Cerpen Tarpin A. Nasri
TERNYATA tidak mudah untuk memetik cinta Gunung Geulis. Jatuh bangun aku memburunya, bahkan hatiku sampai berdarah-darah dibuatnya, tapi cinta yang ingin kudapat dari Gunung belum juga bisa kupetik. Sikap Gunung merampok seluruh kepenasaranku, karena cintaku diterima juga tidak, ditolak pun tak jelas. Ngambang. Tak pasti. Anehnya, kalau Gunung kuajak nonton pertunjukkan teater di TIM atau di Salihara, menikmati konser jazz di Balai Sarbini atau di Jakarta Convention Centre, nonton ketoprak humor di Gedung Kesenian Jakarta, dan berburu buku baru di Gunung Agung, sampai belanja pakaian di Sogo, Gunung tak pernah menolak, bahkan ketika kuajak berkenalan dengan keluargaku di Yogyakarta, Gunung juga menyambutnya dengan senang hati. Hanya ketika kutembak guna minta kepastian cinta Gunung untuk siapa, Gunung tak juga mau menjawab. Mulut Gunung rapat terkunci, di layar mata dan di lintasan wajahnya tak juga kutemukan cinta mengombak dan menampakkan jati dirinya.
Mendapati kenyataan yang seperti itu, jujur saja, aku jadi ragu antara terus maju atau step by step mundur. Akhirnya setelah kupertimbangkan lebih dari dua bulan, aku memutuskan untuk menjaga jarak saja dengan Gunung. Antara mengejar atau menyerang dengan menunggu atau mempelajari perkembangan yang terjadi, porsinya imbang. Terus terang saja hal itu kulakukan karena aku masih menaruh harapan dengan cinta Gunung.
"Gimana progress percintaanmu dengan Gunung, Ngarai Elok?" tanya sahabatku Laut Biru saat kami makan siang di jam istirahat kerja.
Aku menunda menyuapkan nasi ke mulutku. Aku angkat bahu dengan wajah berkabut.
"Maksudmu gimana, Ngarai?" tanya Laut Biru. "Kok angkat bahu?"
"Tak ada kemajuan yang signifikan, Laut Biru," jawabku. "Cintaku diterima juga tidak dan ditolak pun tidak oleh Gunung," lanjutku. "Hanya bila kuajak ke mana pun, Gunung tak pernah menolak, dan Gunung juga selalu punya waktu untukku."
"Terus gimana dong langkah selanjutnya?" kejar Laut Biru.
"Wait and see sajalah dulu," jawabku. "Mungkin dengan demikian akan ada yang berubah ke arah yang lebih jelas dan lebih pasti. Kebetulan juga kini banyak yang harus aku kerjakan, sehingga ingatanku dari sejak bangun tidur sampai tidur lagi tak terus-terusan kepada Gunung seorang."
"Okey jika itu yang terbaik buatmu, Ngarai," jawab Laut Biru. "Aku selalu siap membantu jika kau butuhkan, Sob. Okey?"
Aku mengangguk. "Thanks, Bro," jawabku, lalu kami melanjutkan makan sampai selesai.
***
AKHIRNYA aku benar-benar menanti dan melihat apa yang terjadi dengan Gunung. Ketika Gunung jalan dengan Bukit Topan, meski aku kecewa dan sedih, aku harus legowo. Gunung berhak memilih pria terbaik untuk hidupnya. Apalagi kutahu, bagi Gunung menikah itu hanya terjadi sekali untuk seumur hidup. Bahkan ketika Awan Langit melakukan pedekate dan kemudian menembak Gunung, aku juga menyikapinya dengan menghibur diri, "Kalau Gunung jodohnya Ngarai, Gunung tak akan jatuh ke dalam pelukan siapa pun."
Ketika seminggu kemudian kami janjian untuk makan siang, santai saja aku menunjukkan sikapku. "Akhir-akhir ini, maaf, aku melihat kau banyak didekati, bahkan ditembak oleh mereka, yang ingin menjadikanmu pacar, bahkan mungkin istri," kataku. "Kuharap Gunung bisa memilih salah satu yang terbaik untuk hidupmu...."
Gunung mengangguk. "Sejauh ini belum ada satu pun yang aku pilih, aku masih mengejar karierku, dan aku juga masih belum ingin berumah tangga. Semua laki-laki yang pedekate kepadaku masih kuanggap sebagai teman biasa. Jadi, belum ada salah satu yang kuistimewakan."
"Tak ditakut disebut wanita yang suka gonta-ganti pria?" pancingku.
"Kukira aku enggak gonta-ganti laki-laki. Dengan siapa pun aku berteman."
"Tak takut dengan usia yang terus berjalan?" tantangku.
"Aku wanita normal, dan aku juga ingin menikah, punya anak, lalu jadi ibu rumah tangga," jawab Gunung. "Tapi sampai detik ini belum ada laki-laki yang mencuri hatiku dan belum ada pria yang berhasil menggetarkan cintaku. Terus kalau faktanya begini mau diapakan, Ngarai? Apa aku salah bersikap jujur seperti ini?"
Aku menggeleng. "Jika itu yang terbaik untukmu saat ini, lakukanlah dengan enjoy," kataku. "Siapa Arjuna yang terbaik untukmu, hanya kamu yang tahu. Dan kapan kau harus mengakhiri masa lajangmu, kamu juga yang mutusin, bukan orang lain dan bukan pula orang tuamu kukira."
"Kamu sendiri gimana, Ngarai?" tanya Gunung balik bertanya. Aku gugup, karena aku tak menduga akan dapat serangan pertanyaan seperti itu. "Sudah ada Juliet yang kau pilih?"
Sejenak aku diam dan dalam hati kemudian aku bicara, "Kamulah Juliet yang kupilih, Gunung. Apakah kau tidak tahu? Apa kamu pura-pura tidak mengerti?"
"Lho ditanya kok diam?" desak Gunung. "Kenapa? Salahkah pertanyaanku?"
Aku menggeleng, lalu tersenyum untuk menyamarkan kecewa. "Tak ada yang salah dengan pertanyaanmu, Gunung."
"Jadi jawab dong kalau begitu?"
"Aku sudah berusaha semaksimal mungkin mencari jodoh yang terbaik untukku, tapi sampai detik ini aku belum menemukan jodohku. Kalau dengan wanita yang kukehendaki, Tuhan sudah mempertemukannya...."
"Siapa wanita itu, Ngarai?" potong Gunung. "Akukah wanita itu?"
Aku tersenyum. Lalu aku ngeles. Takut cintaku pada Gunung bertepuk sebelah tangan. "Mari kita lanjutkan makannya, Gunung?"
***
KARENA kulihat cinta Gunung belum jelas entah untuk siapa, aku jadi punya ide menggandeng Kembang Wangi yang kuskenariokan seolah-olah jadi pacarku untuk memancing reaksi Gunung: Apa Gunung memberi perhatian atas kebersamaanku dengan Kembang Wangi?
Sial! Sampai sejauh ini Gunung enjoy saja, bahkan Gunung sempat mengucapkan selamat via es-em-es tanpa meraba desir sedih dan robekkan kecewa di hatiku: "Selamat dan sukses atas keputusan Ngarai yang telah memilih Kembang Wangi sebagai kekasih". Dan di lain waktu ketika kami tepergok makan siang di sebuah kafe di selatan Jakarta, tak lama kemudian Gunung kirim e-mail yang membuatku nyaris putus asa: "Aduh...semakin asyik dan lengket saja nih sejoli cinta Ngarai Elok Sakti-Kembang Wangi. Kapan nih tunangannya? Jangan lupa Gunung diundang ya?"
Atas dasar itu, aku kemudian memutuskan untuk tidak menunggu-nunggu Gunung, apalagi Gunung kini kulihat sering dikawal makan siang dan diantar pulang kantor oleh Bintang Kejora. Mendapati kenyataan pahit di luar skenarioku, aku frustrasi bukan main, sehingga semangat kerjaku drop, pikiranku kacau, dan kerjaku banyak yang berantakkan. Akhirnya dari pada merusak semuanya, aku putuskan untuk ambil cuti dulu. Otak, pikiran, dan perasaanku heng....
