Sunday, February 22, 2015

Pembunuh Kerinduan

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka


BONGKOT menghadap ke arah timur. Ia berdiri dengan kaki lunglai dan tubuh gemetar. Tangannya yang terjulur ke bawah memegang golok berlumuran darah. Ia baru saja membunuh kerinduannya yang terakhir.

Ia berharap setelah peristiwa ini, ia tidak lagi memiliki kerinduan kepada siapa pun dan kepada apa pun. Ya! Kerinduan yang membuat setiap orang menjadi cengeng. Kerinduan yang kerap menggedor-gedor petala hati secara melankolis. Kerinduan yang sering kali melukiskan bayang-bayang kecemburuan. Bahkan terkadang membuat jaringan pikiran mampet untuk mengalirkan akal sehat. Sehingga lahirlah cerita-cerita sadisme tentang orang-orang yang bunuh diri atau membunuh pasangannya sendiri.

Bongkot menarik napas dalam-dalam. Ia tidak tahu apakah udara yang dihirup dan dihembuskannya itu menyiratkan kelegaan atau penyesalan. Sebagaimana matanya yang kosong menatap sosok kerinduan yang terkapar di hadapannya; di atas rerumputan yang dibasahi genangan-genangan cahaya purnama. Sosok yang samar terlihat; tercerai berai dilumuri cipratan-cipratan darah segar. Sosok yang semasa hidupnya sering kali menohok dengan kegalauan demi kegalauan.

“Dan sekarang dia telah mati!”

Ya! Malam semakin naik. Bongkot masih berdiri dengan kaki lunglai dan tubuh gemetar. Ujung goloknya melepas tetesan darah terakhir ke atas rerumputan. Sementara bulan purnama tepat berada di atas kepalanya. Kemudian ia mulai menggali lubang. Kemudian ia menyatukan kembali sosok kerinduan yang terserak; membopong dan menguburkannya.

Tak ada kesedihan. Tak ada air mata. Wajahnya tampak dingin dan beku. Sedingin dan sebeku udara malam.

Setelah itu Bongkot tengadah menatap bulan. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan berteriak: “Tuhaaannn...!”
           
***

“Aku sayang kamu, tau...! Aku cinta kamu!” suara Lesly terdengar manja.

Bongkot hanya tersenyum.

“Kamu sayang aku juga, kan...? Kamu cinta aku?!”

Bongkot hanya tersenyum

“Jawab dong, Beib..., aku butuh kepastian. Aku akan sangat bahagia jika kamu mengatakan itu untukku. Ayo katakan, Beib...”

Bongkot hanya tersenyum.

Lesly memberengut. Ditatapnya Bongkot dengan tajam. Meskipun kecewa dan marah namun aroma kemanjaan terus mengembang di wajahnya.

“Kamu denger aku nggak, sih?!”

Bongkot hanya tersenyum.

Lesly berpaling. Ia melempar tatapannya ke laut lepas. Alangkah indahnya pemandangan. Langit senja yang kemerahan. Matahari di ufuk pelan-pelan akan tenggelam. Perahu nelayan diayun gelombang di kejauhan. Dan ombak yang kejar berkejaran menjelang pantai. Angin berdesir. Anak rambut di kening Lesly lembut bergoyang.

Tapi bisakah seseorang menikmati keindahan dengan hati yang tengah dirundung kegalauan?

“Ayo katakan, Beib! Aku nggak peduli dibilang lebay. Aku hanya ingin mendengarnya dari bibirmu. Kamu sayang aku, kan?!” 

Bongkot mengangguk.

“Kamu cinta aku?!”

Bongkot mengangguk

“Kamu selalu merindukan aku?!”

Bongkot terdiam. Keningnya berkerut. Seketika wajahnya tampak tegang. Jauh di lubuk hatinya yang dalam ia ingin sekali merindukan Lesly.

