Cerpen M. Taufan Musonip
AKU mencurigai apa yang telah sesungguhnya terjadi di dunia ini, Brigitta. Tidak terjadi sebagaimana adanya kukira, dan tiba-tiba aku hanya harus percaya pada merdu suara dawaimu. Apakah mungkin aku harus mencinta Tuhan melalui dirimu, kasih. Dia seperti menjelma dalam jemari halusmu dalam dawai, dalam merdu lagumu itu.
Tapi ketika kenyataan lewat di kepalaku, aku harus bertanggung jawab pada peristiwa. Aku harus membunuh senja, menikam pagi yang melingkupi tubuh kita. Melumuri keindahan dengan darah. Sebab, kasihku, kau tahu aku adalah sang eksekutor, di tengah perebutan orang-orang memperjuangkan kedamaian.
Dan dengan darah kupersembahkan dawai yang melekat di bahumu itu. Di dadaku suara dawaimu bersatu dalam kegelisahan: dawaimu menyayat-nyayat keberadaanku, kau menciptakan purnama, aku membunuhnya. Kau memberiku pilihan, dan aku bertanggung jawab pada peristiwa, kupilih jalan penuh darah sambil terus menghidupkan bayang-bayang kerinduan terhadapmu.
Matahari meringkuk di pembaringan, bulan berendam di permandian. Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh malam, kita adalah yang membuat semua peristiwa menjelma waktu. Di jalan ada sebuah mobil menjemputku, dawaimu terus melengking di jauhan, terekam dalam sukma pendengaranku. Mata indahmu terus mengambang di jalanan, terbias oleh kabut malam yang merenda setiap liku jalan.
***
Brigitta, suara dawaimu masih tersisa di jantungku.
Di sebuah gedung orang-orang tengah mengadakan sebuah pesta. Resepsi pernikahan anak salah satu pembesar organisasi. Aku hadir di dalamnya sebagai seorang pembunuh bayaran, menghuni kamar lantai 11, dengan senapan yang kupasang di ambang jendelanya. Aku adalah kecurigaan yang melintas dalam drama setiap ramah-tamah di gedung itu.
Semua akan baik-baik saja, manis. Setelah aku menembak seorang lelaki yang ada dalam riuh pesta itu, kita akan berlibur di Kuta, menikmati matahari terbit dan senja sepuas-puasnya. Dia adalah Tomasoa, seorang pemuda yang telah mengibarkan nama Jamalhari sebelum pemilihan ketua organisasi berlangsung beberapa tahun lalu. Dia terhubung dengan banyak sarikat buruh, komunitas-komunitas sastra dan kelompok-kelompok pemuda. Jamalhari menjanjikan kucuran dana melalui Tomasoa setelah satuan-satuan itu mendukungnya.
Hidup tak hanya memerlukan kejujuran. Tomasoa tak menyadari itu. Kekuasaan tak bisa hanya diperoleh hanya dalam semalam. Jamalhari tak menyukainya bukan karena dia pandai mengobarkan perjuangan kelompok-kelompoknya, tapi kehendak berkuasa yang bergerak tanpa gelombang. Pelan-pelan diikrarkannya kata-kata revolusi yang membuatnya mendapatkan simpati. Jamalhari tidak menyukai itu. Tapi upaya pertama Jamalhari mencari kesalahan-kesalahan Tomasoa dalam organisasi tidak berhasil.
Tomasoa pemuda lempang tak pernah ada masa lalu tercatat dia melakukan korupsi, padahal dalam teori konspirasi, semua bisa terjadi. Kepandaian Tomasoa adalah kemampuannya mengalirkan bagian uang dari kas organisasi untuk membiayai gerakan-gerakan pemuda bukan untuk proyek-proyek besar organisasi. Maka dengannya Jamalhari mengutusku untuk menembaknya.
Ini terlalu rumit untukmu, manis. Dan aku tak berani mengatakan ini bagian dari pada seni berkuasa. Seni yang agung tak bisa dikaitkan dengan cara-cara kotor. Tapi aku harus melakukannya, aku menginginkan ada saat-saat bersama denganmu dalam sebuah liburan yang panjang membiarkan diriku sendiri hanyut dalam dawaimu dan bercinta sepuas mungkin.
