Cerpen Guntur Alam
BANYAK cerita yang beredar tentang tenggelamnya kapal yang dikomandoi Kapten Hendrik van der Decken di Tanjung Harapan, 1641. Kapal dagang VOC yang bertolak dari Batavia dengan membawa rempah-rempah menuju Holland. Dari sekian banyak cerita yang ada, semua seolah sepakat kalau peristiwa naas itu akibat ulah Kapten Hendrik van der Decken yang bersekutu dengan iblis. Menentang kehendak langit dan bertingkah sombong akan dapat menaklukan badai hebat yang menghadang di mukanya, hingga ia menerima kutukan dan menjadikan kapalnya sebagai kapal hantu legendaris: Flying Dutchman.
Ah, seandainya mereka tahu. Ya, seandainya mereka tahu kalau bukanlah itu penyebab utama tenggelamnya kapal Var der Decken. Ooh, apa kisah yang telah melegenda itu akan hilang bila aku menceritakannya? Entahlah, pastinya mereka akan tetap beranggapan, kemampuan Kapten Hendrik van der Decken yang bisa mengarungi lautan lebih cepat dari jadwal yang ada antara Batavia dan Holloand akibat persekutuannya dengan makhluk gaib akan tetap ada di benak mereka. Namun, itu tak akan mengurungkan niatku untuk menceritakan kisah tenggelamnya kapal Van der Decken ini sesuai versi seorang awaknya yang selamat.
Awak yang selamat? Ahai, tentu kau tak akan menduga ini. Ya, aku dapat menerkanya. Kau pasti terperanjat bila mengetahui kalau ada seorang awak kapal Van der Decken yang selamat dari petaka itu. Tersebab, cerita telah tersiar ratusan tahun lampau, kalau kapal itu hilang beserta seluruh isinya. Lalu, darimana aku tahu ada awak yang selamat dan mendapat cerita tentang kejadian naas itu? Nanti, nanti aku kisahkan bagian itu. Pertama-tama, marilah kita simak cerita yang diuraikan awak itu kepadaku.
***
SAAT bertolak dari Batavia, para awak kapal sudah mendapat firasat tak baik. Bukan. Bukan karena mereka sudah menduga akan mengalami nasib naas. Bukan itu. Perihal badai, mereka kerap kali menemukannya. Telah puluhan kali mereka bertempur dengan badai, terlebih di Semenanjung Harapan itu. Firasat buruk yang menghantui seluruh awak kapal adalah percekcokan antara kapten mereka dengan istrinya, Mevrouw Bernard. Ya, nama asli Kapten Hendrik van der Decken adalah Bernard Fokke.
Sebenarnya, perang dingin antara sang kapten dan istrinya telah dimulai sejak kapal hendak berlayar dari Holland menuju Batavia. Telah berkali-kali perempuan itu memaksa Kapten Hendrik van der Decken untuk mengizinkannya mengikuti pelayaran dari Holland menuju Batavia. Ah, tentu tak ada satu pun kapten kapal di muka bumi ini yang hendak meluluskan permintaan seperti itu. Pasti sangat merepotkan. Terlebih Kapten Van der Decken tahu, keinginan istrinya hanyalah sebuah ambisi yang hendak dipuaskan. Perempuan itu hanya ingin menghabiskan ratusan gulden untuk berburu barang mewah yang kerap dipamerkan kawan-kawannya. Namun, entah apa yang terjadi, tak seorang awak pun yang tahu, tiba-tiba saja pada pelayaran kali ini Kapten Van der Decken meluluskan permintaan istrinya itu, walau semua diawali percekcokan seperti biasa. Dan para awak kapal hanya terngangah melihat perempuan itu ada di kapal.
Inilah petaka yang ditakutkan seluruh awak kapal: mereka takut, Mevrouw Bernard akan mengendus rahasia terbesar kapten mereka. Ah, tak ada yang berani membayangkan itu semua. Bagaimana rupa bila perempuan mandul itu tahu kalau di Batavia, Kapten Hendrik van der Decken memiliki seorang istri dan putri? Ah, betapa itu sangat mengerikan. Tentu Mevrouw Bernard akan mengamuk. Lebih-lebih bila perempuan itu tahu jika madunya seorang perempuan pribumi!
