Cerpen Muhammad Amin
AKAN kurampungkan kisah ini lebih cepat karena memang aku bukan Syahrazad. Dan aku bukan pula seorang pelaut dalam dongeng pengembaraan Simbad. Aku hanya pelaut yang mendadak kehilangan selera hidup setelah apa yang tak pernah kuangan-angankan (pun kuingin-inginkan) datang kemudian berlalu begitu saja.
Sore itu, seusai mengeja kabar yang dibawa sekawanan camar dan kelepak elang laut perut putih yang muncul dari balik cakrawala, dan setelah genap angin barat mereda, kami pun mulai berkemas untuk kemudian bergegas. Berjalan di atas dermaga yang sepanjang waktu termangu, naik ke geladak dan mulai mengembangkan layar.
Jika diriku yang dulu, sebagai pelaut sejati, tak pernah betah berlama-lama menjejakkan kaki di daratan, kini kakiku terasa tertanam di darat. Lekat dan berat. Karena aku telah menyemai rindu yang menanamnya di dada seorang perempuan.
Ia tinggal berdua dengan ibunya yang sudah renta dan kerap sakit-sakitan di sebuah gubuk kecil dekat pantai. Ia dengan tekun mengurus orang tua satu-satunya itu. Kudengar dari cerita tetangganya, ayahnya seorang pelaut, sudah mati dipulun gelombang diterkam badai puluhan tahun lalu ketika ia masih kanak.
Ketika kami merapat, perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri di mulut dermaga dengan mata berbinar-bercahaya. Seolah seseorang yang telah lama dinantinya telah tiba. Dan aku terlambat menyadari bahwa perempuan itu sesungguhnya menanti kedatanganku. Aku tak cukup mengerti untuk menjawab segala tanya, baik yang terlontar dari mulut kawan-kawanku maupun yang muncul dari dalam benakku.
Tiba-tiba saja perempuan itu menyambutku dengan penuh sukacita. Aku mulai curiga, apakah aku pernah mengenalnya? Apakah aku seseorang dari masa lalunya dan ia seorang dari masa laluku? Tapi tanya itu tak kunjung menemu jawaban. Perempuan itu seolah hadir begitu saja dalam diriku. Tanpa basa-basi. Tanpa kompromi. Dia sudah ada begitu saja.
Namun, kemudian dengan sendirinya aku larut dalam hidupnya. Seperti ia yang dengan sengaja melarutkan diri dalam hidupku. Tiba-tiba saja kami seolah memiliki ikatan. Tanpa kusadari benar, tanpa terlihat. Lama-lama aku tak lagi memasalahkannya. Barangkali aku memang seseorang dari masa lalunya dan ia seseorang dari masa laluku. Tak perlu kuungkit dan kupertanyakan lagi. Apalagi di hadapannya.
Menyambutku di tubir dermaga ia mengajakku pulang ke rumahnya. Sementara kawan-kawanku mencari penginapan. Tiba di gubuk kecil itu kembali aku merasa gamang, tak menemukan cara harus berbuat apa dan bagaimana. Aku tetaplah merasa sebagai pelaut yang tak sengaja menyinggahi tempat asing ini. Di dalam gubuk kecil itu, sang ibu yang tampak layu karena tubuh rentanya disarangi penyakit mendadak berubah wajahnya menjadi berbinar ketika mendapati kehadiranku.
"Sudah pulang kau rupanya, Nak. Kami di sini selalu menantimu dengan doa dan air mata, mengharapkan keselamatanku." Aku agak tergeragap. Sebisa mungkin kukuasai diriku. Perempuan yang menyambutku tadi melirikku. Tak tahu harus bagaimana menjawab, aku hanya tersenyum. Mungkin saja terlihat janggal. Tapi mereka tak sedikitpun menangkap kejanggalan pada diriku.
Perempuan itu sangat baik dan perhatian kepadaku. Berhari-hari kami hidup bersama. Aku menjadi bagian darinya dan ia menjadi bagian dariku. Segala yang kubutuhkan selalu ada dan terpenuhi. Bahkan yang kurasakan adalah perhatian yang berlebihan terhadapku. Padahal aku kerap berpikir: Siapakah sebenarnya aku dan apa hubunganku dengannya? Dan semakin hari ia semakin perhatian dan melayaniku dengan amat baik.
Ketika suatu waktu kutanyakan kepada tetangganya kenapa ia berbuat demikian terhadapku. Mereka malah balik bertanya, sembari terheran-heran.
"Kenapa kamu bertanya demikian?" aku semakin tak mengerti.
"Bukankah kamu suaminya? Jadi wajar bila ia perhatian dan melayanimu sebagaimana mestinya."
Suami? Mereka bilang aku suaminya? Kukira mereka pintar mengada-ada. Padahal menikah pun aku belum pernah. Sejak umur belasan tahun aku sudah ikut berlayar dan hingga kini belum sempat memikirkan untuk menikah. Dan sekarang mereka bilang aku adalah seorang suami dari perempuan yang baru pertama kali kutemukan di tempat asing ini?
Ketika kutanyakan kepada tetangga yang lain, jawaban yang kuperoleh sama saja. Akhirnya aku memutuskan untuk tak bertanya-tanya lagi, baik kepada orang lain maupun diriku sendiri. Aku tak perlu mempermasalahkan lagi, itu keputusanku. Toh apa yang kubutuhkan tak kurang satu apa pun. Bahkan kasih sayang seorang ibu yang sedari kecil tak pernah kudapatkan juga cinta layaknya dari seorang istri kudapatkan di sini.
Aku membayangkan kawan-kawanku sedang sibuk mencari pelacur-pelacur murahan di pelabuhan kecil ini. Atau masih sempat menawar-nawar. Kubayangkan mereka sedang mabuk dan bersenang-senang di pangkuan perempuan belia di rumah bordil yang masih sulit dicari.
***
MALAM itu, seusai bercinta, ia menempelkan telinga di dadaku yang masih berkeringat. Entah apa yang ia dengar di sana. Kukira hanya detak jantung dan desah napas yang masih tak beraturan. Ia tersenyum kepadaku.
"Kenapa?" aku bertanya. Dia menggeleng manja. Tiba-tiba aku yang bertanya.
"Mencintai lelaki pelaut memiliki banyak risiko. Kenapa kamu memilih mencintai lelaki pelaut sepertiku?"
"Lelaki pelaut seperti seekor anak penyu, sejauh mana ia berlayar akan selalu rindu tempatnya bermuasal. Aku mencintai lelaki pelaut karena di dadanya selalu terdengar gemuruh ombak, jerit camar, dan badai. Di dalam dirinya tertanam kepekaan, ketegaran, dan tanggung jawab. Dari keringat dan tubuhnya meruap aroma asin keluasan samudera. Di dalam matanya terpijar gairah rindu yang meluap-luap. Kau tahu, yang melingkupiku kini adalah rasa damai yang menjalar dari dadamu."
"Tidakkah kamu takut mencintai seorang lelaki pelaut?"
"Takut atas apa?"
"Jika orang yang kau cintai akan hilang selamanya?"
"Aku tidak takut," jawabnya.
Beberapa malam berikutnya, ia kembali menempelkan telinganya di dadaku yang masih berkeringat. Lalu aku berkata.
"Kami para pelaut terkadang merasa jenuh berbulan-bulan berada di tengah samudra tanpa ada yang menghibur. Tentu saja banyak pelabuhan-pelabuhan yang minta disinggahi dan di sana banyak wanita-wanita cantik yang akan menghibur melepas segala kejemuan. Selama di darat menjadi waktu yang baik buat menyinggahi kedai tuak, warung judi, dan rumah pelacuran."
"Aku tak memasalahkan itu. Yang penting kamu selalu ingat kepadaku dan masih ingin pulang karena menyimpan rindu."
Kemudian ia memintaku menceritakan kisah-kisah pelayaran. Dengan senang hati aku menuruti kemauannya. Dan ia selalu menempelkan telinga di dadaku, menagih kisah-kisah pelayaran yang akan mengantarkannya tidur dengan sangat lelap.
***
KAMI harus segera berlayar karena telah terlalu lama kami berada di daratan. Kawan-kawanku sudah naik ke geladak ketika perempuan itu menyusulku ke ujung dermaga. Ia menyerahkan serantang makanan kepadaku. Aku berharap ia akan menangis dan memelukku erat, seolah tak ingin melepaskanku. Tapi dugaanku salah. Ia tak melakukan itu.
"Ini untuk makan di kapal nanti, supaya selalu ada hasrat untuk kembali ke sini."
Tiba-tiba saja dadaku telah koyak oleh cemas. Kenapa aku yang cemas? Bahkan ia yang akan kutinggalkan terlihat lebih tegar seolah telah terbiasa oleh kepergian seorang yang dicintai. Ah, mungkinkah aku akan singgah kembali ke pelabuhan ini?
"Janganlah lupa pesanku, bila rindu telah tanak di dadamu bersegeralah pulang. Aku akan menyambutmu di sini. Dan kamu harus tahu, akhir-akhir ini aku merasa di dalam perutku telah terisi sesuatu, mungkin umurnya baru satu bulan. Kamu akan jadi ayah sebentar lagi."
Sungguhkah aku akan menjadi ayah? Kenapa baru sekarang ia sampaikan kabar bahagia ini di saat perpisahan sudah di ambang mata?
Lalu terdengar suara kawanku berteriak dari atas geladak memanggilku. "Sahdan! Cepatlah naik, kita harus segera berangkat!"
Ia tak berusaha merengkuh tanganku untuk menahanku beberapa jenak. Untuk pertama kalinya aku merasa jadi pecundang. Aku kalah oleh diriku sendiri. Setelah itu tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulutnya. Desau angin yang terdengar. Tak ada yang bisa kutinggalkan selain sepotong kalimat yang akan memperteguh keyakinannya. "Aku akan kembali sebelum kamu melahirkan." Itu saja. Tak lebih.
Setelah itu aku meninggalkannya. Ia masih membisu menatap kepergianku dari tubir dermaga. Aku melambai, ia tetap membeku. Rambutnya yang panjang dan ujung kainnya dikibarkan angin laut yang berembus kencang. Bayangannya semakin menjauh dan ia masih mematung di tubir dermaga memandang ke kapal kami yang segera hilang dari pandangannya.
