Sunday, February 7, 2010

Sang Suami

Cerpen Ganda Pekasih

SANG suami tiba-tiba merasa bahwa segala usahanya mencari harta dan kekayaan sia-sia. Ia mempunyai istri yang dirasanya kini hanya menghabiskan tabungan dan penghasilannya saja. Dua anaknya yang masih berusia balita juga sama. Baginya mereka meminum susu yang sangat mahal, yang tak pernah dibayangkannya kini harganya terus melambung. Sang Suami ingat dulu ketika kecil dia tidak pernah diberi susu formula oleh kedua orang tuanya yang hidup miskin. Jadi untuk apa susu susu itu, karena tidak minum susu pun dia sekarang bisa hidup.

Suara istri dan rengekan uang jajan anak anaknya yang kelas empat sekolah dasar itu pun kini terasa sakit di telinga. Tangis anak bungsunya yang berusia dua tahun itu pun terasa sumbang pula. Sang suami merasa sumpek dan tak menikmati lagi ritme-ritme berbeda dari suara suara itu yang dulu menjadi obat pelipur lara dan kekagumannya akan Sang Maha Pencipta, yang menitipkan anak-anak padanya yang pernah dia sebut sebagai anak anak keajaiban.

Istrinya muncul di pintu kamar. Kebiasaannya hari-hari belakangan ini setelah sang suami bertingkah aneh, tergesa menanyakannya kenapa ia belum berangkat ke kantor. Aku bekerja tidak mendapatkan apa-apa, kata sang suami dalam hati, wajah si istri tampak kuyu dan lelah. Untuk apa sebenarnya aku bekerja? Pikirnya lagi. Karena dengan adanya istri dan anak-anak, banyak keinginan dalam hidupku tak mampu kumiliki, pikirnya.

Ia merasa hanya punya rumah sederhana dengan dua kamar tidur, satu dapur, satu kamar mandi dan ruang tamu serta secuil halaman. Mobil tua tahun 90-an yang sama sekali tak bergengsi lagi karena setiap jalan yang dilaluinya kini terasa sempit oleh mobil-mobil baru dan mewah. Dia mestinya bisa memiliki apa pun jika sejak lama tak ada anak-anak dan istrinya, yang semuanya hanya bisa menghabiskan penghasilannya.

Pikiran macam apa yang datang menggangguku, pikir sang suami gelisah, hari harinya dia rasakan hanya berisi kejenuhan dan rutinitas yang tak berpindah. Bangun pagi, sarapan, bergaul dengan istri dan anak-anak. Urusan rutin kantor, tetek bengek ini itu, lalu malam panjang senyap menghantam. Ia gelisah, katanya rumahku surgaku, tiba di rumah, dirinya merasa seperti hiasan tanduk kepala rusa kering yang ada di tengah tengah rumah mereka, waktu telah tercecer entah ke mana.

Lalu....

Dia pernah menanyakan kepada teman-temannya tentang masalah yang dihadapinya. Beberapa di antara mereka mengatakan bahwa pikiran yang kini bersemayam di kepalanya semacam tekanan atau stres yang akan bisa mengakibatkan kemunduran loyalitas dalam banyak hal. Ada yang bilang dia disorientasi atau telah kehilangan haluan hidup.

Seharusnya istri dan anak-anaknya tetap menjadi motivasi terbesar dan memaknai semua permasalahan kehidupan sebagai ujian yang bersandar kepada-Nya. Semua yang datang dari-Nya adalah titipan yang harus dijaga. Berbahagialah orang yang dititipkan karunia-Nya demi keberlangsungan ciptaan-Nya.

Tapi beberapa temannya yang lain ada juga yang berpikiran sama dengannya, bahwa untuk apa memelihara istri dan anak-anak, segala kebutuhan apa saja toh bisa dilayani pembantu. Urusan beres-beres rumah, cuci, sarapan sampai urusan ranjang bisa disiapkan orang lain. Mereka bisa dibayar dan mengerjakan apa yang dibutuhkan untuk paruh waktu. Sementara uang yang dihasilkan bisa bukan hanya untuk memelihara pembantu, melainkan membeli apa saja untuk kenikmatan, gengsi, dan kehormatan.