Mungkin. Mungkin memang sudah tercatat dalam garis semesta, ketakutan para awak kapal itu terwujud. Tapi, tidak ada yang menduga kalau kenyataan yang ada jauh lebih mengerikan dari yang mereka bayangkan.
Beberapa hari sebelum kapal mereka bertolak dari Batavia menuju Holland, petaka itu datang. Perempuan pribumi yang menjadi istri kedua Kapten Hendrik van der Decken meninggal dunia. Saat itu memang tengah terjadi wabah malaria di Batavia. Telah puluhan orang yang meninggal dunia, salah satunya istri kedua Kapten Hendrik van der Decken. Dan masalah dimulai, tak ada yang mengurus putri sang kapten. Gadis belia yang baru menginjak usia empat belas tahun itu tak memiliki sesiapa di Batavia. Ah, sebuah pilihan yang berat. Akan lain soal bila Mevrouw Bernard tak ikut pelayaran ini. Tentu Kapten Hendrik van der Decken akan mudah menyusupkan putrinya itu dan menyerahkan pada ibunya di Holland. Andai, andai saja kondisinya seperti itu, tentu cerita ini akan berbeda.
Sialnya, Mevrouw Bernard mengendus semuanya. Tentulah dapat ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Perang itu meletus seketika. Mevrouw Bernard seperti singa terluka, ia mengamuk dan mengeluarkan sumpah serapah. Kapten Hendrik van der Decken berusaha tak terlalu menggubris. Itu bisa dipahami dari sikapnya yang menenggak alkohol lebih banyak. Sementara itu, Mevrouw Bernard mengancam akan mengakhiri ikatan mereka sesampai di Holland nanti.
***
TAK ada yang menduga. Sungguh, tak ada yang menduga kalau Mevrouw Bernard begitu terluka dengan pengkhianatan yang dilakukan Kapten Hendrik van der Decken, hingga perempuan itu menyusun siasat yang demikian keji.
Kapal Van der Decken berlayar seperti biasa, sesuai jadwal yang telah ditetapkan syahbandar di Pelabuhan Batavia. Pada mulanya, tak ada yang terjadi. Perang dingin itu seolah redam. Para awak beranggapan telah terjadi gencatan senjata. Hal itu membuat para awak menghela napas lega. Hingga petaka itu terkuak.
Entah, iblis mana yang menyusup di hati Mevrouw Bernard hingga pikiran keji itu terlintas di benaknya. Tak ada yang menduga; para awak, apalagi Kapten Hendrik van der Decken. Benar-benar suatu siasat keji yang membuat orang akan menganggap ini adalah mimpi buruk yang teramat nyata.
Siasat keji apa?
Ah, aku tak kuasa mengisahkan bagian ini. Bagian yang sesungguhnya menjadi awal petaka itu. Bagian yang menjadi pangkal tenggelamnya kapal Van der Decken. Baiklah, akan aku ceritakan bagian itu dengan sangat pelan, tersebab bila mengingat bagian ini, aku masih kerap didera ngeri.
Subuh itu, ketika langit di atas laut masih temaram. Tiba-tiba saja putri Kapten Hendrik van der Decken berjalan tertatih-tatih ke tempat sang kapten. Wajahnya pucat, lutut gemetar, dan pakaian yang kusut masai. Tentulah sang kapten mengeryitkan kening begitu melihat penampilan anak gadisnya. Apa yang terjadi? Pasti itu yang terbersit di benaknya kala itu. Lalu, kisah keji itu teurai dari bibir gadis belia itu.
Katanya, semalam ia baru saja dijual ibu tirinya kepada beberapa saudagar Belanda yang jadi penumpang di kapal ini. Dan para saudagar itu telah menggumuli tubuhnya semalaman.
Ah, dapat kau terka. Merah padam wajah sang kapten. Serta-merta ia berteriak seperti kesetanan mencari istrinya. Seperti yang dapat ditebak, Kapten Hendrik van der Decken mengamuk hebat. Mevrouw Bernard menjadi bulan-bulanan dalam amukan itu. Puncaknya, ia menembak mati istrinya itu dan beberapa saudagar Belanda yang telah menggumuli anaknya, lalu membuang mayat mereka ke laut.