Ya! Lesly gadis yang menemui dan meminta tanda tangannya seusai acara peluncuran buku cerpen terbarunya yang berjudul “Pembunuh Kerinduan”. 

Saat itu, Lesly dengan senyum penuh kemanjaan mendekatinya dan seperti yang lain menyodorkan buku cerpen yang dibelinya untuk ditandatangani. Namun tidak seperti yang lainnya, Lesly kemudian meminta juga nomor hape dan PIN BB.

“Hai pengarang...” suatu hari Lesly memulai percakapan di bbm.

“Hai juga...” Bongkot membalas.

“Aku sudah baca cerpen-cerpenmu. Aku suka!”

“Terima kasih...”

“Tapi ada juga yang aku nggak suka!”

“Ohya...?”

“Cerpenmu Pembunuh Kerinduan itu sadis!”

“Ohya...?”

“Itu menafikan kodrat kemanusiaan!”

“Ohya...?”

“Bagaimanapun manusia tidak bisa melepaskan diri dari pikiran dan perasaan yang bersemayam di otak dan hatinya. Membunuh pikiran sama dengan tidak waras. Membunuh perasaan sama dengan sadis. Kamu tahu itu...?”

“Ohya...?”

“Aku capek ngomong sendiri!” Lesly menghentikan percakapan BBM-nya.

Hari berganti. Matahari menyinari bumi. Bintang-bintang menghiasi malam. Lesly terus dimiangi kerinduan. Di benaknya wajah Bongkot selalu terbayang-bayang. Ia sendiri tidak mengerti kenapa semua ini terjadi. Setiap kali ia coba melupakan, setiap kali itu pula sosok Bongkot mengembang dalam ingatan.

Ping!!!

Lesly mengirim pesan sinyal lewat BBM. Bongkot tersenyum dan membalasnya

“Aku mau bertemu kamu!” sambung Lesly

“Boleh. Hehe...”

“Jemput aku di depan mal, ya!”

“Boleh. Hehe...”

“Pokoknya sejam lagi aku tunggu! Boleh, hehe...”

“Ok deh!”

Hari berganti. Pertemuan di depan mal itu berlanjut ke pertemuan-pertemuan berikutnya. Hingga hubungan Bongkot dan Lesly bertambah akrab. Semakin akrab. Dan kemudian bersepakat menjalin hubungan sebagai kekasih. Ya!
               
***

“Tapi sepertinya aku cuma bertepuk sebelah tangan...” ungkap Lesly curhat kepada Cida, teman kuliahnya.

“Kok bisa...?!” ucap Cida

“Ya bisalah!”

“Maksudmu?” Cida menghentikan langkah. Lesly ikut menghentikan langkah. Lalu mereka berjalan ke bangku taman yang tersedia di kampus. Lesly menghempaskan diri dan duduk dengan lesu.

“Haruskah aku membencinya, Cida?”

“Tenanglahlah, Lesly. Kau harus bersikap tenang untuk membuat keputusan” pinta Cida dengan lembut sambil menyodorkan botol minuman mineral. Lesly menerimanya, membuka tutup botol dan mereguk airnya.

“Ceritalah padaku, Lesly..., agar kamu merasa lega.”

Lesly menarik napas panjang.

“Dia lelaki yang aneh, Cida...” suara Lesly terdengar sungkan 

“Sama sekali tidak romantis. Dingin..., cuek..., dan menyebalkan! Apakah karena dia seorang pengarang? Sehingga ia hidup dengan khayalan-khayalannya saja. Bayangkan, Cida..., dia tidak pernah menelponku lebih dulu. Dia tidak pernah SMS aku lebih dulu. Dia tidak pernah BBM aku lebih dulu. Inbox facebook, twitter, line, whatsapp, dia tidak pernah lebih dulu!”

“Mungkin dia sibuk, Lesly”

“Sibuk kamu bilang...?!”

“Aku bilang mungkin, Lesly...”