Aku amati semua orang dalam teropong senapanku di gedung itu, tiba-tiba saja aku merasakan diriku seperti penembak misterius dalam kisah Keroncong Pembunuhan yang ditulis oleh Sukab.
Kisah-kisah yang pernah kau kirimkan ketika aku berada di Boston mengikuti pelatihan intelejen. Ah, manis, realitas dan fiksi nyatanya hanya dipisahkan oleh garis tipis, dan aku sering mendapati diriku adalah lakon yang dihadirkan seorang pengarang. Setiap peristiwa memiliki pengarangnya sendiri. Pengarang kupikir adalah seseorang yang telah mengubur realitas demi realitas yang diciptakannya sendiri.
Tapi jangan pernah berpikir bahwa lakon Budong, kekasihmu ini diciptakan oleh Jamalhari, bukan. Jamalhari hanya bagian tokoh lain yang berbeda karakter saja, ada pengarang yang menciptakannya pula, dan aku tak bisa mengantarmu sampai pada siapa pengarang itu. Aku hanya ingin suatu saat engkau tahu, bahwa aku mencintaimu dengan peluru-peluru yang tertanam di dada-dada orang yang menginginkan lebih cepat kematiannya.
Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh. Waktu adalah peristiwa saat aku tembakkan peluru di dada pemuda itu. Dan kita akan berlibur di Kuta, menikmati senja dan bercinta sepuas-puasnya.
***
Setelah menembak Tomasoa, mobil yang tadi menjemputku tak juga tiba di pelataran parkir. Padahal sopir itu sudah kuperintahkan untuk mematikan arlojinya dan menghidupkan kembali saat dia mendengar suara tembakan untuk Tomasoa.
Aku terpaksa menumpang sebuah taksi. Kau pasti masih memainkan dawaimu, manis. Dawaimu adalah inspirasiku untuk membunuh. Aku ingin membawakanmu dawai yang baru, dan aku harus berhenti di sebuah pusat kota untuk membelinya.
Tapi di jalanan, langit biru itu memendarkan cahaya, sebuah helikopter berkeletar di atas taksi yang aku tumpangi. Beberapa kendaraan patroli mengepungku. Kutodongkan pistolku pada sopir. Dia sopir yang mahir ternyata, mampu mengimbangi kecepatan mobil-mobil patroli itu.
Aku berhasil memasuki jalan-jalan sempit, dan menyaksikan beberapa mobil dan sepeda motor patroli saling bertabrakan karena ulah sopirku. Pada sebuah gang aku akhirnya meninggalkan taksi itu, helikopter masih mengintaiku dengan lampu sorotnya di atas kepala, anginnya berkepusu menerbangkan atap-atap seng bedeng-bedeng kumuh.
Aku menuju sebuah tempat gelap menghindari kecurigaan orang-orang yang memburuku. Sebuah lorong kumuh bau dan penuh bacin. Beberapa orang gelandangan tiba-tiba keluar dari lubang itu dan mematung di jalanan gang. Di atap-atap rumah penduduk bayang-bayang sepasukan penembak dan beberapa patroli menyelidiki keberadaanku.
Kubuka ponselku untuk menanyakan pada salah seorang staf Jamalhari tentang pengejaran para polisi itu terhadapku. Staff itu mengatakan bahwa jalan cerita telah berubah. Dia tidak memberikan alasan adanya perubahan itu.
"Serahkan saja dirimu, tak lama kami akan membebaskanmu." begitu ujarnya.
Tapi tiba-tiba aku merasa kecurigaan melingkupiku. Aku memilih diam dalam gelap dan membiarkan orang-orang bersenjata itu terus bergerak mencariku. Kupeluk revolverku, sambil terus mendengarkan senandung dawaimu yang selalu terekam dalam sukma pendengaranku.
Aku kangen kamu Brigitta.