Pemandangan mengerikan itu membuat kapal mencekam. Seluruh awak dan penumpang senyap. Tak ada yang berani membuka suara. Kapten Hendrik van der Decken membaluri dirinya dengan alkohol. Suasana kapal makin tegang ketika seorang awak mengatakan kalau anak gadis sang kapten jatuh sakit. Gadis itu tak sadarkan diri dan darah masih terus mengalir dari selangkangannya. Tentu saja, berita itu kian membuat Kapten Hendrik van der Decken kacau. Ia menyeru seluruh awaknya bekerja keras agar kapal dapat melaju lebih cepat, menggapai Semenanjung Harapan dan mendarat di pelabuhan yang ada di sana untuk menemukan dokter bagi putrinya.
Ketika kapal Van der Decken mendekati perairan Tanjung Harapan, mendadak cuaca yang tadi cerah berubah. Seolah ada tangan-tangan gaib yang berusaha menjegal keinginan sang kapten. Langit mendadak gelap, angin kencang tiba-tiba saja bergulung dari arah Tenggara. Sekejap saja badai hebat telah mengamuk. Kapal Van der Decken terjebak dalam badai dahsyat.
Awak kapal panik. Badai ini terlalu hebat untuk ditaklukan. Tapi, Kapten Hendrik van der Decken tak perduli. Ia tetap tak memerintahkan para awak untuk menggulung layar. Ia masih saja berusaha menyisir laut, menaklukan terjangan angin dan ombak yang kian menggila. Dan tiba-tiba saja, terjangan angin yang keras merobek kain layar. Kapal Van der Decken kian terombang-ambing di tengah badai. Para awak dan penumpang menyeru kepada sang kapten untuk menurunkan perintah menggulung layar dan membiarkan kapal terombang-ambing sampai badai reda. Tapi, Kapten Hendrik van der Decken tak menggubrisnya. Di pelupuk matanya, terbentang wajah putrinya yang tengah sekarat. Ah, gadis itu adalah jantung hatinya. Seorang anak yang bertahun-tahun ia dambakan. Ia tak ingin kalah dari badai.
"Aku akan menaklukan badai dan melewati semenanjung ini walaupun hari kiamat yang menghadang!"
Teriakan Kapten Hendrik van der Decken itu tentu saja meremangkan bulu kuduk seluruh awak kapal. Lepas ia melontarkan kemarahan itu, angin kian mengganas, ombak menggila dan tiba-tiba saja ombak besar menghantam kapal itu. Semua awak terpelanting di geladak, lambung Kapal Van der Decken robek! Penumpang histeris, berebutan menuju sekoci. Sekali lagi, ombak besar datang bergulung-gulung. Orang-orang panik hendak menyelamatkan diri. Kapten Hendrik van der Decken tak peduli, seolah menyosong maut, ia menerjang ombak besar itu. Dan Kapal Van der Decken lenyap ditelan ombak.
***
AKU tahu, mungkin tak akan banyak yang percaya akan ceritaku ini. Dalam benak mereka, tentu telah terpatri cerita tentang kapal Van der Decken yang menjelma menjadi kapal hantu paling misterius itu. Ah, itu tak akan mengurungkan niatku untuk menceritakan versi awak Van der Decken yang selamat. Karena awak kapal yang selamat itu adalah leluhurku, satu-satunya pribumi yang bekerja di kapal Van der Decken, yang bertugas membersihkan seluruh geladak.
Saat badai itu, ia terlempar dan terampung di atas papan serpihan Van der Decken. Lalu, beberapa nelayan menemukannya di perairan Tanjung Harapan. Ia tak pernah sanggup untuk menceritakan kejadian mengerikan itu, bertahun kemudian ia bisa kembali ke Batavia dengan menumpang kapal dari Holland. Kisah ini hanya ia ceritakan kepada keturunannya, menjadi kisah temurun yang diuraikan. Dan hanya keturunannya pulalah yang tahu, kalau dewi laut yang disebut-sebut orang dalam mitos Van der Decken bernama Calypso sesungguhnya hanyalah bohong belaka, sebab Calypso adalah nama putri semata wayang Kapten Hendrik Van der Decken.
C59, 16-17 Oktober 2011.