***
TELAH kami singgahi bandar-bandar dan pelabuhan. Bersama perompak kami melayari badai. Telah kami arungi tujuh samudera. Telah kami telusuri tiap lekuk tanjung, ceruk teluk, semenanjung dan selat di dunia. Sekian purnama kami berlayar, mengembara di segenap penjuru angin. Sekian kali kami membuang sauh, menggulung layar, dan menyinggahi daratan. Sekian waktu kami ingin melihat curam karang dan gugus bebukitan. Atau berhari-hari menatap keluasan laut yang kosong. Namun tetap saja aku merindui pelabuhan di sebuah tanjung yang menyimpan dirimu.
Telah lama kami jadi tualang, seperti yang ditingkahi puyang. Dari tiang-tiang layar yang setiap waktu mengukir angin, lambung kapal yang dibantun ombak dan di tengah geladak senantiasa aku menulisi rindu yang mulai berkarat. Di dalam dadaku menyimpan debur ombak. Dan aroma tubuhmu masih tertinggal di tubuhku, tak hilang sampai berhari-hari berminggu-minggu berbulan-bulan membuatku selalu berhasrat untuk mengunjunginya sewaktu-waktu. Bukankah aku telah berjanji kapadamu bahwa aku akan segera kembali sebelum bayi di rahimmu dilahirkan?
Ah, sebentar lagi aku akan menjadi ayah. Dan seorang pelaut adalah lelaki yang peka, bertanggung jawab, dan tegar seperti karang. Maka kutolak mentah-mentah ajakan kawanku meneruskan kebiasaan lama kami: tenggelam dalam lautan tuak dan perempuan.
Dan tatkala rinduku mulai tanak, entah purnama ke berapa telah kulewati, maka kulunasi janjiku untuk kembali ke pelabuhanmu. Bukankah benih yang telah kubenamkan di perutmu telah matang sekarang? Kita hanya akan menghitung minggu-demi minggu. Lalu segera kita akan menjadi sosok sepasang orang tua.
Bukankah kau akan selalu merindukan gemuruh di dadaku dan suatu malam akan kautempelkan telingamu? Dan di ujung dermaga kau menungguku sembari termangu. Dan ketika ujung layar kapal kami telah terlihat kau sudah akan menyiapkan ritual penyambutan. Dan hatimu mulai tak sabar menyaksikan kapal kami mulai merapat.
Namun, di ujung dermaga itu tak kutemukan dirimu. Memang kami tiba di dermaga saat malam mulai menua, tentu tak mungkin bagimu menantiku sampai larut begini. Segera kutepis segala prasangka. Dan aku tak mungkin menyimpan rasa kecewa lantaran kau tak menyambutku di mulut dermaga. Aku pun mengerti keadaanmu yang tengah hamil tua.
Kapal kami merapat. Kami ke penginapan terlebih dahulu. Setelah itu aku datang ke gubukmu. Sengaja aku ingin memberi kejutan. Tak sabar aku ingin bertemu. Namun di sana tak kutemukan siapa-siapa selain gubuk yang kosong. Tak ada tanda-tanda kau berada di sana. Lalu aku kembali ke penginapan dengan menanggung kecewa.
Tatkala pagi mulai meriap, kutanyakan keberadaanmu kepada para tetangga. Mereka menjawab dengan nada murung. Seperti juga burung-burung di pagi buta itu berkabung. Dan setiap tetangga yang kutanyai menyampaikan jawab yang sama:
"Ia selalu menantimu sepanjang waktu. Ibunya telah meninggal sebulan setelah kepergianmu, setelah itu ia sebatangkara. Ia hanya menghabiskan waktu duduk termangu di ujung dermaga. Lalu pulang berjalan tersuruk di malam buta. Tak pernah ada yang mengira ia terjerembab di sisi dermaga. Pagi itu kami menemukan mayatnya mengambang di laut dengan kedua belah tangan membekap kandungannya."
Demi mendengar itu, lututku lunglai. Apa yang dulu tak pernah kuangan-angankan (pun kuingin-inginkan) datang kemudian berlalu begitu saja. n
Kotaagung, 20 Oktober 2010
Lampung Post, Minggu, 25 September 2011
Sunday, September 25, 2011
Sunday, September 18, 2011
Fortifikasi Keheningan
Cerpen Sungging Raga
AKU memasuki sebuah lorong panjang. Sebuah lorong yang menjadi semacam pembatas antara masa lalu dan masa depan.
Kulangkahkan kaki bersama segenap ingatanku akan kehidupan yang berjalan ke belakang. Aku baru menyadari, ternyata usia memiliki kaki yang bergerak mundur, menghitung waktu untuk terjatuh ke dalam sebuah jurang tanpa harus melihat. Dan lebih baik aku melangkah ke depan, tentu aku sudah lupa sejak kapan aku terjebak di sini. Disekat dua dinding gelap yang bahkan tak bisa kulihat permukaannya. Seperti terowongan, tapi aku merasa tak ada pembatas antara aku dan langit. Udara dingin menyerangku dari arah depan, belakang, dan atas. Lalu aku terkepung, mabuk oleh peristiwa-peristiwa purba yang entah mengapa hadir kembali saat itu juga. Aku merasakan detik-detik hidup yang paling berharga, jatuh dan jatuh, tak bisa kukendalikan. Aku tak bisa mengendalikan apa pun kecuali beberapa gerakan tubuh yang memang harus kulakukan. Aku melangkah ke depan, bernapas, mendengarkan detak jantungku sendiri. Sungguh, hidup terasa hanya kiasan, dan kesunyian adalah kenyataan di sini, nyaris hampa, tak ada apa-apa, tanpa semesta, tanpa cakrawala. Tetapi sudah kukatakan, ini adalah sebuah lorong, di mana pada suatu saat akan memiliki ujung, mungkin ada cahaya yang membentang di sana, sehingga anggap saja aku sedang menelusuri sebuah goa, menelusuri batuan raksasa yang hanya menyisakan suara kelelawar atau air yang menetes, menuju muara. Sekarang aku tak tahu lagi tentang hari-hari, tanggal, atau rencana-rencana yang tertunda selama beberapa waktu. Aku tak ingin tahu apa-apa.
***
Semua ini berawal dari mimpi, berwarna hitam, memaksa kelopakku membuka dalam dunia bawah sadar. Dan semuanya berbalik, matahari hanya igauan tentang kegelapan, langit pun menyusut, tak ada angin, kecuali udara yang masih memaksakan suhu menurun di bawah rata-rata, membuatku harus sadar bahwa aku masih berada di bumi. Tetapi mengapa tiba-tiba aku dihadapkan pada sebuah lorong? Yang membuatku tak punya pilihan lain kecuali terus berjalan, tanpa bayang-bayang. Seketika kurasakan ini hanya mimpi, mungkin kuadrat mimpi, jadi aku bermimpi di dalam mimpi, mungkin juga ini telah melewati puluhan tingkatan mimpi, sehingga tak ada lagi yang tersisa dari mimpiku kecuali sebuah kegelapan yang terbatas pada dua dinding memanjang. Dan aku tak tahu, aku berhenti di mimpi ke berapa.
Aku justru bisa mengingat beberapa kenyataan yang terjadi di luar mimpi, itu pun dalam rangkaian waktu yang tak valid lagi. Aku mengingat pagi sebelumnya, kutemukan diriku menangis, aku memang harus menangis hari itu. Duduk di tempat tidur, aku menangis di hadapan serangga-serangga yang bersembunyi di balik lemari, kursi, dan jam dinding. Air mataku mendarat di lantai ubin yang dingin, menelusup lewat celah kecil, menuju kehampaan. Hanya hampa, ternyata toh air mata hanya menuju keheningan. Sama seperti tangisan, semakin dalam kesedihan, tangisan justru semakin sunyi, bukan semakin berteriak-teriak.
Apakah kesedihan sejati memang tak bisa berteriak? Sebab aku tak pernah lagi punya kesedihan, atau hati yang ngilu oleh peristiwa-peristiwa duka. Sejujurnya, perasaan duka atau terluka sudah lama terangkat dari tubuhku sejak kecil. Ya, bagiku, meninggalkan masa kecil adalah layaknya keluar dari sebuah ruang operasi. Kupandangi dua orang dokter yang tak lain adalah ayah ibuku. Mereka terus mengajarkanku kesembuhan yang abadi, seakan aku terbentuk dari serangkaian rasa sakit berkepanjangan. Aku terbaring di atas meja operasi dengan kain putih. Di bawah sorot lampu cahaya mengesankan. Lampu itu menggambarkan seorang bocah yang berada di sebuah pasar malam, dituntun oleh orangtuanya, menunjuk-nunjuk pada seorang penjual gulali, penjual mobil mainan, juga wahana bianglala. Cahaya itu seperti berasal dari sebuah bioskop dengan peristiwa yang acak. Gambaran masa kecilku berpindah-pindah. Seorang gadis kecil sedang mencoba baju yang merupakan hadiah ulang tahun, lilin baru saja padam, tepukan meriah masih menggema di ruang tamu, kemudian seorang anak laki-laki yang dijunjung orangtuanya agar bisa melihat sirkus jalanan. Tetapi anehnya, tak kutemukan diriku di sana, peristiwa masa kecil hanyalah nama, tanpa tokoh yang nyata. Dan di ruang operasi ini, kutemukan ayah dan ibuku hanya sebuah angan-angan yang panjang tentang gelak tawa. Aku selalu bisa membayangkan seorang ibu yang sedang menjemur pakaian, atau memasak di dapur. Dan ibu teduh memandangiku yang baru saja terjaga, muncul dari balik kamar mandi.
"Cepat ganti baju, sebentar lagi sarapan siap."