Cikarang, 26 Oktober 2011
Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
Sunday, November 20, 2011
Sunday, November 13, 2011
Kampung Kecubung
Cerpen Yulizar Fadli
BULAN benjol. Segaris awan tersua di bawahnya. Sedang di dalam lapo tuak berdinding papan, empat bujang berkumpul dengan penerangan yang remang. Kelihatannya ingin mabuk mereka. Sudah secerek tuak mereka tandaskan. Tanpa sepengetahuan Otong, Yariman, dan Puguh—karena ketiganya terlalu asyik menikmati lagu dangdut yang bikin kepala mereka manggut-manggut—Upik mengeluarkan sebotol minuman mirip teh. Selain Upik, tak ada yang tahu apa nama minuman itu. Pokoknya, racikannya terbuat dari biji tumbuhan berbahaya, tumbuh liar di hampir seluruh kampung.
Ada juga persaingan cinta tak sehat antarremaja kampung. Mirip persaingan pejabat tinngi di negeri ini. Ah, adakah api cemburu membakar Upik? Tak tahu juga. Yang jelas, satu botol sudah digasak Yariman. Alunan musik dangdut membuat kepala mereka bertambah berat. Perlahan, tubuh dan kaki Yariman lemas, seolah tanpa sum-sum. Pandangannya buyar. Pingsan. Upik menyeringai. Puguh khawatir. Sinar matanya berubah gusar. Dalam keadaan tak sadar, Puguh mengantar Yariman pulang dengan sepeda motor bututnya. Yariman dipapah, digandeng sampai depan rumah. Saat tiba di teras rumah, ia letakkan Yariman begitu saja. Seolah Yariman bangkai kucing yang ia tabrak lalu buang di pinggir jalan.
***
KEPAK sekawan perenjak sibuk mencari makan, terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Sementara di puluhan rumah berdinding papan, muncul petani dengan segala macam alat pertanian.
Dari belasan rumah lain, orang-orang mulai keluar membawa barang dagangan. Anak-anak berangkat sekolah melalui jalan beraspal kasar. Ada yang berjalan, ada yang bersepeda. Ada juga segerombol anak berseragam putih-merah yang sengaja membuntut-ejeki perempuan kurus berwajah tirus. Ejekan mereka akan berhenti kalau perempuan keriting itu sudah masuk ke dalam pasar. Dalam posisi yang aman ini, perempuan itu akan minta pecel-lontong buatan Mbah Sam, kadang tertidur pulas di samping parkiran, dan ini yang paling sering ia lakukan; duduk-diam sambil sesekali menyeringai. Buat orang pasar, hal itu sudah lumrah. Mereka mungkin mahfum.
Dan, di kampung itu tak semua rumahnya berdinding papan. Sebab, di sana, di antara kerumun rumah papan, ada satu rumah bagus bertingkat dua. Dari rumah itulah muncul seorang perempuan, kira-kira 26 tahun. Dia berlari. Tangan kirinya memegangi rok sepanjang mata kaki agar tak mengganggu kecepatannya. Terus saja ia berlari menuju sebuah rumah papan yang berjarak tiga ratus meter dari tempat pertama ia keluar. Selang beberapa belas menit, ia sampai di tempat tujuan. Butir keringat bersalin dari lubang porinya. Pukul tujuh pagi.
"Kulonuwon," ucapan salam berulang tiga kali. Yang memberi salam mulai resah karena tak ada jawaban dari pemilik rumah. Sembari menunggu, tak sengaja kakinya menginjak seekor cacing tanah yang berjalan pelan menuju lubang. Ketika mendengar sahutan dari dalam rumah, senyum tipis tergambar di wajahnya.
"Monggo," suara lelaki tua itu tertahan di kerongkongan. "Ada apa Tik, pagi-pagi kok sudah kemari?" imbuh si Mbah ketika membukakan pintu dan tahu siapa nama si tamu.
"Anu, Mbah. Anaknya Bude Robayah kesurupan," sahut Atik dengan kening dikerutkan.
"Walah-walah, ayo kalau begitu," setelah menjawab, lelaki tua itu kembali masuk rumah, mengambil plastik berisi tembakau. Kemudian ia Keluar. Tangan keriputnya buru-buru mengunci pintu.