Lampung Post, Minggu, 15 April 2012
BANYAK cerita yang beredar tentang tenggelamnya kapal yang dikomandoi Kapten Hendrik van der Decken di Tanjung Harapan, 1641. Kapal dagang VOC yang bertolak dari Batavia dengan membawa rempah-rempah menuju Holland. Dari sekian banyak cerita yang ada, semua seolah sepakat kalau peristiwa naas itu akibat ulah Kapten Hendrik van der Decken yang bersekutu dengan iblis. Menentang kehendak langit dan bertingkah sombong akan dapat menaklukan badai hebat yang menghadang di mukanya, hingga ia menerima kutukan dan menjadikan kapalnya sebagai kapal hantu legendaris: Flying Dutchman.
Ah, seandainya mereka tahu. Ya, seandainya mereka tahu kalau bukanlah itu penyebab utama tenggelamnya kapal Var der Decken. Ooh, apa kisah yang telah melegenda itu akan hilang bila aku menceritakannya? Entahlah, pastinya mereka akan tetap beranggapan, kemampuan Kapten Hendrik van der Decken yang bisa mengarungi lautan lebih cepat dari jadwal yang ada antara Batavia dan Holloand akibat persekutuannya dengan makhluk gaib akan tetap ada di benak mereka. Namun, itu tak akan mengurungkan niatku untuk menceritakan kisah tenggelamnya kapal Van der Decken ini sesuai versi seorang awaknya yang selamat.
Awak yang selamat? Ahai, tentu kau tak akan menduga ini. Ya, aku dapat menerkanya. Kau pasti terperanjat bila mengetahui kalau ada seorang awak kapal Van der Decken yang selamat dari petaka itu. Tersebab, cerita telah tersiar ratusan tahun lampau, kalau kapal itu hilang beserta seluruh isinya. Lalu, darimana aku tahu ada awak yang selamat dan mendapat cerita tentang kejadian naas itu? Nanti, nanti aku kisahkan bagian itu. Pertama-tama, marilah kita simak cerita yang diuraikan awak itu kepadaku.
***
SAAT bertolak dari Batavia, para awak kapal sudah mendapat firasat tak baik. Bukan. Bukan karena mereka sudah menduga akan mengalami nasib naas. Bukan itu. Perihal badai, mereka kerap kali menemukannya. Telah puluhan kali mereka bertempur dengan badai, terlebih di Semenanjung Harapan itu. Firasat buruk yang menghantui seluruh awak kapal adalah percekcokan antara kapten mereka dengan istrinya, Mevrouw Bernard. Ya, nama asli Kapten Hendrik van der Decken adalah Bernard Fokke.
Sebenarnya, perang dingin antara sang kapten dan istrinya telah dimulai sejak kapal hendak berlayar dari Holland menuju Batavia. Telah berkali-kali perempuan itu memaksa Kapten Hendrik van der Decken untuk mengizinkannya mengikuti pelayaran dari Holland menuju Batavia. Ah, tentu tak ada satu pun kapten kapal di muka bumi ini yang hendak meluluskan permintaan seperti itu. Pasti sangat merepotkan. Terlebih Kapten Van der Decken tahu, keinginan istrinya hanyalah sebuah ambisi yang hendak dipuaskan. Perempuan itu hanya ingin menghabiskan ratusan gulden untuk berburu barang mewah yang kerap dipamerkan kawan-kawannya. Namun, entah apa yang terjadi, tak seorang awak pun yang tahu, tiba-tiba saja pada pelayaran kali ini Kapten Van der Decken meluluskan permintaan istrinya itu, walau semua diawali percekcokan seperti biasa. Dan para awak kapal hanya terngangah melihat perempuan itu ada di kapal.
Inilah petaka yang ditakutkan seluruh awak kapal: mereka takut, Mevrouw Bernard akan mengendus rahasia terbesar kapten mereka. Ah, tak ada yang berani membayangkan itu semua. Bagaimana rupa bila perempuan mandul itu tahu kalau di Batavia, Kapten Hendrik van der Decken memiliki seorang istri dan putri? Ah, betapa itu sangat mengerikan. Tentu Mevrouw Bernard akan mengamuk. Lebih-lebih bila perempuan itu tahu jika madunya seorang perempuan pribumi!