Aku mengangguk. Selanjutnya aku akan menerjemahkan kasih sayang: Seorang ibu berbicara tanpa memandangi anaknya. Tetapi ada aura positif yang memancar dengan jelas dari nada suara ibu. Mungkin aku tak kuasa menangkapnya, apalagi menerjemahkannya daripada sekadar definisi yang hampa. Aku mengenal orang tuaku tepat ketika masa kecilku merapikan ceritanya dalam buku-buku lusuh yang kesepian karena tak pernah lagi dibuka. Masa kecilku terasa begitu hening, begitu pengap. Meskiun aku paham bahwa tak ada lorong di masa kecilku, tak ada kegelapan, aku bahkan tak mengenal listrik yang padam, atau bulan mati. Toh aku hidup di pinggiran kota yang gemerlap. Meskiun kumuh, masih bisa kuterima cahaya menyilaukan dari sorot lampu jalanan, lampu mobil, atau papan reklame yang berwarna-warni. Dan aku merasa inilah kehidupan lain yang menungguku untuk menyeberang jalan, menuju ke arahnya. Tetapi lama-kelamaan, aku tak tahan hidup bersama angan-angan, ia sudah seperti bayang-bayang, kadang berada di belakangku, kadang berada di depanku. Dan ia juga seperti cahaya, ia bisa menyentuhku, tai aku tak bisa menyentuhnya. Kudapati kehidupan begitu rumit untuk kucatat. Bukan dalam kertas, melainkan dalam pandanganku tentang masa depan.
"Ingat, kamu harus lebih baik dari bapakmu, sekolah yang tinggi, biar jadi orang, bukan gelandangan."
"Apa gelandangan bukan orang?"
Ibu diam. Aku terus saja tumbuh bersama nasihat-nasihat tak tercatat. Semacam formalitas, di mana sering pendengaranku penuh dengan kisah ajaib orang lain, sedangkan jalanku sendiri semakin menyusut, mengecil, tidak menarik, muram, berkerikil, dan tak menampakkan ujung yang istimewa. Apalagi yang paling istimewa dari masa lalu yang terus berjingkat menjadi masa depan penuh tanda tanya? Kukenal banyak orang, banyak cerita. Ada banyak kabar pesta, banyak pula kabar penuh keluh. Kukenal romansa kehidupan lewat senyum gadis belia yang duduk di halte sambil membaca buku. Kukenal perjuangan paling menyakitkan dari seorang cacat yang mengais uang logam dalam kereta. Kupahami mudahnya masa depan dari seorang yang keluar dari mobil Ferrari. Apakah mereka semua berhubungan? Setiap kali memandangi seseorang, aku merasa seperti sedang mengarang masa depannya, atau mungkin aku hendak masuk ke dalamnya, menjadi molekul halus yang selalu mengikuti ke mana saja, dan jatuh dalam ingatan bahwa setiap orang membawa kesunyiannya masing-masing hingga ke dalam tidurnya.
Lalu kedewasaan kutemukan di bawah bangku perkuliahan. Ruang kampus yang ramai gelak tawa, gadis-gadis dengan bedak tipis di wajahnya, celana ketat, sepatu sporty, juga handphone yang siap menyatukan janji-janji.
"Hai, besok ikut ke Pantai Siung? Kita mau kemah."
"Iya. Ayolah ikut, kok kamu jarang ikut kumpul dengan anak-anak?"
Aku diam. Mengangguk. Kupandangi mereka, berjalan, tertawa, menuruni tangga. Berpisah di lobi. Berpisah dalam riuh kendaraan. Melambaikan tangan. Dan aku pun berlalu, berjalan di sepanjang trotoar, masuk kamar, menutup jedela, melompat ke tempat tidur, terpejam, dan bermimpi.
Pandangan jadi hitam. Seperti berada dalam sebuah goa yang pekat. Tetapi lama kelamaan, aku menyadari, aku berdiri di sebuah lorong, cukup lebar, namun tak cukup menenangkan. Dan aku lebih sadar lagi, setiap orang memiliki lorongnya sendiri, di mana tak ada orang lain yang tahu, bagaimana lorong itu ditafsirkan, juga tentang apa yang akan ditemui di dalamnya. Tiba-tiba juga, aku merasa kata-kata hanyalah serangkaian huruf kesepian yang mewakili kehendak aneh manusia.
"Ingat, kalau besar nanti..."
"Lho, kamu belum lulus?"
"Kerja di mana?"
"Kapan menikah?"
"Sudah punya rumah atau kontrak?"
"Dulu kamu kan hidup enak sekali..."
"Wah sayang sekali kalau orang cerdas seperti kamu..."
"Ayo reuni...."
"Wah, belum sukses juga?"
"Apa kamu tidak kasihan...."
"Kamu tidak bisa main layang-layang?"
"Selamat ulang tahun...."
"Laki-laki kok gampang menangis?"
Ternyata manusia selalu datang dan pergi, dan yang menetap hanyalah suara-suara dalam bentuk kata. Dari arah depan atau belakang, tak mudah kukenali dalam gelap seperti ini. Sekarang aku paham, masa lalu dan masa depan memang terkadang bertukar tempat, atau juga berjalan beriringan, sejajar seperti saling bercermin, sementara orang lain hanya metafora kehidupan. Dan ketika masa lalu dan masa depanku tak bisa dibedakan, ketika aku sadar bahwa masa lalu dan masa depan itulah kedua dinding yang membentuk lorong gelap saat ini, maka yang bisa kulakukan hanya berjalan, terus berjalan.
Menuju keheningan. n
Lampung Post, Minggu, 18 September 2011
AKU memasuki sebuah lorong panjang. Sebuah lorong yang menjadi semacam pembatas antara masa lalu dan masa depan.
Kulangkahkan kaki bersama segenap ingatanku akan kehidupan yang berjalan ke belakang. Aku baru menyadari, ternyata usia memiliki kaki yang bergerak mundur, menghitung waktu untuk terjatuh ke dalam sebuah jurang tanpa harus melihat. Dan lebih baik aku melangkah ke depan, tentu aku sudah lupa sejak kapan aku terjebak di sini. Disekat dua dinding gelap yang bahkan tak bisa kulihat permukaannya. Seperti terowongan, tapi aku merasa tak ada pembatas antara aku dan langit. Udara dingin menyerangku dari arah depan, belakang, dan atas. Lalu aku terkepung, mabuk oleh peristiwa-peristiwa purba yang entah mengapa hadir kembali saat itu juga. Aku merasakan detik-detik hidup yang paling berharga, jatuh dan jatuh, tak bisa kukendalikan. Aku tak bisa mengendalikan apa pun kecuali beberapa gerakan tubuh yang memang harus kulakukan. Aku melangkah ke depan, bernapas, mendengarkan detak jantungku sendiri. Sungguh, hidup terasa hanya kiasan, dan kesunyian adalah kenyataan di sini, nyaris hampa, tak ada apa-apa, tanpa semesta, tanpa cakrawala. Tetapi sudah kukatakan, ini adalah sebuah lorong, di mana pada suatu saat akan memiliki ujung, mungkin ada cahaya yang membentang di sana, sehingga anggap saja aku sedang menelusuri sebuah goa, menelusuri batuan raksasa yang hanya menyisakan suara kelelawar atau air yang menetes, menuju muara. Sekarang aku tak tahu lagi tentang hari-hari, tanggal, atau rencana-rencana yang tertunda selama beberapa waktu. Aku tak ingin tahu apa-apa.
***
Semua ini berawal dari mimpi, berwarna hitam, memaksa kelopakku membuka dalam dunia bawah sadar. Dan semuanya berbalik, matahari hanya igauan tentang kegelapan, langit pun menyusut, tak ada angin, kecuali udara yang masih memaksakan suhu menurun di bawah rata-rata, membuatku harus sadar bahwa aku masih berada di bumi. Tetapi mengapa tiba-tiba aku dihadapkan pada sebuah lorong? Yang membuatku tak punya pilihan lain kecuali terus berjalan, tanpa bayang-bayang. Seketika kurasakan ini hanya mimpi, mungkin kuadrat mimpi, jadi aku bermimpi di dalam mimpi, mungkin juga ini telah melewati puluhan tingkatan mimpi, sehingga tak ada lagi yang tersisa dari mimpiku kecuali sebuah kegelapan yang terbatas pada dua dinding memanjang. Dan aku tak tahu, aku berhenti di mimpi ke berapa.
Aku justru bisa mengingat beberapa kenyataan yang terjadi di luar mimpi, itu pun dalam rangkaian waktu yang tak valid lagi. Aku mengingat pagi sebelumnya, kutemukan diriku menangis, aku memang harus menangis hari itu. Duduk di tempat tidur, aku menangis di hadapan serangga-serangga yang bersembunyi di balik lemari, kursi, dan jam dinding. Air mataku mendarat di lantai ubin yang dingin, menelusup lewat celah kecil, menuju kehampaan. Hanya hampa, ternyata toh air mata hanya menuju keheningan. Sama seperti tangisan, semakin dalam kesedihan, tangisan justru semakin sunyi, bukan semakin berteriak-teriak.
Apakah kesedihan sejati memang tak bisa berteriak? Sebab aku tak pernah lagi punya kesedihan, atau hati yang ngilu oleh peristiwa-peristiwa duka. Sejujurnya, perasaan duka atau terluka sudah lama terangkat dari tubuhku sejak kecil. Ya, bagiku, meninggalkan masa kecil adalah layaknya keluar dari sebuah ruang operasi. Kupandangi dua orang dokter yang tak lain adalah ayah ibuku. Mereka terus mengajarkanku kesembuhan yang abadi, seakan aku terbentuk dari serangkaian rasa sakit berkepanjangan. Aku terbaring di atas meja operasi dengan kain putih. Di bawah sorot lampu cahaya mengesankan. Lampu itu menggambarkan seorang bocah yang berada di sebuah pasar malam, dituntun oleh orangtuanya, menunjuk-nunjuk pada seorang penjual gulali, penjual mobil mainan, juga wahana bianglala. Cahaya itu seperti berasal dari sebuah bioskop dengan peristiwa yang acak. Gambaran masa kecilku berpindah-pindah. Seorang gadis kecil sedang mencoba baju yang merupakan hadiah ulang tahun, lilin baru saja padam, tepukan meriah masih menggema di ruang tamu, kemudian seorang anak laki-laki yang dijunjung orangtuanya agar bisa melihat sirkus jalanan. Tetapi anehnya, tak kutemukan diriku di sana, peristiwa masa kecil hanyalah nama, tanpa tokoh yang nyata. Dan di ruang operasi ini, kutemukan ayah dan ibuku hanya sebuah angan-angan yang panjang tentang gelak tawa. Aku selalu bisa membayangkan seorang ibu yang sedang menjemur pakaian, atau memasak di dapur. Dan ibu teduh memandangiku yang baru saja terjaga, muncul dari balik kamar mandi.
"Cepat ganti baju, sebentar lagi sarapan siap."