Di saat aku menghilang itulah, Gunung deras kirim es-em-es ke handphone-ku dan e-mail Gunung juga menyerbu laptop-ku. Gunung bertanya: kenapa aku menghilang, di mana aku berada, dan sampai kapan sembunyi. Di lain pihak Kembang Wangi juga menguberku dan minta aku bertanggung jawab. Ternyata Kembang Wangi mencintaiku. Witing tresno jalaran soko kulino. Kebersamaannya bersamaku telah menumbuhkan cinta suci. Sementara cinta matiku justru kepada Gunung!
Ketika keduanya kemudian meminta aku memilih dan menentukan sikap. Aku dihadapkan pada posisi sulit. Kalau aku memilih Kembang Wangi, Gunung pasti terluka. Jika aku memilih Gunung, Kembang Wangi jelas sakit hati. Maka biar adil aku tidak memilih keduanya.
"Maaf bukan aku tidak mencintaimu, Gunung," kataku kepada Gunung. "Cintaku kepadamu memang cinta mati, tapi aku juga tak mau melukai Kembang Wangi," lanjutku. "Lagi pula kamu sudah mempunyai Arjuna, yang ke mana pun kamu pergi dengan setia mengawalmu!"
Sedangkan untuk Kembang Wangi aku bilang, "Cinta sucimu kuterima dan kuhargai lahir-batin, tapi aku juga tak ingin menyakiti Gunung."
***
KETIKA Gunung dan Kembang Wangi mengantarkan kepindahan tugasku ke Yogyakarta, di Stasiun Gambir, aku bilang kepada keduanya. "Ini keputusan yang berat dan sulit, tapi aku sudah memilih dan memutuskan untuk tidak mencintai siapa pun, biarlah aku pilih jalan sendiri: aku rela membujang sampai Tuhan mempertemukanku dengan jodohku. Adil bukan?"
Menjelang detik-detik terakhir keretaku berangkat ke Yogyakarta, Bintang Kejora menjemput Gunung yang berlinang air mata. Dan ketika aku naik gerbong kereta dan duduk di kursi yang nomornya tertera dalam tiket, kulirik kursi di sebelahku ternyata masih kosong. Hanya dua menit menjelang kereta berangkat, seseorang mengusik lamunanku yang kukerjakan sambil bersandar di sandaran tempat duduk dan memejamkan mata. "Maaf, numpang lewat, kursi saya di sebelah Anda," katanya.
Kubuka mataku pelan-pelan. "Kembang Wangi...," kataku seperti dalam mimpi.
"Aku juga mau ke Yogyakarta untuk mencari pelabuhan cinta, serta buat menemukan dermaga untuk kasih dan sayangku. Entah siapa dia, biarlah Tuhan yang memilihkan jodoh untukku."
Ketika kereta bergerak dan meninggalkan Stasiun Gambir, aku masih diam dan berpikir. "Tuhan, apakah ini jodoh pilihan-Mu untukku?" tanyaku kepada-Nya, dan aku sama sekali tak mengusik ketika dua jam kemudian Kembang Wangi tertidur pulas menyandar di bahu, dan kemudian jatuh ke pangkuanku sepanjang perjalanan.
Ketika sampai Stasiun Tugu, barulah kami bingung. "Mau ke mana kita, Mas Ngarai?"
"Lho kamu memang mau ke mana?" aku balik bertanya kepada Kembang Wangi yang dengan manis dan mesra menambah panggilan "mas" di depan namaku.
"Tolong bawa dan antarkan aku sekarang ke rumah orang tuaku di Sleman, dan sekalian lamar aku, karena aku tak mungkin lagi bisa lepas darimu, karena cintaku kepadamu bukan cuma cinta suci, tapi cinta mati, Mas Ngarai!"
"Kembang Wangi...," ujarku kaget dan bungah. "Kamu...."
"Jangan biarkan hidupku, cinta suciku, cinta matiku, dan kecantikan-keayuan-kemanisan-keseksianku dimakan waktu tanpa Mas Ngarai nikmati. Berikan cinta suci Mas Ngarai kepadaku dan berikan pula cinta mati Mas Ngarai kepada Gunung untuk Kembang Wangi. Apakah Mas Ngarai tak yakin bahwa aku adalah jodoh pati Mas Ngarai? Aku yakin, aku diciptakan Tuhan khusus untukmu, Mas Ngarai...."
Karena semuanya sudah jelas aku langsung menggandeng tangan Kembang Wangi keluar dari Stasiun Tugu, dan dengan menyewa taksi aku membawa Kembang Wangi ke rumahnya. Begitu sampai di rumah joglo yang indah, bersih, anggun, cantik dan asri, bapak dan ibu, serta adik-adik Kembang Wangi, dan ditambah dengan beberapa saudara dekat, menyambut kedatangan kami dengan riang gembira.
"Inikah Arjunamu yang akan memberi kami beberapa orang cucu yang cantik dan ganteng, Nnuk Wangi?" tanya bapak Kembang Wangi, yang diamini oleh anggukan orang-orang berwajah sumringah yang turut menyambut kami.
Kembang Wangi tak segera menjawab. Kembang Wangi melirikku untuk segara menjawab. Melihat gunung harapan menjulang tinggi di kelopak matanya dan lautan keinginan terhampar begitu luas di wajahnya, tak ada kata yang lebih indah yang keluar dari mulutku untuk anak ningrat yang masih kerabat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu kecuali: "Inggih, Kanjeng Romo...."
Selanjutnya aku sibuk membopong Kembang Wangi yang langsung pingsan mendengar jawabanku, yang kupastikan sangat berkenan dan begitu menggembirakan hatinya.
Lampung Post, Minggu, 26 Februari 2012
Sunday, February 26, 2012
Sunday, February 19, 2012
Batu Hitam itu...
Cerpen Isbedy Stiawan Z.S.
"Kau hanya batu hitam
tak ada manfaat ataupun mudarat
jika tidak kulihat Rasululllah menciummu
tidak kucium kau..."
*
LELAKI itu akhirnya jadi juga ke Tanah Suci, setelah beberapa kali tertunda—persisnya terganjal—oleh berbagai persoalan. Pertama ia batal menunaikan ibadah haji disebabkan dua bulan jadwal keberangkatan kuota cukup. Ia pun masuk waitinglist alias menunggu jadwal tahun depan. Dan, begitu tahun keberangkatannya, istrinya meninggal. Ia pun minta ditunda tahun berikutnya.
Pada tahun ketiga, alhamudillah ia mendapat restu dari Allah. Lelaki itu berangkat tanpa istri tercinta. Tak apa, pikirnya, di Baitullah kelak jika diberi kesehatan dan kekuatan akan dia hajikan pula istrinya. Dia bedoa semoga diberi kesehatan. Lelaki itu ingin sekali sepulang dari Tanah Suci mendapat gelar haji bersama istrinya.
Ia sudah siapkan uang untuk membayar jasa yang akan menghajikan istrinya. Itu bukan upah, tapi untuk uang lelah. Bukankah untuk memperoleh surga tak ada jual-beli? Melaksanakan ibadah mesti ikhlas, gumamnya. Itu sebabnya, ia ikhlas untuk membayar lelah kepada orang yang nantinya diminta untuk menghajikan istrinya.
Dengan sejuta keimanan, seribu sisa kekuatan yang dimiliki lelaki paruh baya itu, melangkahlah ia memenuhi panggilan-Nya. Hendak menyusuri tapak Nabi Ibrahim, mengembalikan kenangan bagaimana Siti Hajar berlari-lari dari Bukit Safa ke Bukit Marwah untuk memperoleh air bagi si anak yang masih kecil, Ismail. Juga mengelilingi Kakbah—Baitullah—sebagaimana para malaikat pernah melakukannya untuk berzikir dan bertasbih, juga berdoa saat di depan batu hitam bernama Hajar Aswad itu: sebuah doa yang telah terpatri oleh seluruh muslim ataupun yang terundang ke Tanah Suci.