Mungkin. Mungkin memang sudah tercatat dalam garis semesta, ketakutan para awak kapal itu terwujud. Tapi, tidak ada yang menduga kalau kenyataan yang ada jauh lebih mengerikan dari yang mereka bayangkan.
Beberapa hari sebelum kapal mereka bertolak dari Batavia menuju Holland, petaka itu datang. Perempuan pribumi yang menjadi istri kedua Kapten Hendrik van der Decken meninggal dunia. Saat itu memang tengah terjadi wabah malaria di Batavia. Telah puluhan orang yang meninggal dunia, salah satunya istri kedua Kapten Hendrik van der Decken. Dan masalah dimulai, tak ada yang mengurus putri sang kapten. Gadis belia yang baru menginjak usia empat belas tahun itu tak memiliki sesiapa di Batavia. Ah, sebuah pilihan yang berat. Akan lain soal bila Mevrouw Bernard tak ikut pelayaran ini. Tentu Kapten Hendrik van der Decken akan mudah menyusupkan putrinya itu dan menyerahkan pada ibunya di Holland. Andai, andai saja kondisinya seperti itu, tentu cerita ini akan berbeda.
Sialnya, Mevrouw Bernard mengendus semuanya. Tentulah dapat ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Perang itu meletus seketika. Mevrouw Bernard seperti singa terluka, ia mengamuk dan mengeluarkan sumpah serapah. Kapten Hendrik van der Decken berusaha tak terlalu menggubris. Itu bisa dipahami dari sikapnya yang menenggak alkohol lebih banyak. Sementara itu, Mevrouw Bernard mengancam akan mengakhiri ikatan mereka sesampai di Holland nanti.
***
TAK ada yang menduga. Sungguh, tak ada yang menduga kalau Mevrouw Bernard begitu terluka dengan pengkhianatan yang dilakukan Kapten Hendrik van der Decken, hingga perempuan itu menyusun siasat yang demikian keji.
Kapal Van der Decken berlayar seperti biasa, sesuai jadwal yang telah ditetapkan syahbandar di Pelabuhan Batavia. Pada mulanya, tak ada yang terjadi. Perang dingin itu seolah redam. Para awak beranggapan telah terjadi gencatan senjata. Hal itu membuat para awak menghela napas lega. Hingga petaka itu terkuak.
Entah, iblis mana yang menyusup di hati Mevrouw Bernard hingga pikiran keji itu terlintas di benaknya. Tak ada yang menduga; para awak, apalagi Kapten Hendrik van der Decken. Benar-benar suatu siasat keji yang membuat orang akan menganggap ini adalah mimpi buruk yang teramat nyata.
Siasat keji apa?
Ah, aku tak kuasa mengisahkan bagian ini. Bagian yang sesungguhnya menjadi awal petaka itu. Bagian yang menjadi pangkal tenggelamnya kapal Van der Decken. Baiklah, akan aku ceritakan bagian itu dengan sangat pelan, tersebab bila mengingat bagian ini, aku masih kerap didera ngeri.
Subuh itu, ketika langit di atas laut masih temaram. Tiba-tiba saja putri Kapten Hendrik van der Decken berjalan tertatih-tatih ke tempat sang kapten. Wajahnya pucat, lutut gemetar, dan pakaian yang kusut masai. Tentulah sang kapten mengeryitkan kening begitu melihat penampilan anak gadisnya. Apa yang terjadi? Pasti itu yang terbersit di benaknya kala itu. Lalu, kisah keji itu teurai dari bibir gadis belia itu.
Katanya, semalam ia baru saja dijual ibu tirinya kepada beberapa saudagar Belanda yang jadi penumpang di kapal ini. Dan para saudagar itu telah menggumuli tubuhnya semalaman.
Ah, dapat kau terka. Merah padam wajah sang kapten. Serta-merta ia berteriak seperti kesetanan mencari istrinya. Seperti yang dapat ditebak, Kapten Hendrik van der Decken mengamuk hebat. Mevrouw Bernard menjadi bulan-bulanan dalam amukan itu. Puncaknya, ia menembak mati istrinya itu dan beberapa saudagar Belanda yang telah menggumuli anaknya, lalu membuang mayat mereka ke laut.