"Mana Suratmi, Mbah?" tanya Atik basa-basi. Padahal Atik tahu ke mana Suratmi pergi. Terang saja, karena sebelumnya ia berpapasan dengan Suratmi di tengah jalan.
"Sudah pergi ke pasar. Ayo kita berangkat," jawab Mbah datar.
Keduanya menyusuri jalan kecil, melewati rumah-rumah penduduk, juga pohon Waru yang di bawahnya banyak ditumbuhi tanaman kecubung. Tak jauh dari pohon rimbun nan rindang, tersualah pohon kamboja dengan gundukan yang bernisan. Enam di antaranya adalah makam pahlawan yang gugur tahun 1948.
Hampir tak sadar ketika melewati permakaman, Atik mengangkat roknya tinggi-tinggi, berjingkat, melompat ke samping, ke arah si mbah. Tangan kanannya menutup mulut (karena ia sadar kalau lewat kuburan tak boleh menjerit) hingga jeritnya terdengar kecil—rupanya seekor ular tanah yang melintas di punggung kakinya itu penyebabnya. Mbah Sobari buru-buru mengusirnya. Lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu Atik, lalu memberi tahu bahwa si ular sudah pergi. Kata-kata Mbah Sobari mengambang di udara bersama desis ular, kerik jangkrik, dan kicau kutilang.
Dalam gesa, tak jauh dari makam pahlawan, keduanya sampai di sebuah jembatan. Jembatan Pahlawan, begitu penduduk menyebutnya.
***
"KOK lama sekali, ya?"
"Sabar, Bu. Sebentar lagi juga sampai."
Robayah, janda kaya di kampung Taman Sari, duduk tak tenang di bibir ranjang sembari memijit-mijit kepalanya yang mulai pening. Putra tercinta sedang terbaring tak sadarkan diri. Perempuan paruh baya itu dikelilingi dua pembantu setia.
"Coba kamu susul, Di. Aku takut terjadi apa-apa dengan dia," pinta Robayah kepada Juardi karena anaknya terbangun dan berteriak-teriak tak keruan.
Si bocah mulai melantur. Badannya terasa gerah. Ia minta agar pakaiannya dilepaskan. Berangsur-angsur kesadarannya hilang. Ia mulai berhalusinasi; ada beberapa anak kecil berkepala botak sedang bercanda di atas lemari. Ia juga melihat peri yang tengah terbang ke sana kemari sembari mengayun-ayun tongkat ajaibnya.
Tiba-tiba halusinasinya buyar ketika kepalanya serasa membesar. Mungkin akan meledak. Robayah dan kedua pembantunya mulai kewalahan menghadapi tingkah-polah si bocah. Tapi untunglah, di tengah ketegangan itu, Atik dan Mbah Sobari segera datang.
"Duh Gusti, akhirnya datang juga," sambut Robayah sembari memegangi tangan anaknya.
"Iya, Nduk. Pegang kuat kaki dan tangannya, jangan sampai lepas," tukas si Mbah menganjurkan. Tampaknya Mbah Sobari tahu apa yang harus ia lakukan.
"Tolong ambilkan segelas air putih." Mbah Sobari mulai beraksi. Ia menempelkan telapak tangan kirinya ke jidat pemuda itu, lalu perlahan pindah memegang kepalanya. Mulutnya komat-kamit, kemudian tersembur air dari mulutnya. Dua kali semburan itu mengenai muka si pemuda. Lalu, si empunya mantera menepuk-nepuk pipi pasiennya seraya bertanya, "Sadar, Le. Kamu kenal aku, toh?"
Mendengar pertanyaan itu, sontak ibunya membisikkan sesuatu. Mungkin ingin memberi tahu siapa nama orang yang menanyainya. Tak lama setelah Robayah membisikkan sesuatu ke telinga anaknya, jawaban terdengar juga dari mulut pemuda yang sejak semalam kehilangan kesadarannya. Matanya setengah terbuka, serupa pintu dan jendela di kamar tidurnya.
"Kamu manusia planet, toh?" jawab pemuda itu. Mbah Sobari terkejut bukan main.