Sang suami merasa gembira bahwa pikiran itu ternyata tidak dimiliki dirinya semata, ada beberapa rekannya yang juga punya pikiran yang sama, istri dan anak-anak pada saatnya hanya akan menjadi beban saja. Jangan harapkan imbalan dari mereka, mereka memiliki jiwa dan raga sendiri, mereka ibaratnya anak panah yang lepas dari busurnya dan anak panah tak akan kembali setelah dilepaskan.

&&&

Sang suami, bersama rekannya duduk santai di sebuah kafe, melepaskan beban bekerja untuk selusin target yang harus dicapai. Mereka terperangkap seperti ikan dalam bubu pikiran yang mereka ciptakan sendiri. Mereka minum bir dan merokok ditemani seorang pelayan kafe yang cantik, berpakaian seksi dengan atasan yang menonjolkan belahan buah dadanya. Sang pelayan rajin menuangkan bir dingin ke gelas dua orang sahabat itu yang merasa berat sekali untuk pulang ke rumah.

"Minggu depan aku akan keliling Jawa, audit beberapa usaha rekanan, jadi aku tidak pulang ke rumah seminggu! Untuk sementara aku keluar dari perangkap tikus!"

"Kau enak bisa jalan-jalan, aku mau ke mana, tugasku numpuk. Sementara uangku habis hanya untuk anak-anak dan istriku. Aku tak punya apa-apa. Bahkan untuk ikut asuransi saja sulit," kata sang suami.

"Libur saja sendiri. Habiskan uangmu. Itukan penghasilanmu. Suruh istrimu beli susu yang murah. Jangan kasih mertua dan keluarga istrimu sering-sering datang. Untuk apa, mereka toh datang hanya meminta uang."

"Jangan terlalu pelitlah untuk diri sendiri, lihat penampilanmu, tidak sesuai dengan jabatanmu. Kau bisa lebih sedikit metroseksual, beli pakaian yang sedikit mahal, ganti frame kacamatamu, beli dasi impor, beli parfum, itu akan membuat suasana lain yang menyenangkan. Jangan terlalu membebani diri sendirilah."

Benar apa kata rekannya itu, dia telah berusaha melupakan dan menghindari istri dan anak anaknya sesering mungkin, dia ciptakan dunianya sendiri di luar dunia istri dan anak-anaknya. Dia telah keluar dari perangkap tikus perkawinan, lalu dia masuki perangkap lain yang diciptakannya sendiri. Perkawinan sepasang manusia dia katakan ibarat masuk perangkap tikus.

&&&

Sang suami makin terperangkap dalam kekikirannya. Dia bertambah berat memberikan gajinya kepada sang istri. Bahkan, ketika dia sadar untuk siapa dia pelit, tak lain teman hidup dan darah dagingnya sendiri, dia tetap tak peduli. Dia mencemaskan semua pemberiannya kepada anak-anak dan istrinya hanya sia-sia karena mereka seperti anak panah yang lepas dari busurnya dan tak akan pernah kembali setelah dilepaskan.

Makin hari sang suami makin egois sendiri.

Makin hari si istri makin terlihat lungkrah dan tak bergairah. Sang istri mulai setop membeli bedak dan lipstik. Susu anak diganti dengan susu murahan, makanan mereka tak lagi mengutamakan kualitas gizi. Wajah si istri lebih sering memucat, tulang wajahnya makin tirus dan menonjol, anak-anak sering merengek karena permintaan mereka banyak tak terpenuhi.

Sang suami menumpuk tabungan, alasannya karena ingin membeli peternakan sapi dan mobil keluaran baru. Sang istri kelimpungan mengirit makanan, tak bisa lagi memberi uang kepada orang tua dan biaya kuliah adiknya.