“Hemmm..., tidak, Cida! Semestinya cinta selalu punya ruang dalam kesibukan-kesibukan sepadat apa pun. Cinta selalu punya sayap untuk menempuh jarak sejauh apa pun. Cinta selalu punya magma untuk meledakkan diri dari himpitan gunung sebesar apa pun. Kau tahu itu.”

Cida hanya diam.

Mendung turun di wajah Lesly. Air matanya seperti gerimis pertama yang mengalir pelan di atas daun-daun. Kenapakah Tuhan menciptakan kesedihan bagi manusia?

Ataukah lantaran manusia memiliki cinta? Dan cinta melahirkan kerinduan? Dan kerinduan melahirkan harapan? Dan harapan melahirkan semangat? Dan semangat melahirkan tindakan? Dan tindakan melahirkan pilihan? Dan pilihan melahirkan risiko? Dan risiko melahirkan kesedihan? Oh, tidak! Tentu saja tidak! Karena risiko juga bisa melahirkan kebahagiaan. Layaknya dua sisi mata uang. Kitalah yang menentukan risiko dari pilihan yang kita putuskan. Ya!

“Apakah aku telah salah mencintai orang, Cida...? Atau karena dia tidak mencintai aku? Karena itu dia tidak pernah merindukan aku!”

Cida hanya diam.

Sementara air mata Lesly seperti gerimis pertama yang mengalir pelan di atas daun-daun. ”Begitulah cinta, deritanya tiada akhir!” ungkap Siluman Babi (Ciopatkai) dalam cerita Sun Go Kong. Ah...!!!   
           
***

Bongkot duduk bersideku menghadap ke arah makam. Wajahnya sendu membaca tulisan yang pernah diguratkannya di atas batu nisan. Ia membacanya berulang-ulang di dalam hati. Sebuah epithap: di sini terkubur kerinduanku yang terakhir.

Tangannya yang memegang linggis terlihat gemetar. Sebuah pertempuran tengah terjadi dalam dirinya. Antara keinginannya untuk menggali kembali kerinduannya, dengan keinginan membiarkan saja kerinduan itu tetap terkubur. Di tengah keremangan malam itu sesekali tangannya mencoba mengangkat linggis tinggi-tinggi. Tetapi niatnya membongkar kuburan itu tiba-tiba saja terhenti. Bagai ada suatu betotan yang menarik tangannya kembali ke bawah.

Bongkot merenung-renung. Terus merenung-renung. Ya! Hingga kemudian tekadnya bulat untuk mengangkat kembali sosok kerinduan yang selama ini telah dikuburkannya. Dan hal pertama yang ia lakukan adalah menghapus tulisan di atas nisan itu. Ia mengeluarkan sapu tangannya. Namun, belum sempat sapu tangannya menyentuh tulisan di batu nisan, tiba-tiba terdengar suara teriakan lantang.

“Hentikan! Tidak perlu kamu melakukannya. Biarkan kerinduanmu tenang di dalam kuburnya!”

Bongkot menoleh kebelakang. Ia terkejut ketika mengenali sosok yang berkata itu.

“Lesly...??!”

“Ya! Aku..!!!” Lesly melangkah mendekati Bongkot, sementara kedua tangannya membopong sesosok mayat yang berlumuran darah. Bongkot berdiri dan berbalik menghadap ke arah Lesly.

“Apa yang telah kamu lakukan, Lesly...?” suara Bongkot bergetar.

“Aku telah membunuh kerinduanku!”

“Astaga..!!?”

“Lihatlah sosok ini. Sosok yang senantiasa memupuk kesedihanku. Sosok yang selalu membuat galau hatiku. Dan sekarang dia telah menjadi mayat. Lihatlah! Lihatlah, Bongkot! Mayat ini!”

Bongkot hanya memandang dengan wajah tegang.

“Galilah lubang, Bongkot. Aku ingin menguburkan mayat kerinduanku!”