Lelaki itu tak hendak menginap di hotel setiba di Tanah Mekah. Baginya, kamar beserta kasur dan kesejukan hotel akan membuatnya kerap lelap. Kalau itu menyergap dirinya, kenapa tidak di rumah saja? Di rumah pun ia selalu bangun tengah malam: tahajud dan berzikir hingga subuh mengembang. Sebagaimana ia pernah membaca salah satu puisi Khalil Gibran: "Hanya pejalan malam yang akan menemukan fajar."
Ya! Ia mahfum paham makna dari untaian Gibran itu. Hanya orang-orang yang bangun tengah malam, lalu beribadah, mengingat-Nya, dan berdoa, mereka menemukan kemenangan. Meskipun kemenangan, menurut lelaki paruh baya itu, masih misteri, penuh rahasia. Apakah ia menang begitu ia bisa memenuhi undangan ke Tanah Suci ini? Apakah kegagalan dua kali menunaikan ibadah haji, adalah kemenangan tertunda?
**
LELAKI itu akhirnya benar-benar menjejakkan kaki di Tanah Suci. Kali pertama tiba di Bandar Udara King Abdul Azis Jeddah, segera ia bersujud persis di depan tangga pesawat. Tak peduli orang-orang melihatnya. Tak ia hiraukan segenap karyawan bandara memperhatikannya. Mungkin takjub, entah pula terheran-heran. Setelah itu sebuah bis milik bandara menjemput, ia pun naik. Berhenti di dekat kantor imigrasi. Ia pun antre untuk dicatat sebagai pendatang—tamu Allah—di Kerajaan Arab Saudi.
Ia hanya sekali meneteskan air mata. Berikutnya dia bergembira, saat matanya beradu pandang pada sejumlah orang berkulit hitam. Mereka adalah keturunan Nigeria, tetapi lahir, besar, dan berketurunan di Tanah Suci ini. Sayangnya, kerajaan tak mengakui mereka sebagai warga Arab Saudi. Bahkan, konon, mereka pernah ingin dipulang ke negeri asal, sayang ditolak sebab mereka dianggap bukan lagi bagian Nigeria. Akhirnya mereka terkatung-katung tanpa kartu penduduk, juga tempat tinggal. Mereka menyerbu ke keramaian sebagai pedagang ataupun peminta-minta. Sungguh malang nian.
Entah bagaimana caranya, ia bisa mengerti dikatakan orang Nigeria yang diajaknya mengobrol. Padahal mereka tak menggunakan bahasa, melainkan gerak tubuh. Bahkan, tatkala lelaki itu menyebut namanya: Muhammad Yusuf, orang Nigeria yang diajak mengobrol itu mengangguk-angguk.
"Muhammad Yusuf, ya ya...Dari Indonesia? Bagus bagus..."
"Ana Abdul Azis.. ya..."
Sejak itu, lelaki bernama Muhammad Yusuf dari Indonesia, kerap mengobrol dengan lelaki Nigeria bernama Abdul Azis selepas salat di Masjidil Haram. Karena kekerabatan itu, ia membeli barang dengan harga murah dibanding jika dijual kepada orang lain.
Ia banyak tahu betapa orang Nigeria bagaikan warga tanpa perlindungan di negeri yang melahirkannya. Kerajaan Arab Saudi, kata Abdul Azis, masih mengakui orang-orang Nigeria sebagai pendatang. Padahal, mereka sudah turun-temurun menetap di negeri ini. Kerajaan tak memberi fasilitas yang sama seperti diberikan kepada orang Arab. Sehingga mereka mencari nafkah lewat berjualan, itu pun harus kucing-kucingan dengan asykari (polisi) kerajaan.
"Rumah kami adalah alam ini. Atap rumah kami ialah langit negeri ini," kata Abdul Azis menggerakkan tangannya.
Lelaki itu mengangguk. Hatinya teriris. Kemarin, selepas salat subuh, ia melihat anak-anak menjadi pengemis. Tangan kirinya terlihat buntung. Sementara anak yang lain, terlapis tangan palsu.
"Mereka dipaksa oleh orang tuanya menjadi peminta-minta. Mereka tak cacat. Tangannya itu ia masukkan ke dalam pakaiannya. Sedangkan yang itu, tangan palsu yang terlihat itu cuma ditempelkan. Jadi...."
"Jadi, mereka berbohong?"
"Karena keadaan," jawab Abdul Azis. "Di sini, tak semua orang suci, tak semua benar-benar hendak beribadah. Bahkan...."
"Ya, benar. Di depan Kakbah pun orang bisa berbuat curang," kata lelaki itu seperti membenarkan cerita Abdul Azis.
Masih ingat dan tak akan mungkin terlupakan selama nyawa di kandung badan. Saat dia tawaf, sejumlah anak muda bertubuh kekar tak henti menawarkan diri untuk membantu para jemaah agar bisa mencium Hajar Aswat (batu hitam) itu. Sejatinya, jika para jemaah tertib saat tawaf, niscayalah batu hitam itu bisa dicium satu per satu atau bergantian. Hanya saja, sistem sengaja dibuat agar terkesan bahwa jemaah sangat ingin mencium dan batu hitam itu adalah "jalan menuju surga" atau setidaknya merupakan tuntunan dari kanjeng Nabi Muhammad Sang Rasul Allah. Sehingga orang berlomba, bahkan sebagian menganggap sudah kewajiban batu hitam itu dicium saat tawaf.
Padahal, dari sirah Nabi, Umar bin Khattab pernah berujar: "Kau hanya batu hitam, tak ada manfaat ataupun mudarat. Jika tidak kulihat Rasululllah menciummu, tidak kucium kau...."
"Tetapi, orang punya cara lain saat berdekatan dengan Kakbah yang selama ini mungkin hanya mimpi," kata ustaz yang pernah memberi wejangan pada lelaki itu suatu ketika di masjid dekat rumahnya. "Sehingga mencium Hajar Aswat seperti kewajiban, karenanya sampai bersusah payah untuk menyentuhkan bibirnya di batu itu. Sampai-sampai tak menghiraukan keselamatan sendiri. Jemaah dari Indonesia jauh lebih kecil dalam segala hal dibanding jemaah dari luar, seperti Nigeria, Turki, Eropa, dan seterusnya. Akibatnya, bisa terinjak-injak. Padahal cukup melambai dan mengucapkan “Bismillah Allah akbar”, persis di depan batu hitam itu..."
Lalu pada pengajian lainnya, ia juga sempat mendengar dari ustaz itu, bahwa di Jabal Rahma juga banyak orang berbuat syirik. Bukit Cinta, demikian istilah lain bagi bukit di Padang Arafah itu, adalah tempat pertemuan Adam dengan Siti Hawa setelah beratus-ratus tahun tak jumpa pasca-keduanya diturunkan dari surga.
"Jadi Bukit Rahma itu hanya untuk kita mengenang perjalanan panjang Adam dan Hawa hingga bertemu di situ, lalu menciptakan keturunan hingga ke kita ini. Tetapi, kenyataannya di sekitar itu banyak tulisan yang menginginkan harmonis percintaan mereka...," kata sang ustaz.
Dua pelajaran itu ia rekam hingga mendalam. Lelaki itu tak ingin melakukan kesyirikan justru di Tanah Suci. Sebab itu, ia menolak tatkala ada yang menawarkan bantuan untuk mencium batu hitam. Penolakannya itu berbuah keuntungan. Kalau tidak, seperti banyak jemaah lainnya, diperas hingga 100 real.
Lelaki itu sempat naik pitam. Seorang tua dari Jawa diperas 100 rial, padahal dia tak mempunyai uang sebesar itu. Teman lelaki bertubuh kekar itu segera menariknya, dan berujar: "Kami di sini mau makan. Apa Bapak mau kasih kami uang!"
Des! Lelaki itu pun menciut. Wajahnya menunduk. Ia tak mungkin bisa memberi 100 real, sedangkan untuk melawan ia tak punya keberanian meskipun mereka juga dari Indonesia. Barangkali para tenaga kerja Indonesia yang gagal lalu mencari uang dari kecurangan dan memanfaatkan orang Indonesia yang kerap menganggap "masuk surga begitu mudah, cukup hanya mencium batu hitam...."
