Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
ESOK adalah boxing-day dan Ray sudah menyiapkan rencana. Pagi-pagi benar, ketika gelap masih melingkupi putih salju, ia akan membawa kantung tidurnya ke pusat kota. Ia akan menyiapkan setermos teh panas dan menyelipkannya di kantung sisi ranselnya. Ia akan bersepeda dari rumah sewanya dan menempati tempat pertama di depan antrian pintu swalayan Fenwick.
Ray merasa senang dan tak sabar menunggu hari esok. Ini kali pertama ia peduli akan boxing-day. Ini kali pertama ia akan, seperti orang-orang yang lain, mengantri subuh-subuh sekali untuk dapat membeli barang-barang yang disukai. Ini, sekalinya ia menjilat ludahnya sendiri. Semua demi Cut Meutia dan Adriana.
Dulu, boxing-day, baginya, adalah perayaan konsumerisme. Sesuatu yang ia tidak sukai bahkan ia anggap konyol. Bagaimana tidak, keluar rumah di suhu minus enam atau delapan, berjam-jam ikut mengantri di depan toko-toko, dalam antrian sepanjang ular naga, hanya demi membeli barang-barang berpotongan harga. Ha! Sungguh hal ini membuat Ray menggeleng-gelengkan kepala.
Ray pun dulu berpendapat, boxing-day sungguh tidak manusiawi. Sehari itu para pemilik modal mempermainkan para pembeli. Mereka hanya memberi potongan harga besar-besaran dalam satu hari—hanya satu hari! Lalu dengan tenang menonton orang-orang yang bersusah payah sejak hari masih lagi gelap menunggu di depan toko mereka. Melihat orang-orang berebut, menyemut di lantai toko dan saling sikut demi mendapatkan sebuah barang –barang!—yang kadang, bukan sesuatu yang wah, macam tas atau dompet saja. Ini, dulu, bagi Ray sangat merendahkan kemanusiaan, amat memalukan dan tidak masuk di akal.
Namun, kemudian Ray tersadar, ia pun tak beda dengan orang-orang kebanyakan itu. Ia pun, demi Cut Meutia dan Adriana, ingin memberikan yang terbaik pada orang-orang yang ia sayangi, dan kerap kali yang terbaik itu diartikan sebagai termahal. Untuk ukuran dompetnya, potongan harga tujuh puluh lima persen atau lima puluh persen tentu sungguh membantu. Bagaimana tidak, tas yang ingin ia belikan untuk Cut Meutia harganya seribu dua ratus poundsterling, sementara boneka untuk Adriana tak kurang dari seratus.
Ray, yang akhirnya memutuskan untuk ikut menyemut dan merayakan kemenangan pemilik modal dan menyerahkan diri pada ketundukan pemujaan barang-barang, menghibur dirinya sendiri: ia melakukan semua ini untuk melihat kerlip di mata Cut Meutia dan Adriana. Ia melakukan semua ini untuk memberi kejutan istimewa dan memanjakan mereka. Ia ingin, ketika Cut Meutia dan Adriana menginjakkan kaki di negara dingin ini, kemewahan adalah hal pertama yang mereka rasa.
Ray berharap, jika sudah begitu, ketika ia kemudian mengajak mereka ke rumah sewanya, mereka tidak akan begitu kecewa. Semoga Cut Meutia dan Adriana akan tetap terfokus pada tas dan boneka hadiah, dan tak akan memerhatikan wallpaper yang mengelupas di sana-sini, karpet tua yang berlubang dan berbercak hitam, sofa yang bertambal, atap yang merembes air hujan, juga kamar mandi yang berjamur dan berbau tak sedap.
Semoga mereka tidak akan kecewa melihat sampah berterbangan tertiup angin di sisi jalan dan kantung-kantung pelastik yang tersangkut di pepohonan.
Bagaimanapun juga ini Inggris, dan di Inggris sudah seharusnya semua berkesan indah dan mewah. Apalagi bagi mereka yang baru saja datang dari Indonesia.
***
Sebelum libur Natal, berkali-kali Ray datangi Fenwick. Ia pergi ke bagian tas perempuan dan memastikan tas yang ia tuju masih terpajang di lemari kaca. Tas itu berwarna cokelat tua, terbuat dari kulit, bertali besi berbentuk gelang sambung menyambung dan berlogo H di bagian tengahnya. Ray membatin, Cut Meutia akan suka sekali pada tas itu.
Kemudian ia pergi ke bagian mainan anak-anak, dan memastikan boneka yang ia akan beli masih ada di deretan lemari soft toys. Diraihnya boneka itu, sebuah boneka beruang besar, berbulu cokelat yang sangat lembut, sebuah pita berwarna merah bertotol putih menyemat di balik sebelah telinga. Ray yakin, Adriana akan senang sekali mendapat boneka itu.
Betapa leganya Ray setiap kali mendapati kedua barang yang ia ingini masih berada di tempatnya. Betapa senangnya ia, karena sebentar lagi ia akan membawa tas dan boneka itu pulang dan akan membungkusnya dengan hati-hati. Ia akan membawa mereka ke bandara, ketika ia menjemput Cut Meutia dan Adriana, pada harinya nanti.
Sebentar lagi, batin Ray. Beberapa hari lagi, dan mereka akan tiba di sini. Hanya sekejap lagi, dan ia tak akan lagi sendiri. Hanya dalam hitungan hari, dan hari-hari penuh kerinduan dan penantian untuk kembali berkumpul akan lenyap, selamanya.
Setelah dua tahun berpisah! Dua tahun!
***
Di pagi Natal, menggunakan kartu telepon antarbangsa, Ray menelepon ke Indonesia. Ia mendapat kabar bahwa Cut Meutia dan Adriana telah tiba di Bandara Blang Bintang siang itu, waktu Indonesia. Mereka hendak berpamitan pada sanak saudara di sana, berpamitan dan mohon doa sebelum hendak berpergian jauh ke Inggris Raya.
"Adriana senang di Aceh, Nak?" tanya Ray.
"Eh-eh," jawab suara kecil di ujung telepon.
"Sampaikan salam Papa untuk nenek, nya'wa dan ayahwa ya. Papa tunggu Adriana di sini. Papa rindu sekali."
"Eh-eh," kembali suara Adriana terdengar.
"Sekarang Adriana panggilkan Mama ya. Tapi kasih cium dulu buat Papa."
"Mwah," Adriana berkata pelan. Lalu suara Cut Meutia terdengar, "Adriana senang sekali di sini. Tak henti bermain dengan sepupu-sepupunya. Dia senang melihat sawah dan kerbau. Adriana bilang ia tak ingin kembali ke Jakarta. Tak ingin pergi ke Inggris. Ia ingin selamanya di Aceh."
"Rayu Adriana, bilang padanya Papa punya kejutan untuknya di Inggris."
Ray mendengar Cut Meutia tertawa. “Aku rindu,” bisiknya.
"Sekejap lagi kita bertemu ya, sayang," Cut Meutia balas berbisik padanya.
Ray tersenyum bahagia, "Tak sabar rasanya."
"Hanya tinggal beberapa hari. Dua tahun pun Abang kuat menunggu," Cut Meutia tertawa.
Ray ikut tertawa, "Ya, tapi tidak jika hanya satu minggu. Apa rencana hari ini? Dan esok?"
"Kita makan besar siang ini, nya’wa masak lezat. Besok pagi, rencananya kita akan ke pantai."
"Nanti tiba di sini, akan aku masakan spaghetti. Aku sudah belajar dari kawan di sini."
"Wah, kedengarnya menggiurkan," Cut Meutia kembali tertawa.
"Aku sudah tak sabar," bisik Ray lagi.
Mereka bertukar cium dan dengan bahagia Ray menutup telepon.
Di luar box merah telepon umum, awan hitam menggantung, makin lama makin memekat. Awan hitam menghadang dan perlahan menelan birunya langit. Namun Ray tak peduli. Ray sungguh bahagia sekali.
***
Malam harinya, sebelum tidur, Ray memasang alarm pada telepon genggam. Jam empat tepat. Ray tak ingin terlambat.
Ray menyapukan pandangan ke sekeliling kamar, ia dapat melihat Cut Meutia dan Adriana di situ. Di luar jendela, pada jalan-jalan batu, Ray dapat membayangkan ia dan keluarganya bergandengan tangan, menyusuri jalan bersalju. Adriana akan senang sekali melihat salju, pikir Ray. Dan Cut Meutia tak akan bosan menunjuk gedung-gedung tua dan mengagumi bunga-bunga di musim semi nanti.
Ia sudah memasukkan termos tehnya di sisi ransel, dan sleeping bag ke dalamnya. Semua sudah siap, pikir Ray, esok ia akan membawa tas dan boneka itu pulang. Cut Meutia dan Adriana tentu akan senang sekali.
Ray membayangkan wajah istri dan anaknya terkejut menerima hadiah darinya nanti, senyuman melekat dibibirnya hingga ia jatuh tertidur.
Hampir pukul empat pagi, Ray dibangunkan oleh dering telepon genggamnya. Bukan alarm, pikir Ray, namun dering telepon. Dengan mengantuk, Ray menekan tombol bergambar telepon berwarna hijau.
"Ya?"
"Ray, Ray, ini ayah." Terburu-buru suara di seberang.
Ayahnya tak pernah menelepon untuk sesuatu yang tak penting, pikir Ray. Selama ia berkuliah di Inggris, ayahnya tak pernah meneleponnya sama sekali.
"Ayah, ada apa?"
"Ray harus kuatkan hati, harus tabah."
"Ayah, ada apa?" kali ini Ray duduk dari tidurnya.
"Tsunami di Aceh, Nak. Air bah besar dan gempa bumi. Tak ada yang bisa ayah hubungi. Belum tahu kabar Cut dan Adriana."
Ray ternganga. Ini hanya mimpi buruk, ini hanya mimpi buruk, riuh benaknya.
"Ray ... Ray ... kamu harus kuat, Nak. Banyak berzikir. Kami di Jakarta masih menunggu kabar."
Ray membisu. Matanya tertumpu pada foto berbingkai perak di sudut meja belajarnya. Foto terbaru Cut Meutia dan Adriana yang ia punya. Di foto itu Cut Meutia dan Adriana tersenyum bahagia. Ray memandangi rambut Adriana yang ikal hitam kepirangan, tangan kecilnya yang seolah menggapai padanya. Dan mata Cut Meutia yang biru keabu-abuan menatap padanya lembut.
"Ray, jika bisa akses internet, bukalah berita, Nak," suara ayahnya terdengar sangat jauh. Seolah tak nyata, bergema dari lorong yang gelap.
Ray menyentuh pipinya. Ia harus bercukur dan memangkas rambutnya yang gondrong. Ia harus terlihat rapi dan bersih ketika nanti menjemput Cut Meutia dan Adriana.
Ray berdehem, melenyapkan bisu dari tenggorokannya.
"Ayah, tak usah khawatir. Cut dan Adriana baik-baik saja. Mereka akan datang ke sini tak lama lagi. Hanya sekejap lagi."
Lamat-lamat Ray mendengar ayahnya menyebut-nyebut nama Allah. Dengan tubuh dan tangan gemetar, Ray mematikan sambungan telepon.
Sedetik kemudian telepon genggam di tangannya bergetar dan suara alarm terdengar. Ray menatap nanar pada layar telepon, membaca catatan yang tadi malam ia tuliskan: Berburu hadiah untuk Cut dan Adriana. Lekas pergi antri!
Ray menatap tas ransel yang telah ia siapkan, juga helm sepeda yang sudah ia letakkan tak jauh dari tasnya. Ini boxing-day, pikir Ray, hadiah untuk Cut Meutia dan Adriana telah menunggunya. Ia tak ingin terlambat, tak ingin kedahuluan orang-orang. Ray tahu, ia harus bersiap pergi saat itu juga. Bergegas ia berpakaian, lengkap dengan jaket hangat, topi dan sarung tangan. Kemudian ia menyambar tas dan helm sepedanya.
Ray tahu ia harus menembus pekat malam, dingin salju dan gigil angin, demi dan hanya demi Cut Meutia dan Adriana.
Lancaster, September 2011
Lampung Post, Minggu, 18 Desember 2011
Sunday, December 18, 2011
Sunday, December 11, 2011
Sardi Kolot Gembel Kesohor
Cerpen Iwan Nurdaya-Djafar
JEJARING sosial, kata orang, bisa membuat kenangan masa kecil hadir kembali. Setidaknya ini terjadi tatkala sobatku Dahta menulis status di akun Facebook-nya, "Aku bukan anak Tanjungkarang. Aku anak Hajimena. Tapi aku sering nongkrong di Tanjungkarang saat SMA. Jadi aku tidak tahu siapa gerangan Sardi Kolot. Jika berkenan, ceritakanlah padaku tentang Sardi Kolot...."
Membaca status itu, aku serasa terlempar ke masa kanak yang jauh dan tergerak untuk menceritakannya. Sardi Kolot adalah gembel kesohor di Tanjungkarang sejak tahun 60-an hingga 90-an. Perawakannya gemuk-pendek, berkulit hitam, berambut rada ikal. Tingginya sekira 155 dengan bobot sekitar 60. Dia lelaki lemah akal, jika bukan setengah gila. Sardi dikaruniai umur panjang, tentu saja berikut kesintingannya yang panjang pula. Berdasarkan daftar cabut, nyawa Sardi diambil Tuhan pada usia 70-an.
Saban pagi Sardi ke luar dari rumah sederhananya di bilangan Empang, Lebakbudi. Diayunkannya langkah menuju Pasar Bambukuning yang tak jauh dari rumahnya. Ke mana pun Sardi berjalan, dia selalu menenteng batu di tangannya demi menjaga dirinya dari gangguan anak-anak nakal atau buat menimpuk orang yang tak mau memberinya sekadar uang recehan.
Kemunculan Sardi di tengah khalayak ramai selalu menimbulkan kepanikan. Dia tampil sebagai sosok yang mengancam. Berdekat-dekat dengan Sardi adalah sewujud kengerian. Berjauh-jauh dari Sardi adalah sebentuk rasa aman.
"Awas, ada Sardi Kolooooooot...," pekik seseorang begitu melihat Sardi melintasi kawasan pasar. Khalayak ramai pun segera menyingkir. Anak-anak berlari ketakutan. Saking ngerinya, terdengar jua ledakan tangis dari seorang anak yang penjirih dengan air muka pucat pasi yang tengah diburu oleh Sardi. Anak itu lari terbirit-birit bersama pekik ketakutannya. Bukan mustahil dia terkencing-kencing juga di celana.
"Tolong, toloooooonggg...," pekik anak itu seraya berlari menjauh.
Sardi terus mengejarnya. Anak itu berlari laksana kilat dan menghilang ke balik sebuah tikungan.
Demikianlah, Sardi kerap melancarkan serangan dengan mengejar dan menimpuki sesiapa saja yang berada di dalam jangkauan lemparan tangannya. Tanpa segan dia akan mengejar anak-anak nakal yang mengganggunya. Tanpa segan dia akan menimpuki orang yang ogah memberinya uang. Menariknya, dia tak pernah tampil memelas seperti lazimnya peminta-minta manakala dia meminta uang kepada siapapun saja. Dia justru tampil gagah perwira di dalam aksinya memalak orang. Jiwa preman benar-benar telah bersarang di dalam jiwanya yang sudah terganggu kelewat lama. Tanpa babibu, dia bisa mendadak mengejar serombongan remaja perempuan yang boleh jadi di dalam kesintingannya dirasakannya sebagai ancaman. Atau boleh jadi juga secara merahasia dia ingin mendapatkan perhatian dari jenis kelamin yang lain. Bagaimanapun jua, Sardi juga manusia, lengkap dengan nafsu syahwatnya. Sardi adalah seorang bujang lapuk, hidup sebatang kara, tanpa istri dan anak, namun tetap memiliki nafsu biologis agaknya. Sungguhpun begitu, tak terbetik cerita bahwa Sardi pernah terlibat kasus pemerkosaan atau merudapaksa perempuan. Dia tidak punya tampang pemerkosa atau seorang pedofilia.
Sebaliknya, ada kalanya pula justru Sardi yang menjadi bulan-bulanan karena dijadikan incaran gangguan oleh serombongan anak lelaki yang nakal. Merasa terusik, dia akan mengejar anak-anak itu sembari melesatkan batu-batu yang ada di tangannya. Khalayak ramai sudah mafhum atas perilaku aneh Sardi itu dan menganggapnya sebagai suatu kelaziman. Kelaziman nan zalim, mungkin.
Dari arah pasar, Sardi biasanya akan melanjutkan perjalanannya menuju Gedongdalam di bilangan Enggal. Dan itu berarti dia akan melintasi gang di sebelah rumahku. Aku hafal benar dengan jadwal Sardi melintasi gang itu, sekira pukul sembilan pagi. Aku yang sekolah siang dan masih duduk di kelas tiga sekolah dasar dan karenanya masih berada di rumah sepagi itu, sering mengintip Sardi melintas gang itu. Kemudian aku membuntutinya. Di Gedongdalam dia mendatangi rumah saudaranya, Pak Yusuf, untuk meminta sarapan. Kurang-lebih satu jam dia mampir di rumah saudaranya itu. Selepas makan, dia akan pulang melewati gang yang sama.
Kalau naluri kenakalanku dan kawan-kawan sedang kumat, dari balik dinding rumahku, kami akan mengintai kemunculan Sardi di gang sebelah rumahku itu. Dengan tangan menggenggam batu kami bersiap-siap untuk menimpuknya. Dunia tahu, timpukanku jarang meleset, dan karenanya acap tepat menghantam badannya yang gemuk lagi pendek itu. Karuan saja dia akan mengerang dan berang dan mengejar kami. Mulutnya menyerapah melontarkan kata-kata makian dalam bahasa Sunda yang kasar.
"Anjing siaaaa..." makinya dengan wajah membengis.
Mendengar makiannya kami tertawa belaka dan secepat kilat kami melesat ke arah Lapangan Enggal yang terletak persis di depan rumahku. Bagai anak panah lepas dari busurnya, tubuh kami melesat cepat, berlari terbirit-birit sekencang bisa. Seingatku, tak pernah barang sekali pun Sardi berhasil menangkap kami. Bahkan timpukannya pun tak bisa menjangkau kami yang berjarak di luar sepelemparan tangannya.
Untuk mengecohnya, biasanya kami berlari membelok ke Gang Melati yang tembus ke Jalan Raden Intan. Tubuh Sardi yang gemuk membuatnya tak bisa berlari dengan kencang. Beda benar dengan tubuh kami yang ramping sehingga laksana kawanan kuda kaki dengan gesit kami bisa berderap cepat. Dari kejauhan tampak Sardi ngos-ngosan kepayahan. Napasnya tersengal-sengal seolah mau putus diterkam ajal. Melihat hal itu tawa kami makin menjadi-jadi. Kadang terkekeh. Kadang terbahak. Ada kalanya sembari bergulingan di atas tanah tersebab tak kuat menahan sakit perut akibat tawa terpingkal-pingkal yang terus berderai.
Dari seorang warga kota aku mendengar kisah lain tentang Sardi. Pada suatu siang yang terik, tak jauh dari rumah gubuk Sardi, di Jalan Tamin di bilangan Empang, Lebakbudi, terjadi kemacetan luar biasa. Kendaraan berderet panjang dan riuh oleh bunyi klakson yang tiada putus-putusnya. Hiruk pikuk suasana dibuatnya. Kebisingan yang tak biasa benar-benar merajalela. Ada apakah gerangan? Ternyata Sardi dengan gagah tegak di tengah jalan sembari merentangkan kedua belah tangannya. Di dekat kakinya di atas jalan raya itu teronggok bongkahan-bongkahan batu-batu kerikil. Ada pula satu-dua yang berukuran besar, bahkan bata merah yang masih utuh. Bermodalkan batu-batu yang siap ditimpukannya dia menuntut agar kendaraan yang lewat mesti memberinya uang terlebih dulu. Tak pelak lagi, kali ini jiwa preman Sardi sebagai pemalak betul-betul tengah memuncak. Bukan betul sembarang betul, tapi betul, betul, betul—persis seperti sepasang lidah Upin-Ipin menuturkannya.
"Dasar sinting!" semprot sejumlah sopir.
"Sardi Kolot, gelo siaaahh!” damprat supir yang lain.
Di tengah sumpah serapah itu, toh Sardi tetap membatu. Teguh kukuh berlapis baja. Dia bertahan sejadi-jadinya di tengah jalan raya. Bentangan tangannya seolah menggarisbawahi perlawanannya yang degil tak terkira. Keringat yang mengucur di sekujur tubuhnya akibat sengatan matahari tiada dipedulikannya. Sardi tak pandang bulu, semua kendaraan yang lewat entah mobil atau motor bahkan sepeda sekalipun mesti membayar uang palakan. Sebuah sedan yang coba menyelonong begitu saja beroleh ganjaran yang keras dari Sardi. Dengan batu tajam di tangannya dia menggores badan mobil yang bercat mulus itu. Pengemudinya marah besar, tapi Sardi segera mengambil dua bongkah batu bata di dekat kakinya dan siap melemparkannya.
"Dasar gila!" semprot si pengemudi.
Hampir terjadi perdebatan sengit antara keduanya. Tapi Sardi tak melayaninya. Dia tetap bertahan meminta uang palakan. Akhirnya sang sopir mengalah. Tak ada untungnya berdebat dengan orang gila. Sardi yang sinting berada di luar jangakuan hukum. Tak ada sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Hukum justru dengan tegas memberi pengampunan bagi si gila apabila dia berbuat tindak pidana.
Maka, tiada pilihan lain bagi para pengemudi kendaraan selain memberi uang palakan kepada Sardi Kolot. Karuan saja, sesiang itu Sardi panen raya uang recehan yang menyesaki koceknya.
Aku mengenal Sardi sejak rambutnya hitam belaka hingga putih semua. Sepanjang tiga puluh warsa Sardi telah disapa dengan nama Sardi Kolot. Kolot berarti ‘tua’ dalam bahasa Sunda. Aku tak tahu apakah Sardi pernah muda. Tentu saja pernah karena demikianlah pertumbuhan anak manusia. Tapi Sardi tampaknya adalah suatu perkecualian. Suatu anomali. Boleh jadi, dia mengidap apa yang disebut orang Sunda sebagai kokoloteun, yaitu penyakit kulit pada wajah karena sering kepanasan atau memakai bedak murahan, kulit wajahnya menjadi hitam. Karena Sardi bukan seorang perempuan dan karenanya tak mengenakan bedak murahan, maka wajah hitamnya lebih disebabkan lantaran sering kepanasan. Faktanya adalah sehari-harinya dia memang keluyuran menggelandang di bawah matahari mencorong di Tanjungkarang. Jika demikian halnya, alih-alih awet ngora alias awet muda, dia justru awet kolot atawa awet tua! Sungguh sebuah anomali bagi seorang anak manusia, yang saat dikenal orang hingga dilupakan orang sudah berpenampilan dan berusia tua.
Sungguh berkebalikan dengan anak manusia yang berangkat menua, daerah Tanjungkarang dan daerah-daerah lain yang mana pun di dunia justru beranjak muda senantiasa. Terus meremaja. Saksikanlah, bangunan-bangunan lama entah bernilai sejarah entah tidak diruntuhkan dan digusur begitu saja untuk kemudian ditukar dengan gedung-gedung baru yang tumbuh menjulang dengan citra arsitekur masa depan. Jalanan mulus atau berlubang beserta jalan layang jalin-menjalin tak keruan menyusun aneka simpang-siur persis seperti spageti panas yang masih mengepul di atas pinggan. Perumahan berhamparan di sekeliling kota dan terus melesak memperlebar kota. Kota-kota mekar atas kemekarannya sendiri di luar rencana tanpa memberi ruang bagi cagar budaya. Tanjungkarang pun meneruskan detak kehidupannya. Kota yang pernah menyaksikan kehidupan dan penghidupan seorang gembel kesohor bernama Sardi Kolot. n
Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2011
JEJARING sosial, kata orang, bisa membuat kenangan masa kecil hadir kembali. Setidaknya ini terjadi tatkala sobatku Dahta menulis status di akun Facebook-nya, "Aku bukan anak Tanjungkarang. Aku anak Hajimena. Tapi aku sering nongkrong di Tanjungkarang saat SMA. Jadi aku tidak tahu siapa gerangan Sardi Kolot. Jika berkenan, ceritakanlah padaku tentang Sardi Kolot...."
Membaca status itu, aku serasa terlempar ke masa kanak yang jauh dan tergerak untuk menceritakannya. Sardi Kolot adalah gembel kesohor di Tanjungkarang sejak tahun 60-an hingga 90-an. Perawakannya gemuk-pendek, berkulit hitam, berambut rada ikal. Tingginya sekira 155 dengan bobot sekitar 60. Dia lelaki lemah akal, jika bukan setengah gila. Sardi dikaruniai umur panjang, tentu saja berikut kesintingannya yang panjang pula. Berdasarkan daftar cabut, nyawa Sardi diambil Tuhan pada usia 70-an.
Saban pagi Sardi ke luar dari rumah sederhananya di bilangan Empang, Lebakbudi. Diayunkannya langkah menuju Pasar Bambukuning yang tak jauh dari rumahnya. Ke mana pun Sardi berjalan, dia selalu menenteng batu di tangannya demi menjaga dirinya dari gangguan anak-anak nakal atau buat menimpuk orang yang tak mau memberinya sekadar uang recehan.
Kemunculan Sardi di tengah khalayak ramai selalu menimbulkan kepanikan. Dia tampil sebagai sosok yang mengancam. Berdekat-dekat dengan Sardi adalah sewujud kengerian. Berjauh-jauh dari Sardi adalah sebentuk rasa aman.
"Awas, ada Sardi Kolooooooot...," pekik seseorang begitu melihat Sardi melintasi kawasan pasar. Khalayak ramai pun segera menyingkir. Anak-anak berlari ketakutan. Saking ngerinya, terdengar jua ledakan tangis dari seorang anak yang penjirih dengan air muka pucat pasi yang tengah diburu oleh Sardi. Anak itu lari terbirit-birit bersama pekik ketakutannya. Bukan mustahil dia terkencing-kencing juga di celana.
"Tolong, toloooooonggg...," pekik anak itu seraya berlari menjauh.
Sardi terus mengejarnya. Anak itu berlari laksana kilat dan menghilang ke balik sebuah tikungan.
Demikianlah, Sardi kerap melancarkan serangan dengan mengejar dan menimpuki sesiapa saja yang berada di dalam jangkauan lemparan tangannya. Tanpa segan dia akan mengejar anak-anak nakal yang mengganggunya. Tanpa segan dia akan menimpuki orang yang ogah memberinya uang. Menariknya, dia tak pernah tampil memelas seperti lazimnya peminta-minta manakala dia meminta uang kepada siapapun saja. Dia justru tampil gagah perwira di dalam aksinya memalak orang. Jiwa preman benar-benar telah bersarang di dalam jiwanya yang sudah terganggu kelewat lama. Tanpa babibu, dia bisa mendadak mengejar serombongan remaja perempuan yang boleh jadi di dalam kesintingannya dirasakannya sebagai ancaman. Atau boleh jadi juga secara merahasia dia ingin mendapatkan perhatian dari jenis kelamin yang lain. Bagaimanapun jua, Sardi juga manusia, lengkap dengan nafsu syahwatnya. Sardi adalah seorang bujang lapuk, hidup sebatang kara, tanpa istri dan anak, namun tetap memiliki nafsu biologis agaknya. Sungguhpun begitu, tak terbetik cerita bahwa Sardi pernah terlibat kasus pemerkosaan atau merudapaksa perempuan. Dia tidak punya tampang pemerkosa atau seorang pedofilia.
Sebaliknya, ada kalanya pula justru Sardi yang menjadi bulan-bulanan karena dijadikan incaran gangguan oleh serombongan anak lelaki yang nakal. Merasa terusik, dia akan mengejar anak-anak itu sembari melesatkan batu-batu yang ada di tangannya. Khalayak ramai sudah mafhum atas perilaku aneh Sardi itu dan menganggapnya sebagai suatu kelaziman. Kelaziman nan zalim, mungkin.