Bagai digerakkan gelombang sihir yang luar biasa, Bongkot menuruti apa yang dikatakan Lesly. Ia mengayun dan menancapkan linggis ke tanah dengan sekuat tenaga. Tancapan demi tancapan membongkar tanah. Hingga menganga sebentuk liang kubur.

Lesly kemudian menguburkan mayat kerinduan dalam gendongannya. Setelah itu Lesly berdiri berhadap-hadapan dengan Bongkot.

“Sekarang masihkah kita memerlukan cinta?!” suara Lesly terdengar hambar.

Malam semakin naik. Bulan perlahan ditutup kabut. Gerimis turun mencium rerumputan. Di keremangan malam itu sosok Bongkot dan Lesly hanya terlihat seperti siluet. Hanya siluet. Ya! n

Bandar Lampung, 12/2014.


Lampung Post, Minggu, 22 Februari 2015

Sunday, February 15, 2015

Pesan dari Malaikat

Cerpen Hazwan Iskandar Jaya


ROMAN wajahnya bagai diukir pada batu padas, kaku, keras, dan tak berubah. Ekspresi seperti itu sudah berlangsung beberapa tahun belakangan ini. Shinta, yang kini berusia 9 tahun, mengenalnya sebagai seorang nenek yang superpendiam. Ia tak pernah melihat wanita itu tersenyum. Walau cuma satu kali pun. Ayahnya bilang, nenek adalah wanita besi yang keras hatinya dan juga keras kepala. Tak ada satu orang pun dalam keluarga yang mampu menaklukkannya.

Shinta tahu, nenek hidup dalam kesendiriannya. Ia sangat sehat secara fisik. Mungkin rajin berjalan pagi beberapa ratus meter untuk sekadar mencari keringat. Atau sibuk mengurus kebun bunga di halaman depan. Dan untuk itu, ia tak peduli lagi sekelilingnya karena semua hasrat ia tumpaskan bercengkerama dengan bunga-bunga yang tumbuh subur berkat tangannya.

“Nenek… kami mengundangmu pada perayaan Hari Raya bulan depan. Kami ingin Nenek berkumpul dengan kami. Ibu akan memasak semua kesukaanmu,” Shinta memohon padanya.

Nenek menatap gadis mungil itu setajam belati, menusuk jantung hatinya, dan dengan ekspresinya yang khas itu. Gadis mungil itu pun merinding. Tatapan itulah yang membuat ketakutan semua keluarganya.

Paman dan bibi pun tak ada yang berani, walau sekadar menegurnya. Jika mereka berkunjung, mereka hanya sibuk bercerita tentang keluarga masing-masing. Dan membiarkan Nenek bersama dengan pikiran-pikirannya.

Jika Hari Raya kali ini Nenek tak datang ke rumah kami, desah batin Shinta, sudah tahun kelima ini keluarganya berhari raya tanpa kehadiran Nenek. Shinta tak dapat membayangkan, nenek dalam kesendiriannya. Menekuri kesunyian batinnya. Sementara mereka akan makan bersama hanya bertiga lagi. Dan satu kursi yang disediakan untuk Nenek tetap akan kosong tak terisi.
           
***

Beginilah cerita ibu. Kisah tentang Nenek yang beku.
Rupanya, Nenek telah mempunyai jodoh untuk ibu. Putra seorang pejabat tinggi. Tentu keluarga mampu dan kaya. Keluarga orang terpandang dan berada. Selalu yang menjadi alasan, ini ihwal bobot, bibit, dan bebet keluarga. Asal usul yang terang, jelas, dan terpandang. Bukan keluarga “peteng” yang tak tahu juntrungnya.

Tapi ibu tak ingin dijodohkan dengan sang pilihan nenek. Ia membangkang. Karena telah punya tambatan hatinya sendiri. Pemuda sederhana dari keluarga biasa-biasa saja. Namun kebersahajaan hatinya cukup untuk memaknai hidup yang tenteram dan damai.