Istrinya ingin bekerja, tapi bekerja di mana. Dia sudah berjanji untuk mengabdi sebagai istri yang taat, baginya mengurus anak-anak dan suami itu lebih utama bagi seorang wanita. Rumah adalah tempatnya mengabdi kepada Tuhan dan bekerja. Dulu, suaminya tak mau dia bekerja kalau cuma mengandalkan ijazah akademi, lebih baik di rumah saja, kata suaminya penuh tanggung jawab saat itu. Aku yang akan bekerja, kau konsentrasi di rumah saja mengurus anak-anak, tegasnya.

Dia juga ingat suaminya selalu minta didoakan siang dan malam agar karirnya terus meningkat, agar diselamatkan dari orang yang ingin menjatuhkannya, dan dia telah lakukan itu semua. Sang istri pun merasa cukup dengan apa yang diberikan suaminya, dia bisa membeli pakaian yang bagus, bedak dan lipstik yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan yang pernah dia beli sewaktu kuliah dulu. Ibunya bisa mendapatkan pengganti ongkos pulang ke kampung jika dia ke Jakarta karena kangen cucu-cucunya, merehab rumah, membayar uang kuliah adik-adiknya bahkan memodali pamannya beternak kambing di Purbasari.

Anak-anak tetap mendapat susu yang terbaik, sekolah yang terbaik, makanan yang terbaik. Berlebihankah aku dalam menghabiskan uang? Lihat bagaimana segala barang kebutuhan sekarang harganya terus naik, bagaimana mungkin kini suaminya menyerahkan uang dan berkata, cukup atau tidak cukup, terserah kamu, itu berarti dia kini telah melepas tanggung jawabnya.

"Ibu dan adik-adikmu jangan sering-sering lagi ke mari!" katanya. Memang mereka sudah lama tidak datang, sudah lebih enam bulan sejak sang istri mengatakan langsung kepada mereka hal itu. Aku istri yang tahu diri bahwa rumah adalah surga keluarga. Orang lain adalah tamu yang segala urusannya harus selesai dan pergi dalam sekejap, walau orang lain itu adalah mertua, adik kandung, ipar, paman, keponakan, dan tetek bengek lainnya.

&&&

Sang istri makin terjepit.

Libur panjang sekolah, sang istri membawa anak-anaknya ke Semarang ke tempat neneknya, si istri belum tahu berapa lama mereka akan tinggal di sana. Tapi, dia berjanji kepada suaminya hanya seminggu, karena bekal mereka pas-pasan dan sang suami tidak memberi ongkos dan uang untuk kebutuhan liburan.

Setelah seminggu di Semarang, mengingat perangai suaminya yang kikir dan egois tak memerdulikan dirinya dan anak-anak lagi, istrinya memutuskan untuk tidak kembali. Itu berarti mereka akan tinggal di Semarang sekitar tiga minggu hingga sebulan atau selamanya tak pulang. Cerai? Kenapa tidak! Dia pun sudah muak dengan suaminya itu.

Keputusan istrinya membuat sang suami gembira karena kini dia bisa menikmati hidup leluasa. Dia merasakan kegembiraan lain yang tak didapatnya selama ini. Dia mulai mengurus makanan dan mencuci pakaiannya sendiri seperti dia mahasiswa dulu, dia lakukan semuanya dengan senang hati. Dia bebas menonton film porno yang selama ini sangat dibenci istrinya, bermacam-macam judul dia tonton setiap hari, disetel dengan volume yang tinggi. Dia mengajak berkumpul teman-teman kantornya ke rumah, berpesta, merokok, dan minum bir, atau mereka di kafe-kafe yang sering mereka kunjungi. Sang suami benar-benar merasakan senangnya hidup sendiri, bebas seperti burung merpati seperti dia masih bujangan dulu, ke mana pun dia ingin terbang maka dia kepakkan sayapnya ke sana.