Dari arah pasar, Sardi biasanya akan melanjutkan perjalanannya menuju Gedongdalam di bilangan Enggal. Dan itu berarti dia akan melintasi gang di sebelah rumahku. Aku hafal benar dengan jadwal Sardi melintasi gang itu, sekira pukul sembilan pagi. Aku yang sekolah siang dan masih duduk di kelas tiga sekolah dasar dan karenanya masih berada di rumah sepagi itu, sering mengintip Sardi melintas gang itu. Kemudian aku membuntutinya. Di Gedongdalam dia mendatangi rumah saudaranya, Pak Yusuf, untuk meminta sarapan. Kurang-lebih satu jam dia mampir di rumah saudaranya itu. Selepas makan, dia akan pulang melewati gang yang sama.
Kalau naluri kenakalanku dan kawan-kawan sedang kumat, dari balik dinding rumahku, kami akan mengintai kemunculan Sardi di gang sebelah rumahku itu. Dengan tangan menggenggam batu kami bersiap-siap untuk menimpuknya. Dunia tahu, timpukanku jarang meleset, dan karenanya acap tepat menghantam badannya yang gemuk lagi pendek itu. Karuan saja dia akan mengerang dan berang dan mengejar kami. Mulutnya menyerapah melontarkan kata-kata makian dalam bahasa Sunda yang kasar.
"Anjing siaaaa..." makinya dengan wajah membengis.
Mendengar makiannya kami tertawa belaka dan secepat kilat kami melesat ke arah Lapangan Enggal yang terletak persis di depan rumahku. Bagai anak panah lepas dari busurnya, tubuh kami melesat cepat, berlari terbirit-birit sekencang bisa. Seingatku, tak pernah barang sekali pun Sardi berhasil menangkap kami. Bahkan timpukannya pun tak bisa menjangkau kami yang berjarak di luar sepelemparan tangannya.
Untuk mengecohnya, biasanya kami berlari membelok ke Gang Melati yang tembus ke Jalan Raden Intan. Tubuh Sardi yang gemuk membuatnya tak bisa berlari dengan kencang. Beda benar dengan tubuh kami yang ramping sehingga laksana kawanan kuda kaki dengan gesit kami bisa berderap cepat. Dari kejauhan tampak Sardi ngos-ngosan kepayahan. Napasnya tersengal-sengal seolah mau putus diterkam ajal. Melihat hal itu tawa kami makin menjadi-jadi. Kadang terkekeh. Kadang terbahak. Ada kalanya sembari bergulingan di atas tanah tersebab tak kuat menahan sakit perut akibat tawa terpingkal-pingkal yang terus berderai.
Dari seorang warga kota aku mendengar kisah lain tentang Sardi. Pada suatu siang yang terik, tak jauh dari rumah gubuk Sardi, di Jalan Tamin di bilangan Empang, Lebakbudi, terjadi kemacetan luar biasa. Kendaraan berderet panjang dan riuh oleh bunyi klakson yang tiada putus-putusnya. Hiruk pikuk suasana dibuatnya. Kebisingan yang tak biasa benar-benar merajalela. Ada apakah gerangan? Ternyata Sardi dengan gagah tegak di tengah jalan sembari merentangkan kedua belah tangannya. Di dekat kakinya di atas jalan raya itu teronggok bongkahan-bongkahan batu-batu kerikil. Ada pula satu-dua yang berukuran besar, bahkan bata merah yang masih utuh. Bermodalkan batu-batu yang siap ditimpukannya dia menuntut agar kendaraan yang lewat mesti memberinya uang terlebih dulu. Tak pelak lagi, kali ini jiwa preman Sardi sebagai pemalak betul-betul tengah memuncak. Bukan betul sembarang betul, tapi betul, betul, betul—persis seperti sepasang lidah Upin-Ipin menuturkannya.
"Dasar sinting!" semprot sejumlah sopir.
"Sardi Kolot, gelo siaaahh!” damprat supir yang lain.
Di tengah sumpah serapah itu, toh Sardi tetap membatu. Teguh kukuh berlapis baja. Dia bertahan sejadi-jadinya di tengah jalan raya. Bentangan tangannya seolah menggarisbawahi perlawanannya yang degil tak terkira. Keringat yang mengucur di sekujur tubuhnya akibat sengatan matahari tiada dipedulikannya. Sardi tak pandang bulu, semua kendaraan yang lewat entah mobil atau motor bahkan sepeda sekalipun mesti membayar uang palakan. Sebuah sedan yang coba menyelonong begitu saja beroleh ganjaran yang keras dari Sardi. Dengan batu tajam di tangannya dia menggores badan mobil yang bercat mulus itu. Pengemudinya marah besar, tapi Sardi segera mengambil dua bongkah batu bata di dekat kakinya dan siap melemparkannya.
"Dasar gila!" semprot si pengemudi.
Hampir terjadi perdebatan sengit antara keduanya. Tapi Sardi tak melayaninya. Dia tetap bertahan meminta uang palakan. Akhirnya sang sopir mengalah. Tak ada untungnya berdebat dengan orang gila. Sardi yang sinting berada di luar jangakuan hukum. Tak ada sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Hukum justru dengan tegas memberi pengampunan bagi si gila apabila dia berbuat tindak pidana.
Maka, tiada pilihan lain bagi para pengemudi kendaraan selain memberi uang palakan kepada Sardi Kolot. Karuan saja, sesiang itu Sardi panen raya uang recehan yang menyesaki koceknya.
Aku mengenal Sardi sejak rambutnya hitam belaka hingga putih semua. Sepanjang tiga puluh warsa Sardi telah disapa dengan nama Sardi Kolot. Kolot berarti ‘tua’ dalam bahasa Sunda. Aku tak tahu apakah Sardi pernah muda. Tentu saja pernah karena demikianlah pertumbuhan anak manusia. Tapi Sardi tampaknya adalah suatu perkecualian. Suatu anomali. Boleh jadi, dia mengidap apa yang disebut orang Sunda sebagai kokoloteun, yaitu penyakit kulit pada wajah karena sering kepanasan atau memakai bedak murahan, kulit wajahnya menjadi hitam. Karena Sardi bukan seorang perempuan dan karenanya tak mengenakan bedak murahan, maka wajah hitamnya lebih disebabkan lantaran sering kepanasan. Faktanya adalah sehari-harinya dia memang keluyuran menggelandang di bawah matahari mencorong di Tanjungkarang. Jika demikian halnya, alih-alih awet ngora alias awet muda, dia justru awet kolot atawa awet tua! Sungguh sebuah anomali bagi seorang anak manusia, yang saat dikenal orang hingga dilupakan orang sudah berpenampilan dan berusia tua.
Sungguh berkebalikan dengan anak manusia yang berangkat menua, daerah Tanjungkarang dan daerah-daerah lain yang mana pun di dunia justru beranjak muda senantiasa. Terus meremaja. Saksikanlah, bangunan-bangunan lama entah bernilai sejarah entah tidak diruntuhkan dan digusur begitu saja untuk kemudian ditukar dengan gedung-gedung baru yang tumbuh menjulang dengan citra arsitekur masa depan. Jalanan mulus atau berlubang beserta jalan layang jalin-menjalin tak keruan menyusun aneka simpang-siur persis seperti spageti panas yang masih mengepul di atas pinggan. Perumahan berhamparan di sekeliling kota dan terus melesak memperlebar kota. Kota-kota mekar atas kemekarannya sendiri di luar rencana tanpa memberi ruang bagi cagar budaya. Tanjungkarang pun meneruskan detak kehidupannya. Kota yang pernah menyaksikan kehidupan dan penghidupan seorang gembel kesohor bernama Sardi Kolot. n
Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2011
Sunday, December 4, 2011
Kawin Siri
Cerpen Tita Tjindarbumi
INI bukan yang pertama. Entah sudah ke berapa. Mutia tak ingin menghitungnya. Ia tahu air mata tak akan pernah bisa menyelesaikan persoalannya soal yang satu ini. Menikah dan menikah lagi. Ia tak menampik, kebutuhan biologis dan kebutuhan materi yang kian hari semakin menghimpit membuatnya tak punya pilihan lain, selain menerima lamaran lelaki itu.
Menikah? Tuhan, andai ada pilihan lain yang kau sodorkan, yang membuatku bisa lepas dari beban dan seluruh tanggung jawab yang harus kupikul, aku akan berpikir lagi. Status janda muda sungguh sangat berat. Apalagi dengan banyak lelaki yang datang seperti badai yang setiap saat dapat membobolkan pertahananku. Dan aku hanya perempuan biasa, yang membutuhkan bahu untuk bersandar dan dada bidang tempatku menganyam harapan.
Tuhan... aku salah?
Mutia tepekur. Masih dengan mukena menutupi tubuhnya yang sintal dan bersujud ia merasa ada hawa dingin mengalir ke sekujur tubuhnya. Di antara doa dan kegamangannya menghadapi hidup ia ingin Tuhan mendengarkan doanya. Menjawab semua tanya yang membuatnya bingung, serupa kapal yang terombang-ambing di tengah laut dengan gelombang pasang kian pasang.
Tanpa terasa bulir-bulir bening telah membasahi pipinya. Selalu saja begitu. Seakan tak ada lagi yang bisa diperbuatnya selain berdoa dan menangis sejadi-jadinya. Mutia masih saja merasa ia terjebak dalam permainan hati. Memercayai setiap kalimat manis yang diucapkan lelaki yang menginginkannya. Luluh dan merasa tetap bersyukur mendapat anak dari benih yang disebar lelaki yang menikahinya atas nama cinta.
Bukankah cinta begitu indah? Jika lahir anak dari perkawinannya dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya, bukankah itu anugerah yang patut disyukuri? Dan Mutia selalu bersyukur dan menganggap anak adalah rezeki terbesar yang diberikan Tuhan kepadanya, meski pada akhirnya lelaki yang menikahnya penuh cinta itu menghilang dan meninggalkannya. Tanpa meninggalkan apa-apa selain anak.
Lalu adakah yang salah dari perkawinannya? Mutia bosan mencari jawabannya.
"Mungkin pernikahan siri yang kalian anut akan terus terasa indah jika tak ada anak yang lahir dari perkawinan suka-suka itu," ujar Alia setengah bergurau ketika Mutia mulai risau dengan sikap Tora, suami sirinya, yang menurutnya mulai jarang datang mengunjunginya.
"Apa artinya perkawinan jika kami tak punya anak?" Mutia membuka kerudung yang membalut kepala dan sebagian wajahnya. Ia terlihat begitu cantik dan memesona. Tak heran bila banyak lelaki yang ingin menyuntingnya.
"Tak ada seorang pun yang tak menginginkan anak dalam pernikahannya," kata Alia lagi, melakukan hal yang sama, membuka kerudung merah yang dipakainya. Kini keduanya memperlihatkan kemilau rambut mereka.
Mutia celingukan. Sebentar-sebentar matanya ditujukan ke luar kamar. Ia tak ingin ada lelaki yang melihatnya tanpa menutup rambut dan bagian dadanya yang menggunung.
"Tak usah khawatir, suamiku sedang ke luar kota," ujar Alia menenangkan Mutia yang risau. "Aku juga tak ingin suamiku melihatmu tanpa kerudung," tambah Alia berseloroh antara serius dan bercanda. Ujung matanya sempat berhenti di dada Mutia yang membukit. Ia tak akan rela melihat mata suaminya berhenti di area itu. Cemburu kadang tak kenal kompromi. Cerita sumbang tentang sahabat yang menikam dari belakang sudah sering ia dengar. Bahkan ia nyaris keracunan.
"Lalu apa masalahnya dengan pernikahanku?" Mutia menatap Alia dengan wajah serius.
"Mutia... kita memang perempuan modern, tetapi kita jangan naif," ujar Alia tak kalah serius. "Sudah terlalu sering kita dengar dan saksikan betapa banyak pernikahan normal yang tak bisa diselamatkan hanya karena alasan-alasan yang tidak kita pikirkan sebelumnya," tambah Alia tanpa bermaksud melukai perasaan sahabatnya.
"Apa kamu pikir pernikahanku tidak normal?" tanya Mutia dengan mata membulat. Ia mulai tak bisa menyembunyikan kilat kemarahan di matanya.
"Upss, maaf...bukan itu maksudku. Aku tak ingin memasukan gaya pernikahanmu ke dalam kelompok orang yang pernikahannya tidak normal."
"Lalu maksudmu?" nada suara Mutia meninggi.
"Aku tak akan menyimpulkan. Sebaiknya kamu pikirkan saja seperti apa perkawinanmu selama ini. Pengalaman mengapa tak kau jadikan pelajaran yang berguna?"
Alia masih berusaha bicara tenang. Sudah sering ia mendiskusikan soal perkawinan siri yang telah berkali-kali dilakukan Mutia. Dan semuanya berakhir dengan kegagalan. Menjadi perempuan dengan menggunakan busana muslimah memang tak bisa sebebas perempuan pada umumnya. Setiap gerak, tingkah, dan ucapan selalu harus dijaga jangan sampai menjadi nila bagi sebelanga susu. Meski sebagai perempuan, siapa pun, berjilbab atau pun tidak, tetap harus tampil sebaik mungkin dan harus menjaga kehormatan diri dan suami.
"Apakah kau berpikir aku perempuan yang tak tahan sendirian?" tiba-tiba Mutia bersuara lirih seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Ah, Tia... manusiawi jika kau sempat merasa seperti itu. Dengan persoalan yang datang silih berganti dan tanggung jawabmu terhadap anak-anak, siapa pun akan maklum jika kau butuh pendamping hidup. Itu juga ibadah, Sista," Alia mendekat dan merangkul Mutia.
"Lalu salahkah jika aku menikah lagi?" tanya Mutia dengan wajah kembali bersemi. Sepertinya Mutia sudah benar-benar lelah mengarungi hidup sendirian, bekerja pontang-panting, tetapi tetap saja merasa tak cukup untuk membiayai hidupnya dan anak-anak.
"Tak ada yang berani menyalahkanmu, Sista. Tetapi apakah salah jika banyak orang yang menyayangimu bertanya, apakah sudah kamu pikirkan matang-matang keputusanmu itu?"
Wajah Mutia menegang kembali. Senyum sumringah yang tadi sempat melukis senja mendadak ditelan awan hitam yang mulai menggugat senja.
Alia membiarkan sahabatnya mencerna kalimat yang baru saja diucapkannya. Meski ini bukan kali pertama ia mengingatkan Mutia, sebagai sahabat Alia merasa wajib untuk terus melakukan ini. Ia tak mau Mutia mengalami kegagalan lagi dalam perkawinan yang sepertinya sudah melekat dalam benak Mutia.
"Mutia... sebagai orang dewasa kadang kita hanya pikirkan kebutuhan-kebutuhan kita. Kita hanya inginkan apa yang kita lakukan dengan lelaki yang mencuri hati kita sah dari kacamata agama. Kita hanyut dan tak memikirkan dampak negatif dari langkah yang kita ambil," Alia memenggal kalimatnya, memperhatikan wajah Mutia yang semakin tegang. Tetapi Alia tak boleh mundur. Ia harus mengatakan perkawinan siri yang sudah sering kali terjadi dalam hidup sahabatnya, Mutia, tak bisa dibiarkan terulang.
Fakta sudah jelas di depan mata. Suami pertamanya pergi meninggalkannya dengan dua anak yang masih kecil. Mereka tak hanya kehilangan kasih sayang seorang ayah, tetapi juga mereka tak punya kekuatan apa-apa untuk menuntut apa-apa sebagaimana layaknya anak-anak yang lahir dari perkawinan yang selain telah memenuhi syariat agama Islam, tetapi juga dicatatkan sebagaimana yang telah ditentukan undang-undang perkawinan yang berlaku di negeri ini.
"Aku sangat mendukung semua keputusanmu, jika memang itu yang menjadi kehendakmu. Meski pun aku sahabatmu, aku tak punya hak untuk melarang atau mencegah keinginanmu. Aku sayang padamu dan tak ingin pengalaman pahit yang kamu alami saat dengan suami-suami sirimu terulang lagi. Kasihan anak-anakmu. Bayangkan bagaimana perasaannya jika dalam kurun waktu yang cukup dekat kamu memberikan ayah baru pada mereka. Sementara bisa saja mereka masih merasakan luka yang kau rasa ketika melihat suamimu pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa."
Mutia menarik napas panjang. Wajahnya tetap tegang. Tanpa senyum ia masih menarik. Tetapi mengapa setiap lelaki yang awalnya memuja dan mengatakan mencintainya pergi meninggalkannya seperti membuang sampan di tengah laut dan tak pernah menengok lagi.
Alia sedih dan dapat merasakan luka hati Mutia. Namun ia heran, sepertinya Mutia tak pernah merasa kesedihan yang panjang. Ia tetap tesenyum pada banyak lelaki yang datang menggodanya. Seakan ia tetap percaya akan menemukan seorang lelaki yang benar-benar mencintainya dan akan terus mendampinginya sampai nyawa terenggut dari tubuhnya.
***
BULAN tertutup awan hitam. Ia tak percaya ini sebuah isyarat. Di antara awan dan bulan bukankah masih ada sebuah bintang yang berkerlip? Lalu mengapa tiba-tiba air mata langit turun menderas dalam sekejap?
Ya, Allah... aku tak dapat memaknai lukisan malam ini? Mutia tengadah. Air mata langit serupa tangis peri yang menyayat. Haruskah kumaknai lukisan malam ini sebagai pertanda Kau tak merestui kata hatiku yang tak bisa kujinakkan lagi dengan doa-doa?
Aku mencintainya? Mutia sangat yakin pada perasaannya. Ia tak bisa melewatkan hari tanpa mendengar suara Baron yang juga selalu membuat Mutia sangat yakin bahwa yang terjadi antara dirinya dengan lelaki yang bernama Baron itu adalah cinta sejati.
Lelaki itu seperti lelaki yang pernah ada dalam hidup Mutia di masa lalu. Yang membuat Mutia jatuh cinta setengah mati dan saling membutuhkan. Tanpa lelaki itu Mutia merasa kehilangan gairah melakukan apa pun. Tetapi ada tembok yang membuat Mutia harus mundur. Dan... Baron datang begitu saja. Ia dengan berbagai cara dapat meyakinkan Mutia bahwa cintanya adalah surga Mutia yang hilang. Dan lelaki itu, meski baru saja mengenalnya dalam hitungan bulan, memberikannya kepastian. Datang ke orang tua Mutia dan melamarnya.
Tuhan, aku memang mencintai lelaki lain. Tetapi aku tak mau Kau murka dengan membiarkan cinta ini membabi buta dan merusak perkawinan lelaki yang telah merampas seluruh rasaku. Dengan restu-Mu aku ingin menempatkan Baron di bagian lain hatiku yang kosong.
Tiba-tiba langit seperti terbelah. Kilat menyambar-nyambar diikuti suara geledek yang bersahut-sahutan.
"Bundaaaaa..." teriakan Nay anak sulungnya membuat Mutia melompat. Kedua anaknya berteriak ketakutan memanggilnya, berlari dan mendobrak pintu kamar Mutia yang tak dikunci.
"Bunda... adik takut. Nay dan adik mau tidur sama Bunda," ujar Nay menghambur ke pelukannya.
Mutia memandang ranjang yang sudah seminggu ini semakin terasa dingin. Sudah seminggu ini ia meminta ibunya menemani kedua anaknya di kamar mereka. Ia mulai membiasakan anak-anak tidak tidur bersamanya. Sebab ... dalam waktu dekat ia....
Ah, benarkah selama ini ranjangnya selalu dingin dan sepi? Ketika suami keduanya pergi meninggalkan ia dan anak-anaknya, kesedihan dan rasa dingin itu sempat ia rasakan. Tetapi kedua permata hatinya selalu bisa membuat hatinya hangat. Celoteh Nay yang super lucu dan adiknya Fia yang manja dan agak cengeng telah mampu membuatnya mengabaikan luka karena diperlakukan seperti perempuan persinggahan.
Lalu mengapa aku harus menyingkirkan kehadiran anak-anak di kamar ini dan membiarkan kedekatannya dengan anak-anak menuju titik beku? Apakah Baron akan mampu membuatnya tertawa setiap waktu?
"Bunda...," tiba-tiba Nay mendekapnya.
"Kami tak membutuhkan ayah. Kami hanya ingin terus bersama Bunda," kata Nay tanpa diduga. Dada Mutia seperti dihunjam pisau.
"Nay gak mau Bunda menangis terus. Nay akan bikin Bunda tertawa setiap hari. Nay akan rajin belajar supaya Bunda bangga. Nah, juga akan menjaga adik saat Bunda bekerja..."
Oh, My God! Tanpa terasa Mutia menangis. Ia terharu dan merasa Nay telah membuka hatinya. Ia tak percaya anak sekecil Nay cara berpikirnya dewasa dan begitu memikirkan kebahagiaannya.
"Bunda minta saja sama Tuhan kesehatan dan pekerjaan yang gajinya gede supaya Bunda gak usah kerja di banyak tempat," kata Nay lagi membuat air mata Mutia semakin menderas.
Mutia memeluk kedua anaknya. Mencium kepala mereka secara bergantian.
"Mulai malam ini kalian tidur di sini sama Bunda. Kalian boleh tidur bersama Bunda kapan saja kalian inginkan."
"Sungguh, Bunda?" mata Nay dan Fia menatapnya, seakan minta kepastian. Hmm, baru saja kemarin ia mengatur mereka agar tak tidur di kamarnya.
Mutia mengangguk tegas. Membaringkan kedua permata hatinya. Menyelimuti mereka dengan penuh kasih sayang. Lalu membuka mukena, melipat rapi dan meletakkan tak jauh dari ranjang tidurnya. Merebahkan tubuhnya di tengah kedua anaknya. Mutia ingin tidur nyenyak. Ia tak mau membawa kegelisahannya ke alam mimpi.
Mutia ingin segera melihat matahari. Ia ingin cepat-cepat menjawab lamaran Baron.
Mutia tersenyum. Ia juga ingin bertemu Alia sahabatnya dan mengabarkan keputusannya, membayangkan pelukan sahabatnya.
Ternyata selama ini ia memang hanya mementingkan urusannya saja. Membiarkan lelaki mengawininya secara siri bukan demi kelangsungan hidup kedua anaknya. Tetapi lebih karena alasan lain.... n
Lampung Post, Minggu, 4 Desember 2011
INI bukan yang pertama. Entah sudah ke berapa. Mutia tak ingin menghitungnya. Ia tahu air mata tak akan pernah bisa menyelesaikan persoalannya soal yang satu ini. Menikah dan menikah lagi. Ia tak menampik, kebutuhan biologis dan kebutuhan materi yang kian hari semakin menghimpit membuatnya tak punya pilihan lain, selain menerima lamaran lelaki itu.
Menikah? Tuhan, andai ada pilihan lain yang kau sodorkan, yang membuatku bisa lepas dari beban dan seluruh tanggung jawab yang harus kupikul, aku akan berpikir lagi. Status janda muda sungguh sangat berat. Apalagi dengan banyak lelaki yang datang seperti badai yang setiap saat dapat membobolkan pertahananku. Dan aku hanya perempuan biasa, yang membutuhkan bahu untuk bersandar dan dada bidang tempatku menganyam harapan.
Tuhan... aku salah?
Mutia tepekur. Masih dengan mukena menutupi tubuhnya yang sintal dan bersujud ia merasa ada hawa dingin mengalir ke sekujur tubuhnya. Di antara doa dan kegamangannya menghadapi hidup ia ingin Tuhan mendengarkan doanya. Menjawab semua tanya yang membuatnya bingung, serupa kapal yang terombang-ambing di tengah laut dengan gelombang pasang kian pasang.
Tanpa terasa bulir-bulir bening telah membasahi pipinya. Selalu saja begitu. Seakan tak ada lagi yang bisa diperbuatnya selain berdoa dan menangis sejadi-jadinya. Mutia masih saja merasa ia terjebak dalam permainan hati. Memercayai setiap kalimat manis yang diucapkan lelaki yang menginginkannya. Luluh dan merasa tetap bersyukur mendapat anak dari benih yang disebar lelaki yang menikahinya atas nama cinta.
Bukankah cinta begitu indah? Jika lahir anak dari perkawinannya dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya, bukankah itu anugerah yang patut disyukuri? Dan Mutia selalu bersyukur dan menganggap anak adalah rezeki terbesar yang diberikan Tuhan kepadanya, meski pada akhirnya lelaki yang menikahnya penuh cinta itu menghilang dan meninggalkannya. Tanpa meninggalkan apa-apa selain anak.
Lalu adakah yang salah dari perkawinannya? Mutia bosan mencari jawabannya.
"Mungkin pernikahan siri yang kalian anut akan terus terasa indah jika tak ada anak yang lahir dari perkawinan suka-suka itu," ujar Alia setengah bergurau ketika Mutia mulai risau dengan sikap Tora, suami sirinya, yang menurutnya mulai jarang datang mengunjunginya.
"Apa artinya perkawinan jika kami tak punya anak?" Mutia membuka kerudung yang membalut kepala dan sebagian wajahnya. Ia terlihat begitu cantik dan memesona. Tak heran bila banyak lelaki yang ingin menyuntingnya.
"Tak ada seorang pun yang tak menginginkan anak dalam pernikahannya," kata Alia lagi, melakukan hal yang sama, membuka kerudung merah yang dipakainya. Kini keduanya memperlihatkan kemilau rambut mereka.
Mutia celingukan. Sebentar-sebentar matanya ditujukan ke luar kamar. Ia tak ingin ada lelaki yang melihatnya tanpa menutup rambut dan bagian dadanya yang menggunung.
"Tak usah khawatir, suamiku sedang ke luar kota," ujar Alia menenangkan Mutia yang risau. "Aku juga tak ingin suamiku melihatmu tanpa kerudung," tambah Alia berseloroh antara serius dan bercanda. Ujung matanya sempat berhenti di dada Mutia yang membukit. Ia tak akan rela melihat mata suaminya berhenti di area itu. Cemburu kadang tak kenal kompromi. Cerita sumbang tentang sahabat yang menikam dari belakang sudah sering ia dengar. Bahkan ia nyaris keracunan.
"Lalu apa masalahnya dengan pernikahanku?" Mutia menatap Alia dengan wajah serius.
"Mutia... kita memang perempuan modern, tetapi kita jangan naif," ujar Alia tak kalah serius. "Sudah terlalu sering kita dengar dan saksikan betapa banyak pernikahan normal yang tak bisa diselamatkan hanya karena alasan-alasan yang tidak kita pikirkan sebelumnya," tambah Alia tanpa bermaksud melukai perasaan sahabatnya.
"Apa kamu pikir pernikahanku tidak normal?" tanya Mutia dengan mata membulat. Ia mulai tak bisa menyembunyikan kilat kemarahan di matanya.
"Upss, maaf...bukan itu maksudku. Aku tak ingin memasukan gaya pernikahanmu ke dalam kelompok orang yang pernikahannya tidak normal."
"Lalu maksudmu?" nada suara Mutia meninggi.
"Aku tak akan menyimpulkan. Sebaiknya kamu pikirkan saja seperti apa perkawinanmu selama ini. Pengalaman mengapa tak kau jadikan pelajaran yang berguna?"
Alia masih berusaha bicara tenang. Sudah sering ia mendiskusikan soal perkawinan siri yang telah berkali-kali dilakukan Mutia. Dan semuanya berakhir dengan kegagalan. Menjadi perempuan dengan menggunakan busana muslimah memang tak bisa sebebas perempuan pada umumnya. Setiap gerak, tingkah, dan ucapan selalu harus dijaga jangan sampai menjadi nila bagi sebelanga susu. Meski sebagai perempuan, siapa pun, berjilbab atau pun tidak, tetap harus tampil sebaik mungkin dan harus menjaga kehormatan diri dan suami.