Lelaki itu makin bergetar jantungnya, saat melihat seorang lelaki tua tergeletak persis di dekat batu hitam. Lelaki asal Pulau Kalimantan baru sekejap lalu terinjak-injak oleh, entah jemaah dari mana kecuali yang dia lihat bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam, yang bergerombol sambil berlomba mendekati batu hitam itu. Mereka satu sama lain berpedangan tangan, sangat kuat sampai sulit tercerai-berai, dan merangsek ke batu hitam yang ada di sudut di Kakbah. Setelah itu, Muhammad Yusuf hanya mendengar teriakan minta tolong berkali-kali, hingga lenyap. Dan, tergeletak.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiuun...," hampir bersamaan orang-orang berujar. Segera lelaki paruh baya itu bantu menggotong lelaki yang telah meninggal itu. Jenazah itu pun disalatkan selepas zuhur...
"Semoga menjadi syuhada. Ia syahid...," komentar teman barunya lelaki Nigeria, saat ia menceritakan ihwal kejadian subuh tadi saat ia tawaf untuk menggantikan tahiyatul masjid.
*
BETAPA Allah hendak menguji umatnya dengan kesulitan dan cobaan-cobaan lainnya. Tetapi, tak ada ujian yang diberikan Allah melebihi kemampuan hambanya.
Begitu ia pernah mendapat wejangan dari ustaz pada suatu pengajian. Artinya, Allah tak akan menyusahkan umatnya dengan cobaan sangat berat. “Jika kita tak mampu mencium batu hitam itu, cukuplah melambai dari jauh. Jangan dipaksa untuk mendekat lalu menciumnya, karena Rasulullah pernah melakukannya. Sama artinya kalau kita tak punya kemampuan datang ke Tanah Suci, ya tak perlu dipaksa-paksa harus datang. Bukankah menunaikan ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Itu pun ada syaratnya: jika mampu," kata ustaz itu lagi.
"Lalu apa ukuran mampu, ya Ustaz?"
"Mampu fisik dan mampu keuangan...,"jawab ustaz. "Karena perjalanan ke Mekah itu sangat berat...."
Dan, lelaki paruh baya itu mendapatkan cobaan amat berat. Menyaksikan langsung bagaimana jemaah terinjak-injak, bagaimana masih banyak umat Islam yang berbuat syirik justru di depan Kakbah. Juga nasib umat Islam asal Nigeria yang bagaikan pendatang haram di negeri kelahirannya ini. Betapa Kerajaan Arab Saudi yang juga masih jauh dari ajaran Muhammad saw.
"Mereka biarkan kami terlunta sebagai pengais rezeki di pasar dan sebagian kami jadi pengemis. Tidak seperti orang Madinah yang menerima Muhajirin sebagai bagian tak terpisah dari mereka. Hingga para sahabat dan Rasulullah wafat pun dikubur sebagai keluarga mereka. Sedangkan kami, sedang kami...tak pernah diakui sebagai keluarga dari orang-orang Arab," keluh Abdul Azis.
Setelah berucap itu, ia segera mengemas barang-barangnya dan lari. Beberapa asykari turun dari mobil dan mengejar para pedagang dan pengemis.... n
Mekah Mei 2011, Lampung Juli 2011
Lampung Post, Minggu, 19 Februari 2012
"Kau hanya batu hitam
tak ada manfaat ataupun mudarat
jika tidak kulihat Rasululllah menciummu
tidak kucium kau..."
*
LELAKI itu akhirnya jadi juga ke Tanah Suci, setelah beberapa kali tertunda—persisnya terganjal—oleh berbagai persoalan. Pertama ia batal menunaikan ibadah haji disebabkan dua bulan jadwal keberangkatan kuota cukup. Ia pun masuk waitinglist alias menunggu jadwal tahun depan. Dan, begitu tahun keberangkatannya, istrinya meninggal. Ia pun minta ditunda tahun berikutnya.
Pada tahun ketiga, alhamudillah ia mendapat restu dari Allah. Lelaki itu berangkat tanpa istri tercinta. Tak apa, pikirnya, di Baitullah kelak jika diberi kesehatan dan kekuatan akan dia hajikan pula istrinya. Dia bedoa semoga diberi kesehatan. Lelaki itu ingin sekali sepulang dari Tanah Suci mendapat gelar haji bersama istrinya.
Ia sudah siapkan uang untuk membayar jasa yang akan menghajikan istrinya. Itu bukan upah, tapi untuk uang lelah. Bukankah untuk memperoleh surga tak ada jual-beli? Melaksanakan ibadah mesti ikhlas, gumamnya. Itu sebabnya, ia ikhlas untuk membayar lelah kepada orang yang nantinya diminta untuk menghajikan istrinya.
Dengan sejuta keimanan, seribu sisa kekuatan yang dimiliki lelaki paruh baya itu, melangkahlah ia memenuhi panggilan-Nya. Hendak menyusuri tapak Nabi Ibrahim, mengembalikan kenangan bagaimana Siti Hajar berlari-lari dari Bukit Safa ke Bukit Marwah untuk memperoleh air bagi si anak yang masih kecil, Ismail. Juga mengelilingi Kakbah—Baitullah—sebagaimana para malaikat pernah melakukannya untuk berzikir dan bertasbih, juga berdoa saat di depan batu hitam bernama Hajar Aswad itu: sebuah doa yang telah terpatri oleh seluruh muslim ataupun yang terundang ke Tanah Suci.
Lelaki itu tak hendak menginap di hotel setiba di Tanah Mekah. Baginya, kamar beserta kasur dan kesejukan hotel akan membuatnya kerap lelap. Kalau itu menyergap dirinya, kenapa tidak di rumah saja? Di rumah pun ia selalu bangun tengah malam: tahajud dan berzikir hingga subuh mengembang. Sebagaimana ia pernah membaca salah satu puisi Khalil Gibran: "Hanya pejalan malam yang akan menemukan fajar."
Ya! Ia mahfum paham makna dari untaian Gibran itu. Hanya orang-orang yang bangun tengah malam, lalu beribadah, mengingat-Nya, dan berdoa, mereka menemukan kemenangan. Meskipun kemenangan, menurut lelaki paruh baya itu, masih misteri, penuh rahasia. Apakah ia menang begitu ia bisa memenuhi undangan ke Tanah Suci ini? Apakah kegagalan dua kali menunaikan ibadah haji, adalah kemenangan tertunda?
**
LELAKI itu akhirnya benar-benar menjejakkan kaki di Tanah Suci. Kali pertama tiba di Bandar Udara King Abdul Azis Jeddah, segera ia bersujud persis di depan tangga pesawat. Tak peduli orang-orang melihatnya. Tak ia hiraukan segenap karyawan bandara memperhatikannya. Mungkin takjub, entah pula terheran-heran. Setelah itu sebuah bis milik bandara menjemput, ia pun naik. Berhenti di dekat kantor imigrasi. Ia pun antre untuk dicatat sebagai pendatang—tamu Allah—di Kerajaan Arab Saudi.
Ia hanya sekali meneteskan air mata. Berikutnya dia bergembira, saat matanya beradu pandang pada sejumlah orang berkulit hitam. Mereka adalah keturunan Nigeria, tetapi lahir, besar, dan berketurunan di Tanah Suci ini. Sayangnya, kerajaan tak mengakui mereka sebagai warga Arab Saudi. Bahkan, konon, mereka pernah ingin dipulang ke negeri asal, sayang ditolak sebab mereka dianggap bukan lagi bagian Nigeria. Akhirnya mereka terkatung-katung tanpa kartu penduduk, juga tempat tinggal. Mereka menyerbu ke keramaian sebagai pedagang ataupun peminta-minta. Sungguh malang nian.