Aku mengangguk. Selanjutnya aku akan menerjemahkan kasih sayang: Seorang ibu berbicara tanpa memandangi anaknya. Tetapi ada aura positif yang memancar dengan jelas dari nada suara ibu. Mungkin aku tak kuasa menangkapnya, apalagi menerjemahkannya daripada sekadar definisi yang hampa. Aku mengenal orang tuaku tepat ketika masa kecilku merapikan ceritanya dalam buku-buku lusuh yang kesepian karena tak pernah lagi dibuka. Masa kecilku terasa begitu hening, begitu pengap. Meskiun aku paham bahwa tak ada lorong di masa kecilku, tak ada kegelapan, aku bahkan tak mengenal listrik yang padam, atau bulan mati. Toh aku hidup di pinggiran kota yang gemerlap. Meskiun kumuh, masih bisa kuterima cahaya menyilaukan dari sorot lampu jalanan, lampu mobil, atau papan reklame yang berwarna-warni. Dan aku merasa inilah kehidupan lain yang menungguku untuk menyeberang jalan, menuju ke arahnya. Tetapi lama-kelamaan, aku tak tahan hidup bersama angan-angan, ia sudah seperti bayang-bayang, kadang berada di belakangku, kadang berada di depanku. Dan ia juga seperti cahaya, ia bisa menyentuhku, tai aku tak bisa menyentuhnya. Kudapati kehidupan begitu rumit untuk kucatat. Bukan dalam kertas, melainkan dalam pandanganku tentang masa depan.
"Ingat, kamu harus lebih baik dari bapakmu, sekolah yang tinggi, biar jadi orang, bukan gelandangan."
"Apa gelandangan bukan orang?"
Ibu diam. Aku terus saja tumbuh bersama nasihat-nasihat tak tercatat. Semacam formalitas, di mana sering pendengaranku penuh dengan kisah ajaib orang lain, sedangkan jalanku sendiri semakin menyusut, mengecil, tidak menarik, muram, berkerikil, dan tak menampakkan ujung yang istimewa. Apalagi yang paling istimewa dari masa lalu yang terus berjingkat menjadi masa depan penuh tanda tanya? Kukenal banyak orang, banyak cerita. Ada banyak kabar pesta, banyak pula kabar penuh keluh. Kukenal romansa kehidupan lewat senyum gadis belia yang duduk di halte sambil membaca buku. Kukenal perjuangan paling menyakitkan dari seorang cacat yang mengais uang logam dalam kereta. Kupahami mudahnya masa depan dari seorang yang keluar dari mobil Ferrari. Apakah mereka semua berhubungan? Setiap kali memandangi seseorang, aku merasa seperti sedang mengarang masa depannya, atau mungkin aku hendak masuk ke dalamnya, menjadi molekul halus yang selalu mengikuti ke mana saja, dan jatuh dalam ingatan bahwa setiap orang membawa kesunyiannya masing-masing hingga ke dalam tidurnya.
Lalu kedewasaan kutemukan di bawah bangku perkuliahan. Ruang kampus yang ramai gelak tawa, gadis-gadis dengan bedak tipis di wajahnya, celana ketat, sepatu sporty, juga handphone yang siap menyatukan janji-janji.
"Hai, besok ikut ke Pantai Siung? Kita mau kemah."
"Iya. Ayolah ikut, kok kamu jarang ikut kumpul dengan anak-anak?"
Aku diam. Mengangguk. Kupandangi mereka, berjalan, tertawa, menuruni tangga. Berpisah di lobi. Berpisah dalam riuh kendaraan. Melambaikan tangan. Dan aku pun berlalu, berjalan di sepanjang trotoar, masuk kamar, menutup jedela, melompat ke tempat tidur, terpejam, dan bermimpi.
Pandangan jadi hitam. Seperti berada dalam sebuah goa yang pekat. Tetapi lama kelamaan, aku menyadari, aku berdiri di sebuah lorong, cukup lebar, namun tak cukup menenangkan. Dan aku lebih sadar lagi, setiap orang memiliki lorongnya sendiri, di mana tak ada orang lain yang tahu, bagaimana lorong itu ditafsirkan, juga tentang apa yang akan ditemui di dalamnya. Tiba-tiba juga, aku merasa kata-kata hanyalah serangkaian huruf kesepian yang mewakili kehendak aneh manusia.
"Ingat, kalau besar nanti..."
"Lho, kamu belum lulus?"
"Kerja di mana?"
"Kapan menikah?"
"Sudah punya rumah atau kontrak?"
"Dulu kamu kan hidup enak sekali..."
"Wah sayang sekali kalau orang cerdas seperti kamu..."
"Ayo reuni...."
"Wah, belum sukses juga?"
"Apa kamu tidak kasihan...."
"Kamu tidak bisa main layang-layang?"
"Selamat ulang tahun...."
"Laki-laki kok gampang menangis?"
Ternyata manusia selalu datang dan pergi, dan yang menetap hanyalah suara-suara dalam bentuk kata. Dari arah depan atau belakang, tak mudah kukenali dalam gelap seperti ini. Sekarang aku paham, masa lalu dan masa depan memang terkadang bertukar tempat, atau juga berjalan beriringan, sejajar seperti saling bercermin, sementara orang lain hanya metafora kehidupan. Dan ketika masa lalu dan masa depanku tak bisa dibedakan, ketika aku sadar bahwa masa lalu dan masa depan itulah kedua dinding yang membentuk lorong gelap saat ini, maka yang bisa kulakukan hanya berjalan, terus berjalan.
Menuju keheningan. n
Lampung Post, Minggu, 18 September 2011
Sunday, September 11, 2011
Gambar Mei
Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
IA yang meramalkan kematian keluarganya. Pertama ia menggambar ayahnya dan adiknya, kemudian ibunya. Usianya masih empat belas saat itu. Entah mengapa, suatu pagi, seolah dikejar keperluan mendesak, ia mencari-cari pensil dan kertas. Lalu, di atas kertas itu, dengan sangat cepat dan tanpa kedipan mata, ia menggambar sebuah kapal. Kapal itu berlayar di atas lautan luas. Dari dek kapal itu, ayahnya jatuh ke laut.
Pada kertas yang lain, ia kembali membuat gambar yang sama. Kali ini adiknya yang terjatuh dari kapal.
Ia menunjukkan gambar-gambar itu kepada ayahnya. Hal itu membuat ayahnya membisu berkepanjangan.
Keesokan harinya, ia kembali menggambar hal yang sama. Kali ini ibunya yang jatuh ke laut.
Ayahnya terlihat ketakutan ketika ia tunjukkan gambarnya itu. Dahi ayahnya berkeringat, dan dengan gemetar, ayahnya berkata, “Ini tanda tidak baik, Mei. Sangat tidak baik.”
Ia pun merasai ketakutan. Dengan khawatir ia bertanya pada ayahnya, "Apa yang tidak baik, Papi? Apa yang akan terjadi?"
Mata ayahnya terlihat murung. "Papi takut kamu akan sendiri. Papi takut Papi, Ade, dan Mami akan pergi jauh meninggalkanmu."
Ia sungguh ketakutan mendengar itu. Ia menyesal telah membuat gambar-gambar itu. Tapi ia tidak mampu menahan dirinya. Gambar-gambar itu seolah memerintahnya untuk membuat mereka. Juga untuk menunjukkan mereka pada ayahnya.
Enam bulan sejak itu, ayahnya meninggal dunia. Sakitnya mendadak. Orang bilang ayahnya kena angin lewat.
Tiga bulan sejak ayahnya meninggal, Ade, adik satu-satunya, menghembuskan napas terakhir. Tidak ada yang pernah menyadari kalau Ade mengidap kanker otak.
Sejak itu, ibunya melalu murung. Berkali-kali ia berusaha menguatkan ibunya, tapi usahanya selalu saja gagal. Saat itu, dengan ketakutan yang sangat, ia menyadari bahwa ibunya pun akan pergi. Dan, ia, di usianya yang baru menginjak lima belas, akan menjadi yatim piatu dan sebatang kara di dunia ini.
Tiga bulan sejak Ade meninggal, bersama saudara, kenalan keluarga dan tetangga, ia pun harus kembali pergi ke permakaman yang sama untuk menguburkan ibunya.
Demikian ia menceritakan kisahnya kepadaku.
***
Namanya Mei. Aku mengenalnya jauh waktu dari kemalangan yang menimpanya itu. Kami berkuliah di universitas yang sama. Ketika baru saja bertemu, aku merasa telah mengenalnya sejak lama.
Namanya Mei. Ia bertubuh mungil, bermata sipit, dan berkulit putih susu. Rambutnya sangat halus dan tipis, berwarna kemerahan dan sedikit bergelombang. Sebuah tahi lalat menetap di dekat ujung dagunya.
Ia yang meramalkan kematian ayahku.
Ia telah menunjukkan sebuah gambarannya padaku. Tiga ekor merpati putih—dua merpati dewasa bersama seekor anak burung—di dalam sangkar, satu burung terbang keluar, melalui lautan luas dan kemudian hinggap pada sebuah masjid yang runtuh.
Mei berkata, "Akan ada alim ulama yang meninggal dunia. Ia meninggalkan istri dan seorang anaknya."
Karena ayahku seorang penceramah dan imam masjid, juga karena aku anak satu-satunya, kata-kata Mei membuatku gundah. Dan benar saja, tak lama kemudian, ayahku meninggal dunia.
Sejak itu, bagiku, gambar-gambar yang Mei buat selalu menjadi pertanda kematian.
***
Namanya Mei. Ia suka bicara tentang apa saja. Tapi tidak tentang gambar-gambarnya. Hanya orang-orang dekat yang tahu tentang gambar-gambarnya itu. Pamannya, tempat ia menumpang hidup sejak menjadi yatim piatu, tahu tentang itu. Tapi pamannya selalu melarang ia menggambar. "Itu mistik dan bisa membuatmu syirik. Tuhan tidak akan mengampuni orang-orang yang syirik," demikian pamannya berkata.
Tapi Mei berkeyakinan bahwa Tuhanlah yang memberinya kemampuan untuk menggambar masa depan. Pun begitu, Mei tidak pernah bercerita tentang bakatnya ini pada orang lain. Hanya aku. Ya, hanya aku yang dipercayainya.