"Apakah kau berpikir aku perempuan yang tak tahan sendirian?" tiba-tiba Mutia bersuara lirih seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Ah, Tia... manusiawi jika kau sempat merasa seperti itu. Dengan persoalan yang datang silih berganti dan tanggung jawabmu terhadap anak-anak, siapa pun akan maklum jika kau butuh pendamping hidup. Itu juga ibadah, Sista," Alia mendekat dan merangkul Mutia.
"Lalu salahkah jika aku menikah lagi?" tanya Mutia dengan wajah kembali bersemi. Sepertinya Mutia sudah benar-benar lelah mengarungi hidup sendirian, bekerja pontang-panting, tetapi tetap saja merasa tak cukup untuk membiayai hidupnya dan anak-anak.
"Tak ada yang berani menyalahkanmu, Sista. Tetapi apakah salah jika banyak orang yang menyayangimu bertanya, apakah sudah kamu pikirkan matang-matang keputusanmu itu?"
Wajah Mutia menegang kembali. Senyum sumringah yang tadi sempat melukis senja mendadak ditelan awan hitam yang mulai menggugat senja.
Alia membiarkan sahabatnya mencerna kalimat yang baru saja diucapkannya. Meski ini bukan kali pertama ia mengingatkan Mutia, sebagai sahabat Alia merasa wajib untuk terus melakukan ini. Ia tak mau Mutia mengalami kegagalan lagi dalam perkawinan yang sepertinya sudah melekat dalam benak Mutia.
"Mutia... sebagai orang dewasa kadang kita hanya pikirkan kebutuhan-kebutuhan kita. Kita hanya inginkan apa yang kita lakukan dengan lelaki yang mencuri hati kita sah dari kacamata agama. Kita hanyut dan tak memikirkan dampak negatif dari langkah yang kita ambil," Alia memenggal kalimatnya, memperhatikan wajah Mutia yang semakin tegang. Tetapi Alia tak boleh mundur. Ia harus mengatakan perkawinan siri yang sudah sering kali terjadi dalam hidup sahabatnya, Mutia, tak bisa dibiarkan terulang.
Fakta sudah jelas di depan mata. Suami pertamanya pergi meninggalkannya dengan dua anak yang masih kecil. Mereka tak hanya kehilangan kasih sayang seorang ayah, tetapi juga mereka tak punya kekuatan apa-apa untuk menuntut apa-apa sebagaimana layaknya anak-anak yang lahir dari perkawinan yang selain telah memenuhi syariat agama Islam, tetapi juga dicatatkan sebagaimana yang telah ditentukan undang-undang perkawinan yang berlaku di negeri ini.
"Aku sangat mendukung semua keputusanmu, jika memang itu yang menjadi kehendakmu. Meski pun aku sahabatmu, aku tak punya hak untuk melarang atau mencegah keinginanmu. Aku sayang padamu dan tak ingin pengalaman pahit yang kamu alami saat dengan suami-suami sirimu terulang lagi. Kasihan anak-anakmu. Bayangkan bagaimana perasaannya jika dalam kurun waktu yang cukup dekat kamu memberikan ayah baru pada mereka. Sementara bisa saja mereka masih merasakan luka yang kau rasa ketika melihat suamimu pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa."
Mutia menarik napas panjang. Wajahnya tetap tegang. Tanpa senyum ia masih menarik. Tetapi mengapa setiap lelaki yang awalnya memuja dan mengatakan mencintainya pergi meninggalkannya seperti membuang sampan di tengah laut dan tak pernah menengok lagi.
Alia sedih dan dapat merasakan luka hati Mutia. Namun ia heran, sepertinya Mutia tak pernah merasa kesedihan yang panjang. Ia tetap tesenyum pada banyak lelaki yang datang menggodanya. Seakan ia tetap percaya akan menemukan seorang lelaki yang benar-benar mencintainya dan akan terus mendampinginya sampai nyawa terenggut dari tubuhnya.
***
BULAN tertutup awan hitam. Ia tak percaya ini sebuah isyarat. Di antara awan dan bulan bukankah masih ada sebuah bintang yang berkerlip? Lalu mengapa tiba-tiba air mata langit turun menderas dalam sekejap?
Ya, Allah... aku tak dapat memaknai lukisan malam ini? Mutia tengadah. Air mata langit serupa tangis peri yang menyayat. Haruskah kumaknai lukisan malam ini sebagai pertanda Kau tak merestui kata hatiku yang tak bisa kujinakkan lagi dengan doa-doa?
Aku mencintainya? Mutia sangat yakin pada perasaannya. Ia tak bisa melewatkan hari tanpa mendengar suara Baron yang juga selalu membuat Mutia sangat yakin bahwa yang terjadi antara dirinya dengan lelaki yang bernama Baron itu adalah cinta sejati.
Lelaki itu seperti lelaki yang pernah ada dalam hidup Mutia di masa lalu. Yang membuat Mutia jatuh cinta setengah mati dan saling membutuhkan. Tanpa lelaki itu Mutia merasa kehilangan gairah melakukan apa pun. Tetapi ada tembok yang membuat Mutia harus mundur. Dan... Baron datang begitu saja. Ia dengan berbagai cara dapat meyakinkan Mutia bahwa cintanya adalah surga Mutia yang hilang. Dan lelaki itu, meski baru saja mengenalnya dalam hitungan bulan, memberikannya kepastian. Datang ke orang tua Mutia dan melamarnya.
Tuhan, aku memang mencintai lelaki lain. Tetapi aku tak mau Kau murka dengan membiarkan cinta ini membabi buta dan merusak perkawinan lelaki yang telah merampas seluruh rasaku. Dengan restu-Mu aku ingin menempatkan Baron di bagian lain hatiku yang kosong.
Tiba-tiba langit seperti terbelah. Kilat menyambar-nyambar diikuti suara geledek yang bersahut-sahutan.
"Bundaaaaa..." teriakan Nay anak sulungnya membuat Mutia melompat. Kedua anaknya berteriak ketakutan memanggilnya, berlari dan mendobrak pintu kamar Mutia yang tak dikunci.
"Bunda... adik takut. Nay dan adik mau tidur sama Bunda," ujar Nay menghambur ke pelukannya.
Mutia memandang ranjang yang sudah seminggu ini semakin terasa dingin. Sudah seminggu ini ia meminta ibunya menemani kedua anaknya di kamar mereka. Ia mulai membiasakan anak-anak tidak tidur bersamanya. Sebab ... dalam waktu dekat ia....
Ah, benarkah selama ini ranjangnya selalu dingin dan sepi? Ketika suami keduanya pergi meninggalkan ia dan anak-anaknya, kesedihan dan rasa dingin itu sempat ia rasakan. Tetapi kedua permata hatinya selalu bisa membuat hatinya hangat. Celoteh Nay yang super lucu dan adiknya Fia yang manja dan agak cengeng telah mampu membuatnya mengabaikan luka karena diperlakukan seperti perempuan persinggahan.
Lalu mengapa aku harus menyingkirkan kehadiran anak-anak di kamar ini dan membiarkan kedekatannya dengan anak-anak menuju titik beku? Apakah Baron akan mampu membuatnya tertawa setiap waktu?
"Bunda...," tiba-tiba Nay mendekapnya.
"Kami tak membutuhkan ayah. Kami hanya ingin terus bersama Bunda," kata Nay tanpa diduga. Dada Mutia seperti dihunjam pisau.
"Nay gak mau Bunda menangis terus. Nay akan bikin Bunda tertawa setiap hari. Nay akan rajin belajar supaya Bunda bangga. Nah, juga akan menjaga adik saat Bunda bekerja..."
Oh, My God! Tanpa terasa Mutia menangis. Ia terharu dan merasa Nay telah membuka hatinya. Ia tak percaya anak sekecil Nay cara berpikirnya dewasa dan begitu memikirkan kebahagiaannya.
"Bunda minta saja sama Tuhan kesehatan dan pekerjaan yang gajinya gede supaya Bunda gak usah kerja di banyak tempat," kata Nay lagi membuat air mata Mutia semakin menderas.
Mutia memeluk kedua anaknya. Mencium kepala mereka secara bergantian.
"Mulai malam ini kalian tidur di sini sama Bunda. Kalian boleh tidur bersama Bunda kapan saja kalian inginkan."
"Sungguh, Bunda?" mata Nay dan Fia menatapnya, seakan minta kepastian. Hmm, baru saja kemarin ia mengatur mereka agar tak tidur di kamarnya.
Mutia mengangguk tegas. Membaringkan kedua permata hatinya. Menyelimuti mereka dengan penuh kasih sayang. Lalu membuka mukena, melipat rapi dan meletakkan tak jauh dari ranjang tidurnya. Merebahkan tubuhnya di tengah kedua anaknya. Mutia ingin tidur nyenyak. Ia tak mau membawa kegelisahannya ke alam mimpi.
Mutia ingin segera melihat matahari. Ia ingin cepat-cepat menjawab lamaran Baron.
Mutia tersenyum. Ia juga ingin bertemu Alia sahabatnya dan mengabarkan keputusannya, membayangkan pelukan sahabatnya.
Ternyata selama ini ia memang hanya mementingkan urusannya saja. Membiarkan lelaki mengawininya secara siri bukan demi kelangsungan hidup kedua anaknya. Tetapi lebih karena alasan lain.... n
Lampung Post, Minggu, 4 Desember 2011
Sunday, November 20, 2011
Sang Eksekutor
Cerpen M. Taufan Musonip
AKU mencurigai apa yang telah sesungguhnya terjadi di dunia ini, Brigitta. Tidak terjadi sebagaimana adanya kukira, dan tiba-tiba aku hanya harus percaya pada merdu suara dawaimu. Apakah mungkin aku harus mencinta Tuhan melalui dirimu, kasih. Dia seperti menjelma dalam jemari halusmu dalam dawai, dalam merdu lagumu itu.
Tapi ketika kenyataan lewat di kepalaku, aku harus bertanggung jawab pada peristiwa. Aku harus membunuh senja, menikam pagi yang melingkupi tubuh kita. Melumuri keindahan dengan darah. Sebab, kasihku, kau tahu aku adalah sang eksekutor, di tengah perebutan orang-orang memperjuangkan kedamaian.
Dan dengan darah kupersembahkan dawai yang melekat di bahumu itu. Di dadaku suara dawaimu bersatu dalam kegelisahan: dawaimu menyayat-nyayat keberadaanku, kau menciptakan purnama, aku membunuhnya. Kau memberiku pilihan, dan aku bertanggung jawab pada peristiwa, kupilih jalan penuh darah sambil terus menghidupkan bayang-bayang kerinduan terhadapmu.
Matahari meringkuk di pembaringan, bulan berendam di permandian. Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh malam, kita adalah yang membuat semua peristiwa menjelma waktu. Di jalan ada sebuah mobil menjemputku, dawaimu terus melengking di jauhan, terekam dalam sukma pendengaranku. Mata indahmu terus mengambang di jalanan, terbias oleh kabut malam yang merenda setiap liku jalan.
***
Brigitta, suara dawaimu masih tersisa di jantungku.
Di sebuah gedung orang-orang tengah mengadakan sebuah pesta. Resepsi pernikahan anak salah satu pembesar organisasi. Aku hadir di dalamnya sebagai seorang pembunuh bayaran, menghuni kamar lantai 11, dengan senapan yang kupasang di ambang jendelanya. Aku adalah kecurigaan yang melintas dalam drama setiap ramah-tamah di gedung itu.
Semua akan baik-baik saja, manis. Setelah aku menembak seorang lelaki yang ada dalam riuh pesta itu, kita akan berlibur di Kuta, menikmati matahari terbit dan senja sepuas-puasnya. Dia adalah Tomasoa, seorang pemuda yang telah mengibarkan nama Jamalhari sebelum pemilihan ketua organisasi berlangsung beberapa tahun lalu. Dia terhubung dengan banyak sarikat buruh, komunitas-komunitas sastra dan kelompok-kelompok pemuda. Jamalhari menjanjikan kucuran dana melalui Tomasoa setelah satuan-satuan itu mendukungnya.
Hidup tak hanya memerlukan kejujuran. Tomasoa tak menyadari itu. Kekuasaan tak bisa hanya diperoleh hanya dalam semalam. Jamalhari tak menyukainya bukan karena dia pandai mengobarkan perjuangan kelompok-kelompoknya, tapi kehendak berkuasa yang bergerak tanpa gelombang. Pelan-pelan diikrarkannya kata-kata revolusi yang membuatnya mendapatkan simpati. Jamalhari tidak menyukai itu. Tapi upaya pertama Jamalhari mencari kesalahan-kesalahan Tomasoa dalam organisasi tidak berhasil.
Tomasoa pemuda lempang tak pernah ada masa lalu tercatat dia melakukan korupsi, padahal dalam teori konspirasi, semua bisa terjadi. Kepandaian Tomasoa adalah kemampuannya mengalirkan bagian uang dari kas organisasi untuk membiayai gerakan-gerakan pemuda bukan untuk proyek-proyek besar organisasi. Maka dengannya Jamalhari mengutusku untuk menembaknya.
Ini terlalu rumit untukmu, manis. Dan aku tak berani mengatakan ini bagian dari pada seni berkuasa. Seni yang agung tak bisa dikaitkan dengan cara-cara kotor. Tapi aku harus melakukannya, aku menginginkan ada saat-saat bersama denganmu dalam sebuah liburan yang panjang membiarkan diriku sendiri hanyut dalam dawaimu dan bercinta sepuas mungkin.
Aku amati semua orang dalam teropong senapanku di gedung itu, tiba-tiba saja aku merasakan diriku seperti penembak misterius dalam kisah Keroncong Pembunuhan yang ditulis oleh Sukab.
Kisah-kisah yang pernah kau kirimkan ketika aku berada di Boston mengikuti pelatihan intelejen. Ah, manis, realitas dan fiksi nyatanya hanya dipisahkan oleh garis tipis, dan aku sering mendapati diriku adalah lakon yang dihadirkan seorang pengarang. Setiap peristiwa memiliki pengarangnya sendiri. Pengarang kupikir adalah seseorang yang telah mengubur realitas demi realitas yang diciptakannya sendiri.
Tapi jangan pernah berpikir bahwa lakon Budong, kekasihmu ini diciptakan oleh Jamalhari, bukan. Jamalhari hanya bagian tokoh lain yang berbeda karakter saja, ada pengarang yang menciptakannya pula, dan aku tak bisa mengantarmu sampai pada siapa pengarang itu. Aku hanya ingin suatu saat engkau tahu, bahwa aku mencintaimu dengan peluru-peluru yang tertanam di dada-dada orang yang menginginkan lebih cepat kematiannya.
Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh. Waktu adalah peristiwa saat aku tembakkan peluru di dada pemuda itu. Dan kita akan berlibur di Kuta, menikmati senja dan bercinta sepuas-puasnya.
***
Setelah menembak Tomasoa, mobil yang tadi menjemputku tak juga tiba di pelataran parkir. Padahal sopir itu sudah kuperintahkan untuk mematikan arlojinya dan menghidupkan kembali saat dia mendengar suara tembakan untuk Tomasoa.
Aku terpaksa menumpang sebuah taksi. Kau pasti masih memainkan dawaimu, manis. Dawaimu adalah inspirasiku untuk membunuh. Aku ingin membawakanmu dawai yang baru, dan aku harus berhenti di sebuah pusat kota untuk membelinya.
Tapi di jalanan, langit biru itu memendarkan cahaya, sebuah helikopter berkeletar di atas taksi yang aku tumpangi. Beberapa kendaraan patroli mengepungku. Kutodongkan pistolku pada sopir. Dia sopir yang mahir ternyata, mampu mengimbangi kecepatan mobil-mobil patroli itu.
Aku berhasil memasuki jalan-jalan sempit, dan menyaksikan beberapa mobil dan sepeda motor patroli saling bertabrakan karena ulah sopirku. Pada sebuah gang aku akhirnya meninggalkan taksi itu, helikopter masih mengintaiku dengan lampu sorotnya di atas kepala, anginnya berkepusu menerbangkan atap-atap seng bedeng-bedeng kumuh.
Aku menuju sebuah tempat gelap menghindari kecurigaan orang-orang yang memburuku. Sebuah lorong kumuh bau dan penuh bacin. Beberapa orang gelandangan tiba-tiba keluar dari lubang itu dan mematung di jalanan gang. Di atap-atap rumah penduduk bayang-bayang sepasukan penembak dan beberapa patroli menyelidiki keberadaanku.
Kubuka ponselku untuk menanyakan pada salah seorang staf Jamalhari tentang pengejaran para polisi itu terhadapku. Staff itu mengatakan bahwa jalan cerita telah berubah. Dia tidak memberikan alasan adanya perubahan itu.
"Serahkan saja dirimu, tak lama kami akan membebaskanmu." begitu ujarnya.
Tapi tiba-tiba aku merasa kecurigaan melingkupiku. Aku memilih diam dalam gelap dan membiarkan orang-orang bersenjata itu terus bergerak mencariku. Kupeluk revolverku, sambil terus mendengarkan senandung dawaimu yang selalu terekam dalam sukma pendengaranku.
Aku kangen kamu Brigitta.
Cikarang, 26 Oktober 2011
Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
AKU mencurigai apa yang telah sesungguhnya terjadi di dunia ini, Brigitta. Tidak terjadi sebagaimana adanya kukira, dan tiba-tiba aku hanya harus percaya pada merdu suara dawaimu. Apakah mungkin aku harus mencinta Tuhan melalui dirimu, kasih. Dia seperti menjelma dalam jemari halusmu dalam dawai, dalam merdu lagumu itu.
Tapi ketika kenyataan lewat di kepalaku, aku harus bertanggung jawab pada peristiwa. Aku harus membunuh senja, menikam pagi yang melingkupi tubuh kita. Melumuri keindahan dengan darah. Sebab, kasihku, kau tahu aku adalah sang eksekutor, di tengah perebutan orang-orang memperjuangkan kedamaian.
Dan dengan darah kupersembahkan dawai yang melekat di bahumu itu. Di dadaku suara dawaimu bersatu dalam kegelisahan: dawaimu menyayat-nyayat keberadaanku, kau menciptakan purnama, aku membunuhnya. Kau memberiku pilihan, dan aku bertanggung jawab pada peristiwa, kupilih jalan penuh darah sambil terus menghidupkan bayang-bayang kerinduan terhadapmu.
Matahari meringkuk di pembaringan, bulan berendam di permandian. Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh malam, kita adalah yang membuat semua peristiwa menjelma waktu. Di jalan ada sebuah mobil menjemputku, dawaimu terus melengking di jauhan, terekam dalam sukma pendengaranku. Mata indahmu terus mengambang di jalanan, terbias oleh kabut malam yang merenda setiap liku jalan.
***
Brigitta, suara dawaimu masih tersisa di jantungku.
Di sebuah gedung orang-orang tengah mengadakan sebuah pesta. Resepsi pernikahan anak salah satu pembesar organisasi. Aku hadir di dalamnya sebagai seorang pembunuh bayaran, menghuni kamar lantai 11, dengan senapan yang kupasang di ambang jendelanya. Aku adalah kecurigaan yang melintas dalam drama setiap ramah-tamah di gedung itu.
Semua akan baik-baik saja, manis. Setelah aku menembak seorang lelaki yang ada dalam riuh pesta itu, kita akan berlibur di Kuta, menikmati matahari terbit dan senja sepuas-puasnya. Dia adalah Tomasoa, seorang pemuda yang telah mengibarkan nama Jamalhari sebelum pemilihan ketua organisasi berlangsung beberapa tahun lalu. Dia terhubung dengan banyak sarikat buruh, komunitas-komunitas sastra dan kelompok-kelompok pemuda. Jamalhari menjanjikan kucuran dana melalui Tomasoa setelah satuan-satuan itu mendukungnya.
Hidup tak hanya memerlukan kejujuran. Tomasoa tak menyadari itu. Kekuasaan tak bisa hanya diperoleh hanya dalam semalam. Jamalhari tak menyukainya bukan karena dia pandai mengobarkan perjuangan kelompok-kelompoknya, tapi kehendak berkuasa yang bergerak tanpa gelombang. Pelan-pelan diikrarkannya kata-kata revolusi yang membuatnya mendapatkan simpati. Jamalhari tidak menyukai itu. Tapi upaya pertama Jamalhari mencari kesalahan-kesalahan Tomasoa dalam organisasi tidak berhasil.
Tomasoa pemuda lempang tak pernah ada masa lalu tercatat dia melakukan korupsi, padahal dalam teori konspirasi, semua bisa terjadi. Kepandaian Tomasoa adalah kemampuannya mengalirkan bagian uang dari kas organisasi untuk membiayai gerakan-gerakan pemuda bukan untuk proyek-proyek besar organisasi. Maka dengannya Jamalhari mengutusku untuk menembaknya.
Ini terlalu rumit untukmu, manis. Dan aku tak berani mengatakan ini bagian dari pada seni berkuasa. Seni yang agung tak bisa dikaitkan dengan cara-cara kotor. Tapi aku harus melakukannya, aku menginginkan ada saat-saat bersama denganmu dalam sebuah liburan yang panjang membiarkan diriku sendiri hanyut dalam dawaimu dan bercinta sepuas mungkin.
Aku amati semua orang dalam teropong senapanku di gedung itu, tiba-tiba saja aku merasakan diriku seperti penembak misterius dalam kisah Keroncong Pembunuhan yang ditulis oleh Sukab.
Kisah-kisah yang pernah kau kirimkan ketika aku berada di Boston mengikuti pelatihan intelejen. Ah, manis, realitas dan fiksi nyatanya hanya dipisahkan oleh garis tipis, dan aku sering mendapati diriku adalah lakon yang dihadirkan seorang pengarang. Setiap peristiwa memiliki pengarangnya sendiri. Pengarang kupikir adalah seseorang yang telah mengubur realitas demi realitas yang diciptakannya sendiri.
Tapi jangan pernah berpikir bahwa lakon Budong, kekasihmu ini diciptakan oleh Jamalhari, bukan. Jamalhari hanya bagian tokoh lain yang berbeda karakter saja, ada pengarang yang menciptakannya pula, dan aku tak bisa mengantarmu sampai pada siapa pengarang itu. Aku hanya ingin suatu saat engkau tahu, bahwa aku mencintaimu dengan peluru-peluru yang tertanam di dada-dada orang yang menginginkan lebih cepat kematiannya.
Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh. Waktu adalah peristiwa saat aku tembakkan peluru di dada pemuda itu. Dan kita akan berlibur di Kuta, menikmati senja dan bercinta sepuas-puasnya.
***
Setelah menembak Tomasoa, mobil yang tadi menjemputku tak juga tiba di pelataran parkir. Padahal sopir itu sudah kuperintahkan untuk mematikan arlojinya dan menghidupkan kembali saat dia mendengar suara tembakan untuk Tomasoa.
Aku terpaksa menumpang sebuah taksi. Kau pasti masih memainkan dawaimu, manis. Dawaimu adalah inspirasiku untuk membunuh. Aku ingin membawakanmu dawai yang baru, dan aku harus berhenti di sebuah pusat kota untuk membelinya.
Tapi di jalanan, langit biru itu memendarkan cahaya, sebuah helikopter berkeletar di atas taksi yang aku tumpangi. Beberapa kendaraan patroli mengepungku. Kutodongkan pistolku pada sopir. Dia sopir yang mahir ternyata, mampu mengimbangi kecepatan mobil-mobil patroli itu.
Aku berhasil memasuki jalan-jalan sempit, dan menyaksikan beberapa mobil dan sepeda motor patroli saling bertabrakan karena ulah sopirku. Pada sebuah gang aku akhirnya meninggalkan taksi itu, helikopter masih mengintaiku dengan lampu sorotnya di atas kepala, anginnya berkepusu menerbangkan atap-atap seng bedeng-bedeng kumuh.
Aku menuju sebuah tempat gelap menghindari kecurigaan orang-orang yang memburuku. Sebuah lorong kumuh bau dan penuh bacin. Beberapa orang gelandangan tiba-tiba keluar dari lubang itu dan mematung di jalanan gang. Di atap-atap rumah penduduk bayang-bayang sepasukan penembak dan beberapa patroli menyelidiki keberadaanku.
Kubuka ponselku untuk menanyakan pada salah seorang staf Jamalhari tentang pengejaran para polisi itu terhadapku. Staff itu mengatakan bahwa jalan cerita telah berubah. Dia tidak memberikan alasan adanya perubahan itu.
"Serahkan saja dirimu, tak lama kami akan membebaskanmu." begitu ujarnya.
Tapi tiba-tiba aku merasa kecurigaan melingkupiku. Aku memilih diam dalam gelap dan membiarkan orang-orang bersenjata itu terus bergerak mencariku. Kupeluk revolverku, sambil terus mendengarkan senandung dawaimu yang selalu terekam dalam sukma pendengaranku.
Aku kangen kamu Brigitta.
Cikarang, 26 Oktober 2011
Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
Sunday, November 13, 2011
Kampung Kecubung
Cerpen Yulizar Fadli
BULAN benjol. Segaris awan tersua di bawahnya. Sedang di dalam lapo tuak berdinding papan, empat bujang berkumpul dengan penerangan yang remang. Kelihatannya ingin mabuk mereka. Sudah secerek tuak mereka tandaskan. Tanpa sepengetahuan Otong, Yariman, dan Puguh—karena ketiganya terlalu asyik menikmati lagu dangdut yang bikin kepala mereka manggut-manggut—Upik mengeluarkan sebotol minuman mirip teh. Selain Upik, tak ada yang tahu apa nama minuman itu. Pokoknya, racikannya terbuat dari biji tumbuhan berbahaya, tumbuh liar di hampir seluruh kampung.
Ada juga persaingan cinta tak sehat antarremaja kampung. Mirip persaingan pejabat tinngi di negeri ini. Ah, adakah api cemburu membakar Upik? Tak tahu juga. Yang jelas, satu botol sudah digasak Yariman. Alunan musik dangdut membuat kepala mereka bertambah berat. Perlahan, tubuh dan kaki Yariman lemas, seolah tanpa sum-sum. Pandangannya buyar. Pingsan. Upik menyeringai. Puguh khawatir. Sinar matanya berubah gusar. Dalam keadaan tak sadar, Puguh mengantar Yariman pulang dengan sepeda motor bututnya. Yariman dipapah, digandeng sampai depan rumah. Saat tiba di teras rumah, ia letakkan Yariman begitu saja. Seolah Yariman bangkai kucing yang ia tabrak lalu buang di pinggir jalan.
***
KEPAK sekawan perenjak sibuk mencari makan, terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Sementara di puluhan rumah berdinding papan, muncul petani dengan segala macam alat pertanian.
Dari belasan rumah lain, orang-orang mulai keluar membawa barang dagangan. Anak-anak berangkat sekolah melalui jalan beraspal kasar. Ada yang berjalan, ada yang bersepeda. Ada juga segerombol anak berseragam putih-merah yang sengaja membuntut-ejeki perempuan kurus berwajah tirus. Ejekan mereka akan berhenti kalau perempuan keriting itu sudah masuk ke dalam pasar. Dalam posisi yang aman ini, perempuan itu akan minta pecel-lontong buatan Mbah Sam, kadang tertidur pulas di samping parkiran, dan ini yang paling sering ia lakukan; duduk-diam sambil sesekali menyeringai. Buat orang pasar, hal itu sudah lumrah. Mereka mungkin mahfum.
Dan, di kampung itu tak semua rumahnya berdinding papan. Sebab, di sana, di antara kerumun rumah papan, ada satu rumah bagus bertingkat dua. Dari rumah itulah muncul seorang perempuan, kira-kira 26 tahun. Dia berlari. Tangan kirinya memegangi rok sepanjang mata kaki agar tak mengganggu kecepatannya. Terus saja ia berlari menuju sebuah rumah papan yang berjarak tiga ratus meter dari tempat pertama ia keluar. Selang beberapa belas menit, ia sampai di tempat tujuan. Butir keringat bersalin dari lubang porinya. Pukul tujuh pagi.
"Kulonuwon," ucapan salam berulang tiga kali. Yang memberi salam mulai resah karena tak ada jawaban dari pemilik rumah. Sembari menunggu, tak sengaja kakinya menginjak seekor cacing tanah yang berjalan pelan menuju lubang. Ketika mendengar sahutan dari dalam rumah, senyum tipis tergambar di wajahnya.