Entah bagaimana caranya, ia bisa mengerti dikatakan orang Nigeria yang diajaknya mengobrol. Padahal mereka tak menggunakan bahasa, melainkan gerak tubuh. Bahkan, tatkala lelaki itu menyebut namanya: Muhammad Yusuf, orang Nigeria yang diajak mengobrol itu mengangguk-angguk.
"Muhammad Yusuf, ya ya...Dari Indonesia? Bagus bagus..."
"Ana Abdul Azis.. ya..."
Sejak itu, lelaki bernama Muhammad Yusuf dari Indonesia, kerap mengobrol dengan lelaki Nigeria bernama Abdul Azis selepas salat di Masjidil Haram. Karena kekerabatan itu, ia membeli barang dengan harga murah dibanding jika dijual kepada orang lain.
Ia banyak tahu betapa orang Nigeria bagaikan warga tanpa perlindungan di negeri yang melahirkannya. Kerajaan Arab Saudi, kata Abdul Azis, masih mengakui orang-orang Nigeria sebagai pendatang. Padahal, mereka sudah turun-temurun menetap di negeri ini. Kerajaan tak memberi fasilitas yang sama seperti diberikan kepada orang Arab. Sehingga mereka mencari nafkah lewat berjualan, itu pun harus kucing-kucingan dengan asykari (polisi) kerajaan.
"Rumah kami adalah alam ini. Atap rumah kami ialah langit negeri ini," kata Abdul Azis menggerakkan tangannya.
Lelaki itu mengangguk. Hatinya teriris. Kemarin, selepas salat subuh, ia melihat anak-anak menjadi pengemis. Tangan kirinya terlihat buntung. Sementara anak yang lain, terlapis tangan palsu.
"Mereka dipaksa oleh orang tuanya menjadi peminta-minta. Mereka tak cacat. Tangannya itu ia masukkan ke dalam pakaiannya. Sedangkan yang itu, tangan palsu yang terlihat itu cuma ditempelkan. Jadi...."
"Jadi, mereka berbohong?"
"Karena keadaan," jawab Abdul Azis. "Di sini, tak semua orang suci, tak semua benar-benar hendak beribadah. Bahkan...."
"Ya, benar. Di depan Kakbah pun orang bisa berbuat curang," kata lelaki itu seperti membenarkan cerita Abdul Azis.
Masih ingat dan tak akan mungkin terlupakan selama nyawa di kandung badan. Saat dia tawaf, sejumlah anak muda bertubuh kekar tak henti menawarkan diri untuk membantu para jemaah agar bisa mencium Hajar Aswat (batu hitam) itu. Sejatinya, jika para jemaah tertib saat tawaf, niscayalah batu hitam itu bisa dicium satu per satu atau bergantian. Hanya saja, sistem sengaja dibuat agar terkesan bahwa jemaah sangat ingin mencium dan batu hitam itu adalah "jalan menuju surga" atau setidaknya merupakan tuntunan dari kanjeng Nabi Muhammad Sang Rasul Allah. Sehingga orang berlomba, bahkan sebagian menganggap sudah kewajiban batu hitam itu dicium saat tawaf.
Padahal, dari sirah Nabi, Umar bin Khattab pernah berujar: "Kau hanya batu hitam, tak ada manfaat ataupun mudarat. Jika tidak kulihat Rasululllah menciummu, tidak kucium kau...."
"Tetapi, orang punya cara lain saat berdekatan dengan Kakbah yang selama ini mungkin hanya mimpi," kata ustaz yang pernah memberi wejangan pada lelaki itu suatu ketika di masjid dekat rumahnya. "Sehingga mencium Hajar Aswat seperti kewajiban, karenanya sampai bersusah payah untuk menyentuhkan bibirnya di batu itu. Sampai-sampai tak menghiraukan keselamatan sendiri. Jemaah dari Indonesia jauh lebih kecil dalam segala hal dibanding jemaah dari luar, seperti Nigeria, Turki, Eropa, dan seterusnya. Akibatnya, bisa terinjak-injak. Padahal cukup melambai dan mengucapkan “Bismillah Allah akbar”, persis di depan batu hitam itu..."
Lalu pada pengajian lainnya, ia juga sempat mendengar dari ustaz itu, bahwa di Jabal Rahma juga banyak orang berbuat syirik. Bukit Cinta, demikian istilah lain bagi bukit di Padang Arafah itu, adalah tempat pertemuan Adam dengan Siti Hawa setelah beratus-ratus tahun tak jumpa pasca-keduanya diturunkan dari surga.
"Jadi Bukit Rahma itu hanya untuk kita mengenang perjalanan panjang Adam dan Hawa hingga bertemu di situ, lalu menciptakan keturunan hingga ke kita ini. Tetapi, kenyataannya di sekitar itu banyak tulisan yang menginginkan harmonis percintaan mereka...," kata sang ustaz.
Dua pelajaran itu ia rekam hingga mendalam. Lelaki itu tak ingin melakukan kesyirikan justru di Tanah Suci. Sebab itu, ia menolak tatkala ada yang menawarkan bantuan untuk mencium batu hitam. Penolakannya itu berbuah keuntungan. Kalau tidak, seperti banyak jemaah lainnya, diperas hingga 100 real.
Lelaki itu sempat naik pitam. Seorang tua dari Jawa diperas 100 rial, padahal dia tak mempunyai uang sebesar itu. Teman lelaki bertubuh kekar itu segera menariknya, dan berujar: "Kami di sini mau makan. Apa Bapak mau kasih kami uang!"
Des! Lelaki itu pun menciut. Wajahnya menunduk. Ia tak mungkin bisa memberi 100 real, sedangkan untuk melawan ia tak punya keberanian meskipun mereka juga dari Indonesia. Barangkali para tenaga kerja Indonesia yang gagal lalu mencari uang dari kecurangan dan memanfaatkan orang Indonesia yang kerap menganggap "masuk surga begitu mudah, cukup hanya mencium batu hitam...."
Lelaki itu makin bergetar jantungnya, saat melihat seorang lelaki tua tergeletak persis di dekat batu hitam. Lelaki asal Pulau Kalimantan baru sekejap lalu terinjak-injak oleh, entah jemaah dari mana kecuali yang dia lihat bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam, yang bergerombol sambil berlomba mendekati batu hitam itu. Mereka satu sama lain berpedangan tangan, sangat kuat sampai sulit tercerai-berai, dan merangsek ke batu hitam yang ada di sudut di Kakbah. Setelah itu, Muhammad Yusuf hanya mendengar teriakan minta tolong berkali-kali, hingga lenyap. Dan, tergeletak.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiuun...," hampir bersamaan orang-orang berujar. Segera lelaki paruh baya itu bantu menggotong lelaki yang telah meninggal itu. Jenazah itu pun disalatkan selepas zuhur...
"Semoga menjadi syuhada. Ia syahid...," komentar teman barunya lelaki Nigeria, saat ia menceritakan ihwal kejadian subuh tadi saat ia tawaf untuk menggantikan tahiyatul masjid.
*
BETAPA Allah hendak menguji umatnya dengan kesulitan dan cobaan-cobaan lainnya. Tetapi, tak ada ujian yang diberikan Allah melebihi kemampuan hambanya.
Begitu ia pernah mendapat wejangan dari ustaz pada suatu pengajian. Artinya, Allah tak akan menyusahkan umatnya dengan cobaan sangat berat. “Jika kita tak mampu mencium batu hitam itu, cukuplah melambai dari jauh. Jangan dipaksa untuk mendekat lalu menciumnya, karena Rasulullah pernah melakukannya. Sama artinya kalau kita tak punya kemampuan datang ke Tanah Suci, ya tak perlu dipaksa-paksa harus datang. Bukankah menunaikan ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Itu pun ada syaratnya: jika mampu," kata ustaz itu lagi.
"Lalu apa ukuran mampu, ya Ustaz?"
"Mampu fisik dan mampu keuangan...,"jawab ustaz. "Karena perjalanan ke Mekah itu sangat berat...."
Dan, lelaki paruh baya itu mendapatkan cobaan amat berat. Menyaksikan langsung bagaimana jemaah terinjak-injak, bagaimana masih banyak umat Islam yang berbuat syirik justru di depan Kakbah. Juga nasib umat Islam asal Nigeria yang bagaikan pendatang haram di negeri kelahirannya ini. Betapa Kerajaan Arab Saudi yang juga masih jauh dari ajaran Muhammad saw.