Namun anehnya, ada orang-orang yang mengetahui rahasia Mei. Contohnya saat Mei dan aku pergi berbelanja ke Telukbetung. Ketika melalui sebuah wihara, yang besar dan berwarna merah, seorang tua menyapa Mei. Orang tua itu terlihat ringkih dan ia menyapa dalam bahasa yang kami tidak mengerti. Mei menggelengkan kepala dan berkata ia tidak mengerti.
Orang tua itu tersenyum. "Kamu bukan orang China?" tanyanya.
Mei menggeleng.
Orang tua itu mengangguk dan berkata, "Tapi aku tahu kamu menyimpan kekuatan. Kamu punya kekuatan khusus yang besar. Beruntung sekali, sungguh beruntung."
Mei ketakutan mendengar itu. Ia menggenggam tanganku dan mengajakku menjauhi orang tua itu.
Itu bukan yang terakhir.
Lain waktu, kali ini ketika kami berniat makan siang bersama. Seorang perempuan paruh baya, pedagang pempek di daerah Kupang Teba, tertegun melihat Mei.
"Ncik, lu tau lu bawa hoki? Lu punya kaki dan badan tidak sama besar. Kaki lu kecil. Kekecilan untuk bawa badan. Tapi lu punya kekuatan. Kekuatan besar."
Begitu juga di waktu yang lain, seorang bapak, yang kebetulan berteduh bersama Mei dan aku di sebuah halte bus, terus memerhatikan Mei. Bapak itu mendekati Mei dan berkata santun, "Maaf, Mbak. Mbak punya simpanan ya?"
"Simpanan?" tanya Mei heran.
Bapak itu tersenyum. "Simpanan ilmu, Mbak."
Mei terkejut dan sambil menutupi kepanikannya sendiri, ia berkata, "Ya, ada ilmu juga. Ilmu hukum. Saya kuliah di Unila."
Bapak itu tertawa. "Ah, Mbak ini lucu rupanya. Tentu Mbak tahu yang saya maksud. Kalau Mbak asah terus, ilmu Mbak bisa makin kuat."
Perjumpaan-perjumpaan yang aneh ini terjadi berulang-ulang, hingga kerap membuat Mei ketakutan dan khawatir akan dirinya sendiri.
***
Beberapa tahun dari kematian ayahku, Mei kembali memberiku sebuah gambar. "Jangan pergi besok, tidak baik dan berbahaya," kata dia.
Aku mengenali gedung bertingkat lima yang ada di gambaran Mei. Di depan gedung itu, puluhan karangan bunga diletakkan. Di beberapa karangan bunga yang cukup besar, Mei mengguratkan kata "Turut berdukacita".
"Apa artinya ini Mei?" tanyaku.
"Aku tidak tahu," jawab Mei, "Tapi karangan-karangan bunga ini melambangkan adanya kematian."
"Lalu apa hubungannya dengan rencanaku besok? Gambar ini kan mungkin saja berarti pemilik gedung atau yang bekerja di situ ada yang meninggal."
Mei menggeleng. "Kamu dan kawan-kawanmu berencana march ke sana kan?"
Aku terdiam. "Tidak akan terjadi apa-apa, Mei. Percayalah."
Keesokan harinya, tepatnya tanggal 28 September 1999, aku tetap pergi. Bersama puluhan kawan-kawan, aku ikut berkumpul di lapangan parkir kampus FISIP Unila. Beberapa menit kami bergantian berorasi di depan Gedung E, mengajak teman-teman yang lain turut serta.
Di dekat gedung FH, aku melihat Mei berdiri. Matanya sedih sekali menatapku. Aku melambai padanya. Lalu untuknya, sambil tersenyum, dengan tangan kiriku, aku mengepalkan tinju.
Dari depan FISIP, kami berjalan bersama-sama menuju Markas Koramil Kedaton. Kami bersemangat sekali, tak jeda bernyanyi dan meneriakkan perlawanan. Tujuan kami adalah menolak pembentukan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Berbahaya (RUU PKB). Dan bukan hanya di Lampung, mahasiswa di seluruh negeri turun ke jalan untuk menolak RUU ini.
Ketika melewati gedung bertingkat lima yang digambar Mei hari kemarin, gedung tertinggi kampus UBL, aku bergidik. Tak akan terjadi apa-apa, pikirku dalam hati. Hanya sebuah gambar yang bisa berarti banyak dan tidak berhubungan dengan aksi hari ini.
Kami pun mulai berorasi di depan Markas Koramil. Tak lama, entah mulai dari mana, keadaan menjadi kacau. Pelemparan batu disusul bom molotov dan gas air mata. Lalu, dari arah pekuburan umum di samping Koramil terdengar desingan peluru. Peluru karet, pikirku.
Tak diduga, seorang kawan bertubuh jangkung dan berkulit putih, yang berdiri tak jauh dariku, rebah ke aspal jalan. Aku melihat darah. Pekik ketakutan datang dari segala arah. "Peluru tajam! Mereka menggunakan peluru tajam! Lari!"
Seperti kelompok lebah yang diasapi dan diusik, kami lari berhamburan. Puluhan mahasiswa berlari menuju kampus IAIN lama dan UBL, yang berada tepat di depan Koramil, demi mencari tempat perlindungan. Namun, tentara tak lagi peduli dengan kekebalan kampus, mereka terus mengejar dan menghancurkan apa-apa yang mereka lalui, juga mobil-mobil dan kaca-kaca gedung.
Melalui kampus IAIN dan berbelok ke pekarangan kampus UBL, aku terus berlari desing peluru yang diikuti teriakan, saling susul-menyusul. Bau hangus ban menusuk hidungku. Ini pertempuran, pikirku. Ini perang. Degup jantungku berpacu langkah. Tentara memerangi mahasiswa. Kakiku sakit dan kepalaku terasa panas sekali. Kenapa bisa seperti ini? Kami bukan penjahat. Napasku sesak. Telapak tanganku basah oleh keringat. Aku teringat Mei.
Aku berbelok ke arah gedung berlantai lima. Di persimpangan, hampir saja aku bertabrakan dengan seorang mahasiswa berjilbab. Ia memegang kamera. Seorang tentara bersenjata mengejarnya. Mata kami bertumbuk, sedetik saja, di mata perempuan itu aku seolah melihat kematian. Perempuan itu terus berlari. Tentara yang mengejarnya melihatku dan berteriak, "Jangan kabur kamu."
Setelah itu aku merasai perih dan panas yang sangat di bagian pundak. Aku merasai darah hangat merembes ke flannel kotak-kotak merah yang tak kukancing. Darah itu mengalir membasahi kaus merah bergambar Soekarno yang kukenakan. Lalu semua menjadi gelap.
***
Beberapa hari kemudian, aku diizinkan pulang dari rumah sakit. Dua orang kawan telah meninggal dunia, empat puluh empat orang, termasuk aku, terluka parah. Berita itu aku dengar dari teman-teman yang menjenguk. Teman-teman juga bilang, keadaan belum aman. Aparat masih mencari-cari mahasiswa yang dianggap think tank organisasi yang ikut berdemo.
Di hari kedua sejak aku keluar dari rumah sakit, Mei datang ke rumahku. Dari saku celana jinsnya ia mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat-lipat.
"Ini aku gambar ketika kamu masih di rumah sakit. Empat hari lalu," kata Mei.
Aku membuka lipatan kertas itu dan tertegun. Gambar yang Mei buat membuatku sesak.
"Larilah," kata Mei. "Pergilah jauh dari negeri ini."
"Ke mana aku bisa lari, Mei?" tanyaku lemah.
Mei menggenggam tanganku dan terisak.
Lancaster, Agustus 2011
Lampung Post, 11 September 2011
IA yang meramalkan kematian keluarganya. Pertama ia menggambar ayahnya dan adiknya, kemudian ibunya. Usianya masih empat belas saat itu. Entah mengapa, suatu pagi, seolah dikejar keperluan mendesak, ia mencari-cari pensil dan kertas. Lalu, di atas kertas itu, dengan sangat cepat dan tanpa kedipan mata, ia menggambar sebuah kapal. Kapal itu berlayar di atas lautan luas. Dari dek kapal itu, ayahnya jatuh ke laut.
Pada kertas yang lain, ia kembali membuat gambar yang sama. Kali ini adiknya yang terjatuh dari kapal.
Ia menunjukkan gambar-gambar itu kepada ayahnya. Hal itu membuat ayahnya membisu berkepanjangan.
Keesokan harinya, ia kembali menggambar hal yang sama. Kali ini ibunya yang jatuh ke laut.
Ayahnya terlihat ketakutan ketika ia tunjukkan gambarnya itu. Dahi ayahnya berkeringat, dan dengan gemetar, ayahnya berkata, “Ini tanda tidak baik, Mei. Sangat tidak baik.”
Ia pun merasai ketakutan. Dengan khawatir ia bertanya pada ayahnya, "Apa yang tidak baik, Papi? Apa yang akan terjadi?"
Mata ayahnya terlihat murung. "Papi takut kamu akan sendiri. Papi takut Papi, Ade, dan Mami akan pergi jauh meninggalkanmu."
Ia sungguh ketakutan mendengar itu. Ia menyesal telah membuat gambar-gambar itu. Tapi ia tidak mampu menahan dirinya. Gambar-gambar itu seolah memerintahnya untuk membuat mereka. Juga untuk menunjukkan mereka pada ayahnya.
Enam bulan sejak itu, ayahnya meninggal dunia. Sakitnya mendadak. Orang bilang ayahnya kena angin lewat.
Tiga bulan sejak ayahnya meninggal, Ade, adik satu-satunya, menghembuskan napas terakhir. Tidak ada yang pernah menyadari kalau Ade mengidap kanker otak.
Sejak itu, ibunya melalu murung. Berkali-kali ia berusaha menguatkan ibunya, tapi usahanya selalu saja gagal. Saat itu, dengan ketakutan yang sangat, ia menyadari bahwa ibunya pun akan pergi. Dan, ia, di usianya yang baru menginjak lima belas, akan menjadi yatim piatu dan sebatang kara di dunia ini.
Tiga bulan sejak Ade meninggal, bersama saudara, kenalan keluarga dan tetangga, ia pun harus kembali pergi ke permakaman yang sama untuk menguburkan ibunya.
Demikian ia menceritakan kisahnya kepadaku.