"Monggo," suara lelaki tua itu tertahan di kerongkongan. "Ada apa Tik, pagi-pagi kok sudah kemari?" imbuh si Mbah ketika membukakan pintu dan tahu siapa nama si tamu.
"Anu, Mbah. Anaknya Bude Robayah kesurupan," sahut Atik dengan kening dikerutkan.
"Walah-walah, ayo kalau begitu," setelah menjawab, lelaki tua itu kembali masuk rumah, mengambil plastik berisi tembakau. Kemudian ia Keluar. Tangan keriputnya buru-buru mengunci pintu.
"Mana Suratmi, Mbah?" tanya Atik basa-basi. Padahal Atik tahu ke mana Suratmi pergi. Terang saja, karena sebelumnya ia berpapasan dengan Suratmi di tengah jalan.
"Sudah pergi ke pasar. Ayo kita berangkat," jawab Mbah datar.
Keduanya menyusuri jalan kecil, melewati rumah-rumah penduduk, juga pohon Waru yang di bawahnya banyak ditumbuhi tanaman kecubung. Tak jauh dari pohon rimbun nan rindang, tersualah pohon kamboja dengan gundukan yang bernisan. Enam di antaranya adalah makam pahlawan yang gugur tahun 1948.
Hampir tak sadar ketika melewati permakaman, Atik mengangkat roknya tinggi-tinggi, berjingkat, melompat ke samping, ke arah si mbah. Tangan kanannya menutup mulut (karena ia sadar kalau lewat kuburan tak boleh menjerit) hingga jeritnya terdengar kecil—rupanya seekor ular tanah yang melintas di punggung kakinya itu penyebabnya. Mbah Sobari buru-buru mengusirnya. Lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu Atik, lalu memberi tahu bahwa si ular sudah pergi. Kata-kata Mbah Sobari mengambang di udara bersama desis ular, kerik jangkrik, dan kicau kutilang.
Dalam gesa, tak jauh dari makam pahlawan, keduanya sampai di sebuah jembatan. Jembatan Pahlawan, begitu penduduk menyebutnya.
***
"KOK lama sekali, ya?"
"Sabar, Bu. Sebentar lagi juga sampai."
Robayah, janda kaya di kampung Taman Sari, duduk tak tenang di bibir ranjang sembari memijit-mijit kepalanya yang mulai pening. Putra tercinta sedang terbaring tak sadarkan diri. Perempuan paruh baya itu dikelilingi dua pembantu setia.
"Coba kamu susul, Di. Aku takut terjadi apa-apa dengan dia," pinta Robayah kepada Juardi karena anaknya terbangun dan berteriak-teriak tak keruan.
Si bocah mulai melantur. Badannya terasa gerah. Ia minta agar pakaiannya dilepaskan. Berangsur-angsur kesadarannya hilang. Ia mulai berhalusinasi; ada beberapa anak kecil berkepala botak sedang bercanda di atas lemari. Ia juga melihat peri yang tengah terbang ke sana kemari sembari mengayun-ayun tongkat ajaibnya.
Tiba-tiba halusinasinya buyar ketika kepalanya serasa membesar. Mungkin akan meledak. Robayah dan kedua pembantunya mulai kewalahan menghadapi tingkah-polah si bocah. Tapi untunglah, di tengah ketegangan itu, Atik dan Mbah Sobari segera datang.
"Duh Gusti, akhirnya datang juga," sambut Robayah sembari memegangi tangan anaknya.
"Iya, Nduk. Pegang kuat kaki dan tangannya, jangan sampai lepas," tukas si Mbah menganjurkan. Tampaknya Mbah Sobari tahu apa yang harus ia lakukan.
"Tolong ambilkan segelas air putih." Mbah Sobari mulai beraksi. Ia menempelkan telapak tangan kirinya ke jidat pemuda itu, lalu perlahan pindah memegang kepalanya. Mulutnya komat-kamit, kemudian tersembur air dari mulutnya. Dua kali semburan itu mengenai muka si pemuda. Lalu, si empunya mantera menepuk-nepuk pipi pasiennya seraya bertanya, "Sadar, Le. Kamu kenal aku, toh?"
Mendengar pertanyaan itu, sontak ibunya membisikkan sesuatu. Mungkin ingin memberi tahu siapa nama orang yang menanyainya. Tak lama setelah Robayah membisikkan sesuatu ke telinga anaknya, jawaban terdengar juga dari mulut pemuda yang sejak semalam kehilangan kesadarannya. Matanya setengah terbuka, serupa pintu dan jendela di kamar tidurnya.
"Kamu manusia planet, toh?" jawab pemuda itu. Mbah Sobari terkejut bukan main.
"Yah, siapa nama lengkap anakmu? Bin siapa dia?" pertanyaan ditujukam pada Robayah
"Yariman bin Yatman Kasrowi," Robayah menyahut.
Si mbah kembali komat-kamit. Setengah jam ketegangan berlangsung. Mantera si mbah mengambang di udara. Akhirnya si mbah menarik sebuah kesimpulan. Saat itu Yariman tertidur karena pengaruh mantra. Tubuhnya terkulai lemas. Pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana berwarna cokelat yang secokelat kulitnya.
"Cah bagus ini enggak kesurupan, tapi keracunan buah kecubung," ujar Mbah Sobari pasti. Sepersekian detik Robayah dan keempat pembantunya bengong, terlebih Juardi. Robayah diam. Mungkin mengingat kejadian saat anaknya tergeletak di teras depan.
"Jadi bagaimana, Mbah?" ujar Robayah dengan asa yang hampir putus.
"Kasih dia tempe goreng, tapi enggak usah dikasih bumbu, lalu buatkan segelas kopi pahit," jelas Mbah Sobari
Atas perintah nyonya rumah, Sakiyem bergegas ke pasar mencari tempe. Sepeda jengki dikeluarkan, dikayuhnya menuju pasar becek di kampung itu. Beberapa menit ketika sampai di tengah pasar, perempuan itu menatap berkeliling, mencari sosok tambun Lek Wasbir. Alih-alih Lek Wasbir yang terlihat, malah Suratmi yang tampak tertidur pulas di samping warung Kang Mono. Sakiyem menggeleng.
Sakiyem beralih pandang. Nah itu dia orangnya, batin Sakiyem. Ia mendekat dan langsung membeli beberapa tempe. Setelah selesai, ia bergegas pulang. Tanpa pikir panjang, ia naiki sepedanya dan mempercepat kayuhannya.
Ketika sampai rumah, ia sandarkan sepeda lalu masuk lewat pintu belakang. Segera pula ia melucuti plastik pembungkus tempe, menghidupkan kompor, kemudian menaruh wajan berisi minyak goreng di atasnya. Ia masukkan beberapa tempe setelah minyak itu panas. Tak berlama-lama ia menggoreng.
Selesai menggoreng, ada yang memanggilnya dari balik sekat yang memisahkan ruang dapur dan ruang makan. Rupanya suara Atik, ia sedang menyeduh kopi pahit. Sakiyem lalu menghampiri Atik. Keduanya bergincu gunjing, membicarakan Mbah Sobari dan anak semata wayangnya. Gunjingan berhenti setelah kopi siap di bawa ke kamar.
Ketika Sakiyem dan Atik sampai di kamar, Mbah Sobari sudah tak ada. Ia diantar pulang oleh Juardi. Tapi sebelum mbah sakti itu pergi, lebih dulu ia membuat Yariman siuman. Bocah itu setengah sadar. Robayah menyuapkan tempe goreng ke mulutnya, kemudian meminumkan kopi itu dengan sendok. Tiga tempe dan beberapa sendok kopi pahit masuk ke mulutnya. Yariman mulai merasakan reaksinya. Penawar racun kecubung ala Mbah Sobari membuat perutnya mual, lalu muntah. Sehari kemudian Yariman sadar.
***
SUATU pagi, sepekan setelah kejadian Yariman, di atap genting rumah Mbah Sobari, sekawanan burung gereja mematuk dan menari riang. Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah pintu depan, terdengar ketukan dibarengi ucapan salam. Si mbah keluar. Kata-kata si tamu bernada khawatir. Ia bilang bahwa Sutilah, adik perempuan yang ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, nekat minum kecubung lantaran tak mampu bayar utang. Pasti sekarang Sutilah sudah menceracau tak keruan. Mbah Sobari menghela napas. Sesepuh kampung itu tahu, jika ada orang keracunan kecubung, kemudian orang itu masuk pasar, pasti sukar disembuhkan. Kalau tak beruntung seperti Yariman pastilah langsung gila. Persis Suratmi, anak perempuan semata wayangnya.
Bandar Lampung, 2010-2011
Lampung Post, 13 November 2011
BULAN benjol. Segaris awan tersua di bawahnya. Sedang di dalam lapo tuak berdinding papan, empat bujang berkumpul dengan penerangan yang remang. Kelihatannya ingin mabuk mereka. Sudah secerek tuak mereka tandaskan. Tanpa sepengetahuan Otong, Yariman, dan Puguh—karena ketiganya terlalu asyik menikmati lagu dangdut yang bikin kepala mereka manggut-manggut—Upik mengeluarkan sebotol minuman mirip teh. Selain Upik, tak ada yang tahu apa nama minuman itu. Pokoknya, racikannya terbuat dari biji tumbuhan berbahaya, tumbuh liar di hampir seluruh kampung.
Ada juga persaingan cinta tak sehat antarremaja kampung. Mirip persaingan pejabat tinngi di negeri ini. Ah, adakah api cemburu membakar Upik? Tak tahu juga. Yang jelas, satu botol sudah digasak Yariman. Alunan musik dangdut membuat kepala mereka bertambah berat. Perlahan, tubuh dan kaki Yariman lemas, seolah tanpa sum-sum. Pandangannya buyar. Pingsan. Upik menyeringai. Puguh khawatir. Sinar matanya berubah gusar. Dalam keadaan tak sadar, Puguh mengantar Yariman pulang dengan sepeda motor bututnya. Yariman dipapah, digandeng sampai depan rumah. Saat tiba di teras rumah, ia letakkan Yariman begitu saja. Seolah Yariman bangkai kucing yang ia tabrak lalu buang di pinggir jalan.
***
KEPAK sekawan perenjak sibuk mencari makan, terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Sementara di puluhan rumah berdinding papan, muncul petani dengan segala macam alat pertanian.
Dari belasan rumah lain, orang-orang mulai keluar membawa barang dagangan. Anak-anak berangkat sekolah melalui jalan beraspal kasar. Ada yang berjalan, ada yang bersepeda. Ada juga segerombol anak berseragam putih-merah yang sengaja membuntut-ejeki perempuan kurus berwajah tirus. Ejekan mereka akan berhenti kalau perempuan keriting itu sudah masuk ke dalam pasar. Dalam posisi yang aman ini, perempuan itu akan minta pecel-lontong buatan Mbah Sam, kadang tertidur pulas di samping parkiran, dan ini yang paling sering ia lakukan; duduk-diam sambil sesekali menyeringai. Buat orang pasar, hal itu sudah lumrah. Mereka mungkin mahfum.
Dan, di kampung itu tak semua rumahnya berdinding papan. Sebab, di sana, di antara kerumun rumah papan, ada satu rumah bagus bertingkat dua. Dari rumah itulah muncul seorang perempuan, kira-kira 26 tahun. Dia berlari. Tangan kirinya memegangi rok sepanjang mata kaki agar tak mengganggu kecepatannya. Terus saja ia berlari menuju sebuah rumah papan yang berjarak tiga ratus meter dari tempat pertama ia keluar. Selang beberapa belas menit, ia sampai di tempat tujuan. Butir keringat bersalin dari lubang porinya. Pukul tujuh pagi.
"Kulonuwon," ucapan salam berulang tiga kali. Yang memberi salam mulai resah karena tak ada jawaban dari pemilik rumah. Sembari menunggu, tak sengaja kakinya menginjak seekor cacing tanah yang berjalan pelan menuju lubang. Ketika mendengar sahutan dari dalam rumah, senyum tipis tergambar di wajahnya.
"Monggo," suara lelaki tua itu tertahan di kerongkongan. "Ada apa Tik, pagi-pagi kok sudah kemari?" imbuh si Mbah ketika membukakan pintu dan tahu siapa nama si tamu.
"Anu, Mbah. Anaknya Bude Robayah kesurupan," sahut Atik dengan kening dikerutkan.
"Walah-walah, ayo kalau begitu," setelah menjawab, lelaki tua itu kembali masuk rumah, mengambil plastik berisi tembakau. Kemudian ia Keluar. Tangan keriputnya buru-buru mengunci pintu.
"Mana Suratmi, Mbah?" tanya Atik basa-basi. Padahal Atik tahu ke mana Suratmi pergi. Terang saja, karena sebelumnya ia berpapasan dengan Suratmi di tengah jalan.
"Sudah pergi ke pasar. Ayo kita berangkat," jawab Mbah datar.
Keduanya menyusuri jalan kecil, melewati rumah-rumah penduduk, juga pohon Waru yang di bawahnya banyak ditumbuhi tanaman kecubung. Tak jauh dari pohon rimbun nan rindang, tersualah pohon kamboja dengan gundukan yang bernisan. Enam di antaranya adalah makam pahlawan yang gugur tahun 1948.
Hampir tak sadar ketika melewati permakaman, Atik mengangkat roknya tinggi-tinggi, berjingkat, melompat ke samping, ke arah si mbah. Tangan kanannya menutup mulut (karena ia sadar kalau lewat kuburan tak boleh menjerit) hingga jeritnya terdengar kecil—rupanya seekor ular tanah yang melintas di punggung kakinya itu penyebabnya. Mbah Sobari buru-buru mengusirnya. Lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu Atik, lalu memberi tahu bahwa si ular sudah pergi. Kata-kata Mbah Sobari mengambang di udara bersama desis ular, kerik jangkrik, dan kicau kutilang.
Dalam gesa, tak jauh dari makam pahlawan, keduanya sampai di sebuah jembatan. Jembatan Pahlawan, begitu penduduk menyebutnya.
***
"KOK lama sekali, ya?"
"Sabar, Bu. Sebentar lagi juga sampai."
Robayah, janda kaya di kampung Taman Sari, duduk tak tenang di bibir ranjang sembari memijit-mijit kepalanya yang mulai pening. Putra tercinta sedang terbaring tak sadarkan diri. Perempuan paruh baya itu dikelilingi dua pembantu setia.
"Coba kamu susul, Di. Aku takut terjadi apa-apa dengan dia," pinta Robayah kepada Juardi karena anaknya terbangun dan berteriak-teriak tak keruan.
Si bocah mulai melantur. Badannya terasa gerah. Ia minta agar pakaiannya dilepaskan. Berangsur-angsur kesadarannya hilang. Ia mulai berhalusinasi; ada beberapa anak kecil berkepala botak sedang bercanda di atas lemari. Ia juga melihat peri yang tengah terbang ke sana kemari sembari mengayun-ayun tongkat ajaibnya.
Tiba-tiba halusinasinya buyar ketika kepalanya serasa membesar. Mungkin akan meledak. Robayah dan kedua pembantunya mulai kewalahan menghadapi tingkah-polah si bocah. Tapi untunglah, di tengah ketegangan itu, Atik dan Mbah Sobari segera datang.
"Duh Gusti, akhirnya datang juga," sambut Robayah sembari memegangi tangan anaknya.
"Iya, Nduk. Pegang kuat kaki dan tangannya, jangan sampai lepas," tukas si Mbah menganjurkan. Tampaknya Mbah Sobari tahu apa yang harus ia lakukan.
"Tolong ambilkan segelas air putih." Mbah Sobari mulai beraksi. Ia menempelkan telapak tangan kirinya ke jidat pemuda itu, lalu perlahan pindah memegang kepalanya. Mulutnya komat-kamit, kemudian tersembur air dari mulutnya. Dua kali semburan itu mengenai muka si pemuda. Lalu, si empunya mantera menepuk-nepuk pipi pasiennya seraya bertanya, "Sadar, Le. Kamu kenal aku, toh?"
Mendengar pertanyaan itu, sontak ibunya membisikkan sesuatu. Mungkin ingin memberi tahu siapa nama orang yang menanyainya. Tak lama setelah Robayah membisikkan sesuatu ke telinga anaknya, jawaban terdengar juga dari mulut pemuda yang sejak semalam kehilangan kesadarannya. Matanya setengah terbuka, serupa pintu dan jendela di kamar tidurnya.
"Kamu manusia planet, toh?" jawab pemuda itu. Mbah Sobari terkejut bukan main.
"Yah, siapa nama lengkap anakmu? Bin siapa dia?" pertanyaan ditujukam pada Robayah
"Yariman bin Yatman Kasrowi," Robayah menyahut.
Si mbah kembali komat-kamit. Setengah jam ketegangan berlangsung. Mantera si mbah mengambang di udara. Akhirnya si mbah menarik sebuah kesimpulan. Saat itu Yariman tertidur karena pengaruh mantra. Tubuhnya terkulai lemas. Pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana berwarna cokelat yang secokelat kulitnya.
"Cah bagus ini enggak kesurupan, tapi keracunan buah kecubung," ujar Mbah Sobari pasti. Sepersekian detik Robayah dan keempat pembantunya bengong, terlebih Juardi. Robayah diam. Mungkin mengingat kejadian saat anaknya tergeletak di teras depan.
"Jadi bagaimana, Mbah?" ujar Robayah dengan asa yang hampir putus.
"Kasih dia tempe goreng, tapi enggak usah dikasih bumbu, lalu buatkan segelas kopi pahit," jelas Mbah Sobari
Atas perintah nyonya rumah, Sakiyem bergegas ke pasar mencari tempe. Sepeda jengki dikeluarkan, dikayuhnya menuju pasar becek di kampung itu. Beberapa menit ketika sampai di tengah pasar, perempuan itu menatap berkeliling, mencari sosok tambun Lek Wasbir. Alih-alih Lek Wasbir yang terlihat, malah Suratmi yang tampak tertidur pulas di samping warung Kang Mono. Sakiyem menggeleng.
Sakiyem beralih pandang. Nah itu dia orangnya, batin Sakiyem. Ia mendekat dan langsung membeli beberapa tempe. Setelah selesai, ia bergegas pulang. Tanpa pikir panjang, ia naiki sepedanya dan mempercepat kayuhannya.
Ketika sampai rumah, ia sandarkan sepeda lalu masuk lewat pintu belakang. Segera pula ia melucuti plastik pembungkus tempe, menghidupkan kompor, kemudian menaruh wajan berisi minyak goreng di atasnya. Ia masukkan beberapa tempe setelah minyak itu panas. Tak berlama-lama ia menggoreng.
Selesai menggoreng, ada yang memanggilnya dari balik sekat yang memisahkan ruang dapur dan ruang makan. Rupanya suara Atik, ia sedang menyeduh kopi pahit. Sakiyem lalu menghampiri Atik. Keduanya bergincu gunjing, membicarakan Mbah Sobari dan anak semata wayangnya. Gunjingan berhenti setelah kopi siap di bawa ke kamar.
Ketika Sakiyem dan Atik sampai di kamar, Mbah Sobari sudah tak ada. Ia diantar pulang oleh Juardi. Tapi sebelum mbah sakti itu pergi, lebih dulu ia membuat Yariman siuman. Bocah itu setengah sadar. Robayah menyuapkan tempe goreng ke mulutnya, kemudian meminumkan kopi itu dengan sendok. Tiga tempe dan beberapa sendok kopi pahit masuk ke mulutnya. Yariman mulai merasakan reaksinya. Penawar racun kecubung ala Mbah Sobari membuat perutnya mual, lalu muntah. Sehari kemudian Yariman sadar.
***
SUATU pagi, sepekan setelah kejadian Yariman, di atap genting rumah Mbah Sobari, sekawanan burung gereja mematuk dan menari riang. Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah pintu depan, terdengar ketukan dibarengi ucapan salam. Si mbah keluar. Kata-kata si tamu bernada khawatir. Ia bilang bahwa Sutilah, adik perempuan yang ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, nekat minum kecubung lantaran tak mampu bayar utang. Pasti sekarang Sutilah sudah menceracau tak keruan. Mbah Sobari menghela napas. Sesepuh kampung itu tahu, jika ada orang keracunan kecubung, kemudian orang itu masuk pasar, pasti sukar disembuhkan. Kalau tak beruntung seperti Yariman pastilah langsung gila. Persis Suratmi, anak perempuan semata wayangnya.
Bandar Lampung, 2010-2011
Lampung Post, 13 November 2011
Sunday, October 30, 2011
White Horse, Oktober 2211
Cerpen Tandi Skober
Libya, Oktober 2011
"Tarian tirani itu terhenti Sirte,” tulis saya di sebuah mal berdebu. Pesawat NATO di atas Libya bagaikan laba-laba berserabut ribuan pelor, di darat para pejuang Dewan Transisi Nasional (NTC) merangsek masuk terbakar mesiu, dan Mu’ammar al-Qadhdhafi terpuruk merenda hari terakhir di dalam gorong-gorong pembuangan air. Ia melukis sisa kekuasaan di ruang sempit bercahaya matahari mesiu yang sunyi. Saya dekati Khadafi. Saya bacakan sajak Kwatrin-Kwatrin Musim Gugur Goenawan Mohamad, “Di udara ungu proses pun mulai. Senja membereskan daun-daun. Menyiapkan ranjang mati."
***
White Horse, Oktober 2211
Saya berdiri di atas mimbar cahaya tertelikung jaringan situs CghK. Ini membuat mataku berkerjap-kerjap. Seraya membetulkan letak jasku, saya coba menenangkan diri. Cahaya aneh kemilau itu sangat menyiksa. Tapi ini kudu kulalui dengan tabah. Ini adalah temu pers perdanaku seusai lima jam yang lalu saya dilantik menjadi presiden Amerika.
Sesaat saya tersenyum. "Republik ini," ucapku usai menarik napas panjang, "bukan lagi batu nisan raksasa yang merekayasa demokrasi melalui fatwa-fatwa kultural dari peradaban kuno yang aneh. Bukan itu. Juga bukan nyanyian sunyi sebuah negeri yang meletakan hak-hak rakyat pada perbincangan involusi. Juga republik ini bukan lautan air mata yang menaruh matahari raksasa di setiap bilik-bilik ketakutan."
Sesaat kuhela napas. Lantas kembali kuluncurkan tutur kataku, "Republik ini kudu meletakkan peradaban dalam lanskap keserasian, keselarasan, dan keseimbangan yang penuh dan menyejarah. Sebagai presiden Amerika, saya akan meletakan humanisme kinasih sebagai wajah baru madani Amerika"
"Tuan Presiden," tiba-tiba seseorang nyeletuk, "Anda itu sosok Indonesianis yang nyaris tidak memiliki apa-apa, kecuali mimpi-mimpi tirani yang masih tersisa dari abad paling busuk. Anda diragukan memiliki partikel terkendali berkualitas Amerika. Saya tidak yakin Anda bisa membawa Amerika lebih baik dari periode Hampu."
"Seorang Indonesia menjadi presiden Amerika? Mengapa tidak? Indonesia adalah republik 'Pancur Kaapit Sendang' diapit dua samudera, juga 'Sendang Kaapit Pancur' diapit dua benua. Indonesia diapit cincin api (ring of fire) dan sabuk Alpide. Ini tentu pertanda alam bahwa Indonesia tercipta untuk menjadi negara padang obore di mana dalam banyak hal patut diteladani. Sejak abad 20 hingga 21, dunia melihat Indonesia seperti melihat malaikat penyelamat peradaban. Dan wajar bila Prof Dr. Chuky di akhir abad lalu memosisikan Indonesia sebagai pusat peradaban politika global paling santun."
"Anda ngaco, Tuan Presiden," sanggah wartawan lagi, "Chuky itu spesialis demokrasi gaya Asia."
Saya tersenyum, "Demokrasi itu bermula dari impian muram Eropa ketika peradaban memasuki areal petengt dedet. Dari album sejarah sekitar akhir abad ke-20 orang menempatkan Indonesia masih terjebak perumitan demokratisasi. Tapi Anda bisa catat, kini Amerika, Afrika, Australia, hingga ke ujung lancip Eropa melihat Indonesia pada ruang yang lebih benderang. Anda tahu, Raja Inggris dan rakyatnya baru saja melamar Ki Mardiah, Indonesianis dari Cerbon agar berkenan menjadi perdana menteri lima tahun mendatang. Lantas Australia..."
"Ini Amerika, Tuan Presiden. Anda memang berhasil menjadi presiden lima hingga tujuh periode di sebuah negara kecil di sudut barat Afrika. Lantas Anda dimutasikan menjadi pemimpin Amerika Tengah hingga tahun 2187. Dan untuk pertama kali seorang Indonesianis memimpin Amerika."
"Lintas mutasi presiden antarnegara adalah sah! Konvensi Dermayu tahun 2162 mengatakan begitu. Perlu lintas mutasi presiden antarnegara. Ini seharusnya Anda catat sebagai pencerahan pola politika global. Ketika tahun 2160 hingga 2200 hampir selama 40 tahun saya menjadi presiden Uganda atau sebelumnya hingga dua dasawarsa memimpin Jepang, maka yang ada adalah pembenaran-pembenaran Konvensi Dermayu 2162 itu. Hasilnya? Anda catat sepanjang 40 tahun Negeri Matahari itu mampu memetakan proyeksi ekonomi hingga ke gugusan manjuah-juah di sebelah selatan Mars."
"Amerika bukan Asia, Tuan Presiden?"
"Amerika kudu belajar demokrasi Asia." potong saya.
***
XCimona, Mars 2212
Saya baru saja menikmati jakjazz klasik Ramsey Lewis dan Dave Koz (1977) abad ke-21 Tumba Goreng, ketika jaringan SMM di layar XHj78R tampilkan Chan Go Koch dari Tianmensturasi, China. Ia lemparkan senyum khas yang paling saya sukai. "Ada pesan Tianmensturasi, Tuan Presiden. Hmm, maksud saya, China berharap Tuan Presiden berkenan menjadi presiden kami untuk periode 2216 hingga 2223."
Saya diam. Dan diam-diam saya merasa amat kesunyian. Terus-menerus menjadi presiden dari satu negara ke negara lain memang menyenangkan. Tapi, di puncak kekuasaan yang selalu kudapatkan adalah kolam kelam kesunyian. Selalu saja pada saat-saat tertentu hadir kerinduan untuk menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Selalu saja hadir kerinduan menimang cucu seraya menikmati lintasan jagad raya Bimasakti melalui kapsul yang terlontar dari pusat terminal angkasa luar GHK98M.
Saya menghela napas. Jaringan SMM of. Kini kusandarkan tubuhku agak dalam. Board elektronik memberi sinyal ada kabar dari Papua. Saya tak perduli. Berdiri. Melangkah ke jendela menatap hamparan Amerika yang temaram. Kulayangkan pandang pada perspektif langit yang melengkung. Beberapa kapsul FX15 melintas-lintas. Saya menunduk. Ah, kapsul FX15 itu mengingatkan saya pada cucuku, Ana Kiara Citra. Di kapsul FK202 yang melayang-layang di belahan Asia Tenggara, cucuku itu memijiti bahuku.
"Langit itu luas, Mbah?"
"Ya mahaluas. Seluas memorial nalar yang tak terbatas."
"Dan Tuhan ada di antara kemahaluasan itu kan, Mbah?"
Saat itu saya terkejut. Ah, cucuku ternyata lebih arif.
"Mbah mau bersaing dengan Tuhan kan? Menjadi penguasa bumi terus-menerus?"
Suara risau cucuku ini mengingatkan file saya 20.12.2011:
Kursi kerap melahirkan tirani. Dan ini ada pada diri Qadhdhafi. Simak, selama 42 tahun, ia telah memosisikan diri menjadi penguasa terlama sebagai pemimpin nonkerajaan keempat sejak tahun 1900. Tarian tirani Qadhdhafi paling tidak kabarkan bahwa selalu saja dari sebuah ruang gelap akan lahir penguasa despostis sekaligus sosok sindrom superstar yang malang. Padahal, kekuasaan pada titik terjauh selalu membunuh dirinya sendiri. Keinginan bertahan untuk berkuasa hanyalah goresan sementara pada permukaan alam yang tak terbatas. Alam membiarkan hal itu bertahan sementara, kemudian menghapuskannya untuk memberi tempat kepada orang lain. "Lalu waktu, bukan giliranku," tutur penyair Amir Hamzah.