“Hidup ini tidak sesederhana cinta yang telah membutakan mata. Kau membutuhkan rezeki yang cukup untuk hidup di tengah kerasnya persaingan. Jika kau hanya mengandalkan cinta…makan saja itu cinta!”  Nenek marah membuang muka.

Ibu terdiam. Tak hendak membalas api dengan bensin yang hanya akan melukai. Ibu tahu ia telah membuat Nenek makin kesal. Ia sadar bahwa restu seorang ibu adalah restu Tuhan.
Tapi kali ini, Ibu telah mengeraskan hatinya.

Ia memilih sang ayah sepenuh jiwa.

Nenek pun bagai tembok Berlin. Berdiri kokoh dan bergeming. Keluarga ibu yang lain telah berusaha keras untuk membujuk dan melunakkan perasaan Nenek. Namun, hati seorang perempuan telah terlukai, telah menjadi badai yang mengamuk walau hanya dalam batin. Nenek membiarkan semuanya terjadi, perkawinan yang tak direstui secara batiniah. Perkawinan dalam suasana kesal dan amarah Nenek.

Isak tangis Ibu tak ada gunanya. Tak mampu menaklukkan “macan tidur yang terjaga”. Bertahun-tahun pun telah berlalu.
Tapi terhadap Ayah, Nenek tak menunjukkan rasa senang walau sedikit pun. Nenek selalu menghindar dan tak ingin bertemu muka dengan Ayah. Apalagi untuk sekadar bercengkerama, Nenek sudah memutuskan, Ibu adalah anak yang terbuang.
           
***

Shinta pada akhirnya berkirim surat kepada Neneknya. Bukan kata-kata yang dituliskannya pada selembar kertas putih itu. Akan tetapi, sebuah gambar sketsa meja makan, lengkap dengan hindangan dan kursi. Ia menggambar empat buah kursi. Satu digambarnya seorang laki-laki dewasa, dia tulis ‘Ayah’. Satu lagi digambarnya wanita dan ditulisnya ‘Ibu’, sedangkan satu lagi dia menggambar gadis kecil yang ditulisnya ‘Shinta’. Sementara dia gambar satu kursi yang kosong, tetapi dia menuliskan ‘kami rindu Nenek’.

Dua minggu sebelum Hari Raya, ia kirimkan surat itu melalui Kantor Pos dekat rumahnya. Dan setiap usai salat, ia selalu berdoa agar Tuhan melunakkan hati Neneknya, dan bisa berhari raya bersama keluarganya. Hari-hari berlalu sudah. Tanpa terasa bulan suci Ramadan pun hampir usai. Shinta menitikkan air mata setiap usai mendoakan neneknya.

“Kamu tidak boleh cemas dan sedih hati. Biarlah tangan ajaib Tuhan yang akan membimbing Nenekmu sampai kemari. Tapi….,” ujar Ibu sembari mengelus rambutnya yang panjang. Shinta menatap wajah ibunya dengan penuh harap dan cemas. Bahwa Hari Raya kali ini tak lengkap tanpa kehadiran Nenek di tengah mereka.

“Jika Nenek tak juga hadir di tengah kita, masih ada Hari Raya di tahun-tahun mendatang. Siapa tahu… Nenekmu akan berubah pikiran!” Ibu memberi semangat dan nasihat.
Shinta menganggukkan kepalanya yang mungil.
Ia memeluk Ibunya dengan sangat erat.

Menumpaskan segala rasa di hatinya yang lembut.
               
***

Pagi masih remang-remang. Matahari masih enggan bangkit dari peraduannya di ufuk timur. Cahayanya temaram diselimuti mendung yang tipis. Hari ini adalah hari kemenangan, hari yang menegasi kembalinya manusia pada kesuciannya. Orang-orang berbondong-bondong untuk saolat id. Ada yang menuju lapangan terbuka, ada pula yang menuju masjid-masjid “besar”. Orang-orang merayakan Hari Raya dengan penuh gembira. Meskipun ada yang tak penuh berpuasa selama satu bulan.