"Yah, siapa nama lengkap anakmu? Bin siapa dia?" pertanyaan ditujukam pada Robayah
"Yariman bin Yatman Kasrowi," Robayah menyahut.
Si mbah kembali komat-kamit. Setengah jam ketegangan berlangsung. Mantera si mbah mengambang di udara. Akhirnya si mbah menarik sebuah kesimpulan. Saat itu Yariman tertidur karena pengaruh mantra. Tubuhnya terkulai lemas. Pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana berwarna cokelat yang secokelat kulitnya.
"Cah bagus ini enggak kesurupan, tapi keracunan buah kecubung," ujar Mbah Sobari pasti. Sepersekian detik Robayah dan keempat pembantunya bengong, terlebih Juardi. Robayah diam. Mungkin mengingat kejadian saat anaknya tergeletak di teras depan.
"Jadi bagaimana, Mbah?" ujar Robayah dengan asa yang hampir putus.
"Kasih dia tempe goreng, tapi enggak usah dikasih bumbu, lalu buatkan segelas kopi pahit," jelas Mbah Sobari
Atas perintah nyonya rumah, Sakiyem bergegas ke pasar mencari tempe. Sepeda jengki dikeluarkan, dikayuhnya menuju pasar becek di kampung itu. Beberapa menit ketika sampai di tengah pasar, perempuan itu menatap berkeliling, mencari sosok tambun Lek Wasbir. Alih-alih Lek Wasbir yang terlihat, malah Suratmi yang tampak tertidur pulas di samping warung Kang Mono. Sakiyem menggeleng.
Sakiyem beralih pandang. Nah itu dia orangnya, batin Sakiyem. Ia mendekat dan langsung membeli beberapa tempe. Setelah selesai, ia bergegas pulang. Tanpa pikir panjang, ia naiki sepedanya dan mempercepat kayuhannya.
Ketika sampai rumah, ia sandarkan sepeda lalu masuk lewat pintu belakang. Segera pula ia melucuti plastik pembungkus tempe, menghidupkan kompor, kemudian menaruh wajan berisi minyak goreng di atasnya. Ia masukkan beberapa tempe setelah minyak itu panas. Tak berlama-lama ia menggoreng.
Selesai menggoreng, ada yang memanggilnya dari balik sekat yang memisahkan ruang dapur dan ruang makan. Rupanya suara Atik, ia sedang menyeduh kopi pahit. Sakiyem lalu menghampiri Atik. Keduanya bergincu gunjing, membicarakan Mbah Sobari dan anak semata wayangnya. Gunjingan berhenti setelah kopi siap di bawa ke kamar.
Ketika Sakiyem dan Atik sampai di kamar, Mbah Sobari sudah tak ada. Ia diantar pulang oleh Juardi. Tapi sebelum mbah sakti itu pergi, lebih dulu ia membuat Yariman siuman. Bocah itu setengah sadar. Robayah menyuapkan tempe goreng ke mulutnya, kemudian meminumkan kopi itu dengan sendok. Tiga tempe dan beberapa sendok kopi pahit masuk ke mulutnya. Yariman mulai merasakan reaksinya. Penawar racun kecubung ala Mbah Sobari membuat perutnya mual, lalu muntah. Sehari kemudian Yariman sadar.
***
SUATU pagi, sepekan setelah kejadian Yariman, di atap genting rumah Mbah Sobari, sekawanan burung gereja mematuk dan menari riang. Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah pintu depan, terdengar ketukan dibarengi ucapan salam. Si mbah keluar. Kata-kata si tamu bernada khawatir. Ia bilang bahwa Sutilah, adik perempuan yang ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, nekat minum kecubung lantaran tak mampu bayar utang. Pasti sekarang Sutilah sudah menceracau tak keruan. Mbah Sobari menghela napas. Sesepuh kampung itu tahu, jika ada orang keracunan kecubung, kemudian orang itu masuk pasar, pasti sukar disembuhkan. Kalau tak beruntung seperti Yariman pastilah langsung gila. Persis Suratmi, anak perempuan semata wayangnya.