***
Namanya Mei. Aku mengenalnya jauh waktu dari kemalangan yang menimpanya itu. Kami berkuliah di universitas yang sama. Ketika baru saja bertemu, aku merasa telah mengenalnya sejak lama.
Namanya Mei. Ia bertubuh mungil, bermata sipit, dan berkulit putih susu. Rambutnya sangat halus dan tipis, berwarna kemerahan dan sedikit bergelombang. Sebuah tahi lalat menetap di dekat ujung dagunya.
Ia yang meramalkan kematian ayahku.
Ia telah menunjukkan sebuah gambarannya padaku. Tiga ekor merpati putih—dua merpati dewasa bersama seekor anak burung—di dalam sangkar, satu burung terbang keluar, melalui lautan luas dan kemudian hinggap pada sebuah masjid yang runtuh.
Mei berkata, "Akan ada alim ulama yang meninggal dunia. Ia meninggalkan istri dan seorang anaknya."
Karena ayahku seorang penceramah dan imam masjid, juga karena aku anak satu-satunya, kata-kata Mei membuatku gundah. Dan benar saja, tak lama kemudian, ayahku meninggal dunia.
Sejak itu, bagiku, gambar-gambar yang Mei buat selalu menjadi pertanda kematian.
***
Namanya Mei. Ia suka bicara tentang apa saja. Tapi tidak tentang gambar-gambarnya. Hanya orang-orang dekat yang tahu tentang gambar-gambarnya itu. Pamannya, tempat ia menumpang hidup sejak menjadi yatim piatu, tahu tentang itu. Tapi pamannya selalu melarang ia menggambar. "Itu mistik dan bisa membuatmu syirik. Tuhan tidak akan mengampuni orang-orang yang syirik," demikian pamannya berkata.
Tapi Mei berkeyakinan bahwa Tuhanlah yang memberinya kemampuan untuk menggambar masa depan. Pun begitu, Mei tidak pernah bercerita tentang bakatnya ini pada orang lain. Hanya aku. Ya, hanya aku yang dipercayainya.
Namun anehnya, ada orang-orang yang mengetahui rahasia Mei. Contohnya saat Mei dan aku pergi berbelanja ke Telukbetung. Ketika melalui sebuah wihara, yang besar dan berwarna merah, seorang tua menyapa Mei. Orang tua itu terlihat ringkih dan ia menyapa dalam bahasa yang kami tidak mengerti. Mei menggelengkan kepala dan berkata ia tidak mengerti.
Orang tua itu tersenyum. "Kamu bukan orang China?" tanyanya.
Mei menggeleng.
Orang tua itu mengangguk dan berkata, "Tapi aku tahu kamu menyimpan kekuatan. Kamu punya kekuatan khusus yang besar. Beruntung sekali, sungguh beruntung."
Mei ketakutan mendengar itu. Ia menggenggam tanganku dan mengajakku menjauhi orang tua itu.
Itu bukan yang terakhir.
Lain waktu, kali ini ketika kami berniat makan siang bersama. Seorang perempuan paruh baya, pedagang pempek di daerah Kupang Teba, tertegun melihat Mei.
"Ncik, lu tau lu bawa hoki? Lu punya kaki dan badan tidak sama besar. Kaki lu kecil. Kekecilan untuk bawa badan. Tapi lu punya kekuatan. Kekuatan besar."
Begitu juga di waktu yang lain, seorang bapak, yang kebetulan berteduh bersama Mei dan aku di sebuah halte bus, terus memerhatikan Mei. Bapak itu mendekati Mei dan berkata santun, "Maaf, Mbak. Mbak punya simpanan ya?"
"Simpanan?" tanya Mei heran.
Bapak itu tersenyum. "Simpanan ilmu, Mbak."
Mei terkejut dan sambil menutupi kepanikannya sendiri, ia berkata, "Ya, ada ilmu juga. Ilmu hukum. Saya kuliah di Unila."
Bapak itu tertawa. "Ah, Mbak ini lucu rupanya. Tentu Mbak tahu yang saya maksud. Kalau Mbak asah terus, ilmu Mbak bisa makin kuat."
Perjumpaan-perjumpaan yang aneh ini terjadi berulang-ulang, hingga kerap membuat Mei ketakutan dan khawatir akan dirinya sendiri.
***
Beberapa tahun dari kematian ayahku, Mei kembali memberiku sebuah gambar. "Jangan pergi besok, tidak baik dan berbahaya," kata dia.
Aku mengenali gedung bertingkat lima yang ada di gambaran Mei. Di depan gedung itu, puluhan karangan bunga diletakkan. Di beberapa karangan bunga yang cukup besar, Mei mengguratkan kata "Turut berdukacita".
"Apa artinya ini Mei?" tanyaku.
"Aku tidak tahu," jawab Mei, "Tapi karangan-karangan bunga ini melambangkan adanya kematian."
"Lalu apa hubungannya dengan rencanaku besok? Gambar ini kan mungkin saja berarti pemilik gedung atau yang bekerja di situ ada yang meninggal."
Mei menggeleng. "Kamu dan kawan-kawanmu berencana march ke sana kan?"
Aku terdiam. "Tidak akan terjadi apa-apa, Mei. Percayalah."
Keesokan harinya, tepatnya tanggal 28 September 1999, aku tetap pergi. Bersama puluhan kawan-kawan, aku ikut berkumpul di lapangan parkir kampus FISIP Unila. Beberapa menit kami bergantian berorasi di depan Gedung E, mengajak teman-teman yang lain turut serta.
Di dekat gedung FH, aku melihat Mei berdiri. Matanya sedih sekali menatapku. Aku melambai padanya. Lalu untuknya, sambil tersenyum, dengan tangan kiriku, aku mengepalkan tinju.
Dari depan FISIP, kami berjalan bersama-sama menuju Markas Koramil Kedaton. Kami bersemangat sekali, tak jeda bernyanyi dan meneriakkan perlawanan. Tujuan kami adalah menolak pembentukan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Berbahaya (RUU PKB). Dan bukan hanya di Lampung, mahasiswa di seluruh negeri turun ke jalan untuk menolak RUU ini.
Ketika melewati gedung bertingkat lima yang digambar Mei hari kemarin, gedung tertinggi kampus UBL, aku bergidik. Tak akan terjadi apa-apa, pikirku dalam hati. Hanya sebuah gambar yang bisa berarti banyak dan tidak berhubungan dengan aksi hari ini.
Kami pun mulai berorasi di depan Markas Koramil. Tak lama, entah mulai dari mana, keadaan menjadi kacau. Pelemparan batu disusul bom molotov dan gas air mata. Lalu, dari arah pekuburan umum di samping Koramil terdengar desingan peluru. Peluru karet, pikirku.
Tak diduga, seorang kawan bertubuh jangkung dan berkulit putih, yang berdiri tak jauh dariku, rebah ke aspal jalan. Aku melihat darah. Pekik ketakutan datang dari segala arah. "Peluru tajam! Mereka menggunakan peluru tajam! Lari!"
Seperti kelompok lebah yang diasapi dan diusik, kami lari berhamburan. Puluhan mahasiswa berlari menuju kampus IAIN lama dan UBL, yang berada tepat di depan Koramil, demi mencari tempat perlindungan. Namun, tentara tak lagi peduli dengan kekebalan kampus, mereka terus mengejar dan menghancurkan apa-apa yang mereka lalui, juga mobil-mobil dan kaca-kaca gedung.
Melalui kampus IAIN dan berbelok ke pekarangan kampus UBL, aku terus berlari desing peluru yang diikuti teriakan, saling susul-menyusul. Bau hangus ban menusuk hidungku. Ini pertempuran, pikirku. Ini perang. Degup jantungku berpacu langkah. Tentara memerangi mahasiswa. Kakiku sakit dan kepalaku terasa panas sekali. Kenapa bisa seperti ini? Kami bukan penjahat. Napasku sesak. Telapak tanganku basah oleh keringat. Aku teringat Mei.
Aku berbelok ke arah gedung berlantai lima. Di persimpangan, hampir saja aku bertabrakan dengan seorang mahasiswa berjilbab. Ia memegang kamera. Seorang tentara bersenjata mengejarnya. Mata kami bertumbuk, sedetik saja, di mata perempuan itu aku seolah melihat kematian. Perempuan itu terus berlari. Tentara yang mengejarnya melihatku dan berteriak, "Jangan kabur kamu."
Setelah itu aku merasai perih dan panas yang sangat di bagian pundak. Aku merasai darah hangat merembes ke flannel kotak-kotak merah yang tak kukancing. Darah itu mengalir membasahi kaus merah bergambar Soekarno yang kukenakan. Lalu semua menjadi gelap.
***
Beberapa hari kemudian, aku diizinkan pulang dari rumah sakit. Dua orang kawan telah meninggal dunia, empat puluh empat orang, termasuk aku, terluka parah. Berita itu aku dengar dari teman-teman yang menjenguk. Teman-teman juga bilang, keadaan belum aman. Aparat masih mencari-cari mahasiswa yang dianggap think tank organisasi yang ikut berdemo.
Di hari kedua sejak aku keluar dari rumah sakit, Mei datang ke rumahku. Dari saku celana jinsnya ia mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat-lipat.
"Ini aku gambar ketika kamu masih di rumah sakit. Empat hari lalu," kata Mei.
Aku membuka lipatan kertas itu dan tertegun. Gambar yang Mei buat membuatku sesak.
"Larilah," kata Mei. "Pergilah jauh dari negeri ini."
"Ke mana aku bisa lari, Mei?" tanyaku lemah.
Mei menggenggam tanganku dan terisak.
Lancaster, Agustus 2011
Lampung Post, 11 September 2011
Sunday, September 4, 2011
Pesan Kepergian
Cerpen S.W. Teofani
KENAPA kau pergi, Guru. Bukankah pengetahuanmu belum genap kucecap. Ke mana engkau menjejakkan tapak. Tak ada tilasmu untuk kutuju, selain segenggam kenang atas seluruh kehilangan. Tak kau berikan tanda pun sasmita untuk sebuah perpisahan purna. Sepertinya engkau lupa telah mengasuhku sejak mengada.
Senja lengas itu kau biarkan seorang saja aku menggembala. Tak ada kekhawatiran selain ketakzimanku pada seluruhmu. Sungguh tak biasa kau biarkan aku sendiri menghalau ribuan domba itu, sedang srigala mengaum dari seribu penjuru.