Pemandangan mengerikan itu membuat kapal mencekam. Seluruh awak dan penumpang senyap. Tak ada yang berani membuka suara. Kapten Hendrik van der Decken membaluri dirinya dengan alkohol. Suasana kapal makin tegang ketika seorang awak mengatakan kalau anak gadis sang kapten jatuh sakit. Gadis itu tak sadarkan diri dan darah masih terus mengalir dari selangkangannya. Tentu saja, berita itu kian membuat Kapten Hendrik van der Decken kacau. Ia menyeru seluruh awaknya bekerja keras agar kapal dapat melaju lebih cepat, menggapai Semenanjung Harapan dan mendarat di pelabuhan yang ada di sana untuk menemukan dokter bagi putrinya.
Ketika kapal Van der Decken mendekati perairan Tanjung Harapan, mendadak cuaca yang tadi cerah berubah. Seolah ada tangan-tangan gaib yang berusaha menjegal keinginan sang kapten. Langit mendadak gelap, angin kencang tiba-tiba saja bergulung dari arah Tenggara. Sekejap saja badai hebat telah mengamuk. Kapal Van der Decken terjebak dalam badai dahsyat.
Awak kapal panik. Badai ini terlalu hebat untuk ditaklukan. Tapi, Kapten Hendrik van der Decken tak perduli. Ia tetap tak memerintahkan para awak untuk menggulung layar. Ia masih saja berusaha menyisir laut, menaklukan terjangan angin dan ombak yang kian menggila. Dan tiba-tiba saja, terjangan angin yang keras merobek kain layar. Kapal Van der Decken kian terombang-ambing di tengah badai. Para awak dan penumpang menyeru kepada sang kapten untuk menurunkan perintah menggulung layar dan membiarkan kapal terombang-ambing sampai badai reda. Tapi, Kapten Hendrik van der Decken tak menggubrisnya. Di pelupuk matanya, terbentang wajah putrinya yang tengah sekarat. Ah, gadis itu adalah jantung hatinya. Seorang anak yang bertahun-tahun ia dambakan. Ia tak ingin kalah dari badai.
"Aku akan menaklukan badai dan melewati semenanjung ini walaupun hari kiamat yang menghadang!"
Teriakan Kapten Hendrik van der Decken itu tentu saja meremangkan bulu kuduk seluruh awak kapal. Lepas ia melontarkan kemarahan itu, angin kian mengganas, ombak menggila dan tiba-tiba saja ombak besar menghantam kapal itu. Semua awak terpelanting di geladak, lambung Kapal Van der Decken robek! Penumpang histeris, berebutan menuju sekoci. Sekali lagi, ombak besar datang bergulung-gulung. Orang-orang panik hendak menyelamatkan diri. Kapten Hendrik van der Decken tak peduli, seolah menyosong maut, ia menerjang ombak besar itu. Dan Kapal Van der Decken lenyap ditelan ombak.
***
AKU tahu, mungkin tak akan banyak yang percaya akan ceritaku ini. Dalam benak mereka, tentu telah terpatri cerita tentang kapal Van der Decken yang menjelma menjadi kapal hantu paling misterius itu. Ah, itu tak akan mengurungkan niatku untuk menceritakan versi awak Van der Decken yang selamat. Karena awak kapal yang selamat itu adalah leluhurku, satu-satunya pribumi yang bekerja di kapal Van der Decken, yang bertugas membersihkan seluruh geladak.
Saat badai itu, ia terlempar dan terampung di atas papan serpihan Van der Decken. Lalu, beberapa nelayan menemukannya di perairan Tanjung Harapan. Ia tak pernah sanggup untuk menceritakan kejadian mengerikan itu, bertahun kemudian ia bisa kembali ke Batavia dengan menumpang kapal dari Holland. Kisah ini hanya ia ceritakan kepada keturunannya, menjadi kisah temurun yang diuraikan. Dan hanya keturunannya pulalah yang tahu, kalau dewi laut yang disebut-sebut orang dalam mitos Van der Decken bernama Calypso sesungguhnya hanyalah bohong belaka, sebab Calypso adalah nama putri semata wayang Kapten Hendrik Van der Decken.
C59, 16-17 Oktober 2011.
Lampung Post, Minggu, 15 April 2012
No comments:
Post a Comment