Bandar Lampung, 2010-2011
Lampung Post, 13 November 2011
BULAN benjol. Segaris awan tersua di bawahnya. Sedang di dalam lapo tuak berdinding papan, empat bujang berkumpul dengan penerangan yang remang. Kelihatannya ingin mabuk mereka. Sudah secerek tuak mereka tandaskan. Tanpa sepengetahuan Otong, Yariman, dan Puguh—karena ketiganya terlalu asyik menikmati lagu dangdut yang bikin kepala mereka manggut-manggut—Upik mengeluarkan sebotol minuman mirip teh. Selain Upik, tak ada yang tahu apa nama minuman itu. Pokoknya, racikannya terbuat dari biji tumbuhan berbahaya, tumbuh liar di hampir seluruh kampung.
Ada juga persaingan cinta tak sehat antarremaja kampung. Mirip persaingan pejabat tinngi di negeri ini. Ah, adakah api cemburu membakar Upik? Tak tahu juga. Yang jelas, satu botol sudah digasak Yariman. Alunan musik dangdut membuat kepala mereka bertambah berat. Perlahan, tubuh dan kaki Yariman lemas, seolah tanpa sum-sum. Pandangannya buyar. Pingsan. Upik menyeringai. Puguh khawatir. Sinar matanya berubah gusar. Dalam keadaan tak sadar, Puguh mengantar Yariman pulang dengan sepeda motor bututnya. Yariman dipapah, digandeng sampai depan rumah. Saat tiba di teras rumah, ia letakkan Yariman begitu saja. Seolah Yariman bangkai kucing yang ia tabrak lalu buang di pinggir jalan.
***
KEPAK sekawan perenjak sibuk mencari makan, terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Sementara di puluhan rumah berdinding papan, muncul petani dengan segala macam alat pertanian.
Dari belasan rumah lain, orang-orang mulai keluar membawa barang dagangan. Anak-anak berangkat sekolah melalui jalan beraspal kasar. Ada yang berjalan, ada yang bersepeda. Ada juga segerombol anak berseragam putih-merah yang sengaja membuntut-ejeki perempuan kurus berwajah tirus. Ejekan mereka akan berhenti kalau perempuan keriting itu sudah masuk ke dalam pasar. Dalam posisi yang aman ini, perempuan itu akan minta pecel-lontong buatan Mbah Sam, kadang tertidur pulas di samping parkiran, dan ini yang paling sering ia lakukan; duduk-diam sambil sesekali menyeringai. Buat orang pasar, hal itu sudah lumrah. Mereka mungkin mahfum.
Dan, di kampung itu tak semua rumahnya berdinding papan. Sebab, di sana, di antara kerumun rumah papan, ada satu rumah bagus bertingkat dua. Dari rumah itulah muncul seorang perempuan, kira-kira 26 tahun. Dia berlari. Tangan kirinya memegangi rok sepanjang mata kaki agar tak mengganggu kecepatannya. Terus saja ia berlari menuju sebuah rumah papan yang berjarak tiga ratus meter dari tempat pertama ia keluar. Selang beberapa belas menit, ia sampai di tempat tujuan. Butir keringat bersalin dari lubang porinya. Pukul tujuh pagi.
"Kulonuwon," ucapan salam berulang tiga kali. Yang memberi salam mulai resah karena tak ada jawaban dari pemilik rumah. Sembari menunggu, tak sengaja kakinya menginjak seekor cacing tanah yang berjalan pelan menuju lubang. Ketika mendengar sahutan dari dalam rumah, senyum tipis tergambar di wajahnya.
"Monggo," suara lelaki tua itu tertahan di kerongkongan. "Ada apa Tik, pagi-pagi kok sudah kemari?" imbuh si Mbah ketika membukakan pintu dan tahu siapa nama si tamu.
"Anu, Mbah. Anaknya Bude Robayah kesurupan," sahut Atik dengan kening dikerutkan.
"Walah-walah, ayo kalau begitu," setelah menjawab, lelaki tua itu kembali masuk rumah, mengambil plastik berisi tembakau. Kemudian ia Keluar. Tangan keriputnya buru-buru mengunci pintu.