Guru, tanganku tak sekukuh hastamu. Yang lempang mengarak langkah waktu. Jemariku tak sebanding telunjukmu, teguh mengarah peradaban debu. Lalu apa yang kau sisakan hingga tega meninggalkanku di padang tanpa rumput dengan beliung menderu.
Duh Guru, andai kutahu musabab kau meninggalkanku, kan kuluruhkan setiap denyar luka yang menyilaukanmu. Tapi tak kutemukan musabab pun maksud lesapmu. Tak ada yang kau pesankan selain kepergian itu.
Malam setelah gaibmu, kau bertandang antara nyata dan maya. Mengusap bahuku dengan kasih yang melebihi cinta. Aku tak sanggup menatapmu barang setegak benang. Kurasai jiwa itu merengkuh rindu. Tapi tak sanggup kugapai jubah putih, juga kakimu. Agar kusujudkan seluruh cemas yang kau sangsangkan di tengah siang.
Terlalu sarat kata ingin kusampaikan, tapi tak sedenting pun terucap.
Apakah kau masih menatapku, Guru. Aku sesengguk lurus dengan telapakmu, tanpa kutahu, apakah ujung kaki itu berpijak atau berjarak. Tapi kutahu, jiwamu merengkuh ibaku. Aku menjadi bayi yang merindu puting ibu. Menyecap setiap hikmah yang kau sematkan di padang waktu.
Tidakkah engkau rindu, Guru. Saat kau ajari aku manahan dahaga, meski kita kecukupan tirta. Lalu kau tunjuki aku dahaga sesungguhnya, yang tak tunai cawan anggur pun jernih telaga. Bukan sekadar air di tempayan rasa, melainkan laku suwungdi dasar sukma. Kau yakinkan aku ada kecukupan dalam kelaparan, ada kesegaran pada dahaga. Kau hidupkan kematian jiwa yang termanja benda-benda. Setiap tapakmu membekas pada jejak waktu yang disusun keping-keping pristiwa.
Lupakah engkau pada semua, Guru?
Saat kau usap penat beban di pundak batinku. Kau yakinkan bahwa hidup seringan cahaya yang dititipkan surya. Kau yakinkan pula tentang mahacahaya di balik seluruh benderang surya, juga jiwa. Aku diam, merasai keagungan jiwamu. Aku lenyap pada pengetahuan batinmu yang melebihi ketakziman biksu.
Adakah aku berbuat salah atas petuah pun titahmu? Kau kujunjung agung melebihi sesiapa yang pernah kusapa. Tak sesiluet pun kuberniat menitikkan kecewa pada hayatmu. Aku mencari pada setiap langit hari yang bermantel sunyi. Tidakkah kau merindukan cengkerama sukma kita yang melebihi kemansyukan sejoli?
Guru, tanpamu, bukan dahan-dahan hidupku yang patah, aku bagai tercerabut dari bumi. Seluruhku layu, diam, beku, melebihi kebisuan dini.
Denganmu aku sedamai bulir pisang yang tersemat pada tandan, terjaga pelepah, daun, dan batang. Aku tak mengkhawatirkan kawanan kera yang mengincarku. Tapi tanpamu, aku tak lebih seulir pisang pada tandan busuk di batang lanas. Kelelawar pun tak ragu mengabisi seluruhku. Duh, Guru, kau dengarkah semua dawai keluhku.
Saat kucoba mendongak, aku siaga pada kesadaran purna. Semua hanya mimpi yang tiba untuk mempertegas lenyapmu. Luruh hatiku semakin saja, tanpa tonggak pun harap penyangga.
Hari ini aku merasai gundah hati Rumi saat ditinggal Guru Samsyi. Kudekap gulana Musa kala Khidir pergi. Tapi aku manusia biasa, Guru. Tak ada gelar ulul azmi yang layak menjadi alasan untukku tegar kehilanganmu. Pun aku bukan guru sufi yang punya berlapis keimanan demi memagar hati. Aku tak mampu mengubah kehilanganku menjadi kasidah cinta juga masnawi.
Tahukah engkau Guru, setiap tilasmu menjadi makna bagiku. Taburan kebajikan yang kau ajarkan dalam diam, berubah ngiangyang menuntun laku. Kepergianmu menyisakan tanya pun duka yang melebihi kedalaman samudera.
***
ADAKAH kau tahu yang disebut guru, duhai Sahabatku? Tidakkah kita mengada dari mula takdir yang sama. Jika aku lebih tahu darimu, tak lebih karena terlahir sebelummu. Karena kucecap pekerti saat kau masih menyusu. Maka kutinggalkan dirimu duhai jiwa yang bercahaya melebihi seluruh pelita. Jika aku tetap bersamamu, siapa yang akan melihat terangmu yang tertutup pantulan hadirku. Tak mungkin ada dua matahari di semesta raya. Pasti satu akan menyelinap pada bayang yang lainnya. Maka kau akan menyala melebihi terangnya bagaskara tanpaku.
Usah kau tengok jalan kecil itu. Memang pernah kita lalui, tapi bukan untuk kita genapi. Dia hanya lintasan. Umpama lorong gelap menuju Tuhan. Maka tiada sesal pun utang yang kita titipkan pada jejaknya.
***
SEDASAWARSA tak cukup untuk mengubur kenang. Sepeninggalmu aku menyudahi petualangan. Terlalu banyak jalan yang tak kita hitung, begitu luas takdir tak terbendung. Manusia hanya bisa diam, menginsyafi kesementaraan atas rencana-rencana kehidupan. Maka aku mencoba tegak tanpamu. Menyisir sepi di batu-batu. Satu-satu kukumpulkan, kutumpuk menjadi bangunan. Kini aku berdiam, menyudahi segala pengembaraan. Entah karena duka atau lelah doa. Karena banyak rencana di luar rencana kita. Hatiku membaca banyak kemungkinan, tapi aku memilih tak mengungkapkan, biarlah rahasia menjadi hak-Nya untuk bersembunyi.
Bening itu darah, tak menentes pun mengental, yang menjadi sanksi kepergian.
Diam pada ketakziman ketentuan. Dan ketentuan hari ini berima dari keputusan masa lalu: keteguhanmu untuk meninggalkanku. Maka kukais apa-apa yang tersisa dari luka. Kukumpulkan yang terserak dari lara. Manjadilah ia kekuatan yang melampai apa-apa yang kita duga.
Sepeninggalmu Guru, kucoba merawat setiap yang kau sampaikan. Kuedarkan lagi pada orang-orang yang berkunjung pun menetap di kastilku. Semakin waktu, satu-satu manusia membunuh kesendirianku. Menjadi wasilah pekerti yang kau wariskan kepadaku. Kepada mereka kusampaikan, darimulah segala pengetahuan itu. Maka ikhlaskan semaua untuk kusebarkan, Guru.
Aku semakin mendapati jalanku, jalan yang lempang dengan kesendirian. Mungkin aku lelah mengharap hadirmu. Hingga kuhidupkan apa-apa yang pernah kau nyalakan di jiwa pun pikirku. Maka tak aka lagi kesendirian yang sesungguhnya, Guru. Kau menjelma pada jiwa-jiwa yang hadir menemaniku. Atau dengan malu aku mengaku kau mengejawantah pada diriku yang menyampaikan risalah pada jiwa-jiwa itu. Entahlah, tapi aku tak lagi sepi pun karenamu. Jika tak kau tunjuki aku jalan-jalan itu, bagaimana aku akan menyampaikan dua jalan yang harus kita pilih untuk sampai pada Sang Maha. Kini jiwa-jiwa itu merindumu meski tak pernah bersitatap dengan wujudmu. Para jiwa telah menerima apa-apa yang pernah kau pantulkan pada jiwaku. Maka, gema kehilanganku menjadi gaung di gua jiwa mereka.
***
"BOLEHKAH aku menimba pengetahuan padamu, Guru?"
"Apa yang akan kau ketahui? Aku belum pantas disebut guru, aku hanya membunuh sepi karena kerinduan pada guruku."
"Adakah kemasyuranmu akan pengetahuan dan kazuhudan kau tukar dengan frasa membunuh sepi?"
"Itulah yang senyatanya. Kau tahu, Tamuku, mataku buta karena air mata. Sepanjang malam, selama epuluh tahun, aku nyanyikan kehilangan atas manusia agung yang kusebut guru. Kecerdasannya mendekati Khidir, kezuhudannya sebanding sufi."
"Di manakah ia?"
"Aku tak tahu. Dia lenyap begitu rupa. Aku telah mencari di setiap penjuru yang kutahu, tapi sia-sia. Akhirnya aku diam, di sini, menyanyikan namanya pun seluruhnya pada orang-orang yang bertanya."
"Adakah yang bertanya tentang halnya?"
"Jiwa-jiwa yang merindu kebaikan akan memburu orang-orang terpilih. Maka gurulah yang menjadi pilihan nilai kebaikan. Kebaikan dan guruku menyatu menjadi nyanyian yang tak kuhentikan sebelum manusia pencari pengetahuan lelap."
"Apakah kau mengharapkan pertemuan dengan gurumu?"
"Aku telah mengikhlaskannya, pun kehendaknya untuk meninggalkanku. Aku hanya percaya, dia lakukan itu bukan tanpa rencana."
"Jika kau bertemu dengannya, adakah utang yang akan kau lunaskan?"
"Kami pernah berjanji untuk mengafani siapa yang lebih dulu menghadap Illahi."
"Kau ingat itu, dan aku datang menagih janji. Aku akan damai jika ajal tiba kau yang mengafani."
"Guruuuu......"
***
AKU tersungkur, dengan perasaan tak terukur. Meski mataku tak menatapnya, batinku melebur seluruhnya. Kurasakan dia memelukku, hingga aku tak merasakan apa pun.
Lamat-lamat kudengar tangis kehilangan. Tak ada yang lebih damai dari kepergian yang dihantarkan orang terkasih. Dia mengafaniku.
Lampung, Februari-Maret 2011
Lampung Post, 4 September 2011
KENAPA kau pergi, Guru. Bukankah pengetahuanmu belum genap kucecap. Ke mana engkau menjejakkan tapak. Tak ada tilasmu untuk kutuju, selain segenggam kenang atas seluruh kehilangan. Tak kau berikan tanda pun sasmita untuk sebuah perpisahan purna. Sepertinya engkau lupa telah mengasuhku sejak mengada.