"Mereka biarkan kami terlunta sebagai pengais rezeki di pasar dan sebagian kami jadi pengemis. Tidak seperti orang Madinah yang menerima Muhajirin sebagai bagian tak terpisah dari mereka. Hingga para sahabat dan Rasulullah wafat pun dikubur sebagai keluarga mereka. Sedangkan kami, sedang kami...tak pernah diakui sebagai keluarga dari orang-orang Arab," keluh Abdul Azis.
Setelah berucap itu, ia segera mengemas barang-barangnya dan lari. Beberapa asykari turun dari mobil dan mengejar para pedagang dan pengemis.... n
Mekah Mei 2011, Lampung Juli 2011
Lampung Post, Minggu, 19 Februari 2012
Sunday, February 12, 2012
Riwayat yang Dituturkan oleh Hembusan Angin
Cerpen Muhammad Harya Ramdhoni
NAMAKU Sekeghumong. Dapunta Beliau Sekeghumong. Begitulah pujangga dan rakyat jelata menyebut namaku dengan takzim. Angin kering musim kemarau di Perbukitan Bedudu ini akan menceritakan kepadamu segala hal tentang diriku. Angin kering musim kemarau yang berkesiut di perbukitan ini, di mana jasadku kini ditanam, akan meriwayatkan kepadamu tentang segala kisah suka dan duka yang kualami sepanjang hidupku.
Aku dibesarkan oleh denting pedang dan lolongan kesakitan para prajurit. Serbuan anak panah dan lemparan tombak turut pula mengisi masa remajaku. Hingga aku pun tumbuh dewasa menjadi seorang perempuan bengis dan pemarah. Perwira muda kesatuan Tentara Darat Sekala Bgha manakah yang belum pernah kupatahkan tangannya dalam perkelahian satu lawan satu? Kutantang mereka dalam adu tanding tangan kosong. Akan sendiri hanya dapat mengelus dada apabila melihat kekejianku. Sementara Ibunda Ratu cuma bisa tersedu sambil tak henti merutuk: "Berapa banyak larangan dewata yang kulanggar kala mengandungmu, Putri Dalomku?"
Pada penggal pertama masa remajaku, peristiwa kecil namun bermakna terjadi atas diriku. Akan menganugerahkanku kalung emas berukir dua kepala harimau tepat di hari ketika datang bulan pertama mengunjungiku. Harimau dan kekuasaan agung Sekala Bgha. Lambang persekutuan kuno antara leluhur kami dan tentara harimau yang misterius. Sepasukan balatentara yang hidup dalam dunia ada dan tiada. Khayalan nenek moyang yang menobatkan diri seperti hidup dan bernyawa. Sebuah kerinduan pada sebuah masa tak berbilang. Sebuah kerinduan pada dunia gaib tak tergapai. Ketika diriku memilih seekor harimau raksasa sebagai tunggangan, lengkap sudah pewarisan khayalan nenek moyang atas diriku. Keakraban mistik dengan tentara harimau, pengawal kedaulatan wangsa kami yang suci dan mulia.
***
SEBUAH ramal serupa kutukan menyertai diriku tatkala mengunggah diri ke atas pepadun. "Engkaulah ratu terakhir dan terbesar bagi Negeri Sekala," berkata Akan dengan kata-kata dilamatkan, "Takdir dewata tak menyertaimu lagi, Nak. Sekelompok lelaki pengecut dari utara akan merobohkan pokok suci Melasa Kepappang sesembahan kita, dan mendirikan kuasa dewa baru di atas negeri ini."
"Siapakah mereka, Akan?"
"Entahlah..."
Beliau pun tak pasti siapakah lelaki-lelaki yang dimaksud dalam nujum leluhur.
Nujum dan ramal bagaikan minuman keras yang menyesatkan. Menyeret akal sehat ke dalam angan-angan yang tak pasti. Aku pun sempat terseret ke dalamnya. Membuat diriku semakin bengis dan pencuriga.
Hingga ketibaan orang-orang asing ke negeri pegunungan kami. Lima lelaki bertampang aneh dan ganjil. Seorang lelaki tua bersama empat anak lelakinya. Si bapak dan salah seorang anak lelakinya, yang kelak kutahu bernama Nyekhupa, pernah bekerja sebagai juru masak mendiang suamiku belasan tahun yang silam. Mereka berdua lari terbirit-birit setelah Nyekhupa meracuni lelakiku hingga tewas. Kini mereka kembali. Dengan lagak tak berdosa bagai utusan dewata dari ujung semesta.
Lima lelaki dari utara penyebab rubuhnya daulat Sekala Bgha dan Melasa Kepappang telah menampakkan batang hidungnya. Bagaimanakah aku mesti bersikap terhadap kenyataan ini?
"Kami menawarkan Jalan Yang Lurus sebagai penebus segala dosa dan kesalahan, wahai Yang Mulai Dapunta Beliau Sekeghumong," berkata lelaki tua dengan aura tubuh yang condongkan keangkuhannya.
"Telah lupakah engkau pada dosa anakmu meracuni lelakiku?" diriku pun tak kalah angkuh.
Lelaki tua tak tahu diri itu berujar ia sedia menghukum anaknya dengan nyawanya sendiri.
"Bahkan nyawa kalian berlima pun tak cukup melunaskan dendamku kehilangan lelakiku, suami sekaligus abang sepupuku sendiri!" Sungguh tak dapat kuredam bara kesumatku.
Terbitnya dendam yang telah berpinak menjadi kesumat diperhebat oleh kelakukan Sindi, putri kesayanganku yang diam-diam bersekutu dengan para pendurhaka itu. Ia bukan saja mengkhianatiku selaku ibu dan ratunya tetapi juga telah menjalin cinta terlarang dengan Belunguh, salah seorang anak dari lelaki tua keparat itu. Adakah pendurhakaan yang paling keji dibanding apa yang telah diperbuat Sindi kepada ibu, wangsa dan kedaulatan negerinya?
***
DEMI menuruti ancaman Sindi yang akan menghujamkan keris ke lehernya sendiri aku pun bersalin keyakinan. Sekaligus pula hendak kugagalkan nujum para puyang tentang akhir sejarah Sekala Bgha.
"Baiklah. Kuimani Allah Yang Tunggal, dan lelaki mulia dan terpuji sebagai utusan-Nya!"
Akan tetapi kesaksianku atas keberadaan Allah dan Nabi-Nya tak mengakhiri persengketaan di antara kami. Lima lelaki tak tahu diri itu menuntut dirubuhkannya Melasa Kepappang, simbol kedewaan kami selama 1.300 tahun terakhir. Namun yang lebih menyakitkan hatiku adalah tuntutan mereka agar aku turun dari pepadun dan menyerahkan kuasa daulat Sekala Bgha kepada mereka!
"Ajaran jalan yang lurus tak membenarkan perempuan sebagai pemimpin!" ujar lelaki tua itu dengan kesombongan yang tak berkurang sedikit pun.
Aku terhina. Betapa jatuh harga diriku dipermalukan di depan rakyat dan wangsaku sendiri. Haruskah kupertahankan maruahku dengan leherku sendiri?
Keputusan telah diambil. Kata-kata telah diucapkan dengan perwira. Tak kubiarkan lima lelaki terkutuk itu mendepakku dari atas pepadun. Ini bukan lagi pertikaian antara penyembah Allah dengan penyembah berhala. Ini medan tikai antara penguasa yang sah dengan para pemberontak asing tak tahu malu!
Hanya kepada Allah saja aku berserah diri!
***
PERTEMPURAN itu telah merampas apa yang kami punya. Menghanguskan seluruh kekayaan negeri Sekala yang dikumpulkan para puyang kami sejak ribuan tahun silam. Terlambat kusadari semua ini kala kejayaan kami harus berakhir dengan sedih dan muram. Ketika api terakhir meranggas kayu penghabisan lamban dalomku yang tercinta, nujum leluhur mewujudkan dirinya dengan sempurna. Namun bukan watak Dapunta Beliau Sekeghumong jika harus menyerah dan membungkuk memohon ampun! Akan kusudahi perang saudara ini dengan nyawaku sendiri!
