ia tangkupkan kedua tangannya di kaca jendela yang mulai berkabut. Ia tatap jalan setapak yang meliuk di taman krisan dekat rumah. Meja bonggol-beringin itu sudah berlubang di sana-sini. Entah, ia bagai mendapati gelas kristal yang dulu pernah ia tinggalkan di sana, kini bertengger dekat salah satu kaki kursi yang terbuat dari anyaman damar yang sudah mencokelat. Ia serta merta mundur beberapa langkah ketika kilat tiba-tiba menyilaukan pandangan.
Pintu diketuk. Ia sibakkan gorden. Ia ambil sebilah pisau di dapur. Ia selipkan di pinggangnya. Ia gegas menyambut laki-laki itu. Laki-laki puisi, itu yang dia harapkan datang.
....
Ia peluk laki-laki itu. Erat sekali. Ia menangis. Menangis karena rindu tak tertanggungkan. Rindu tak tepermanai. Ia ingat sekali, bakda diboyong dari taman krisan satu tahun lalu, ia dikurung olehnya, laki-laki puisi palsu itu. Anehnya laki-laki itu meninggalkan nomor telepon Romeo untuknya.
"Aku dapat saja memisahkan kalian, namun cinta adalah keajaiban yang tak boleh dihentikan, bukan?" Ia terbahak-bahak seraya memberi kode agar para pengawalnya menyeret Romeo keluar.
O ya, laki-laki itu juga membayar para profesional untuk mengawasi dan memenuhi kebutuhan Julia. Dari satpam, tukang antar makanan, tukang cuci, hingga tukang rias. Dan kemarin, telah ia kirim semua orang bayaran itu bertamasya ke langit. Ia benar-benar yakin, hari ini mereka menangis hingga awan tak kuasa menampung air mata mereka. Ya, mereka hendak mengadu pada sang tuan yang kini dipeluknya.
Tak lama, Julia merenggangkan pelukan. Setelah bercakap sedikit, mata laki-laki itu membelalak. Terhenyak. Sebilah pisau telah tertancap di dadanya yang tak bidang itu.
Perempuan itu pergi. Menerobos hujan. Merayakan kematian Shakespear. Merayakan rindu yang takkan pernah mati.
Percakapan di Liang Lahat
Oh, bila kejadian ini disaksikan oleh orang-orang yang memuja mereka, pasti banyak yang terhenyak.
Bukan! Bukan karena Julia memaki-maki Romeo yang membawa setangkai bunga matahari. Bukan pula karena terlampau kasar cercaannya. Tapi.... Ah, nantilah kalian akan tahu sendiri. Ini adalah satu dari cerita yang tak pernah diumumkan.
Ialah ketika pemuda itu menanyakan mengapa Julia tak membalas puisi yang dikirimnya malam itu. Julia balik bertanya, bukahkah Shakespearlah yang menulis semuanya.
"Apalagi ia juga yang mengantarnya," lanjutnya. "Takkah kau tahu betapa aku membenci Shakespear, hah?! Aku benar-benar lelah terus berpura-pura mencintaimu, Romeo."
"Berpura-pura?"
"Ya. Kupikir kaulah laki-laki puisi itu." Julia melipat kedua tangannya di dada.
"Shakespeare juga telah meracuniku sebelumnya, Julia," wajah Romeo itu tiba-tiba sayu.
"Dan si tua bangka itu telah terlebih dahulu berkoar pada dunia, bahwa kita mati karena cinta yang sejati, sehidup semati!" Dada Julia turun naik meredam sesak.
"Malam itu," bibir Romeo bergetar, "Aku hanya ingin berbagi, Julia. Dan aku tak cukup lelaki untuk mengutarakannya tanpa basa-basi. Ya, aku berharap, puisi tak membuatku lemah sebagai kekasih."
"Ja... ja... ja... di," Julia gagu, "Benar puisi itu kau yang menulisnya, Romeo?"
Romeo mengangguk. "Tapi aku tak layak menjadi laki-laki puisi sebagaimana kau bayangkan."
Hening.
"Malam itu, Shakespear memintaku menulis puisi untukmu. Hanya puisi yang malam itu. Selebihnya karya Shakespear." Romeo jujur. "Yang menyambut teleponmu di malam ketika kau merinduiku, pun Shakespeare..." Romeo tertunduk.
"Sudahlah. Kalaupun kau benar mencintaiku, tak demikian dengan aku. Mungkin bila kita diberi waktu hidup lebih lama, dunia akan tahu bahwa kita hanya diperbudak pengarang hebat itu untuk saling memuja."(*)
Lubuklinggau, 09 Februari 2010
------------
Benny Arnas, lahir di Ulak Surung, kampung di utara Lubuklinggau, 08 Mei 1983. Meraih Anugerah Sastra Batanghari Sembilan 2009.
Lampung Post, Minggu, 4 April 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)