Senja lengas itu kau biarkan seorang saja aku menggembala. Tak ada kekhawatiran selain ketakzimanku pada seluruhmu. Sungguh tak biasa kau biarkan aku sendiri menghalau ribuan domba itu, sedang srigala mengaum dari seribu penjuru.
Guru, tanganku tak sekukuh hastamu. Yang lempang mengarak langkah waktu. Jemariku tak sebanding telunjukmu, teguh mengarah peradaban debu. Lalu apa yang kau sisakan hingga tega meninggalkanku di padang tanpa rumput dengan beliung menderu.
Duh Guru, andai kutahu musabab kau meninggalkanku, kan kuluruhkan setiap denyar luka yang menyilaukanmu. Tapi tak kutemukan musabab pun maksud lesapmu. Tak ada yang kau pesankan selain kepergian itu.
Malam setelah gaibmu, kau bertandang antara nyata dan maya. Mengusap bahuku dengan kasih yang melebihi cinta. Aku tak sanggup menatapmu barang setegak benang. Kurasai jiwa itu merengkuh rindu. Tapi tak sanggup kugapai jubah putih, juga kakimu. Agar kusujudkan seluruh cemas yang kau sangsangkan di tengah siang.
Terlalu sarat kata ingin kusampaikan, tapi tak sedenting pun terucap.
Apakah kau masih menatapku, Guru. Aku sesengguk lurus dengan telapakmu, tanpa kutahu, apakah ujung kaki itu berpijak atau berjarak. Tapi kutahu, jiwamu merengkuh ibaku. Aku menjadi bayi yang merindu puting ibu. Menyecap setiap hikmah yang kau sematkan di padang waktu.
Tidakkah engkau rindu, Guru. Saat kau ajari aku manahan dahaga, meski kita kecukupan tirta. Lalu kau tunjuki aku dahaga sesungguhnya, yang tak tunai cawan anggur pun jernih telaga. Bukan sekadar air di tempayan rasa, melainkan laku suwungdi dasar sukma. Kau yakinkan aku ada kecukupan dalam kelaparan, ada kesegaran pada dahaga. Kau hidupkan kematian jiwa yang termanja benda-benda. Setiap tapakmu membekas pada jejak waktu yang disusun keping-keping pristiwa.
Lupakah engkau pada semua, Guru?
Saat kau usap penat beban di pundak batinku. Kau yakinkan bahwa hidup seringan cahaya yang dititipkan surya. Kau yakinkan pula tentang mahacahaya di balik seluruh benderang surya, juga jiwa. Aku diam, merasai keagungan jiwamu. Aku lenyap pada pengetahuan batinmu yang melebihi ketakziman biksu.
Adakah aku berbuat salah atas petuah pun titahmu? Kau kujunjung agung melebihi sesiapa yang pernah kusapa. Tak sesiluet pun kuberniat menitikkan kecewa pada hayatmu. Aku mencari pada setiap langit hari yang bermantel sunyi. Tidakkah kau merindukan cengkerama sukma kita yang melebihi kemansyukan sejoli?
Guru, tanpamu, bukan dahan-dahan hidupku yang patah, aku bagai tercerabut dari bumi. Seluruhku layu, diam, beku, melebihi kebisuan dini.
Denganmu aku sedamai bulir pisang yang tersemat pada tandan, terjaga pelepah, daun, dan batang. Aku tak mengkhawatirkan kawanan kera yang mengincarku. Tapi tanpamu, aku tak lebih seulir pisang pada tandan busuk di batang lanas. Kelelawar pun tak ragu mengabisi seluruhku. Duh, Guru, kau dengarkah semua dawai keluhku.
Saat kucoba mendongak, aku siaga pada kesadaran purna. Semua hanya mimpi yang tiba untuk mempertegas lenyapmu. Luruh hatiku semakin saja, tanpa tonggak pun harap penyangga.
Hari ini aku merasai gundah hati Rumi saat ditinggal Guru Samsyi. Kudekap gulana Musa kala Khidir pergi. Tapi aku manusia biasa, Guru. Tak ada gelar ulul azmi yang layak menjadi alasan untukku tegar kehilanganmu. Pun aku bukan guru sufi yang punya berlapis keimanan demi memagar hati. Aku tak mampu mengubah kehilanganku menjadi kasidah cinta juga masnawi.
Tahukah engkau Guru, setiap tilasmu menjadi makna bagiku. Taburan kebajikan yang kau ajarkan dalam diam, berubah ngiangyang menuntun laku. Kepergianmu menyisakan tanya pun duka yang melebihi kedalaman samudera.
***
ADAKAH kau tahu yang disebut guru, duhai Sahabatku? Tidakkah kita mengada dari mula takdir yang sama. Jika aku lebih tahu darimu, tak lebih karena terlahir sebelummu. Karena kucecap pekerti saat kau masih menyusu. Maka kutinggalkan dirimu duhai jiwa yang bercahaya melebihi seluruh pelita. Jika aku tetap bersamamu, siapa yang akan melihat terangmu yang tertutup pantulan hadirku. Tak mungkin ada dua matahari di semesta raya. Pasti satu akan menyelinap pada bayang yang lainnya. Maka kau akan menyala melebihi terangnya bagaskara tanpaku.
Usah kau tengok jalan kecil itu. Memang pernah kita lalui, tapi bukan untuk kita genapi. Dia hanya lintasan. Umpama lorong gelap menuju Tuhan. Maka tiada sesal pun utang yang kita titipkan pada jejaknya.
***
SEDASAWARSA tak cukup untuk mengubur kenang. Sepeninggalmu aku menyudahi petualangan. Terlalu banyak jalan yang tak kita hitung, begitu luas takdir tak terbendung. Manusia hanya bisa diam, menginsyafi kesementaraan atas rencana-rencana kehidupan. Maka aku mencoba tegak tanpamu. Menyisir sepi di batu-batu. Satu-satu kukumpulkan, kutumpuk menjadi bangunan. Kini aku berdiam, menyudahi segala pengembaraan. Entah karena duka atau lelah doa. Karena banyak rencana di luar rencana kita. Hatiku membaca banyak kemungkinan, tapi aku memilih tak mengungkapkan, biarlah rahasia menjadi hak-Nya untuk bersembunyi.
Bening itu darah, tak menentes pun mengental, yang menjadi sanksi kepergian.
Diam pada ketakziman ketentuan. Dan ketentuan hari ini berima dari keputusan masa lalu: keteguhanmu untuk meninggalkanku. Maka kukais apa-apa yang tersisa dari luka. Kukumpulkan yang terserak dari lara. Manjadilah ia kekuatan yang melampai apa-apa yang kita duga.
Sepeninggalmu Guru, kucoba merawat setiap yang kau sampaikan. Kuedarkan lagi pada orang-orang yang berkunjung pun menetap di kastilku. Semakin waktu, satu-satu manusia membunuh kesendirianku. Menjadi wasilah pekerti yang kau wariskan kepadaku. Kepada mereka kusampaikan, darimulah segala pengetahuan itu. Maka ikhlaskan semaua untuk kusebarkan, Guru.
Aku semakin mendapati jalanku, jalan yang lempang dengan kesendirian. Mungkin aku lelah mengharap hadirmu. Hingga kuhidupkan apa-apa yang pernah kau nyalakan di jiwa pun pikirku. Maka tak aka lagi kesendirian yang sesungguhnya, Guru. Kau menjelma pada jiwa-jiwa yang hadir menemaniku. Atau dengan malu aku mengaku kau mengejawantah pada diriku yang menyampaikan risalah pada jiwa-jiwa itu. Entahlah, tapi aku tak lagi sepi pun karenamu. Jika tak kau tunjuki aku jalan-jalan itu, bagaimana aku akan menyampaikan dua jalan yang harus kita pilih untuk sampai pada Sang Maha. Kini jiwa-jiwa itu merindumu meski tak pernah bersitatap dengan wujudmu. Para jiwa telah menerima apa-apa yang pernah kau pantulkan pada jiwaku. Maka, gema kehilanganku menjadi gaung di gua jiwa mereka.
***
"BOLEHKAH aku menimba pengetahuan padamu, Guru?"
"Apa yang akan kau ketahui? Aku belum pantas disebut guru, aku hanya membunuh sepi karena kerinduan pada guruku."
"Adakah kemasyuranmu akan pengetahuan dan kazuhudan kau tukar dengan frasa membunuh sepi?"
"Itulah yang senyatanya. Kau tahu, Tamuku, mataku buta karena air mata. Sepanjang malam, selama epuluh tahun, aku nyanyikan kehilangan atas manusia agung yang kusebut guru. Kecerdasannya mendekati Khidir, kezuhudannya sebanding sufi."
"Di manakah ia?"
"Aku tak tahu. Dia lenyap begitu rupa. Aku telah mencari di setiap penjuru yang kutahu, tapi sia-sia. Akhirnya aku diam, di sini, menyanyikan namanya pun seluruhnya pada orang-orang yang bertanya."
"Adakah yang bertanya tentang halnya?"
"Jiwa-jiwa yang merindu kebaikan akan memburu orang-orang terpilih. Maka gurulah yang menjadi pilihan nilai kebaikan. Kebaikan dan guruku menyatu menjadi nyanyian yang tak kuhentikan sebelum manusia pencari pengetahuan lelap."
"Apakah kau mengharapkan pertemuan dengan gurumu?"
"Aku telah mengikhlaskannya, pun kehendaknya untuk meninggalkanku. Aku hanya percaya, dia lakukan itu bukan tanpa rencana."
"Jika kau bertemu dengannya, adakah utang yang akan kau lunaskan?"
"Kami pernah berjanji untuk mengafani siapa yang lebih dulu menghadap Illahi."
"Kau ingat itu, dan aku datang menagih janji. Aku akan damai jika ajal tiba kau yang mengafani."
"Guruuuu......"
***
AKU tersungkur, dengan perasaan tak terukur. Meski mataku tak menatapnya, batinku melebur seluruhnya. Kurasakan dia memelukku, hingga aku tak merasakan apa pun.
Lamat-lamat kudengar tangis kehilangan. Tak ada yang lebih damai dari kepergian yang dihantarkan orang terkasih. Dia mengafaniku.
Lampung, Februari-Maret 2011
Lampung Post, 4 September 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)