"Mana Suratmi, Mbah?" tanya Atik basa-basi. Padahal Atik tahu ke mana Suratmi pergi. Terang saja, karena sebelumnya ia berpapasan dengan Suratmi di tengah jalan.
"Sudah pergi ke pasar. Ayo kita berangkat," jawab Mbah datar.
Keduanya menyusuri jalan kecil, melewati rumah-rumah penduduk, juga pohon Waru yang di bawahnya banyak ditumbuhi tanaman kecubung. Tak jauh dari pohon rimbun nan rindang, tersualah pohon kamboja dengan gundukan yang bernisan. Enam di antaranya adalah makam pahlawan yang gugur tahun 1948.
Hampir tak sadar ketika melewati permakaman, Atik mengangkat roknya tinggi-tinggi, berjingkat, melompat ke samping, ke arah si mbah. Tangan kanannya menutup mulut (karena ia sadar kalau lewat kuburan tak boleh menjerit) hingga jeritnya terdengar kecil—rupanya seekor ular tanah yang melintas di punggung kakinya itu penyebabnya. Mbah Sobari buru-buru mengusirnya. Lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu Atik, lalu memberi tahu bahwa si ular sudah pergi. Kata-kata Mbah Sobari mengambang di udara bersama desis ular, kerik jangkrik, dan kicau kutilang.
Dalam gesa, tak jauh dari makam pahlawan, keduanya sampai di sebuah jembatan. Jembatan Pahlawan, begitu penduduk menyebutnya.
***
"KOK lama sekali, ya?"
"Sabar, Bu. Sebentar lagi juga sampai."
Robayah, janda kaya di kampung Taman Sari, duduk tak tenang di bibir ranjang sembari memijit-mijit kepalanya yang mulai pening. Putra tercinta sedang terbaring tak sadarkan diri. Perempuan paruh baya itu dikelilingi dua pembantu setia.
"Coba kamu susul, Di. Aku takut terjadi apa-apa dengan dia," pinta Robayah kepada Juardi karena anaknya terbangun dan berteriak-teriak tak keruan.
Si bocah mulai melantur. Badannya terasa gerah. Ia minta agar pakaiannya dilepaskan. Berangsur-angsur kesadarannya hilang. Ia mulai berhalusinasi; ada beberapa anak kecil berkepala botak sedang bercanda di atas lemari. Ia juga melihat peri yang tengah terbang ke sana kemari sembari mengayun-ayun tongkat ajaibnya.
Tiba-tiba halusinasinya buyar ketika kepalanya serasa membesar. Mungkin akan meledak. Robayah dan kedua pembantunya mulai kewalahan menghadapi tingkah-polah si bocah. Tapi untunglah, di tengah ketegangan itu, Atik dan Mbah Sobari segera datang.
"Duh Gusti, akhirnya datang juga," sambut Robayah sembari memegangi tangan anaknya.
"Iya, Nduk. Pegang kuat kaki dan tangannya, jangan sampai lepas," tukas si Mbah menganjurkan. Tampaknya Mbah Sobari tahu apa yang harus ia lakukan.
"Tolong ambilkan segelas air putih." Mbah Sobari mulai beraksi. Ia menempelkan telapak tangan kirinya ke jidat pemuda itu, lalu perlahan pindah memegang kepalanya. Mulutnya komat-kamit, kemudian tersembur air dari mulutnya. Dua kali semburan itu mengenai muka si pemuda. Lalu, si empunya mantera menepuk-nepuk pipi pasiennya seraya bertanya, "Sadar, Le. Kamu kenal aku, toh?"
Mendengar pertanyaan itu, sontak ibunya membisikkan sesuatu. Mungkin ingin memberi tahu siapa nama orang yang menanyainya. Tak lama setelah Robayah membisikkan sesuatu ke telinga anaknya, jawaban terdengar juga dari mulut pemuda yang sejak semalam kehilangan kesadarannya. Matanya setengah terbuka, serupa pintu dan jendela di kamar tidurnya.
"Kamu manusia planet, toh?" jawab pemuda itu. Mbah Sobari terkejut bukan main.