"Lalu waktu, bukan giliranmu, wahai Mu’ammar al-Qadhdhafi," bisik saya saat itu.
"Seharusnya Mbah tak menerima tawaran Amerika itu," potong cucuku. Ia matikan panel eksplorer. Kapsul FK202 shut down, "Menjadi diri sendiri, dan sujud di hamparan rumput mahaluas, di bawah lanskap langit Mars merah jingga...."
Bandung, 23 Oktober 2012
Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011
Libya, Oktober 2011
"Tarian tirani itu terhenti Sirte,” tulis saya di sebuah mal berdebu. Pesawat NATO di atas Libya bagaikan laba-laba berserabut ribuan pelor, di darat para pejuang Dewan Transisi Nasional (NTC) merangsek masuk terbakar mesiu, dan Mu’ammar al-Qadhdhafi terpuruk merenda hari terakhir di dalam gorong-gorong pembuangan air. Ia melukis sisa kekuasaan di ruang sempit bercahaya matahari mesiu yang sunyi. Saya dekati Khadafi. Saya bacakan sajak Kwatrin-Kwatrin Musim Gugur Goenawan Mohamad, “Di udara ungu proses pun mulai. Senja membereskan daun-daun. Menyiapkan ranjang mati."
***
White Horse, Oktober 2211
Saya berdiri di atas mimbar cahaya tertelikung jaringan situs CghK. Ini membuat mataku berkerjap-kerjap. Seraya membetulkan letak jasku, saya coba menenangkan diri. Cahaya aneh kemilau itu sangat menyiksa. Tapi ini kudu kulalui dengan tabah. Ini adalah temu pers perdanaku seusai lima jam yang lalu saya dilantik menjadi presiden Amerika.
Sesaat saya tersenyum. "Republik ini," ucapku usai menarik napas panjang, "bukan lagi batu nisan raksasa yang merekayasa demokrasi melalui fatwa-fatwa kultural dari peradaban kuno yang aneh. Bukan itu. Juga bukan nyanyian sunyi sebuah negeri yang meletakan hak-hak rakyat pada perbincangan involusi. Juga republik ini bukan lautan air mata yang menaruh matahari raksasa di setiap bilik-bilik ketakutan."
Sesaat kuhela napas. Lantas kembali kuluncurkan tutur kataku, "Republik ini kudu meletakkan peradaban dalam lanskap keserasian, keselarasan, dan keseimbangan yang penuh dan menyejarah. Sebagai presiden Amerika, saya akan meletakan humanisme kinasih sebagai wajah baru madani Amerika"
"Tuan Presiden," tiba-tiba seseorang nyeletuk, "Anda itu sosok Indonesianis yang nyaris tidak memiliki apa-apa, kecuali mimpi-mimpi tirani yang masih tersisa dari abad paling busuk. Anda diragukan memiliki partikel terkendali berkualitas Amerika. Saya tidak yakin Anda bisa membawa Amerika lebih baik dari periode Hampu."
"Seorang Indonesia menjadi presiden Amerika? Mengapa tidak? Indonesia adalah republik 'Pancur Kaapit Sendang' diapit dua samudera, juga 'Sendang Kaapit Pancur' diapit dua benua. Indonesia diapit cincin api (ring of fire) dan sabuk Alpide. Ini tentu pertanda alam bahwa Indonesia tercipta untuk menjadi negara padang obore di mana dalam banyak hal patut diteladani. Sejak abad 20 hingga 21, dunia melihat Indonesia seperti melihat malaikat penyelamat peradaban. Dan wajar bila Prof Dr. Chuky di akhir abad lalu memosisikan Indonesia sebagai pusat peradaban politika global paling santun."
"Anda ngaco, Tuan Presiden," sanggah wartawan lagi, "Chuky itu spesialis demokrasi gaya Asia."
Saya tersenyum, "Demokrasi itu bermula dari impian muram Eropa ketika peradaban memasuki areal petengt dedet. Dari album sejarah sekitar akhir abad ke-20 orang menempatkan Indonesia masih terjebak perumitan demokratisasi. Tapi Anda bisa catat, kini Amerika, Afrika, Australia, hingga ke ujung lancip Eropa melihat Indonesia pada ruang yang lebih benderang. Anda tahu, Raja Inggris dan rakyatnya baru saja melamar Ki Mardiah, Indonesianis dari Cerbon agar berkenan menjadi perdana menteri lima tahun mendatang. Lantas Australia..."
"Ini Amerika, Tuan Presiden. Anda memang berhasil menjadi presiden lima hingga tujuh periode di sebuah negara kecil di sudut barat Afrika. Lantas Anda dimutasikan menjadi pemimpin Amerika Tengah hingga tahun 2187. Dan untuk pertama kali seorang Indonesianis memimpin Amerika."
"Lintas mutasi presiden antarnegara adalah sah! Konvensi Dermayu tahun 2162 mengatakan begitu. Perlu lintas mutasi presiden antarnegara. Ini seharusnya Anda catat sebagai pencerahan pola politika global. Ketika tahun 2160 hingga 2200 hampir selama 40 tahun saya menjadi presiden Uganda atau sebelumnya hingga dua dasawarsa memimpin Jepang, maka yang ada adalah pembenaran-pembenaran Konvensi Dermayu 2162 itu. Hasilnya? Anda catat sepanjang 40 tahun Negeri Matahari itu mampu memetakan proyeksi ekonomi hingga ke gugusan manjuah-juah di sebelah selatan Mars."
"Amerika bukan Asia, Tuan Presiden?"
"Amerika kudu belajar demokrasi Asia." potong saya.
***
XCimona, Mars 2212
Saya baru saja menikmati jakjazz klasik Ramsey Lewis dan Dave Koz (1977) abad ke-21 Tumba Goreng, ketika jaringan SMM di layar XHj78R tampilkan Chan Go Koch dari Tianmensturasi, China. Ia lemparkan senyum khas yang paling saya sukai. "Ada pesan Tianmensturasi, Tuan Presiden. Hmm, maksud saya, China berharap Tuan Presiden berkenan menjadi presiden kami untuk periode 2216 hingga 2223."
Saya diam. Dan diam-diam saya merasa amat kesunyian. Terus-menerus menjadi presiden dari satu negara ke negara lain memang menyenangkan. Tapi, di puncak kekuasaan yang selalu kudapatkan adalah kolam kelam kesunyian. Selalu saja pada saat-saat tertentu hadir kerinduan untuk menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Selalu saja hadir kerinduan menimang cucu seraya menikmati lintasan jagad raya Bimasakti melalui kapsul yang terlontar dari pusat terminal angkasa luar GHK98M.
Saya menghela napas. Jaringan SMM of. Kini kusandarkan tubuhku agak dalam. Board elektronik memberi sinyal ada kabar dari Papua. Saya tak perduli. Berdiri. Melangkah ke jendela menatap hamparan Amerika yang temaram. Kulayangkan pandang pada perspektif langit yang melengkung. Beberapa kapsul FX15 melintas-lintas. Saya menunduk. Ah, kapsul FX15 itu mengingatkan saya pada cucuku, Ana Kiara Citra. Di kapsul FK202 yang melayang-layang di belahan Asia Tenggara, cucuku itu memijiti bahuku.
"Langit itu luas, Mbah?"
"Ya mahaluas. Seluas memorial nalar yang tak terbatas."
"Dan Tuhan ada di antara kemahaluasan itu kan, Mbah?"
Saat itu saya terkejut. Ah, cucuku ternyata lebih arif.
"Mbah mau bersaing dengan Tuhan kan? Menjadi penguasa bumi terus-menerus?"
Suara risau cucuku ini mengingatkan file saya 20.12.2011:
Kursi kerap melahirkan tirani. Dan ini ada pada diri Qadhdhafi. Simak, selama 42 tahun, ia telah memosisikan diri menjadi penguasa terlama sebagai pemimpin nonkerajaan keempat sejak tahun 1900. Tarian tirani Qadhdhafi paling tidak kabarkan bahwa selalu saja dari sebuah ruang gelap akan lahir penguasa despostis sekaligus sosok sindrom superstar yang malang. Padahal, kekuasaan pada titik terjauh selalu membunuh dirinya sendiri. Keinginan bertahan untuk berkuasa hanyalah goresan sementara pada permukaan alam yang tak terbatas. Alam membiarkan hal itu bertahan sementara, kemudian menghapuskannya untuk memberi tempat kepada orang lain. "Lalu waktu, bukan giliranku," tutur penyair Amir Hamzah.
"Lalu waktu, bukan giliranmu, wahai Mu’ammar al-Qadhdhafi," bisik saya saat itu.
"Seharusnya Mbah tak menerima tawaran Amerika itu," potong cucuku. Ia matikan panel eksplorer. Kapsul FK202 shut down, "Menjadi diri sendiri, dan sujud di hamparan rumput mahaluas, di bawah lanskap langit Mars merah jingga...."
Bandung, 23 Oktober 2012
Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011
Sunday, October 23, 2011
Cerita dari Segelas Kopi
Cerpen Guntur Alam
SEJAK kedatangannya di kampung ini, lelaki itu selalu duduk di teras limasnya. Teras yang menghadap ke jalan raya dan tengah kampung. Bila ditanya oleh orang-orang yang lalu lalang ke rimba karet sedang apa dirinya? Lelaki itu selalu menjawab: "Aku sedang mendengarkan cerita dari segelas kopi."
Ahai, tentu saja jawaban lelaki itu membuat orang-orang dusun mengeryitkan kening pertanda pening. Apakah ada segelas kopi yang pandai bercerita? Mungkinkah serupa kajut-kajut, orang tua dari Emak-ebak mereka, yang bercerita setiap malam menjelang punai saat mereka akan terlelap di masa bocah? Tapi, semua itu tak dapat mereka masukan dalam akal.
Kabar tentang lelaki yang punya segelas kopi pandai bercerita itu merebak ke penjuru dusun. Mula-mula cerita itu berloncatan dari mulut-mulut perempuan kampung, kemudian jadi bumbu dapur, dimasak dalam gulai pindang, dihaluskan dalam ulekan sambal pedas, lalu dihidangkan di meja makan malam. Setelah itu, laki dan bujang-gadisnya akan memasang telinga sembari mendecak-decakkan lidah atas hidangan yang dikunyah lekas-lekas.
Dari sanalah kisah lelaki yang memiliki segelas kopi bercerita itu mengalir. Ada yang sangsi, ada pula yang menganggapnya benar-benar terjadi. Dan beberapa orang yang terpancing penasaran di hati, berganti-ganti, menjadi tamu lelaki itu di pagi hari.
Seperti pagi ini, ketika kabut masih menyungkup wuwungan limas, embun baru saja menyeruak seperti biji keringat di jidat, lelaki itu telah menerima dua tamunya.
Lelaki itu membawa tamunya menikmati pagi yang menggigil di teras limas. Tiga gelas kopi telah terserak di atas meja. Asap putih tipis masih mengepul-ngepul di atasnya. Dua pasang mata tamu lelaki itu tak lepas menatap gelas-gelas kopi yang ada.
Seolah tak melihat, mungkin saja ia berpura-pura, lelaki itu membiarkan saja kedua tamunya itu memandang lekat-lekat gelas kopi yang ada di depan mereka. Lamat, lelaki itu menjangkau gelas kopinya, menyeruput sedikit isinya. Terdengar decakan lidahnya yang beradu air kopi panas.
"Silakan, diminum," ujar lelaki itu begitu melihat kedua tamunya masih saja menatap ke arah gelas kopi masing-masing.
"Katanya, gelas kopimu pandai bercerita. Apa benar?" salah seorang tamu lelaki itu tak kuasa lagi menahan gumulan tanya yang tindih-menindih dalam batok kepalanya. Lelaki itu tercengir, ia meletakkan gelas kopinya kembali ke atas meja. Melihat cengiran lelaki di depan mereka, kedua tamu itu bertukar pandang. Apakah ada yang aneh? Mungkin itu yang ada dalam benak mereka.
"Kami mendengar desas-desusnya merebak di kampung. Dan kami ingin membuktikan sendiri kebenaran cerita yang beredar itu," sahut yang seorang lagi, "Tapi sejak tadi, kami tak mendengar kopi di depan kita ini berkisah," tambahnya. Seolah tak perduli dengan cengiran tuan rumah di depannya.
"Gelas kopiku ini memang pandai berkisah," sahut lelaki itu begitu tamunya usai berkata, serentak kedua tamu itu saling lempar pandang. Kemudian, melongok dengan muka penuh gurat bingung. Keduanya memasang mata yang begitu lekat pada gelas kopi di atas meja dan berganti ke raut muka tuan rumah.
"Aku tak mendengar apa-apa," desau tamu itu kepada kawannya yang duduk di sebelahnya. Lagi, kedua retina keduanya bertaut.
"Aku pun tidak," sahut kawannya, "Atau kita yang tak bisa mendengarnya?" seolah bertanya pada dirinya sendiri, kedua lelaki itu kembali melarikan mata pada gelas kopi sang tuan rumah.
"Apa kalian tak mendengar kisahnya sejak tadi?" si empu rumah melontarkan tanya itu. Serentak, kedua tamunya mengangguk. Dan gurat takjub dikelindapi bingung merekah seperti kuntum-kuntum bunga di kedua mukanya.
"Wah, sayang sekali kalau begitu. Padahal, gelas kopiku ini berkisah hal yang sangat menarik pagi ini," ujar lelaki si empu rumah sembari jemari tangannya memegang gagang gelas.
Kedua tamu itu benar-benar takjub dibuatnya. Apakah ini sebuah kebenaran? Mata mereka kian melotot melihatnya. Melihat gelas keramik dari tanah itu. Sejatinya, gelas serupa itu sering mereka jumpai dijual di hari pekan. Dibawa toke guci dari Palembang atau Prabumulih sana. Warnanya kuning gading, mengilat, dengan lukisan seperti ruas-ruas bambu pada dinding luar. Tingginya hanya sekilan tangan. Tak ada yang istimewa. Tapi, menjadi luar biasa ketika si empu mengatakan kalau gelas itu pandai berkisah. Tidakkah hal ini luar biasa didengar telinga?
"Apa yang gelas itu kisahkan?" seorang dari tamu itu melempar tanya. Kawannya mengangguk cepat sebagai tanda setuju dengan tanyanya. Si empu rumah kembali tercengir. Lalu, ia mengangkat gelas kopi itu, menyeruput sedikit isinya. Aroma kopi hangat yang menyeruak di kedua lubang hidungnya, memberi sensasi luar biasa.
"Apa kalian hendak mendengarnya?" lelaki itu malah balik bertanya. Gegas, kedua tamu itu mengiyakan dengan anggukan, "Baiklah, akan aku ceritakan," lelaki itu membetulkan letak duduknya yang tak salah. Pun dengan kedua tamunya yang ikut-ikutan lata, membetulkan letak duduk yang tak salah.
"Inilah kisah yang diutarakan gelas kopi ini padaku," buka lelaki itu pada kisahnya. Kedua tamunya duduk menyimak dengan penuh khidmat.
ADA seorang lelaki yang baru membeli sebuah limas di suatu kampung. Lelaki itu memutuskan untuk menetap di kampung yang asri dan hijau itu. Ia sudah lelah dengan hiruk pikuk kota. Ia hendak meninggalkan semua urusannya di sana. Semua hal telah ia serahkan pada anak dan menantunya. Ia ingin menghabiskan masa tuanya di kampung yang hijau, mengenang masa-masa muda bersama almarhumah istrinya, dan tentu saja ia ingin memiliki kisah lain pada hidupnya, selain yang telah ia miliki sebelumnya.
Semua yang lelaki itu impikan nyaris terwujud. Kampung yang asri, penduduk yang ramah, dan keheningan yang begitu senyap. Sayangnya, kesendirian kerap membuat lelaki itu merasa bosan. Setelah hiruk-pikuk kota yang menjejali hidupnya selama ini, tiba-tiba saja ia dikungkung sepi yang demikian mencekam. Tak ada kawan baginya melewati hari. Penduduk kebanyakan sibuk menghabiskan hari di kebun-kebun karet, barulah ketika petang menjelma mereka pulang. Dan ketika malam masih ingusan, kampung telah lelap oleh dengkuran lelah.
Di limas yang ia beli? Tak ada siapa-siapa, hanya seorang pembantu yang disertakan anaknya. Pembantu itu terlalu sibuk membenahi rumah, memasak, mencuci, dan tentu saja bergosip dengan gadis-gadis belia di sungai. Pastilah, mereka tengah membicarakan bujang anu atau anu yang berbadan bagus, bersenyum manis, bermata elang, bertangan besar, bahkan mungkin saja tentang isi celana.
Sampai suatu hari, lelaki itu menemukan gelas kopi antik, warisan si empu rumah terdahulu, yang juga seorang tua yang tinggal sendiri dan mati dalam kesendiriannya. Mulanya, lelaki tua yang baru menghuni rumah itu tak tahu kalau gelas itu pandai berkisah. Sampai di suatu pagi, saat ia duduk menghadap ke jalan raya di teras limasnya, gelas kopi itu memulai kisahnya yang pertama.
Inilah kisah gelas kopi itu.
Gelas kopi itu berkisah pada tuan barunya. Kalau (dulu) sebelum tuan barunya itu datang, penghuni limas itu adalah seorang lelaki renta yang tinggal sendiri. Padahal, anak lelaki itu sangatlah banyak. Namun, tak seorang pun yang tinggal bersamanya.
"Mengapa?" sang tuan baru bertanya pada gelas kopinya.
"Karena semua anak lelaki renta itu adalah perempuan, Tuan," gelas kopi menjawab demikian cepat. Berkeryitlah kening sang tuan baru. Ia tak paham akan maksud gelas kopi. Seperti mengerti, gelas kopi itu menjelaskan.
Dalam adat-budaya kampung ini, Tuan. Anak bujang adalah pewaris harta dan orang tua. Jadi, bilalah sang orang tua telah lanjut usia, tanggung-jawab merawat dan menghidupinya ada di pundak anak bujangnya. Semua warisan, pun dengan rumah limas, juga tanggung-jawab anak bujang. Anak-anak gadis akan menikah, lalu mengikuti langkah suaminya, menjaga harta dan warisan mertua. Tak bisa menjaga harta dan warisan orang tua.
Inilah nasib nahas orang tua renta itu, Tuan. Sepeninggal istrinya yang wafat setahun silam, lelaki renta itu tinggal sendiri di limasnya yang besar. Bukan tak berbelas anak-anak perempuannya. Tetapi, semua tak berkutik. Walapun mereka mendapat jatah sama dengan saudara-saudara mengenai harta warisan orang tua, tapi tetap tak ada yang bisa untuk tinggal bersama lelaki renta itu di limasnya. Sebab, apa kata orang sedusun raya bila mengetahui ihwal memalukan ini: Seorang lelaki, mengikuti istrinya melangkah. Alahai, itu mengerikan!
Sampai, pada suatu ketika lelaki renta itu menemukan gelas kopi yang pandai berkisah, Tuan. Dari gelas kopi itulah, si lelaki renta beroleh kawan dalam kesendirian. Mereka bertukar cerita tentang banyak hal, tentang kenangan, rindu, dan masa yang pernah mereka lewati masing-masing. Bahkan tentang pemilik gelas kopi itu sebelum ditemukan lelaki renta.
"Siapa pemilikmu sebelum aku, wahai gelas kopi?" tanya lelaki renta itu. Sang gelas kopi menceritakan pemiliknya sebelum lelaki renta itu. Inilah kisah gelas kopi itu pada si lelaki renta.
Dulu, di masa Sriwijaya, gelas kopi itu dibawa oleh seorang saudagar China. Setelah mengarungi lautan yang luas dan bermil daratan yang terbentang. Gelas kopi itu akhirnya menyudahi perjalanannya pada sebuah pasar di pelabuhan Sriwijaya. Seorang gadis cantik telah menukarnya dengan beberapa koin uang pada sang saudagar China.
"Aku hendak membelikan gelas ini untuk kopi ayahandaku," itulah ucapan gadis itu ketika seorang kawannya bertanya. Gadis itu tahu, ayahandanya seseorang yang menyukai kopi. Dan sebelum ia meninggalkan ayahandanya sendiri karena akan menikah dengan pujaan hatinya, ia ingin memberi ayahandanya itu pengganti dirinya. Dan ia memilih, gelas kopi itu adalah pengganti yang tepat untuk ayahnya. Dalam benaknya, ayahnya akan bercengkrama tiap pagi bersama gelas itu, seperti kepadanya.
Singkat cerita, gadis itu telah menikah dan diboyong suaminya. Tinggallah ayah si gadis yang dirundung sepi. Sesekali, anak, menantu, dan cucu-cucunya datang bertandang. Tapi, kedatangan mereka bukanlah obat pelipur laranya, melainkan malah membuatnya kian merasa kesepian. Tersebab, setiap mereka pulang, lelaki itu akan disungkup sepi yang demikian merajam.
Setelah ia berpikir dengan cermat, lelaki itu memutuskan untuk membeli sebuah rumah di daerah perkampungan. Ia ingin meninggalkan bandar dagang Sriwijaya. Ia sadar, ia telah tua dan tak mungkin lagi berniaga. Harta dan semua yang ia punya, telah ia bagikan kepada putri-putrinya. Ia ingin menikmati kesendiriannya di kampung tenang, bersama penduduk yang ramah, dan tentu saja dengan segelas kopi yang pandai berkisah.
"ITULAH, kisah yang diceritakan gelas kopi ini," tutup si lelaki empu rumah pada dua tamunya yang menatap dengan takjub. Keduanya saling pandang. Benar-benar kisah yang menarik di hati mereka. Ketika matahari mulai merayap, kedua tamu itu pamit pulang dan berkata: "Kami akan mengisahkannya pada penduduk kampung lainnya."
Lelaki si empu rumah hanya tersenyum saja. Ia menjangkau gelas kopinya. Lalu, menyeruput isinya pelan. Gelas kopi berbisik pelan, "Apakah itu cerita tentang Tuan?"
Tanah Abang - C59, 06-09 September 2011
Lampung Post, Minggu, 23 Oktober 2011
SEJAK kedatangannya di kampung ini, lelaki itu selalu duduk di teras limasnya. Teras yang menghadap ke jalan raya dan tengah kampung. Bila ditanya oleh orang-orang yang lalu lalang ke rimba karet sedang apa dirinya? Lelaki itu selalu menjawab: "Aku sedang mendengarkan cerita dari segelas kopi."
Ahai, tentu saja jawaban lelaki itu membuat orang-orang dusun mengeryitkan kening pertanda pening. Apakah ada segelas kopi yang pandai bercerita? Mungkinkah serupa kajut-kajut, orang tua dari Emak-ebak mereka, yang bercerita setiap malam menjelang punai saat mereka akan terlelap di masa bocah? Tapi, semua itu tak dapat mereka masukan dalam akal.
Kabar tentang lelaki yang punya segelas kopi pandai bercerita itu merebak ke penjuru dusun. Mula-mula cerita itu berloncatan dari mulut-mulut perempuan kampung, kemudian jadi bumbu dapur, dimasak dalam gulai pindang, dihaluskan dalam ulekan sambal pedas, lalu dihidangkan di meja makan malam. Setelah itu, laki dan bujang-gadisnya akan memasang telinga sembari mendecak-decakkan lidah atas hidangan yang dikunyah lekas-lekas.
Dari sanalah kisah lelaki yang memiliki segelas kopi bercerita itu mengalir. Ada yang sangsi, ada pula yang menganggapnya benar-benar terjadi. Dan beberapa orang yang terpancing penasaran di hati, berganti-ganti, menjadi tamu lelaki itu di pagi hari.
Seperti pagi ini, ketika kabut masih menyungkup wuwungan limas, embun baru saja menyeruak seperti biji keringat di jidat, lelaki itu telah menerima dua tamunya.
Lelaki itu membawa tamunya menikmati pagi yang menggigil di teras limas. Tiga gelas kopi telah terserak di atas meja. Asap putih tipis masih mengepul-ngepul di atasnya. Dua pasang mata tamu lelaki itu tak lepas menatap gelas-gelas kopi yang ada.
Seolah tak melihat, mungkin saja ia berpura-pura, lelaki itu membiarkan saja kedua tamunya itu memandang lekat-lekat gelas kopi yang ada di depan mereka. Lamat, lelaki itu menjangkau gelas kopinya, menyeruput sedikit isinya. Terdengar decakan lidahnya yang beradu air kopi panas.
"Silakan, diminum," ujar lelaki itu begitu melihat kedua tamunya masih saja menatap ke arah gelas kopi masing-masing.
"Katanya, gelas kopimu pandai bercerita. Apa benar?" salah seorang tamu lelaki itu tak kuasa lagi menahan gumulan tanya yang tindih-menindih dalam batok kepalanya. Lelaki itu tercengir, ia meletakkan gelas kopinya kembali ke atas meja. Melihat cengiran lelaki di depan mereka, kedua tamu itu bertukar pandang. Apakah ada yang aneh? Mungkin itu yang ada dalam benak mereka.
"Kami mendengar desas-desusnya merebak di kampung. Dan kami ingin membuktikan sendiri kebenaran cerita yang beredar itu," sahut yang seorang lagi, "Tapi sejak tadi, kami tak mendengar kopi di depan kita ini berkisah," tambahnya. Seolah tak perduli dengan cengiran tuan rumah di depannya.
"Gelas kopiku ini memang pandai berkisah," sahut lelaki itu begitu tamunya usai berkata, serentak kedua tamu itu saling lempar pandang. Kemudian, melongok dengan muka penuh gurat bingung. Keduanya memasang mata yang begitu lekat pada gelas kopi di atas meja dan berganti ke raut muka tuan rumah.
"Aku tak mendengar apa-apa," desau tamu itu kepada kawannya yang duduk di sebelahnya. Lagi, kedua retina keduanya bertaut.
"Aku pun tidak," sahut kawannya, "Atau kita yang tak bisa mendengarnya?" seolah bertanya pada dirinya sendiri, kedua lelaki itu kembali melarikan mata pada gelas kopi sang tuan rumah.
"Apa kalian tak mendengar kisahnya sejak tadi?" si empu rumah melontarkan tanya itu. Serentak, kedua tamunya mengangguk. Dan gurat takjub dikelindapi bingung merekah seperti kuntum-kuntum bunga di kedua mukanya.
"Wah, sayang sekali kalau begitu. Padahal, gelas kopiku ini berkisah hal yang sangat menarik pagi ini," ujar lelaki si empu rumah sembari jemari tangannya memegang gagang gelas.
Kedua tamu itu benar-benar takjub dibuatnya. Apakah ini sebuah kebenaran? Mata mereka kian melotot melihatnya. Melihat gelas keramik dari tanah itu. Sejatinya, gelas serupa itu sering mereka jumpai dijual di hari pekan. Dibawa toke guci dari Palembang atau Prabumulih sana. Warnanya kuning gading, mengilat, dengan lukisan seperti ruas-ruas bambu pada dinding luar. Tingginya hanya sekilan tangan. Tak ada yang istimewa. Tapi, menjadi luar biasa ketika si empu mengatakan kalau gelas itu pandai berkisah. Tidakkah hal ini luar biasa didengar telinga?
"Apa yang gelas itu kisahkan?" seorang dari tamu itu melempar tanya. Kawannya mengangguk cepat sebagai tanda setuju dengan tanyanya. Si empu rumah kembali tercengir. Lalu, ia mengangkat gelas kopi itu, menyeruput sedikit isinya. Aroma kopi hangat yang menyeruak di kedua lubang hidungnya, memberi sensasi luar biasa.