Di tanganku Sangga Langit meliuk-liuk menerobos pertahanan salah seorang lelaki muda dari utara. Tajamnya belati bernafsu menembus kulit dan merobek jantungnya.
"Langkahi mayatku, jika kau berhasrat merebut takhtaku!"
Lelaki muda dari utara sunggingkan senyum meremehkan.
Kubalas senyumnya dengan tawa terkeji.
Hanya takdir, dan hanya takdir Allah semata, yang sanggup menghentikan pertempuran antara aku dan dirinya. Sungguh, aku tak berdaya menghadapi kelincahannya yang merangsek bagai ular berbisa. Menghadapi kemudaannya yang liar dan bernafsu membunuh. Sangga Langit pula akhirnya tak bermakna menghadapi belatinya yang menerbitkan aroma keramat itu. Belati yang sempat membuat diriku terperanjat takut sekaligus terpesona. "Kaukah yang dikirim Allah untuk menyudahi hidupku di dunia?" aku gemetar ketakutan.
Walaupun tubuhku dipenuhi luka tikaman senjata lelaki dari utara, tak sedetik pun terlintas dibenakku untuk menyerah takluk. Itu bukan sifatku! Itu bukan sikap perwira perempuan perkasa negeri pegunungan Sekala Bgha! Sumpah telah diucapkan! Pantang bagiku menyeruput ludah dan meratapi kekalahan!
***
KELAK, angin musim kemarau yang tak henti berkesiut di perbukitan Bedudu akan menjadi saksi bisu kisah kekalahanku yang perwira. Ia akan menjawab setiap pertanyaanmu dengan suaranya yang muram seraya menerbangkan jerebu, bebungaan dan reranting pokok kamboja.
Angin kering musim kemarau yang tak henti bertiup di atas perbukitan Bedudu ini juga akan terus mengulang-ngulang riwayat itu hingga kau bosan. Ia memang kutugaskan menyampaikan wasiat keramat ini kepada siapa pun yang bertandang kemari. Dengan dukacita ia akan bertutur tentang kekalahan pertempuranku melawan lelaki muda dari utara. Tentang leherku yang nyaris putus ditebas belati beraroma gaharu dan cendana. Tentang kemakzulan Sangga Langit oleh kedigdayaan dan keperkasaan belati ajaib dari bumi Blambangan.
Pada saat jiwaku hendak berpisah dengan raga, sempat kudengar ucapan maaf dan tangis penuh sesal Belunguh, menantuku tercinta. Diikuti pandangan haru dan penuh dosa dari ketiga saudaranya yang lain, termasuk lelaki muda yang dengan semena-mena telah mengoyak-koyak leherku hingga nyaris putus.
"Aku tak menabung dendam kepada kalian, wahai lelaki-lelaki penyebar jalan yang lurus," ujarku dengan terbata-bata menahan sakitnya ajal, "Hanya kepada Allah aku menyerahkan raga dan jiwaku, dan hanya kepada-Nya pula aku memohon ampun atas segala dosa dan kesombonganku."
"Kutitipkan putri kesayangku Sindi kepadamu, wahai Belunguh. Ajarkan kepadanya agar menjadi hamba Allah yang taat dan setia. Memang sudah takdirku mati dengan cara ditumpas. Demi Dia Yang Menguasai alam semesta, kutepiskan segala kesumat ini. Salam takzimku kepada ayah kalian, lelaki tua dari utara. Aku bersaksi bahwa Engkau Allah Tuhanku dan lelaki mulia dan terpuji sebagai kekasih-Mu...."
Kudengar suara canang bertalu-talu dari puncak Gunung Pesagi mengantar kepergianku. Mungkinkah arwah leluhur tak merestui diriku yang bersalin keyakinan? Ah, bukankah telah kuserahkan hidup dan matiku hanya kepada Allah semata? Tak perlu lagi kuungkit perihal segala dewa dan arwah leluhur Wangsa Sekala Bgha. Biarkan riwayat lama itu pudar bersama kesiut angin musim kemarau yang selalu tandang di Perbukitan Bedudu ini. Biarkan ia diganti oleh kisah keperwiraan diriku yang dikalahkan secara pengecut oleh segerombolan lelaki seiman dan seagama.
Kuala Lumpur-Kotakarang, 28 Januari 2012
Lampung Post, Minggu, 12 Februari 2012
NAMAKU Sekeghumong. Dapunta Beliau Sekeghumong. Begitulah pujangga dan rakyat jelata menyebut namaku dengan takzim. Angin kering musim kemarau di Perbukitan Bedudu ini akan menceritakan kepadamu segala hal tentang diriku. Angin kering musim kemarau yang berkesiut di perbukitan ini, di mana jasadku kini ditanam, akan meriwayatkan kepadamu tentang segala kisah suka dan duka yang kualami sepanjang hidupku.
Aku dibesarkan oleh denting pedang dan lolongan kesakitan para prajurit. Serbuan anak panah dan lemparan tombak turut pula mengisi masa remajaku. Hingga aku pun tumbuh dewasa menjadi seorang perempuan bengis dan pemarah. Perwira muda kesatuan Tentara Darat Sekala Bgha manakah yang belum pernah kupatahkan tangannya dalam perkelahian satu lawan satu? Kutantang mereka dalam adu tanding tangan kosong. Akan sendiri hanya dapat mengelus dada apabila melihat kekejianku. Sementara Ibunda Ratu cuma bisa tersedu sambil tak henti merutuk: "Berapa banyak larangan dewata yang kulanggar kala mengandungmu, Putri Dalomku?"
Pada penggal pertama masa remajaku, peristiwa kecil namun bermakna terjadi atas diriku. Akan menganugerahkanku kalung emas berukir dua kepala harimau tepat di hari ketika datang bulan pertama mengunjungiku. Harimau dan kekuasaan agung Sekala Bgha. Lambang persekutuan kuno antara leluhur kami dan tentara harimau yang misterius. Sepasukan balatentara yang hidup dalam dunia ada dan tiada. Khayalan nenek moyang yang menobatkan diri seperti hidup dan bernyawa. Sebuah kerinduan pada sebuah masa tak berbilang. Sebuah kerinduan pada dunia gaib tak tergapai. Ketika diriku memilih seekor harimau raksasa sebagai tunggangan, lengkap sudah pewarisan khayalan nenek moyang atas diriku. Keakraban mistik dengan tentara harimau, pengawal kedaulatan wangsa kami yang suci dan mulia.
***
SEBUAH ramal serupa kutukan menyertai diriku tatkala mengunggah diri ke atas pepadun. "Engkaulah ratu terakhir dan terbesar bagi Negeri Sekala," berkata Akan dengan kata-kata dilamatkan, "Takdir dewata tak menyertaimu lagi, Nak. Sekelompok lelaki pengecut dari utara akan merobohkan pokok suci Melasa Kepappang sesembahan kita, dan mendirikan kuasa dewa baru di atas negeri ini."
"Siapakah mereka, Akan?"
"Entahlah..."
Beliau pun tak pasti siapakah lelaki-lelaki yang dimaksud dalam nujum leluhur.
Nujum dan ramal bagaikan minuman keras yang menyesatkan. Menyeret akal sehat ke dalam angan-angan yang tak pasti. Aku pun sempat terseret ke dalamnya. Membuat diriku semakin bengis dan pencuriga.
Hingga ketibaan orang-orang asing ke negeri pegunungan kami. Lima lelaki bertampang aneh dan ganjil. Seorang lelaki tua bersama empat anak lelakinya. Si bapak dan salah seorang anak lelakinya, yang kelak kutahu bernama Nyekhupa, pernah bekerja sebagai juru masak mendiang suamiku belasan tahun yang silam. Mereka berdua lari terbirit-birit setelah Nyekhupa meracuni lelakiku hingga tewas. Kini mereka kembali. Dengan lagak tak berdosa bagai utusan dewata dari ujung semesta.