"Yah, siapa nama lengkap anakmu? Bin siapa dia?" pertanyaan ditujukam pada Robayah
"Yariman bin Yatman Kasrowi," Robayah menyahut.
Si mbah kembali komat-kamit. Setengah jam ketegangan berlangsung. Mantera si mbah mengambang di udara. Akhirnya si mbah menarik sebuah kesimpulan. Saat itu Yariman tertidur karena pengaruh mantra. Tubuhnya terkulai lemas. Pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana berwarna cokelat yang secokelat kulitnya.
"Cah bagus ini enggak kesurupan, tapi keracunan buah kecubung," ujar Mbah Sobari pasti. Sepersekian detik Robayah dan keempat pembantunya bengong, terlebih Juardi. Robayah diam. Mungkin mengingat kejadian saat anaknya tergeletak di teras depan.
"Jadi bagaimana, Mbah?" ujar Robayah dengan asa yang hampir putus.
"Kasih dia tempe goreng, tapi enggak usah dikasih bumbu, lalu buatkan segelas kopi pahit," jelas Mbah Sobari
Atas perintah nyonya rumah, Sakiyem bergegas ke pasar mencari tempe. Sepeda jengki dikeluarkan, dikayuhnya menuju pasar becek di kampung itu. Beberapa menit ketika sampai di tengah pasar, perempuan itu menatap berkeliling, mencari sosok tambun Lek Wasbir. Alih-alih Lek Wasbir yang terlihat, malah Suratmi yang tampak tertidur pulas di samping warung Kang Mono. Sakiyem menggeleng.
Sakiyem beralih pandang. Nah itu dia orangnya, batin Sakiyem. Ia mendekat dan langsung membeli beberapa tempe. Setelah selesai, ia bergegas pulang. Tanpa pikir panjang, ia naiki sepedanya dan mempercepat kayuhannya.
Ketika sampai rumah, ia sandarkan sepeda lalu masuk lewat pintu belakang. Segera pula ia melucuti plastik pembungkus tempe, menghidupkan kompor, kemudian menaruh wajan berisi minyak goreng di atasnya. Ia masukkan beberapa tempe setelah minyak itu panas. Tak berlama-lama ia menggoreng.
Selesai menggoreng, ada yang memanggilnya dari balik sekat yang memisahkan ruang dapur dan ruang makan. Rupanya suara Atik, ia sedang menyeduh kopi pahit. Sakiyem lalu menghampiri Atik. Keduanya bergincu gunjing, membicarakan Mbah Sobari dan anak semata wayangnya. Gunjingan berhenti setelah kopi siap di bawa ke kamar.
Ketika Sakiyem dan Atik sampai di kamar, Mbah Sobari sudah tak ada. Ia diantar pulang oleh Juardi. Tapi sebelum mbah sakti itu pergi, lebih dulu ia membuat Yariman siuman. Bocah itu setengah sadar. Robayah menyuapkan tempe goreng ke mulutnya, kemudian meminumkan kopi itu dengan sendok. Tiga tempe dan beberapa sendok kopi pahit masuk ke mulutnya. Yariman mulai merasakan reaksinya. Penawar racun kecubung ala Mbah Sobari membuat perutnya mual, lalu muntah. Sehari kemudian Yariman sadar.
***
SUATU pagi, sepekan setelah kejadian Yariman, di atap genting rumah Mbah Sobari, sekawanan burung gereja mematuk dan menari riang. Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah pintu depan, terdengar ketukan dibarengi ucapan salam. Si mbah keluar. Kata-kata si tamu bernada khawatir. Ia bilang bahwa Sutilah, adik perempuan yang ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, nekat minum kecubung lantaran tak mampu bayar utang. Pasti sekarang Sutilah sudah menceracau tak keruan. Mbah Sobari menghela napas. Sesepuh kampung itu tahu, jika ada orang keracunan kecubung, kemudian orang itu masuk pasar, pasti sukar disembuhkan. Kalau tak beruntung seperti Yariman pastilah langsung gila. Persis Suratmi, anak perempuan semata wayangnya.
Bandar Lampung, 2010-2011
Lampung Post, 13 November 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)