&&&

Suatu hari, dalam sebuah pameran mobil, sang suami berjumpa wanita bekas pacarnya dulu sewaktu kuliah di Bandung, merasa surprise, mereka ngobrol di kafe sampai tengah malam. Si wanita telah punya satu anak berusia tujuh tahun dan kini menjanda, dia telah bercerai karena suaminya ketahuan selingkuh. Pasangan selingkuh itu akhirnya menikah dan menceraikan istri pertamanya karena sang istri tak mau dimadu.

Si wanita yang tak mau dimadu ini hatinya luka. Sejak lama dia kesepian, hingga dia dahaga dan ingin sekali dibelai lelaki. Pertemuan pertama dengan bekas pacarnya membuatnya menyuruk pasrah, mereka menginap di sebuah hotel malam itu, saling curhat, berpelukan sampai pagi tiba hingga membuat mereka terjaga kaget tak sadar telah melakukan hubungan intim layaknya sepasang suami istri.

&&&

Setelah tiga minggu menghabiskan waktu liburan bersama anak-anaknya di Semarang, sang suami mendapat telepon bahwa istri dan anak-anaknya akan pulang, mereka minta dijemput di kantor travel langganan mereka. Cepat sekali waktu berlalu, anak-anaknya sudah menyelesaikan liburan, pikir sang suami. Sang suami akhirnya memutuskan, bahwa dia tak bisa menjemput, pulang saja naik taksi setelah sampai Jakarta, tegasnya.

Perempuan bekas pacarnya di Bandung dulu menelepon pula, minta berjumpa di hotel yang mereka tiduri kemarin malam, dan sang suami lebih memilih berjumpa selingkuhannya itu di hotel.

Saat tiba di hotel, tiba-tiba dia mendapat telepon dari travel bahwa mobil yang membawa istri dan anak-anaknya bertabrakan dengan bus antarkota. Sang suami dengan kesal segera menghubungi ponsel istrinya, tapi yang menyahut bukan istrinya, suara di seberang mengaku polantas yang menyebutkan kecelakaan dan identitas penumpangnya tengah diteliti.

Sang suami tambah kesal.

Menurut berita dari kantor travel, korban kecelakaan telah dibawa ke rumah sakit terdekat, beberapa orang tewas seketika dan beberapa lainnya sekarat, juga ada beberapa anak-anak dalam mobil itu dan balita.

Sang suami memutuskan keluar hotel dan terpaksa menuju kantor travel.

Sang suami dianjurkan untuk ke rumah sakit bersama beberapa orang dari kantor travel melihat keluarganya.

Sang suami akhirnya menurut ketika diajak rombongan kantor travel, entah ke rumah sakit mana, entah di daerah mana. Dia merasa pikirannya mendadak melayang-layang....

&&&

Istri dan anak-anaknya telah terbujur kaku di kamar mayat rumah sakit ketika sang suami tiba. Mereka telah diam tak bergerak-gerak, mereka tidak menangis apalagi merengek-rengek meminta uang jajan atau susu. Mereka terbaring kaku, cuma dengan T-shirt sederhana yang mereka pakai, celana pendek murahan, sepatu murahan. Tubuh mereka kurus kurus, sama seperti tubuh istrinya yang sejak lama berpipi tirus itu.

Mereka terbungkus di dalam selimut tikar pandan buatan tangan yang berlumur darah. Mereka tersenyum dalam diam mereka seperti mengatakan bahwa apa yang mereka inginkan sudah ada yang mencukupi untuk selama-lamanya.

Sang suami shock, dia merasa sangat terpukul melihat pemandangan yang tak pernah dia duga itu, pemandangan yang mengerikan, dia menggigil dan ingin berteriak, tetapi suaranya hanya tertahan di dada.

Semua senyum dan tawa-tawa mereka kini tak akan dia miliki dan dilihatnya lagi untuk selamanya. Mereka yang dia sebut dulu sebagai anak-anak keajaiban yang menyempurnakan dirinya sebagai sang suami. Kini telah ada yang mengambil alih semua kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka untuk selama lamanya.... n

Lampung Post, Minggu, 7 Februari 2010

No comments:

Post a Comment