Usai salat id, orang-orang tak bergegas pulang. Mereka saling meminta dan memberi maaf dengan bersalam-salaman. Anak-anak kecil berharap “angpau” Hari Raya yang banyak. Mereka keliling dari rumah ke rumah tetangga.

Ayah, Ibu, dan Shinta, pagi itu sudah kembali ke rumah. Ibu sudah menyediakan hidangan makanan istimewa untuk menyambut Hari Raya di meja makan. Ayah dan Ibu sudah duduk di kursinya masing-masing. Shinta melihat masih ada satu kursi yang belum ditarik. Ia pun menariknya dari bawah meja makan.

“Ini untuk Nenek…,” desahnya penuh harapan.

Mereka kemudian berdoa sebelum makan. Ayah meminta Shinta untuk memimpin doa. Agar Tuhan memberi berkah pada keluarga mereka.

“Ya, Tuhan… jauhkanlah kebencian di hati kami. Hindarkan rasa iri, dengki, dan amarah bersemayam di hati kami. Dan jadikanlah kami orang yang pemaaf. Wahai Tuhan, sentuh dan gerakkan hati Nenek agar bisa memaafkan Ayah dan Ibu, dan kembalikanlah Nenek kepada keluarga kami… kami bersyukur atas nikmat dan rezeki yang telah engkau berikan kepada kami hari ini dan yang akan datang…. Kabulkan doa kami, Tuhan. Amin!.”

Tiba-tiba bel pintu depan berbunyi. Tanda ada tamu yang datang. Ibu bergegas membukakan pintu.

Degg!

Nenek berdiri di rahang pintu.

Shinta berlari memeluknya.

“Dua hari lalu, aku menerima pesan dari malaikat. Meskipun malaikat itu tidak bersayap dan terang benderang. Ia mengirimkan surat kepadaku. Bukan dalam bentuk tulisan, melainkan dalam bentuk gambar orang-orang yang tengah patah hati. Jadi… aku kemari untuk mengobati hati yang terluka dari cucuku yang manis ini…,” Nenek memeluk erat Shinta.

Sembari berurai airmata! n


Yogyakarta, Juli 2014


Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015

Sunday, February 8, 2015

Sang Penulis

Cerpen Mashdar Zainal


SESEORANG mengatakan menulis itu sebuah ilmu dan ilmu itu seperti sebuah pisau, jika tidak dipakai atau diasah, ia akan tumpul. Maka, malam ini, setelah berbulan-bulan tidak menulis, aku mencoba memulainya lagi. Dan baru saja kusadari, bahwa pisauku telah benar-benar tumpul. Banyak ide meletup-letup dalam kepalaku, seperti gelembung bubur yang mendidih di dalam periuk di atas tungku. Begitu panas dan butuh dituangkan. Namun, ini tak semudah kedengarannya.

Aku sudah duduk di depan laptop selama hampir satu jam dan layar monitor masih putih sempurna. Hanya kursor kecil berkedip-kedip seperti mengejek. Aku jengkel dan mulai memikirkan kalimat yang menarik untuk membuka paragraf awal. Tanganku mulai bergerak, memencet tombol-tombol huruf di keyboard, suaranya sedikit berisik, seperti ketukan sepatu di ubin keramik.

Satu kalimat telah tertuang. Kubaca lagi. Berulang kali. Baru kusadari bahwa aku tak pernah menemukan kalimat pembuka yang lebih buruk dari itu. Pragraf awal dari sebuah cerita adalah hal yang sangat menentukan, tak ubahnya sebuah pintu gerbang untuk masuk ke kedalaman cerita. Jika pintu itu salah atau terkunci, pembaca takkan sudi masuk ke dalamnya, dan cerita itu pun hanya akan menjadi sebuah tulisan yang gagal. Tulisan yang ditulis oleh seorang yang mungkin saja hanya pecundang.