"Apa kalian hendak mendengarnya?" lelaki itu malah balik bertanya. Gegas, kedua tamu itu mengiyakan dengan anggukan, "Baiklah, akan aku ceritakan," lelaki itu membetulkan letak duduknya yang tak salah. Pun dengan kedua tamunya yang ikut-ikutan lata, membetulkan letak duduk yang tak salah.
"Inilah kisah yang diutarakan gelas kopi ini padaku," buka lelaki itu pada kisahnya. Kedua tamunya duduk menyimak dengan penuh khidmat.
***
ADA seorang lelaki yang baru membeli sebuah limas di suatu kampung. Lelaki itu memutuskan untuk menetap di kampung yang asri dan hijau itu. Ia sudah lelah dengan hiruk pikuk kota. Ia hendak meninggalkan semua urusannya di sana. Semua hal telah ia serahkan pada anak dan menantunya. Ia ingin menghabiskan masa tuanya di kampung yang hijau, mengenang masa-masa muda bersama almarhumah istrinya, dan tentu saja ia ingin memiliki kisah lain pada hidupnya, selain yang telah ia miliki sebelumnya.
Semua yang lelaki itu impikan nyaris terwujud. Kampung yang asri, penduduk yang ramah, dan keheningan yang begitu senyap. Sayangnya, kesendirian kerap membuat lelaki itu merasa bosan. Setelah hiruk-pikuk kota yang menjejali hidupnya selama ini, tiba-tiba saja ia dikungkung sepi yang demikian mencekam. Tak ada kawan baginya melewati hari. Penduduk kebanyakan sibuk menghabiskan hari di kebun-kebun karet, barulah ketika petang menjelma mereka pulang. Dan ketika malam masih ingusan, kampung telah lelap oleh dengkuran lelah.
Di limas yang ia beli? Tak ada siapa-siapa, hanya seorang pembantu yang disertakan anaknya. Pembantu itu terlalu sibuk membenahi rumah, memasak, mencuci, dan tentu saja bergosip dengan gadis-gadis belia di sungai. Pastilah, mereka tengah membicarakan bujang anu atau anu yang berbadan bagus, bersenyum manis, bermata elang, bertangan besar, bahkan mungkin saja tentang isi celana.
Sampai suatu hari, lelaki itu menemukan gelas kopi antik, warisan si empu rumah terdahulu, yang juga seorang tua yang tinggal sendiri dan mati dalam kesendiriannya. Mulanya, lelaki tua yang baru menghuni rumah itu tak tahu kalau gelas itu pandai berkisah. Sampai di suatu pagi, saat ia duduk menghadap ke jalan raya di teras limasnya, gelas kopi itu memulai kisahnya yang pertama.
Inilah kisah gelas kopi itu.
Gelas kopi itu berkisah pada tuan barunya. Kalau (dulu) sebelum tuan barunya itu datang, penghuni limas itu adalah seorang lelaki renta yang tinggal sendiri. Padahal, anak lelaki itu sangatlah banyak. Namun, tak seorang pun yang tinggal bersamanya.
"Mengapa?" sang tuan baru bertanya pada gelas kopinya.
"Karena semua anak lelaki renta itu adalah perempuan, Tuan," gelas kopi menjawab demikian cepat. Berkeryitlah kening sang tuan baru. Ia tak paham akan maksud gelas kopi. Seperti mengerti, gelas kopi itu menjelaskan.
Dalam adat-budaya kampung ini, Tuan. Anak bujang adalah pewaris harta dan orang tua. Jadi, bilalah sang orang tua telah lanjut usia, tanggung-jawab merawat dan menghidupinya ada di pundak anak bujangnya. Semua warisan, pun dengan rumah limas, juga tanggung-jawab anak bujang. Anak-anak gadis akan menikah, lalu mengikuti langkah suaminya, menjaga harta dan warisan mertua. Tak bisa menjaga harta dan warisan orang tua.
Inilah nasib nahas orang tua renta itu, Tuan. Sepeninggal istrinya yang wafat setahun silam, lelaki renta itu tinggal sendiri di limasnya yang besar. Bukan tak berbelas anak-anak perempuannya. Tetapi, semua tak berkutik. Walapun mereka mendapat jatah sama dengan saudara-saudara mengenai harta warisan orang tua, tapi tetap tak ada yang bisa untuk tinggal bersama lelaki renta itu di limasnya. Sebab, apa kata orang sedusun raya bila mengetahui ihwal memalukan ini: Seorang lelaki, mengikuti istrinya melangkah. Alahai, itu mengerikan!
Sampai, pada suatu ketika lelaki renta itu menemukan gelas kopi yang pandai berkisah, Tuan. Dari gelas kopi itulah, si lelaki renta beroleh kawan dalam kesendirian. Mereka bertukar cerita tentang banyak hal, tentang kenangan, rindu, dan masa yang pernah mereka lewati masing-masing. Bahkan tentang pemilik gelas kopi itu sebelum ditemukan lelaki renta.
"Siapa pemilikmu sebelum aku, wahai gelas kopi?" tanya lelaki renta itu. Sang gelas kopi menceritakan pemiliknya sebelum lelaki renta itu. Inilah kisah gelas kopi itu pada si lelaki renta.
Dulu, di masa Sriwijaya, gelas kopi itu dibawa oleh seorang saudagar China. Setelah mengarungi lautan yang luas dan bermil daratan yang terbentang. Gelas kopi itu akhirnya menyudahi perjalanannya pada sebuah pasar di pelabuhan Sriwijaya. Seorang gadis cantik telah menukarnya dengan beberapa koin uang pada sang saudagar China.
"Aku hendak membelikan gelas ini untuk kopi ayahandaku," itulah ucapan gadis itu ketika seorang kawannya bertanya. Gadis itu tahu, ayahandanya seseorang yang menyukai kopi. Dan sebelum ia meninggalkan ayahandanya sendiri karena akan menikah dengan pujaan hatinya, ia ingin memberi ayahandanya itu pengganti dirinya. Dan ia memilih, gelas kopi itu adalah pengganti yang tepat untuk ayahnya. Dalam benaknya, ayahnya akan bercengkrama tiap pagi bersama gelas itu, seperti kepadanya.
Singkat cerita, gadis itu telah menikah dan diboyong suaminya. Tinggallah ayah si gadis yang dirundung sepi. Sesekali, anak, menantu, dan cucu-cucunya datang bertandang. Tapi, kedatangan mereka bukanlah obat pelipur laranya, melainkan malah membuatnya kian merasa kesepian. Tersebab, setiap mereka pulang, lelaki itu akan disungkup sepi yang demikian merajam.
Setelah ia berpikir dengan cermat, lelaki itu memutuskan untuk membeli sebuah rumah di daerah perkampungan. Ia ingin meninggalkan bandar dagang Sriwijaya. Ia sadar, ia telah tua dan tak mungkin lagi berniaga. Harta dan semua yang ia punya, telah ia bagikan kepada putri-putrinya. Ia ingin menikmati kesendiriannya di kampung tenang, bersama penduduk yang ramah, dan tentu saja dengan segelas kopi yang pandai berkisah.
***
"ITULAH, kisah yang diceritakan gelas kopi ini," tutup si lelaki empu rumah pada dua tamunya yang menatap dengan takjub. Keduanya saling pandang. Benar-benar kisah yang menarik di hati mereka. Ketika matahari mulai merayap, kedua tamu itu pamit pulang dan berkata: "Kami akan mengisahkannya pada penduduk kampung lainnya."
Lelaki si empu rumah hanya tersenyum saja. Ia menjangkau gelas kopinya. Lalu, menyeruput isinya pelan. Gelas kopi berbisik pelan, "Apakah itu cerita tentang Tuan?"
Tanah Abang - C59, 06-09 September 2011
Lampung Post, Minggu, 23 Oktober 2011
Sunday, October 16, 2011
Penembak Misterius di Seberang Front Kemelak
Cerpen M. Harya Ramdhoni
LANGIT di atas sana mulai semburatkan cahaya tipis kemerahan. Pagi telah tiba. Hujan lebat yang mengguyur Kemelak sejak semalam nyaris tak bersisa kecuali udara dingin yang kekal menyusup hingga ke sumsum. Jejak-jejak hujan nyaris tak terbaca. Dihapuskan banjir darah para pejuang republik pada pertempuran semalam. Tubuh-tubuh muda itu bergelimpangan bagai sekumpulan bangkai hewan di hari raya kurban. Dingin jasad-jasad membisu meninggalkan luka. Juga dendam sebuah republik berusia muda. Di segenap penjuru kota suara tembakan masih terdengar berkali-kali. Sisa-sisa tentara republik tak serta merta menyerah begitu saja pada keangkuhan moncong-moncong meriam tentara NICA 1) yang mendongak congkak.
Front Pertempuran Kemelak-Sepancar, Baturaja, 17 Agustus 1947
"Cepat atau lambat kita akan dibinasakan. Mereka terlalu kuat. Kita bukan lawan yang setanding buat mereka. Peperangan modern tak sekadar mengandalkan otot dan otak tetapi juga persenjataan canggih," suara perempuan terdengar pelan tapi dengan nada menggugat. Pemiliknya adalah gadis cantik berdarah indo. Tubuhnya yang tinggi ramping dengan kulit putih bersih dibalut seragam tentara republik berwarna cokelat muda. Dialah satu-satunya yang berbeda di antara lima ratus prajurit republik. Satu-satunya yang berdarah separuh Eropa. Perempuan pula.
"Hei Moeis, aku bicara padamu. Kita sedang menunggu dibinasakan, bukan?"
Lelaki muda bertubuh tinggi kurus dengan rambut sebahu tak langsung menyahuti tanya si gadis indo. Ia malah asyik menghembus-hembuskan asap rokoknya dengan tenang seolah tak ada sesuatu pun telah terjadi pada semalam.
"Entahlah, tapi yang pasti aku tak takut mati. Mengenai canggih atau kunonya peralatan tempur kita bukan urusanku. Bagiku menceburkan diri dalam kancah pertempuran ini, di sini, dengan berbagai ancaman tak terduga adalah risiko seorang patriot. Tugas suci anak kandung Revolusi Agustus!"
"Aku hanya tiba-tiba didera rindu pada Akan2) dan Ibuku di Batubrak. Takut tak sampai umurku bertemu beliau berdua," berkata Moeis dengan nada suara dipelankan, "Kau masih punya orang tua kan?"
Gadis indo berhidung mancung mengangguk dan tersenyum manis. Semanis tebu yang biasa dimamah Moeis dan Pun3)-nya, Maulana Balyan, ketika kecil dulu.
"Aku kagum padamu, Pauline. Kau khianati darah Belanda dalam tubuhmu demi membela utuhnya revolusi Agustus. Sejujurnya aku dan kawan-kawan kagum dan malu pada keberanianmu. Tabik untukmu sahabatku Pauline Gobee!"
Pauline Gobee teruja hebat dipuji seperti itu. Pipinya merah merona. Bola matanya yang berwarna biru bersinar cemerlang.
"Pauline...," sebuah suara terdengar dari arah barisan tenda darurat di belakang Front Kemelak.
"Ada apa, Jabur?" sahut Pauline.
"Komandan memanggilmu. Penting!"
"Baiklah. Aku segera ke sana, dan kau temani Moeis. Dia tengah kesepian merindu Akan dan ibunya yang jauh di Batubrak," canda Pauline sambil meninggalkan Moeis dengan tawa terkekeh-kekeh.
"Kenapa denganmu Moeis?" tanya Jabur.
"Seperti kau tak punya orang tua dan lahir dari batu!" jawab Moeis ketus.
***
"KITA dalam kesulitan, Pauline. Tidak hanya terdesak oleh balatentara NICA yang terus merangsek maju ke pedalaman Sumatera Selatan, tetapi juga munculnya penembak misterius yang beberapa hari belakangan ini menembak mati beberapa mata-mata kita dari kalangan masyarakat sipil. Kita terkepung dari berbagai arah."
Kolonel Ahmad Wahab menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam. Berkali-kali ia melakukannya. Seolah ingin ia tumpahkan segala beban yang menyesakkan dadanya. Di luar gerimis mulai bertandang lagi perlahan. Membasahi kembali tanah Kemelak. Mengguyur hingga bersih jejak amis darah sisa pertempuran semalam.
"Kau satu-satunya penembak jitu yang kita punya. Pergilah bersama Moeis dalam penyamaran. Tembak mati penembak gelap itu. Ditembak mati atau menembak mati!"
"Siap, Pak!"
Begitu jelas perintah Kolonel Ahmad Wahab baginya dan Pauline merasa tak ada gunanya bertanya apalagi berbantahan.
***
"DARI mana kita mulai perburuan terhadap penembak laknat itu?", tanya Moeis dengan nada suara tak sabar.
"Entahlah, aku juga bingung. Terlampau sedikit informasi yang kuterima dari Kolonel Wahab. Buruan kita ini berpindah-pindah dari ujung Kemelak hingga perbatasan menuju Sepancar."
"Sepertinya ia menguasai keadaan tempat ini..."
"Tampaknya begitu," Pauline menguatkan.
"Doorrrr, ratatatatatatatatatat..."
"Berlindung, Pauline!" teriak Moeis kala menyadari suara tembakan senapan mesin tak putus-putus menyambut mereka. Tembakan itu berasal dari sebuah gudang milik pedagang China yang tak terpakai.
"Di situ rupanya kau bersembunyi bedebah!" umpat Pauline sambil berguling-guling.
"Kita harus cari tempat persembunyian yang aman. Kau tak apa-apa Moeis?"
"Alhamdulilah, masih hidup," jawab Moeis dengan nafas terengah-engah.
Kemudian keduanya secara sembunyi-sembunyi dan memanfaatkan hari yang mulai gelap bergegas menuju bekas kantor Jawatan Kereta Api tak jauh dari situ.
"Dari sini kita bisa leluasa mengintai keberadaannya. Menunggu bedebah itu lengah sampai esok pagi pun aku siap."
"Tak sabar aku berlama-lama menanti buruan. Peluru-peluruku sudah tak tahan hendak menjebol kepala si bajingan tengik itu."
"Bersabarlah Pauline, masih ada hari esok. Dia pasti mati di tanganmu."
"Menurutmu Moeis, siapakah manusia celaka yang tadi mengarahkan moncong senapan mesinnya kepada kita?"
"Siapa lagi kalau bukan anjing-anjing NICA, baik anjing pribumi atau pun anjing totok!"
Pauline menangguk-angguk membenarkan ucapan Moeis. Percakapan mereka terputus. Sebuah kendaraan lapis baja milik musuh melintas di depan tempat persembunyian mereka. Tank itu pun berhenti. Jantung Pauline dan Moeis tak urung serasa berhenti berdetak pula. Dari dalam tank
muncul kepala seorang prajurit kavaleri. Ia julurkan lehernya, kemudian menengok ke kanan dan ke kiri. Tampaknya ia mencari sesuatu. Tak lama kemudian seorang lelaki muda berlari tergopoh-gopoh menghampiri tank itu. Lelaki itu bicara dengan si prajurit kavaleri. Ia menunjuk-nunjuk tempat persembunyian Pauline dan Moeis. Prajurit kavaleri pun menolehkan pandangannya ke arah bekas Kantor Jawatan Kereta Api.
"Keparat itu rupanya!" umpat Pauline sambil mengokang senapannya.
"Jangan! Tahan tembakanmu, Pauline. Bukan dia sasaran kita. Dia cuma mata-mata kelas teri."
"Walaupun begitu sudah sepantasnya dua kunyuk itu mesti mati!"
Hanya dalam jarak waktu enam detik dua tembakan telah dilayangkan Pauline. Tepat sasaran. Pertama-tama prajurit kavaleri langsung roboh dengan leher bolong tertembus peluru. Sesaat kemudian si mata-mata kelas teri menyusul terjerembab dengan pekik mengerikan. Ia menggelepar sesaat lalu diam menuju baka. Dahinya jebol ditembus peluru Pauline.
"Dahsyat! Jitu!" Moeis berseru-seru.
"Begitu seharusnya!" Pauline tak mau kalah.
"Ratataatatatatatatatatatattttt...."
Suara senapan mesin membahana dari seberang.
"Aaaaaarghhhhh...," Moeis terpekik. Senapannya terlempar ke luar gedung. Peluru penembak misterius mengenainya.
"Moeis!" Pauline berteriak panik.
Lelaki muda di sampingnya malah tersenyum aneh.
"Kau terluka Moeis?"
"Tak apa-apa. Hanya kaget. Kukira tanganku yang terluka. Ternyata senapan itu yang terkena tembakan."
"Ah, kukira..."
"Dia masih di sana. Bertahan menanti kita. Haruskah kita menunggu sampai malam ini berlalu?" keluh Pauline.
Ia rasakan penat mulai menjalari tubuhnya. Tiba-tiba ia perlu rehat. Merebahkan badan dan tertidur dengan lelap adalah sesuatu yang teramat mahal sejak beberapa bulan terakhir ini. Sejak agresi militer kolonial Belanda 4) menyerbu Indonesia dari delapan mata penjuru angin, segala hal yang berbau ketenangan dan kedamaian adalah kemewahan semata.
"Sepertinya kau bisa tidur lelap malam ini. Lihat itu!" berkata Moeis sambil menunjuk asap rokok berwarna putih meliuk-liuk dari bekas gudang di depan mereka. Asap itu terlihat jelas diterangi cahaya bulan terang benderang.
"Betapa malang dirimu, kawan," ucapan Pauline diikuti rentetan tembakan susul menyusul. Puluhan peluru dihamburkan Pauline selama beberapa menit. Sempat terdengar suara denting puluhan selongsong peluru berjatuhan. Lalu senyap membumbung di udara. Kemudian hujan turun gerimis lagi. Bagai tabik bagi keperwiraan Pauline.
"Hebat! Kau layak menyandang predikat penembak jitu yang dimiliki republik, bintang terang benderang di atas langit Kemelak dan Sepancar," Moeis bertepuk-tangan sebagai tanda kekaguman, "Kini giliranku yang merokok."
Pauline tertawa renyah menanggapi pujian sahabatnya itu.
"Ayo pulang. Tak sabar aku ingin laporkan kematian lelaki malang itu kepada Kolonel Wahab."
"Aku pun lapar, ingin makan sekenyangnya dan tidur pulas," Moeis menyahuti.
Keduanya tertawa terbahak-bahak. Pertanda gembira yang tak terpermanai.
Lalu keduanya pulang menuju markas sambil melewati bekas gudang milik pedagang China. Sinar rembulan yang bersaingan dengan rerintik hujan lamat-lamat menyinari sesosok tubuh telungkup berpakaian tentara NICA. Penembak misterius yang dihujani tembakan Pauline.
"Aku ingin melihatnya...," Tiba-tiba Pauline dihinggapi rasa ingin tahu. Ia berbalik arah menerobos hujan gerimis menuju bekas gudang itu. Ia lalui mayat prajurit kavaleri musuh yang masih tergeletak di tempatnya. Juga mayat lelaki muda mata-mata NICA tak bergeser sedikit pun. Keduanya terbiar begitu saja menunggu disantap sekawanan anjing liar yang biasa mendatangi tempat itu sembari membaung menjelang tengah malam.
"Untuk apa bersusah payah menjenguk bangkai anjing kompeni?" cegah Moeis. Tetapi langkah Pauline tak terbantahkan. Ia sungguh penasaran.
"Siapakah dia yang begitu cekatan dan tepat dalam menembak sasaran? Pasti dia penembak unggulan yang dimiliki NICA," batin Pauline pada diri sendiri. Moeis pun tergopoh-gopoh dengan sabar menyertai langkah sahabatnya itu.
Tak sabar Pauline ingin melihat bagaimana bentuk rupa dari jasad telungkup berpakaian tentara NICA itu. Pribumikah? Belanda totok-kah? Atau Indo-Belanda seperti
dirinya? Ah! Ia tepikan andai-andai itu dan terus bergegas setengah berlari menuju tempat di mana mayat penembak misterius berada.
"Betapa hebat dirimu! Nyaris celakakan Moeis di tengah suramnya malam. Tanpa penerangan apa pun kecuali cahaya bulan yang kadangkala benderang, kadangkala remang-remang," puji Pauline tak putus-putus terhadap musuh yang telah dibunuhnya itu.
Didapatinya mayat itu berada dalam posisi telungkup memeluk erat senapan mesinnya. Genangan darah bagai banjir yang nyaris menenggelamkan tubuhnya. Kala ditelentangkannya tubuh itu ia dapati wajah lelaki tampan berhidung dan berbola mata bagus seperti dirinya. Lelaki Indo berkulit putih yang sejenis dengannya. Manusia remaja yang memiliki darah separuh Eropa dan separuh Indonesia sebagaimana dirinya. Demi melihat itu semua tubuhnya berguncang hebat. Dadanya sesak dan sebak. Seketika jerit tangisnya membahana membelah sunyinya langit malam garis depan Front Pertempuran Kemelak-Sepancar. Lolongannya terdengar menghiba dan menyayat hati. Sementara Moeis yang berada di sampingnya kebingungan tak tahu penyebab segala histeria perempuan itu.
Lelaki indo yang dibunuh Pauline Gobee adalah kekasihnya sendiri.
Hentian Kajang-Malaysia, 10 Agustus 2011
Pukul 03.15 waktu Malaysia
Mengenang kakek Mendiang Tamong Dalom Hi. Abdoel Moeis gelar Suttan Pangeran Sekala Brak (1930-2003)
-----------
1) Netherland Indies Civil Administration (pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. NICA tiba di Indonesia dengan membonceng tentara sekutu untuk kembali memulai proyek kolonisasi terhadap bekas wilayah Hindia Belanda dan menolak mengakui proklamasi 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan Soekarno-Hatta di Jakarta.
2) Sebutan untuk Ayah dalam masyarakat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
3) Kakak laki-laki tertua dalam adat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
4) Agresi Militer Belanda I adalah Operasi Militer Belanda di Sumatera dan Jawa yang dilakukan dari tanggal 21 Juli sampai dengan tanggal 5 Agustus 1947.
Lampung Post, 16 Oktober 2011
LANGIT di atas sana mulai semburatkan cahaya tipis kemerahan. Pagi telah tiba. Hujan lebat yang mengguyur Kemelak sejak semalam nyaris tak bersisa kecuali udara dingin yang kekal menyusup hingga ke sumsum. Jejak-jejak hujan nyaris tak terbaca. Dihapuskan banjir darah para pejuang republik pada pertempuran semalam. Tubuh-tubuh muda itu bergelimpangan bagai sekumpulan bangkai hewan di hari raya kurban. Dingin jasad-jasad membisu meninggalkan luka. Juga dendam sebuah republik berusia muda. Di segenap penjuru kota suara tembakan masih terdengar berkali-kali. Sisa-sisa tentara republik tak serta merta menyerah begitu saja pada keangkuhan moncong-moncong meriam tentara NICA 1) yang mendongak congkak.
Front Pertempuran Kemelak-Sepancar, Baturaja, 17 Agustus 1947
"Cepat atau lambat kita akan dibinasakan. Mereka terlalu kuat. Kita bukan lawan yang setanding buat mereka. Peperangan modern tak sekadar mengandalkan otot dan otak tetapi juga persenjataan canggih," suara perempuan terdengar pelan tapi dengan nada menggugat. Pemiliknya adalah gadis cantik berdarah indo. Tubuhnya yang tinggi ramping dengan kulit putih bersih dibalut seragam tentara republik berwarna cokelat muda. Dialah satu-satunya yang berbeda di antara lima ratus prajurit republik. Satu-satunya yang berdarah separuh Eropa. Perempuan pula.
"Hei Moeis, aku bicara padamu. Kita sedang menunggu dibinasakan, bukan?"
Lelaki muda bertubuh tinggi kurus dengan rambut sebahu tak langsung menyahuti tanya si gadis indo. Ia malah asyik menghembus-hembuskan asap rokoknya dengan tenang seolah tak ada sesuatu pun telah terjadi pada semalam.
"Entahlah, tapi yang pasti aku tak takut mati. Mengenai canggih atau kunonya peralatan tempur kita bukan urusanku. Bagiku menceburkan diri dalam kancah pertempuran ini, di sini, dengan berbagai ancaman tak terduga adalah risiko seorang patriot. Tugas suci anak kandung Revolusi Agustus!"
"Aku hanya tiba-tiba didera rindu pada Akan2) dan Ibuku di Batubrak. Takut tak sampai umurku bertemu beliau berdua," berkata Moeis dengan nada suara dipelankan, "Kau masih punya orang tua kan?"
Gadis indo berhidung mancung mengangguk dan tersenyum manis. Semanis tebu yang biasa dimamah Moeis dan Pun3)-nya, Maulana Balyan, ketika kecil dulu.
"Aku kagum padamu, Pauline. Kau khianati darah Belanda dalam tubuhmu demi membela utuhnya revolusi Agustus. Sejujurnya aku dan kawan-kawan kagum dan malu pada keberanianmu. Tabik untukmu sahabatku Pauline Gobee!"
Pauline Gobee teruja hebat dipuji seperti itu. Pipinya merah merona. Bola matanya yang berwarna biru bersinar cemerlang.
"Pauline...," sebuah suara terdengar dari arah barisan tenda darurat di belakang Front Kemelak.
"Ada apa, Jabur?" sahut Pauline.
"Komandan memanggilmu. Penting!"
"Baiklah. Aku segera ke sana, dan kau temani Moeis. Dia tengah kesepian merindu Akan dan ibunya yang jauh di Batubrak," canda Pauline sambil meninggalkan Moeis dengan tawa terkekeh-kekeh.
"Kenapa denganmu Moeis?" tanya Jabur.
"Seperti kau tak punya orang tua dan lahir dari batu!" jawab Moeis ketus.
***
"KITA dalam kesulitan, Pauline. Tidak hanya terdesak oleh balatentara NICA yang terus merangsek maju ke pedalaman Sumatera Selatan, tetapi juga munculnya penembak misterius yang beberapa hari belakangan ini menembak mati beberapa mata-mata kita dari kalangan masyarakat sipil. Kita terkepung dari berbagai arah."
Kolonel Ahmad Wahab menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam. Berkali-kali ia melakukannya. Seolah ingin ia tumpahkan segala beban yang menyesakkan dadanya. Di luar gerimis mulai bertandang lagi perlahan. Membasahi kembali tanah Kemelak. Mengguyur hingga bersih jejak amis darah sisa pertempuran semalam.
"Kau satu-satunya penembak jitu yang kita punya. Pergilah bersama Moeis dalam penyamaran. Tembak mati penembak gelap itu. Ditembak mati atau menembak mati!"
"Siap, Pak!"
Begitu jelas perintah Kolonel Ahmad Wahab baginya dan Pauline merasa tak ada gunanya bertanya apalagi berbantahan.
***
"DARI mana kita mulai perburuan terhadap penembak laknat itu?", tanya Moeis dengan nada suara tak sabar.
"Entahlah, aku juga bingung. Terlampau sedikit informasi yang kuterima dari Kolonel Wahab. Buruan kita ini berpindah-pindah dari ujung Kemelak hingga perbatasan menuju Sepancar."
"Sepertinya ia menguasai keadaan tempat ini..."
"Tampaknya begitu," Pauline menguatkan.
"Doorrrr, ratatatatatatatatatat..."
"Berlindung, Pauline!" teriak Moeis kala menyadari suara tembakan senapan mesin tak putus-putus menyambut mereka. Tembakan itu berasal dari sebuah gudang milik pedagang China yang tak terpakai.
"Di situ rupanya kau bersembunyi bedebah!" umpat Pauline sambil berguling-guling.
"Kita harus cari tempat persembunyian yang aman. Kau tak apa-apa Moeis?"
"Alhamdulilah, masih hidup," jawab Moeis dengan nafas terengah-engah.
Kemudian keduanya secara sembunyi-sembunyi dan memanfaatkan hari yang mulai gelap bergegas menuju bekas kantor Jawatan Kereta Api tak jauh dari situ.
"Dari sini kita bisa leluasa mengintai keberadaannya. Menunggu bedebah itu lengah sampai esok pagi pun aku siap."
"Tak sabar aku berlama-lama menanti buruan. Peluru-peluruku sudah tak tahan hendak menjebol kepala si bajingan tengik itu."