Lima lelaki dari utara penyebab rubuhnya daulat Sekala Bgha dan Melasa Kepappang telah menampakkan batang hidungnya. Bagaimanakah aku mesti bersikap terhadap kenyataan ini?
"Kami menawarkan Jalan Yang Lurus sebagai penebus segala dosa dan kesalahan, wahai Yang Mulai Dapunta Beliau Sekeghumong," berkata lelaki tua dengan aura tubuh yang condongkan keangkuhannya.
"Telah lupakah engkau pada dosa anakmu meracuni lelakiku?" diriku pun tak kalah angkuh.
Lelaki tua tak tahu diri itu berujar ia sedia menghukum anaknya dengan nyawanya sendiri.
"Bahkan nyawa kalian berlima pun tak cukup melunaskan dendamku kehilangan lelakiku, suami sekaligus abang sepupuku sendiri!" Sungguh tak dapat kuredam bara kesumatku.
Terbitnya dendam yang telah berpinak menjadi kesumat diperhebat oleh kelakukan Sindi, putri kesayanganku yang diam-diam bersekutu dengan para pendurhaka itu. Ia bukan saja mengkhianatiku selaku ibu dan ratunya tetapi juga telah menjalin cinta terlarang dengan Belunguh, salah seorang anak dari lelaki tua keparat itu. Adakah pendurhakaan yang paling keji dibanding apa yang telah diperbuat Sindi kepada ibu, wangsa dan kedaulatan negerinya?
***
DEMI menuruti ancaman Sindi yang akan menghujamkan keris ke lehernya sendiri aku pun bersalin keyakinan. Sekaligus pula hendak kugagalkan nujum para puyang tentang akhir sejarah Sekala Bgha.
"Baiklah. Kuimani Allah Yang Tunggal, dan lelaki mulia dan terpuji sebagai utusan-Nya!"
Akan tetapi kesaksianku atas keberadaan Allah dan Nabi-Nya tak mengakhiri persengketaan di antara kami. Lima lelaki tak tahu diri itu menuntut dirubuhkannya Melasa Kepappang, simbol kedewaan kami selama 1.300 tahun terakhir. Namun yang lebih menyakitkan hatiku adalah tuntutan mereka agar aku turun dari pepadun dan menyerahkan kuasa daulat Sekala Bgha kepada mereka!
"Ajaran jalan yang lurus tak membenarkan perempuan sebagai pemimpin!" ujar lelaki tua itu dengan kesombongan yang tak berkurang sedikit pun.
Aku terhina. Betapa jatuh harga diriku dipermalukan di depan rakyat dan wangsaku sendiri. Haruskah kupertahankan maruahku dengan leherku sendiri?
Keputusan telah diambil. Kata-kata telah diucapkan dengan perwira. Tak kubiarkan lima lelaki terkutuk itu mendepakku dari atas pepadun. Ini bukan lagi pertikaian antara penyembah Allah dengan penyembah berhala. Ini medan tikai antara penguasa yang sah dengan para pemberontak asing tak tahu malu!
Hanya kepada Allah saja aku berserah diri!
***
PERTEMPURAN itu telah merampas apa yang kami punya. Menghanguskan seluruh kekayaan negeri Sekala yang dikumpulkan para puyang kami sejak ribuan tahun silam. Terlambat kusadari semua ini kala kejayaan kami harus berakhir dengan sedih dan muram. Ketika api terakhir meranggas kayu penghabisan lamban dalomku yang tercinta, nujum leluhur mewujudkan dirinya dengan sempurna. Namun bukan watak Dapunta Beliau Sekeghumong jika harus menyerah dan membungkuk memohon ampun! Akan kusudahi perang saudara ini dengan nyawaku sendiri!
Di tanganku Sangga Langit meliuk-liuk menerobos pertahanan salah seorang lelaki muda dari utara. Tajamnya belati bernafsu menembus kulit dan merobek jantungnya.
"Langkahi mayatku, jika kau berhasrat merebut takhtaku!"
Lelaki muda dari utara sunggingkan senyum meremehkan.
Kubalas senyumnya dengan tawa terkeji.
Hanya takdir, dan hanya takdir Allah semata, yang sanggup menghentikan pertempuran antara aku dan dirinya. Sungguh, aku tak berdaya menghadapi kelincahannya yang merangsek bagai ular berbisa. Menghadapi kemudaannya yang liar dan bernafsu membunuh. Sangga Langit pula akhirnya tak bermakna menghadapi belatinya yang menerbitkan aroma keramat itu. Belati yang sempat membuat diriku terperanjat takut sekaligus terpesona. "Kaukah yang dikirim Allah untuk menyudahi hidupku di dunia?" aku gemetar ketakutan.
Walaupun tubuhku dipenuhi luka tikaman senjata lelaki dari utara, tak sedetik pun terlintas dibenakku untuk menyerah takluk. Itu bukan sifatku! Itu bukan sikap perwira perempuan perkasa negeri pegunungan Sekala Bgha! Sumpah telah diucapkan! Pantang bagiku menyeruput ludah dan meratapi kekalahan!
***
KELAK, angin musim kemarau yang tak henti berkesiut di perbukitan Bedudu akan menjadi saksi bisu kisah kekalahanku yang perwira. Ia akan menjawab setiap pertanyaanmu dengan suaranya yang muram seraya menerbangkan jerebu, bebungaan dan reranting pokok kamboja.
Angin kering musim kemarau yang tak henti bertiup di atas perbukitan Bedudu ini juga akan terus mengulang-ngulang riwayat itu hingga kau bosan. Ia memang kutugaskan menyampaikan wasiat keramat ini kepada siapa pun yang bertandang kemari. Dengan dukacita ia akan bertutur tentang kekalahan pertempuranku melawan lelaki muda dari utara. Tentang leherku yang nyaris putus ditebas belati beraroma gaharu dan cendana. Tentang kemakzulan Sangga Langit oleh kedigdayaan dan keperkasaan belati ajaib dari bumi Blambangan.
Pada saat jiwaku hendak berpisah dengan raga, sempat kudengar ucapan maaf dan tangis penuh sesal Belunguh, menantuku tercinta. Diikuti pandangan haru dan penuh dosa dari ketiga saudaranya yang lain, termasuk lelaki muda yang dengan semena-mena telah mengoyak-koyak leherku hingga nyaris putus.
"Aku tak menabung dendam kepada kalian, wahai lelaki-lelaki penyebar jalan yang lurus," ujarku dengan terbata-bata menahan sakitnya ajal, "Hanya kepada Allah aku menyerahkan raga dan jiwaku, dan hanya kepada-Nya pula aku memohon ampun atas segala dosa dan kesombonganku."
"Kutitipkan putri kesayangku Sindi kepadamu, wahai Belunguh. Ajarkan kepadanya agar menjadi hamba Allah yang taat dan setia. Memang sudah takdirku mati dengan cara ditumpas. Demi Dia Yang Menguasai alam semesta, kutepiskan segala kesumat ini. Salam takzimku kepada ayah kalian, lelaki tua dari utara. Aku bersaksi bahwa Engkau Allah Tuhanku dan lelaki mulia dan terpuji sebagai kekasih-Mu...."
Kudengar suara canang bertalu-talu dari puncak Gunung Pesagi mengantar kepergianku. Mungkinkah arwah leluhur tak merestui diriku yang bersalin keyakinan? Ah, bukankah telah kuserahkan hidup dan matiku hanya kepada Allah semata? Tak perlu lagi kuungkit perihal segala dewa dan arwah leluhur Wangsa Sekala Bgha. Biarkan riwayat lama itu pudar bersama kesiut angin musim kemarau yang selalu tandang di Perbukitan Bedudu ini. Biarkan ia diganti oleh kisah keperwiraan diriku yang dikalahkan secara pengecut oleh segerombolan lelaki seiman dan seagama.
Kuala Lumpur-Kotakarang, 28 Januari 2012
Lampung Post, Minggu, 12 Februari 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)