"Bersabarlah Pauline, masih ada hari esok. Dia pasti mati di tanganmu."
"Menurutmu Moeis, siapakah manusia celaka yang tadi mengarahkan moncong senapan mesinnya kepada kita?"
"Siapa lagi kalau bukan anjing-anjing NICA, baik anjing pribumi atau pun anjing totok!"
Pauline menangguk-angguk membenarkan ucapan Moeis. Percakapan mereka terputus. Sebuah kendaraan lapis baja milik musuh melintas di depan tempat persembunyian mereka. Tank itu pun berhenti. Jantung Pauline dan Moeis tak urung serasa berhenti berdetak pula. Dari dalam tank
muncul kepala seorang prajurit kavaleri. Ia julurkan lehernya, kemudian menengok ke kanan dan ke kiri. Tampaknya ia mencari sesuatu. Tak lama kemudian seorang lelaki muda berlari tergopoh-gopoh menghampiri tank itu. Lelaki itu bicara dengan si prajurit kavaleri. Ia menunjuk-nunjuk tempat persembunyian Pauline dan Moeis. Prajurit kavaleri pun menolehkan pandangannya ke arah bekas Kantor Jawatan Kereta Api.
"Keparat itu rupanya!" umpat Pauline sambil mengokang senapannya.
"Jangan! Tahan tembakanmu, Pauline. Bukan dia sasaran kita. Dia cuma mata-mata kelas teri."
"Walaupun begitu sudah sepantasnya dua kunyuk itu mesti mati!"
Hanya dalam jarak waktu enam detik dua tembakan telah dilayangkan Pauline. Tepat sasaran. Pertama-tama prajurit kavaleri langsung roboh dengan leher bolong tertembus peluru. Sesaat kemudian si mata-mata kelas teri menyusul terjerembab dengan pekik mengerikan. Ia menggelepar sesaat lalu diam menuju baka. Dahinya jebol ditembus peluru Pauline.
"Dahsyat! Jitu!" Moeis berseru-seru.
"Begitu seharusnya!" Pauline tak mau kalah.
"Ratataatatatatatatatatatattttt...."
Suara senapan mesin membahana dari seberang.
"Aaaaaarghhhhh...," Moeis terpekik. Senapannya terlempar ke luar gedung. Peluru penembak misterius mengenainya.
"Moeis!" Pauline berteriak panik.
Lelaki muda di sampingnya malah tersenyum aneh.
"Kau terluka Moeis?"
"Tak apa-apa. Hanya kaget. Kukira tanganku yang terluka. Ternyata senapan itu yang terkena tembakan."
"Ah, kukira..."
"Dia masih di sana. Bertahan menanti kita. Haruskah kita menunggu sampai malam ini berlalu?" keluh Pauline.
Ia rasakan penat mulai menjalari tubuhnya. Tiba-tiba ia perlu rehat. Merebahkan badan dan tertidur dengan lelap adalah sesuatu yang teramat mahal sejak beberapa bulan terakhir ini. Sejak agresi militer kolonial Belanda 4) menyerbu Indonesia dari delapan mata penjuru angin, segala hal yang berbau ketenangan dan kedamaian adalah kemewahan semata.
"Sepertinya kau bisa tidur lelap malam ini. Lihat itu!" berkata Moeis sambil menunjuk asap rokok berwarna putih meliuk-liuk dari bekas gudang di depan mereka. Asap itu terlihat jelas diterangi cahaya bulan terang benderang.
"Betapa malang dirimu, kawan," ucapan Pauline diikuti rentetan tembakan susul menyusul. Puluhan peluru dihamburkan Pauline selama beberapa menit. Sempat terdengar suara denting puluhan selongsong peluru berjatuhan. Lalu senyap membumbung di udara. Kemudian hujan turun gerimis lagi. Bagai tabik bagi keperwiraan Pauline.
"Hebat! Kau layak menyandang predikat penembak jitu yang dimiliki republik, bintang terang benderang di atas langit Kemelak dan Sepancar," Moeis bertepuk-tangan sebagai tanda kekaguman, "Kini giliranku yang merokok."
Pauline tertawa renyah menanggapi pujian sahabatnya itu.
"Ayo pulang. Tak sabar aku ingin laporkan kematian lelaki malang itu kepada Kolonel Wahab."
"Aku pun lapar, ingin makan sekenyangnya dan tidur pulas," Moeis menyahuti.
Keduanya tertawa terbahak-bahak. Pertanda gembira yang tak terpermanai.
Lalu keduanya pulang menuju markas sambil melewati bekas gudang milik pedagang China. Sinar rembulan yang bersaingan dengan rerintik hujan lamat-lamat menyinari sesosok tubuh telungkup berpakaian tentara NICA. Penembak misterius yang dihujani tembakan Pauline.
"Aku ingin melihatnya...," Tiba-tiba Pauline dihinggapi rasa ingin tahu. Ia berbalik arah menerobos hujan gerimis menuju bekas gudang itu. Ia lalui mayat prajurit kavaleri musuh yang masih tergeletak di tempatnya. Juga mayat lelaki muda mata-mata NICA tak bergeser sedikit pun. Keduanya terbiar begitu saja menunggu disantap sekawanan anjing liar yang biasa mendatangi tempat itu sembari membaung menjelang tengah malam.
"Untuk apa bersusah payah menjenguk bangkai anjing kompeni?" cegah Moeis. Tetapi langkah Pauline tak terbantahkan. Ia sungguh penasaran.
"Siapakah dia yang begitu cekatan dan tepat dalam menembak sasaran? Pasti dia penembak unggulan yang dimiliki NICA," batin Pauline pada diri sendiri. Moeis pun tergopoh-gopoh dengan sabar menyertai langkah sahabatnya itu.
Tak sabar Pauline ingin melihat bagaimana bentuk rupa dari jasad telungkup berpakaian tentara NICA itu. Pribumikah? Belanda totok-kah? Atau Indo-Belanda seperti
dirinya? Ah! Ia tepikan andai-andai itu dan terus bergegas setengah berlari menuju tempat di mana mayat penembak misterius berada.
"Betapa hebat dirimu! Nyaris celakakan Moeis di tengah suramnya malam. Tanpa penerangan apa pun kecuali cahaya bulan yang kadangkala benderang, kadangkala remang-remang," puji Pauline tak putus-putus terhadap musuh yang telah dibunuhnya itu.
Didapatinya mayat itu berada dalam posisi telungkup memeluk erat senapan mesinnya. Genangan darah bagai banjir yang nyaris menenggelamkan tubuhnya. Kala ditelentangkannya tubuh itu ia dapati wajah lelaki tampan berhidung dan berbola mata bagus seperti dirinya. Lelaki Indo berkulit putih yang sejenis dengannya. Manusia remaja yang memiliki darah separuh Eropa dan separuh Indonesia sebagaimana dirinya. Demi melihat itu semua tubuhnya berguncang hebat. Dadanya sesak dan sebak. Seketika jerit tangisnya membahana membelah sunyinya langit malam garis depan Front Pertempuran Kemelak-Sepancar. Lolongannya terdengar menghiba dan menyayat hati. Sementara Moeis yang berada di sampingnya kebingungan tak tahu penyebab segala histeria perempuan itu.
Lelaki indo yang dibunuh Pauline Gobee adalah kekasihnya sendiri.
Hentian Kajang-Malaysia, 10 Agustus 2011
Pukul 03.15 waktu Malaysia
Mengenang kakek Mendiang Tamong Dalom Hi. Abdoel Moeis gelar Suttan Pangeran Sekala Brak (1930-2003)
-----------
1) Netherland Indies Civil Administration (pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. NICA tiba di Indonesia dengan membonceng tentara sekutu untuk kembali memulai proyek kolonisasi terhadap bekas wilayah Hindia Belanda dan menolak mengakui proklamasi 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan Soekarno-Hatta di Jakarta.
2) Sebutan untuk Ayah dalam masyarakat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
3) Kakak laki-laki tertua dalam adat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
4) Agresi Militer Belanda I adalah Operasi Militer Belanda di Sumatera dan Jawa yang dilakukan dari tanggal 21 Juli sampai dengan tanggal 5 Agustus 1947.
Lampung Post, 16 Oktober 2011
Sunday, October 9, 2011
Cerita Lama dari Kami
Cerpen Budi Saputra
LENGANG, dan tak banyak yang dapat kami perbuat di sini. Sebuah rumah tua dengan arsitektur dan ornamen lama. Lukisan hitam putih para petani, dan patung harimau Sumatera yang setia menemani lenguh birahi kami di kamar pengap miskin cahaya. Di luar itu, hanyalah hamparan kesepian dan barisan makhluk hijau yang menatap kami setiap harinya. Bahwa selalu ada yang kami rasa datang menyusup di kala malam merayap. Dari kedalaman hutan rumbia yang lebat, selain kabar seorang gadis belia yang pernah diperkosa dan dibakar, juga bunyi-bunyi aneh yang kerap kami dengar dan merangkak menuju rumah kami di tengah malamnya.
Ya, selama bertahun-tahun memang seperti itulah. Sebuah masa yang berlari dari nyala lilin, dari sinar petromaks yang hanya menyala di kala malam. Usia yang terkungkung, terisolasi dari lalu lalang kemanusiaan. Anjing betina dan jantan yang kerap kami saksikan kawin pun, hanyalah percakapan konyol kami pada benda-benda yang tak bisa memberikan sesuatu yang menguntungkan selain untuk berjaga-jaga. Kalau pun ada tetangga yang bertandang ke rumah kami di malam harinya, itu pun hanya sesekali. Bercakap tentang rencana nonton organ tunggal atau doa selamatan di rumah tetangga lain yang jaraknya lumayan jauh dari sini.
Dan mengenai keadaan ekonomi kami. Apalah yang bisa kami perbuat saat itu. Hanya ladang ubi dan jagung yang bisa kami gantungkan untuk menyambung hidup. Pasar kecamatan yang juga jauh kami tempuh untuk menjual hasil ladang saat musim panen tiba.
***
Mana lagi cerita orang lama yang belum kami dengar. Tak ada. Semuanya akan kami ceritakan bila ada yang minta diceritakan. Tentang bigau, hantu suluh, hantu karung, palasik tudung, orang bunian, hingga tentang dewa yang kawin dan hidup dengan tukang bendi selagi ada paku menancap di kepalanya. Di zaman Belanda dulu, konon ada seorang tukang bendi yang menaikkan seorang perempuan di tengah malam. Ia tahu bahwa perempuan itu adalah dewa yang menjelma. Maka, ditanamkanlah paku di kepalanya. Mereka kawin dan akhirnya punya anak.
Di suatu hari, ketika si anak mencari kutu di kepala ibunya, maka terkejutlah si anak.
"Apa ini, Bu?" Si anak bertanya pada ibunya saat meraba kepala paku di ujung telunjuknya.
Namun, belum sempat ibunya menjawab, secara tiba-tiba si anak mencabut paku itu di kepala ibunya. Sungguh aneh, dalam detik itu jua si ibu menghilang. Menghilang dan kembali ke alamnya yang entah berantah. Sebuah peristiwa yang membuat si tukang bendi hanya bisa menyesali kehilangan perempuan cantik yang semerbak harum itu.
Hahaha.... zaman ketumbarlah namanya (bahasa lain dari istilah jadul). Saat itu memang masih lengang. Belum seperti yang sekarang, rumah-rumah penduduk yang kian bertumbuhan dan segalanya telah digerakkan dengan listrik. Lihatlah pohon kapuk ini, berapakah usianya? Cukup tua sekali. Tak jarang, dulu anak-anak didikan subuh selalu lewat bergerombol jika melawati pohon ini. Mereka tak berani sendirian. Jika pun ada yang berani, maka larilah pontang-panting sambil mengucap doa-doa pengusir setan.
Memang, soal perkara cerita lama, kami sudah kenyang dibuatnya. Siapa pula yang tak kenal dengan Sibuih pemaling besar saat itu. Pemaling yang sering menyantroni rumah dan menguras harta penduduk. Ia kebal peluru, walaupun ditembak dari dekat oleh polisi. Konon, kabarnya ia punya ilmu hitam. Ada sesuatu benda keramat yang ditanam di betisnya dan dihuni hantu balau.
***
Begitulah hidup kami, melalui perubahan demi perubahan. Dari memelihara anjing, kemudian berkembang memelihara ayam dan kambing. Dari zaman lampu petromaks, kemudian kami mendapat suntikan listrik untuk menerangi kamar buram kami. Ya, semuanya perlahan berubah. Satu demi satu orang telah mulai membangun rumah dan bersawah. Jalan menuju pasar kecamatan pun telah bisa memanjakan roda kendaraan dengan aspalnya yang hitam legam dan mulus. Sungguh, kemajuan zaman yang membuat segala aktivitas menjadi mudah. Mana ada dulu mobil mewah seperti saat ini? Mana ada mesin bajak yang menggantikan peran si kerbau kubang? Hingga akhirnya, hanyalah perubahan itu yang kami cecap dan kami saksikan saat ini.
***
Anjing. Ya, anjing. Hewan peliharaan yang satu ini memang setia menemani kami selama bertahun-tahun. Kami beranak pinak, mereka juga beranak pinak hingga kami pun lupa jumlah generasinya. Anjing yang semenjak perbaikan jalan atau semenjak daerah ini mulai membangun, tingkahnya, dan salaknya yang bergetar hanya membuat kami terkadang malu oleh orang yang melintas di depan rumah kami. Kadang kami sempatkan jua minta maaf jika kebetulan tengah berada di halaman.
Walaupun di sini rumah tidak rapat-rapat, tetap saja anjing kami seolah paling berkuasa menguasai daerah ini. Pernah kejadian yang membuat kami geram saat itu. Anjing kami mati. Mati karena dikasih tuba oleh orang yang tentunya tak senang dengan keberadaan anjing kami. Hmmm.. Kasus pertama. Kasus yang membuat kami mulai sensitif terhadap orang-orang baru. Hanya karena sering disalak dan digertak saat melintas di depan rumah kami, mereka dengan entengnya membunuh anjing kesayangan kami.
Jelas, jelas kami merasa sedikit dikucilkan. Semakin banyak pertumbuhan rumah di sini, semakin membuat kami berpikir-pikir untuk berhenti memelihara anjing. Pernah kami dengar dari Haji Kapeh, jika memelihara anjing, malaikat tak akan masuk ke rumah. Rahmat jauh dan rezki dari Tuhan pun jauh.
Maka dari nasihat Haji Kapeh dan atas desakan anak tertua kami-lah, akhirnya semenjak tiga tahun yang lalu kami telah berhenti memelihara anjing. Hanya janin-janin manusia yang terus berlahiran di sini. Lalu lalang anak-anak sekolah di pagi dan petangnya dari petak-petak mewah yang mengilap sekitar empat ratus meter menuju rumah kami.
***
Semenjak bekas ladang tebu itu kian subur ditumbuhi perumahan warga, maka semenjak itulah keganjilan-keganjilan sering menghampiri kami. Apakah ini bentuk kesumat atau barangkali disebabkan rumah kami agak terpencil letaknya (tetangga terdekat berjarak sekitar 30 meter dari rumah kami). Dengan kondisi di sini temaram pada malam harinya, dikelilingi sawah warga, pun pohon kapuk yang bertubuh besar ini, rasanya tak akan cocok untuk tempat keberlangsungan anak kucing, maupun anak anjing. Bukan. Bukan kami menghendaki kehadiran anjing yang banyak berkeliaran di sekitaran rumah kami, anak dan induk kucing, atau bahkan janin aborsi yang pernah kami temukan di suatu pagi. Tapi begitulah yang kami alami di sini. Halaman rumah kami jadi sasaran tempat pembuangan. Membuang yang dianggap aib, yang dianggap merusak pandangan mata.
Kami memang sering kecolongan. Kami tak tahu siapa yang membuang makhluk-makhluk itu (kebanyakan anak kucing dan anak anjing). Mungkin pelakunya beraksi di tengah malam saat kami tengah terlelap tidur. Yang jelas, kami begitu kesal. Kesal dengan si pembuang dan hewan buangan yang kerap masuk ke dalam rumah kami.
Tapi pernah suatu malam kami menyaksikan dua orang lelaki tengah membuang anak kucing dari dalam karung. Di halaman rumah kami ini, mereka mengendap-ngendap di bawah pohon kapuk. Merasa tak ada orang yang tengah memperhatikan mereka.
Sengaja. Ya, sengaja kami tak menghardiknya. Kami biarkan mereka berlalu dengan motor menuju perumahan mewah. Sialan! Barangkali dari sanalah para pembuang beraksi di malam hari.
"Mungkin karena di sini lengang, jadi mereka tak takut kelihatan oleh orang," begitulah keluhan kami pada tetangga terdekat tukang sate, Opeang.
Jika mereka bisa membuang, maka kami pun bisa membuang. Buang apa saja yang buruk-buruk pada mereka. Seperti dalam sebuah gurauan kami dengan Opeang.
"Untuk membalas mereka, bagaimana kalau kita sate saja daging anjing dan kucing yang mereka buang itu. Kemudian kita jual pada mereka. Biar mereka rasain enaknya!"
Dan sejurus kemudian, kami pun tertawa terbahak-bahak bersama.
Lampung Post, Minggu, 9 Oktober 2011
LENGANG, dan tak banyak yang dapat kami perbuat di sini. Sebuah rumah tua dengan arsitektur dan ornamen lama. Lukisan hitam putih para petani, dan patung harimau Sumatera yang setia menemani lenguh birahi kami di kamar pengap miskin cahaya. Di luar itu, hanyalah hamparan kesepian dan barisan makhluk hijau yang menatap kami setiap harinya. Bahwa selalu ada yang kami rasa datang menyusup di kala malam merayap. Dari kedalaman hutan rumbia yang lebat, selain kabar seorang gadis belia yang pernah diperkosa dan dibakar, juga bunyi-bunyi aneh yang kerap kami dengar dan merangkak menuju rumah kami di tengah malamnya.
Ya, selama bertahun-tahun memang seperti itulah. Sebuah masa yang berlari dari nyala lilin, dari sinar petromaks yang hanya menyala di kala malam. Usia yang terkungkung, terisolasi dari lalu lalang kemanusiaan. Anjing betina dan jantan yang kerap kami saksikan kawin pun, hanyalah percakapan konyol kami pada benda-benda yang tak bisa memberikan sesuatu yang menguntungkan selain untuk berjaga-jaga. Kalau pun ada tetangga yang bertandang ke rumah kami di malam harinya, itu pun hanya sesekali. Bercakap tentang rencana nonton organ tunggal atau doa selamatan di rumah tetangga lain yang jaraknya lumayan jauh dari sini.
Dan mengenai keadaan ekonomi kami. Apalah yang bisa kami perbuat saat itu. Hanya ladang ubi dan jagung yang bisa kami gantungkan untuk menyambung hidup. Pasar kecamatan yang juga jauh kami tempuh untuk menjual hasil ladang saat musim panen tiba.
***
Mana lagi cerita orang lama yang belum kami dengar. Tak ada. Semuanya akan kami ceritakan bila ada yang minta diceritakan. Tentang bigau, hantu suluh, hantu karung, palasik tudung, orang bunian, hingga tentang dewa yang kawin dan hidup dengan tukang bendi selagi ada paku menancap di kepalanya. Di zaman Belanda dulu, konon ada seorang tukang bendi yang menaikkan seorang perempuan di tengah malam. Ia tahu bahwa perempuan itu adalah dewa yang menjelma. Maka, ditanamkanlah paku di kepalanya. Mereka kawin dan akhirnya punya anak.
Di suatu hari, ketika si anak mencari kutu di kepala ibunya, maka terkejutlah si anak.
"Apa ini, Bu?" Si anak bertanya pada ibunya saat meraba kepala paku di ujung telunjuknya.
Namun, belum sempat ibunya menjawab, secara tiba-tiba si anak mencabut paku itu di kepala ibunya. Sungguh aneh, dalam detik itu jua si ibu menghilang. Menghilang dan kembali ke alamnya yang entah berantah. Sebuah peristiwa yang membuat si tukang bendi hanya bisa menyesali kehilangan perempuan cantik yang semerbak harum itu.
Hahaha.... zaman ketumbarlah namanya (bahasa lain dari istilah jadul). Saat itu memang masih lengang. Belum seperti yang sekarang, rumah-rumah penduduk yang kian bertumbuhan dan segalanya telah digerakkan dengan listrik. Lihatlah pohon kapuk ini, berapakah usianya? Cukup tua sekali. Tak jarang, dulu anak-anak didikan subuh selalu lewat bergerombol jika melawati pohon ini. Mereka tak berani sendirian. Jika pun ada yang berani, maka larilah pontang-panting sambil mengucap doa-doa pengusir setan.
Memang, soal perkara cerita lama, kami sudah kenyang dibuatnya. Siapa pula yang tak kenal dengan Sibuih pemaling besar saat itu. Pemaling yang sering menyantroni rumah dan menguras harta penduduk. Ia kebal peluru, walaupun ditembak dari dekat oleh polisi. Konon, kabarnya ia punya ilmu hitam. Ada sesuatu benda keramat yang ditanam di betisnya dan dihuni hantu balau.
***
Begitulah hidup kami, melalui perubahan demi perubahan. Dari memelihara anjing, kemudian berkembang memelihara ayam dan kambing. Dari zaman lampu petromaks, kemudian kami mendapat suntikan listrik untuk menerangi kamar buram kami. Ya, semuanya perlahan berubah. Satu demi satu orang telah mulai membangun rumah dan bersawah. Jalan menuju pasar kecamatan pun telah bisa memanjakan roda kendaraan dengan aspalnya yang hitam legam dan mulus. Sungguh, kemajuan zaman yang membuat segala aktivitas menjadi mudah. Mana ada dulu mobil mewah seperti saat ini? Mana ada mesin bajak yang menggantikan peran si kerbau kubang? Hingga akhirnya, hanyalah perubahan itu yang kami cecap dan kami saksikan saat ini.
***
Anjing. Ya, anjing. Hewan peliharaan yang satu ini memang setia menemani kami selama bertahun-tahun. Kami beranak pinak, mereka juga beranak pinak hingga kami pun lupa jumlah generasinya. Anjing yang semenjak perbaikan jalan atau semenjak daerah ini mulai membangun, tingkahnya, dan salaknya yang bergetar hanya membuat kami terkadang malu oleh orang yang melintas di depan rumah kami. Kadang kami sempatkan jua minta maaf jika kebetulan tengah berada di halaman.
Walaupun di sini rumah tidak rapat-rapat, tetap saja anjing kami seolah paling berkuasa menguasai daerah ini. Pernah kejadian yang membuat kami geram saat itu. Anjing kami mati. Mati karena dikasih tuba oleh orang yang tentunya tak senang dengan keberadaan anjing kami. Hmmm.. Kasus pertama. Kasus yang membuat kami mulai sensitif terhadap orang-orang baru. Hanya karena sering disalak dan digertak saat melintas di depan rumah kami, mereka dengan entengnya membunuh anjing kesayangan kami.
Jelas, jelas kami merasa sedikit dikucilkan. Semakin banyak pertumbuhan rumah di sini, semakin membuat kami berpikir-pikir untuk berhenti memelihara anjing. Pernah kami dengar dari Haji Kapeh, jika memelihara anjing, malaikat tak akan masuk ke rumah. Rahmat jauh dan rezki dari Tuhan pun jauh.
Maka dari nasihat Haji Kapeh dan atas desakan anak tertua kami-lah, akhirnya semenjak tiga tahun yang lalu kami telah berhenti memelihara anjing. Hanya janin-janin manusia yang terus berlahiran di sini. Lalu lalang anak-anak sekolah di pagi dan petangnya dari petak-petak mewah yang mengilap sekitar empat ratus meter menuju rumah kami.
***
Semenjak bekas ladang tebu itu kian subur ditumbuhi perumahan warga, maka semenjak itulah keganjilan-keganjilan sering menghampiri kami. Apakah ini bentuk kesumat atau barangkali disebabkan rumah kami agak terpencil letaknya (tetangga terdekat berjarak sekitar 30 meter dari rumah kami). Dengan kondisi di sini temaram pada malam harinya, dikelilingi sawah warga, pun pohon kapuk yang bertubuh besar ini, rasanya tak akan cocok untuk tempat keberlangsungan anak kucing, maupun anak anjing. Bukan. Bukan kami menghendaki kehadiran anjing yang banyak berkeliaran di sekitaran rumah kami, anak dan induk kucing, atau bahkan janin aborsi yang pernah kami temukan di suatu pagi. Tapi begitulah yang kami alami di sini. Halaman rumah kami jadi sasaran tempat pembuangan. Membuang yang dianggap aib, yang dianggap merusak pandangan mata.
Kami memang sering kecolongan. Kami tak tahu siapa yang membuang makhluk-makhluk itu (kebanyakan anak kucing dan anak anjing). Mungkin pelakunya beraksi di tengah malam saat kami tengah terlelap tidur. Yang jelas, kami begitu kesal. Kesal dengan si pembuang dan hewan buangan yang kerap masuk ke dalam rumah kami.
Tapi pernah suatu malam kami menyaksikan dua orang lelaki tengah membuang anak kucing dari dalam karung. Di halaman rumah kami ini, mereka mengendap-ngendap di bawah pohon kapuk. Merasa tak ada orang yang tengah memperhatikan mereka.
Sengaja. Ya, sengaja kami tak menghardiknya. Kami biarkan mereka berlalu dengan motor menuju perumahan mewah. Sialan! Barangkali dari sanalah para pembuang beraksi di malam hari.
"Mungkin karena di sini lengang, jadi mereka tak takut kelihatan oleh orang," begitulah keluhan kami pada tetangga terdekat tukang sate, Opeang.
Jika mereka bisa membuang, maka kami pun bisa membuang. Buang apa saja yang buruk-buruk pada mereka. Seperti dalam sebuah gurauan kami dengan Opeang.
"Untuk membalas mereka, bagaimana kalau kita sate saja daging anjing dan kucing yang mereka buang itu. Kemudian kita jual pada mereka. Biar mereka rasain enaknya!"
Dan sejurus kemudian, kami pun tertawa terbahak-bahak bersama.
Lampung Post, Minggu, 9 Oktober 2011
Sunday, October 2, 2011
Cermin
Cerpen Dahlia Rasyad
TERTEGUN di depan krematorium anjing dan membaca selebaran lotre yang melekat di samping etalase, seorang gadis mencoba mengingat urutan digit angka di selebaran itu sambil merogoh saku. Secarik kupon undian bertuliskan "One way ticket to the Nova" terselip lusuh. Ia mendapati sederet angka yang persis dengan angka di selebaran itu. Ia mulai meraba namanya, mencoba memperpendek jarak dan mempersempit waktu, menemukan seorang artis yang selama ini ia cari-cari. Seorang artis yang menjadi idolanya selama ini, yang tak lain tak bukan adalah musuh terbesarnya sendiri.
Ia sendiri belum mengenal sang artis yang terasa cukup tematik untuk sebuah karnaval megah di bumi yang serbacanggih dan meriah ini. Ia tidak mengerti apa yang diharapkannya dari kontestasi periodik yang banyak dipandang orang-orang sebuah masa agung yang tak ternilai. Baginya, itu hanyalah kesedihan yang tak pernah terbebaskan sekaligus tak terhindarkan. Tapi ia tidak ingin menyia-nyiakan tiketnya, bukan untuk menjadi, tapi merasa jadi. Ingin semuanya selesai, secepatnya.
Ia masuki krematorium itu dan menemui seorang karyawan yang bertugas memandikan anjing, menanyakan perihal kupon itu, meminta untuk dicek dan diproses sebagaimana mestinya. Lalu lelaki itu memberinya stempel cap dan segaris paraf. Ia lalu menerima sebuah kartu ucapan selamat setelah lebih dulu ucapan terima kasih. Pengenalan dari tematik yang terkontestasi itu adalah kesempatannya bertemu sang idola dalam tajuk Chitchat & Dinner with The Nova. Sejenak lelaki itu menatapnya sebagai torso orang-orang tak terduga. Durasi tatapan yang sangat berarti dari seorang manusia di peradaban ini.
GADIS itu pun berkemas. Dengan beberapa aksesori terbuat dari flat emas dan sebuah tas clutch dari kombinasi soft leather dan brown suede berbentuk saku kemeja di tangan kiri, ia tiba tepat di depan pintu sang artis. Entah mengapa tiba-tiba saja ia cemas luar biasa, membuat dirinya semakin tak teridentifikasi. Sebenarnya ia ingin segera mengakhiri, tapi sang artis sudah telanjur berada di hadapannya, mencekalnya untuk beberapa saat.
Tak terbayangkan olehnya. Sehari sebelumnya ia berada di depan rumah krematorium hewan dan sekarang seperti ada dalam akuarium non-CFC yang tersublimasi di bawah titik beku, menciptakan hexagonal-hexagonal es. Ruangan itu tiba-tiba seperti kerangga kulkas yang membekukan bola-bola air menjadi bongkah-bongkah salju sebelum sempat pecah ke lantai dan menjalar dingin ke seluruh ruangan. Jauh dari balik jendela yang bening, guntur menggaduh, membuat retak-retak awan kumulonimbus nyaris seperti cerabut akar yang membelah umbi. Menembus bumi.
"Masuklah. Tak perlu sungkan," katanya sambil menggurat alis dan bulu mata di sepetak kaca antik. Sekelebat cahaya resolusi spektra cecar ke ruangan dan menjadikan gempa. Nova tersenyum. Gadis itu tertegun.
Senyum itu, yang untuk pertama kalinya hanya dipantulkan secara spekular dari sebuah ornamen bening dua dimensi dengan daya serap tinggi. Wajah yang untuk pertama kalinya tercitra dari bayang-bayang polaroid semu namun tanpa rintangan.
Selain cermin dan jarum dalam jam analog polyalloy di pergelangan tangan Nova, tidak ada yang bisa dimaknainya dengan keabadian.
"Tidak usah bersusah payah menerka semua yang ada di sini, Sayang. Kaulah yang harus dideskripsikan," katanya masih membelakangi si tamu dari muka cermin.
"Aku?"
"Iya kamu, karena akulah yang menemukanmu melalui tiket itu. Bukan kau."
Wajah sang artis berkilauan seperti pancaran kristal yang terpantul kilat elektrik, menciptakan magnetik memukau. Tidak ada citra yang berhasil melukiskan dirinya. Ia lalu beranjak dan berpaling dari cerminnya 360 derajat. Mereka pun saling berhadap. Gadis itu semakin tertegun melihat paras Nova, aksesorinya, gerak, cara bicara, dan mimik muka, semuanya sama. Hanya ada satu yang lain, yang membuat mereka berbeda satu sama lain. Wajah sang artis itu tampak tirus dan pucat. Lingkar matanya hitam, dalam seperti lubang sumur yang mati. Tak ada binar-binar kehidupan sama sekali. Nova menyentuh tangan fans-nya. "Ada apa?"
Gadis itu terkejut. Semburat dingin dari jemari mungil sang artis seketika membuatnya merinding. Tak kalah dingin dari ruangan itu.
"Aku sudah terbiasa. Bahkan aku tahu betul apa yang membuat ruangan ini begitu dingin," katanya.
Hangat tubuh gadis yang menjadi fansnya itu sama sekali tak mampu melunturkan hawa dingin di ruangan itu.
"Kau belum sedingin aku. Karena itulah kita bertemu."
Gadis itu bingung mengapa ia selalu saja ingin bertemu dengan sang artis, mencari-cari keberadaannya, mengidolakannya seolah Nova tak mau lekang dari ingatan dan jiwanya. Seolah menyatu, menjadi diri yang terbelah, yang tersembunyi jauh. Idola yang tak pernah ia duga bakal ia kagumi. Wajah sang artis Nova terasa begitu akrab di matanya tapi diri Nova sendiri seakan asing baginya. Tak ada hasrat untuk mencintai artis itu tapi pula tak bisa ia lepaskan begitu saja kedekatan dirinya. Dari mana artis ini, siapa dia, apa maunya, dan mengapa ia selalu membuat gadis itu kagum? Selalu membuat gadis itu mencari-cari di mana keberadaannya selama ini, selalu menempatkannya dalam pencarian yang tak kunjung usai. Sebuah pertemuan seperti yang diinginkan keduanya, sebuah pertemuan yang akan mengakhiri segalanya.
"Aku tak pernah mati, Sayang. Tak bisa mati," kata Nova dengan gelengan kepala yang lamban tapi mengancam.
"Setelah sekian lama aku mendekam dalam dirimu dan merapat pada kehidupanmu, akhirnya kita bisa bertemu. Akulah Nova yang sebenarnya dan kau cuma fans," lanjutnya.
"Di mana kau selama ini?"
"Masih di sekelilingmu. Tersembunyi di suatu tempat yang sangat dalam dan gelap," jawabnya dengan sungging senyum.
"Apa yang akan kau lakukan padaku setelah semua ini? Kau telah merampas hidup dan tawa ceriaku."
"Aku menawarkan Kebenaran yang akan membuatmu hidup berabad-abad, tahu!" mata dinginnya mencorong tajam.
"Dan kau pikir itu cahaya?"
Nova mendelik. Diam sejenak.
"Kau tahu, kau adalah jiwa yang digariskan untuk setan. Kau diri yang sesat. Kau menawarkanku Kebenaran yang hanya sesaat, yang kau anggap sebagai yang terkuat," lanjut gadis itu lugas.
"Justru aku yang telah memberimu kebahagiaan, memberitahumu bahwa dunia itu adalah kesedihan. Orang-orang yang tertawa dan menjalani hari-harinya dengan ceria cuma satir yang menggelikan! Tapi kau tidak, Sayang. Kau kokoh dan abadi. Kau kesayanganku."
Gadis itu tertegun, mencoba mengerti perkataan sang artis. Seketika ia tahu.
"Kau mengagungkan akal dengan menyingkirkan perasaan. Kau cuma artis redup yang kalah," katanya lemah dalam sisa-sisa keberanian yang tinggal sejengkal.
"Aku tidak kalah!"
"Kau kalah artisku. Kau telah kecewa pada dunia di mana berhembus angin dan kau cuma debu, di mana ada waktu dan kau akan musnah. Kau benci ketidakabadian. Dan itulah kekalahan sesungguhnya."
"Jangan menceramahiku! Kalau kau lebih kuat dariku kenapa kau hanya bisa terbaring lemah di kasur rumah sakit itu berbulan-bulan dengan infus melilit dan otak yang semakin hari semakin membusuk?! Andai saja kau bisa mendengar lirih tangis sanak keluargamu dan melihat teman-teman membawakan karangan bunga untukmu. Heh, bukankah kehilangan semangat tapi tidak kritis juga suatu kelemahan? Kelemahan yang sangat bobrok dan tolol."
Gadis itu terdiam, semakin lama semakin lemah. Musti dengan apa lagi ia mengalahkan perempuan getir dan keras hati di hadapannya itu. Apakah dengan membayangkan perhiasan mahal, rumah megah, mobil mewah, laki-laki tampan yang penuh cinta, anak-anak yang cerdas dan bersahaja? Apakah dengan membayangkan punya perusahaan di seluruh dunia dan membeli sebuah pulau peristirahatan yang maha indah? Apakah dengan membayangkan betapa nikmatnya menyantap masakan laut setiap hari? Apakah dengan membayangkan bagaimana terbang tanpa parasut dan mengitari belahan dunia kapan saja? Andaikan semua itu sudah terwujud lalu apa setelahnya, apa lagi, bagaimana lagi.
Tapi kemengertiannya tentang orang-orang dan dunia lebih dalam dari hanya sebuah berandai-andai. Lebih mudah paham daripada menunggu suatu khayalan cepat sampai. Pengertian yang sama sekali tak bisa ia tepis mengapa semakin merajai dirinya. Dan dunia ini sendiri seakan mengesahkan kebenarannya hingga akhirnya ia terkulai lemas tak berdaya. Ia tak mau makan jika hanya untuk kembali lapar, tak mau dilahirkan jika hanya untuk menunggu kematian. Tak mau melakukan apa-apa jika hasilnya bukan apa-apa, tak mau bernapas jika hanya membuat semuanya semakin panjang dan tak selesai.
"Aku hanya perlu menerima apa yang sudah digariskan dan menikmatinya. Baik aku maupun kau sama-sama kalah dan tak bisa apa-apa. Tapi bedanya, kau tidak mampu menjadikan kekalahan itu sesuatu yang nikmat dan berharga."
"Heh, apa karena telingamu sudah bisa mendengar tangisan ibumu sampai kau bisa berkata seperti itu? Kau plin-plan dan labil. Kau tidak sejati sepertiku."
"Biarkan aku kembali bersama keluargaku. Dan tenang saja, aku tidak akan menyingkirkanmu terlalu jauh dari diriku. Kau akan berguna pada saat-saat tertentu."
"Apa maksudmu? Itu tetap saja membuatku mati. Aku tidak mau!" dengus sang artis memalingkan muka. Merasa diperalat.
Gadis itu menghela napas berat. Ia bingung harus melakukan apa selain membicarakan keindahan. Keindahan satu-satunya cara untuk kembali pada sanak keluarga dan orang-orang yang dikasihi. Hanya keindahan yang mungkin bisa menyelamatkannya dari ketidakbergairahan hidup dan ketiadaan harapan. Cuma dengan membicarakan keindahan dan menikmati jerat godanya sajalah ia bisa terlepas dari segala kemurungan. Keindahan yang meski mungkin adalah kutukan, tetapi juga adalah berkah. Dan hanya kutukan yang busuk itulah yang bisa menyelamatkan dirinya dari angkara murka sang artis.
Apa boleh buat, ia mulai membayangkan bagaimana manisnya memberi kasih sayang dan perhatian pada orang-orang yang sakit dan miskin di dunia ini. Ia mulai membayangkan bagaimana pilunya hati seorang ibu yang berjuang mati-matian melahirkan anaknya ke dunia. Ia membayangkan seorang kekasih yang mengharapkan cintanya. Ia jadi ingin punya cinta dan berkasih mesra dengan penuh ketulusan dengan orang-orang. Ingin melihat tawa anak-anak polos dan manja yang melukiskan pensyukuran atas keberadaan diri yang sia-sia di penjara kelam ini, di kehidupan kosong tak berujung ini. Tawa anak-anak yang meski terasa pilu tapi begitu haru. Tawa yang merupakan pertanda jiwa besar dari seorang yang lemah dan kalah seorang makhluk ciptaan. Dan untuk memuaskan keinginan itu hanyalah dengan hidup dan berjuang.
"Cuih! Kau pikir dengan membayangkan kenikmatan dunia, aku akan musnah? Kau salah! Justru karena itu aku bersemangat untuk hidup dan berjuang mengalahkan semangatmu yang tolol itu," dengus Nova.
"Kiamat itu terjadi setiap hari. Maka hidup atau pun mati sama saja, tak ada awal dan tak ada akhirnya. Tapi hati nurani tak pernah ada kiamatnya. Ia kekal. Dan sejauh ini aku baru mengerti bahwa mengidolakanmu sama saja dengan membunuh hati nuraniku."
Sang artis sontak terkejut, menyorot tajam fans lemah di hadapannya.
"Aku adalah maut bagi gadis yang tak punya rasa kasih sayang sepertimu! Maut bagi gadis yang amarahnya mudah meletup-letup. Bukankah kau masih sulit memaafkan orang lain?" ketusnya dengan pandangan tajam.
Tak lama, Nova artis itu mulai komat-kamit membaca mantra seakan mencoba menyihir dan menghipnosis sang fans sampai daya pikirnya tadi hilang dalam sekejap, berganti pikiran-pikiran dingin yang sarat dan begitu dalam. Pikiran yang akan sangat sulit untuk ditolak dan disingkirkan.
Gadis itu perlahan mundur. Rasa takut membuat mentalnya ciut. Ia terlalu lemah untuk mengusir artis itu jauh-jauh. Terlalu lemah untuk membuat dirinya keluar dari ruangan itu hidup-hidup. Mantra yang diucapkan Nova menjeratnya penuh dalam ketidakberdayaan pikiran. Pikiran sebagaimana mantra yang diucapkan Nova, pelan-pelan membuat gadis itu menjadi dingin dan mengerikan.
Gadis itu pun tak kuasa lagi. Ia tak bisa lagi mempertahankan pikirannya. Ia tak sanggup lagi berdiri tegap melawan sang artis. Ia pun keluar dari ruangan itu tanpa daya. Ia keluar menuju sebuah kamar di mana tubuhnya terbaring lemah dengan botol-botol infus dan mesin pengatur kestabilan jantung yang mewah. Sejenak terdengar sayup-sayup orang memanggil-manggil namanya, tak henti menghibanya untuk kembali. Samar-samar ia lihat wajah sang ibu yang mendekapnya erat, meletakan wajah di dadanya dengan leleran air mata. Sesaat kemudian terdengar mesin pendeteksi denyut nadi berbunyi datar. Tangis pun pecah di sela jerit pilu ibu yang memanggil anaknya. "Nova!!!"
Yogyakarta, 2011
Lampung Post, Minggu, 2 Oktober 2011
TERTEGUN di depan krematorium anjing dan membaca selebaran lotre yang melekat di samping etalase, seorang gadis mencoba mengingat urutan digit angka di selebaran itu sambil merogoh saku. Secarik kupon undian bertuliskan "One way ticket to the Nova" terselip lusuh. Ia mendapati sederet angka yang persis dengan angka di selebaran itu. Ia mulai meraba namanya, mencoba memperpendek jarak dan mempersempit waktu, menemukan seorang artis yang selama ini ia cari-cari. Seorang artis yang menjadi idolanya selama ini, yang tak lain tak bukan adalah musuh terbesarnya sendiri.
Ia sendiri belum mengenal sang artis yang terasa cukup tematik untuk sebuah karnaval megah di bumi yang serbacanggih dan meriah ini. Ia tidak mengerti apa yang diharapkannya dari kontestasi periodik yang banyak dipandang orang-orang sebuah masa agung yang tak ternilai. Baginya, itu hanyalah kesedihan yang tak pernah terbebaskan sekaligus tak terhindarkan. Tapi ia tidak ingin menyia-nyiakan tiketnya, bukan untuk menjadi, tapi merasa jadi. Ingin semuanya selesai, secepatnya.
Ia masuki krematorium itu dan menemui seorang karyawan yang bertugas memandikan anjing, menanyakan perihal kupon itu, meminta untuk dicek dan diproses sebagaimana mestinya. Lalu lelaki itu memberinya stempel cap dan segaris paraf. Ia lalu menerima sebuah kartu ucapan selamat setelah lebih dulu ucapan terima kasih. Pengenalan dari tematik yang terkontestasi itu adalah kesempatannya bertemu sang idola dalam tajuk Chitchat & Dinner with The Nova. Sejenak lelaki itu menatapnya sebagai torso orang-orang tak terduga. Durasi tatapan yang sangat berarti dari seorang manusia di peradaban ini.
***
GADIS itu pun berkemas. Dengan beberapa aksesori terbuat dari flat emas dan sebuah tas clutch dari kombinasi soft leather dan brown suede berbentuk saku kemeja di tangan kiri, ia tiba tepat di depan pintu sang artis. Entah mengapa tiba-tiba saja ia cemas luar biasa, membuat dirinya semakin tak teridentifikasi. Sebenarnya ia ingin segera mengakhiri, tapi sang artis sudah telanjur berada di hadapannya, mencekalnya untuk beberapa saat.
Tak terbayangkan olehnya. Sehari sebelumnya ia berada di depan rumah krematorium hewan dan sekarang seperti ada dalam akuarium non-CFC yang tersublimasi di bawah titik beku, menciptakan hexagonal-hexagonal es. Ruangan itu tiba-tiba seperti kerangga kulkas yang membekukan bola-bola air menjadi bongkah-bongkah salju sebelum sempat pecah ke lantai dan menjalar dingin ke seluruh ruangan. Jauh dari balik jendela yang bening, guntur menggaduh, membuat retak-retak awan kumulonimbus nyaris seperti cerabut akar yang membelah umbi. Menembus bumi.
"Masuklah. Tak perlu sungkan," katanya sambil menggurat alis dan bulu mata di sepetak kaca antik. Sekelebat cahaya resolusi spektra cecar ke ruangan dan menjadikan gempa. Nova tersenyum. Gadis itu tertegun.
Senyum itu, yang untuk pertama kalinya hanya dipantulkan secara spekular dari sebuah ornamen bening dua dimensi dengan daya serap tinggi. Wajah yang untuk pertama kalinya tercitra dari bayang-bayang polaroid semu namun tanpa rintangan.
Selain cermin dan jarum dalam jam analog polyalloy di pergelangan tangan Nova, tidak ada yang bisa dimaknainya dengan keabadian.
"Tidak usah bersusah payah menerka semua yang ada di sini, Sayang. Kaulah yang harus dideskripsikan," katanya masih membelakangi si tamu dari muka cermin.
"Aku?"
"Iya kamu, karena akulah yang menemukanmu melalui tiket itu. Bukan kau."
Wajah sang artis berkilauan seperti pancaran kristal yang terpantul kilat elektrik, menciptakan magnetik memukau. Tidak ada citra yang berhasil melukiskan dirinya. Ia lalu beranjak dan berpaling dari cerminnya 360 derajat. Mereka pun saling berhadap. Gadis itu semakin tertegun melihat paras Nova, aksesorinya, gerak, cara bicara, dan mimik muka, semuanya sama. Hanya ada satu yang lain, yang membuat mereka berbeda satu sama lain. Wajah sang artis itu tampak tirus dan pucat. Lingkar matanya hitam, dalam seperti lubang sumur yang mati. Tak ada binar-binar kehidupan sama sekali. Nova menyentuh tangan fans-nya. "Ada apa?"
Gadis itu terkejut. Semburat dingin dari jemari mungil sang artis seketika membuatnya merinding. Tak kalah dingin dari ruangan itu.
"Aku sudah terbiasa. Bahkan aku tahu betul apa yang membuat ruangan ini begitu dingin," katanya.
Hangat tubuh gadis yang menjadi fansnya itu sama sekali tak mampu melunturkan hawa dingin di ruangan itu.
"Kau belum sedingin aku. Karena itulah kita bertemu."
Gadis itu bingung mengapa ia selalu saja ingin bertemu dengan sang artis, mencari-cari keberadaannya, mengidolakannya seolah Nova tak mau lekang dari ingatan dan jiwanya. Seolah menyatu, menjadi diri yang terbelah, yang tersembunyi jauh. Idola yang tak pernah ia duga bakal ia kagumi. Wajah sang artis Nova terasa begitu akrab di matanya tapi diri Nova sendiri seakan asing baginya. Tak ada hasrat untuk mencintai artis itu tapi pula tak bisa ia lepaskan begitu saja kedekatan dirinya. Dari mana artis ini, siapa dia, apa maunya, dan mengapa ia selalu membuat gadis itu kagum? Selalu membuat gadis itu mencari-cari di mana keberadaannya selama ini, selalu menempatkannya dalam pencarian yang tak kunjung usai. Sebuah pertemuan seperti yang diinginkan keduanya, sebuah pertemuan yang akan mengakhiri segalanya.
"Aku tak pernah mati, Sayang. Tak bisa mati," kata Nova dengan gelengan kepala yang lamban tapi mengancam.
"Setelah sekian lama aku mendekam dalam dirimu dan merapat pada kehidupanmu, akhirnya kita bisa bertemu. Akulah Nova yang sebenarnya dan kau cuma fans," lanjutnya.
"Di mana kau selama ini?"
"Masih di sekelilingmu. Tersembunyi di suatu tempat yang sangat dalam dan gelap," jawabnya dengan sungging senyum.
"Apa yang akan kau lakukan padaku setelah semua ini? Kau telah merampas hidup dan tawa ceriaku."
"Aku menawarkan Kebenaran yang akan membuatmu hidup berabad-abad, tahu!" mata dinginnya mencorong tajam.
"Dan kau pikir itu cahaya?"
Nova mendelik. Diam sejenak.
"Kau tahu, kau adalah jiwa yang digariskan untuk setan. Kau diri yang sesat. Kau menawarkanku Kebenaran yang hanya sesaat, yang kau anggap sebagai yang terkuat," lanjut gadis itu lugas.
"Justru aku yang telah memberimu kebahagiaan, memberitahumu bahwa dunia itu adalah kesedihan. Orang-orang yang tertawa dan menjalani hari-harinya dengan ceria cuma satir yang menggelikan! Tapi kau tidak, Sayang. Kau kokoh dan abadi. Kau kesayanganku."
Gadis itu tertegun, mencoba mengerti perkataan sang artis. Seketika ia tahu.
"Kau mengagungkan akal dengan menyingkirkan perasaan. Kau cuma artis redup yang kalah," katanya lemah dalam sisa-sisa keberanian yang tinggal sejengkal.
"Aku tidak kalah!"
"Kau kalah artisku. Kau telah kecewa pada dunia di mana berhembus angin dan kau cuma debu, di mana ada waktu dan kau akan musnah. Kau benci ketidakabadian. Dan itulah kekalahan sesungguhnya."
"Jangan menceramahiku! Kalau kau lebih kuat dariku kenapa kau hanya bisa terbaring lemah di kasur rumah sakit itu berbulan-bulan dengan infus melilit dan otak yang semakin hari semakin membusuk?! Andai saja kau bisa mendengar lirih tangis sanak keluargamu dan melihat teman-teman membawakan karangan bunga untukmu. Heh, bukankah kehilangan semangat tapi tidak kritis juga suatu kelemahan? Kelemahan yang sangat bobrok dan tolol."
Gadis itu terdiam, semakin lama semakin lemah. Musti dengan apa lagi ia mengalahkan perempuan getir dan keras hati di hadapannya itu. Apakah dengan membayangkan perhiasan mahal, rumah megah, mobil mewah, laki-laki tampan yang penuh cinta, anak-anak yang cerdas dan bersahaja? Apakah dengan membayangkan punya perusahaan di seluruh dunia dan membeli sebuah pulau peristirahatan yang maha indah? Apakah dengan membayangkan betapa nikmatnya menyantap masakan laut setiap hari? Apakah dengan membayangkan bagaimana terbang tanpa parasut dan mengitari belahan dunia kapan saja? Andaikan semua itu sudah terwujud lalu apa setelahnya, apa lagi, bagaimana lagi.
Tapi kemengertiannya tentang orang-orang dan dunia lebih dalam dari hanya sebuah berandai-andai. Lebih mudah paham daripada menunggu suatu khayalan cepat sampai. Pengertian yang sama sekali tak bisa ia tepis mengapa semakin merajai dirinya. Dan dunia ini sendiri seakan mengesahkan kebenarannya hingga akhirnya ia terkulai lemas tak berdaya. Ia tak mau makan jika hanya untuk kembali lapar, tak mau dilahirkan jika hanya untuk menunggu kematian. Tak mau melakukan apa-apa jika hasilnya bukan apa-apa, tak mau bernapas jika hanya membuat semuanya semakin panjang dan tak selesai.
"Aku hanya perlu menerima apa yang sudah digariskan dan menikmatinya. Baik aku maupun kau sama-sama kalah dan tak bisa apa-apa. Tapi bedanya, kau tidak mampu menjadikan kekalahan itu sesuatu yang nikmat dan berharga."
"Heh, apa karena telingamu sudah bisa mendengar tangisan ibumu sampai kau bisa berkata seperti itu? Kau plin-plan dan labil. Kau tidak sejati sepertiku."
"Biarkan aku kembali bersama keluargaku. Dan tenang saja, aku tidak akan menyingkirkanmu terlalu jauh dari diriku. Kau akan berguna pada saat-saat tertentu."
"Apa maksudmu? Itu tetap saja membuatku mati. Aku tidak mau!" dengus sang artis memalingkan muka. Merasa diperalat.
Gadis itu menghela napas berat. Ia bingung harus melakukan apa selain membicarakan keindahan. Keindahan satu-satunya cara untuk kembali pada sanak keluarga dan orang-orang yang dikasihi. Hanya keindahan yang mungkin bisa menyelamatkannya dari ketidakbergairahan hidup dan ketiadaan harapan. Cuma dengan membicarakan keindahan dan menikmati jerat godanya sajalah ia bisa terlepas dari segala kemurungan. Keindahan yang meski mungkin adalah kutukan, tetapi juga adalah berkah. Dan hanya kutukan yang busuk itulah yang bisa menyelamatkan dirinya dari angkara murka sang artis.
Apa boleh buat, ia mulai membayangkan bagaimana manisnya memberi kasih sayang dan perhatian pada orang-orang yang sakit dan miskin di dunia ini. Ia mulai membayangkan bagaimana pilunya hati seorang ibu yang berjuang mati-matian melahirkan anaknya ke dunia. Ia membayangkan seorang kekasih yang mengharapkan cintanya. Ia jadi ingin punya cinta dan berkasih mesra dengan penuh ketulusan dengan orang-orang. Ingin melihat tawa anak-anak polos dan manja yang melukiskan pensyukuran atas keberadaan diri yang sia-sia di penjara kelam ini, di kehidupan kosong tak berujung ini. Tawa anak-anak yang meski terasa pilu tapi begitu haru. Tawa yang merupakan pertanda jiwa besar dari seorang yang lemah dan kalah seorang makhluk ciptaan. Dan untuk memuaskan keinginan itu hanyalah dengan hidup dan berjuang.
"Cuih! Kau pikir dengan membayangkan kenikmatan dunia, aku akan musnah? Kau salah! Justru karena itu aku bersemangat untuk hidup dan berjuang mengalahkan semangatmu yang tolol itu," dengus Nova.
"Kiamat itu terjadi setiap hari. Maka hidup atau pun mati sama saja, tak ada awal dan tak ada akhirnya. Tapi hati nurani tak pernah ada kiamatnya. Ia kekal. Dan sejauh ini aku baru mengerti bahwa mengidolakanmu sama saja dengan membunuh hati nuraniku."
Sang artis sontak terkejut, menyorot tajam fans lemah di hadapannya.
"Aku adalah maut bagi gadis yang tak punya rasa kasih sayang sepertimu! Maut bagi gadis yang amarahnya mudah meletup-letup. Bukankah kau masih sulit memaafkan orang lain?" ketusnya dengan pandangan tajam.
Tak lama, Nova artis itu mulai komat-kamit membaca mantra seakan mencoba menyihir dan menghipnosis sang fans sampai daya pikirnya tadi hilang dalam sekejap, berganti pikiran-pikiran dingin yang sarat dan begitu dalam. Pikiran yang akan sangat sulit untuk ditolak dan disingkirkan.
Gadis itu perlahan mundur. Rasa takut membuat mentalnya ciut. Ia terlalu lemah untuk mengusir artis itu jauh-jauh. Terlalu lemah untuk membuat dirinya keluar dari ruangan itu hidup-hidup. Mantra yang diucapkan Nova menjeratnya penuh dalam ketidakberdayaan pikiran. Pikiran sebagaimana mantra yang diucapkan Nova, pelan-pelan membuat gadis itu menjadi dingin dan mengerikan.
Gadis itu pun tak kuasa lagi. Ia tak bisa lagi mempertahankan pikirannya. Ia tak sanggup lagi berdiri tegap melawan sang artis. Ia pun keluar dari ruangan itu tanpa daya. Ia keluar menuju sebuah kamar di mana tubuhnya terbaring lemah dengan botol-botol infus dan mesin pengatur kestabilan jantung yang mewah. Sejenak terdengar sayup-sayup orang memanggil-manggil namanya, tak henti menghibanya untuk kembali. Samar-samar ia lihat wajah sang ibu yang mendekapnya erat, meletakan wajah di dadanya dengan leleran air mata. Sesaat kemudian terdengar mesin pendeteksi denyut nadi berbunyi datar. Tangis pun pecah di sela jerit pilu ibu yang memanggil anaknya. "Nova!!!"
Yogyakarta, 2011
Lampung Post, Minggu, 2 Oktober 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)