Aku menekan tombol backspace lama sekali, sampai deretan huruf itu hilang dan layar monitor kembali menjadi putih. Dan kursor kurang ajar itu kembali berkedip-kedip mengejekku.

Aku kembali tercenung memikirkan kalimat pembuka yang lain. Kalimat pembuka yang mungkin pantas untuk dibaca siapa pun. Setelah beberapa jenak, aku tersenyum dan kembali menuliskannya seperti orang mabuk. Sebuah kalimat pembuka telah berjajar di layar putih.

Kalimat pembuka itu kubaca berulang-ulang dengan bangga, hingga tiba-tiba seseorang tengah menggetok kepalaku dengan palu, aku menyadari sesuatu, kalimat pembuka itu memiliki citarasa seperti sebuah puisi yang tidak matang. Penuh metafora tapi kering. Aku tak percaya bahwa aku yang barusan menuliskannya. Aku menghela napas. Kutekan tombol Ctrl+A dan kemudian Del. Layar bersih seperti semula.

Aku duduk bersila dan mengambil napas pelan. Menatap layar monitor yang kosong itu dengan saksama. Kursor kecil itu masih saja berkedip-kedip. Genit sekali. Barangkali ia akan terus berkedip-kedip seperti itu sampai laptop itu kehabisan baterai dan listrik mati. Aku seperti tercenung. Dan mendadak semuanya menjadi sunyi. Aku terus menatap layar putih itu dan berharap sebuah keajaiban terjadi.

Menulis memang bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Sampai-sampai kepalaku sedikit pening gara-gara memikirkan bagaimana memulai paragraf pertama. Kepalaku benar-benar pening. Dan berat. Hingga langit-langit bagai berputar. Aku memejamkan mata. Membiarkan diriku membeku dalam keheningan. Dengan begitu rasa pening di kepalaku bisa sedikit berkurang. Mungkin.

Setelah beberapa menit, dalam keheningan, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan yang bertubi-tubi dari dalam laptop, seperti suara tombol huruf yang diketuk berkali-kali dan berganti-ganti. Suaranya tak begitu nyaring, seperti dari dalam pengeras suara dengan volume terlalu kecil. Namun, mendadak di layar putih itu muncul huruf-huruf yang saling mengejar. Aku mengucek mata. Tak percaya. Tapi aku membacanya… terus membacanya…

Lelaki di depan laptop itu jengkel pada dirinya sendiri. Ia ingin menulis sesuatu namun tak pernah berhasil. Kepalanya telah menjadi pisau yang tumpul dan tak bisa digunakan untuk mengiris kata apa pun. Ia menyesal sebab lama tidak mengasah pisau itu. Kini, setiap kalimat yang ditulisnya ia rasai seperti merajam dirinya sendiri.

Lelaki itu sebenarnya punya ide bagus tentang kisah cintanya yang dikhianati, ia ingin menuliskannya, tapi ia gagal sejak kalimat pertama. Padahal kisah itu tidak terlalu rumit, hanya seorang wanita yang menolak dinikahi seorang pria yang konon pekerjaannya adalah penulis.

Pekerjaan yang tak boleh tercantum dalam daftar identitas. Mengingat detik ini ia tidak berhasil memulai tulisan apa pun. Ia pun mulai ragu pada dirinya sendiri dan beranggapan bahwa keputusan kekasihnya itu keputusan yang adil. Pekerjaan menulis memang tidak bisa diharapkan. Menulis memang tidak lebih mudah dari menjadi seorang buruh pabrik, pikirnya. Buktinya ia hanya terlongok di depan laptop selama berjam-jam dan tak menghasilkan apapun. Malah kepalanya yang jadi pening. Ia sadar, itu kesalahannya: ia terlalu lama tidak menggunakan pisaunya.

Lelaki itu memang tak kenal menyerah—atau bebal? Ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia tak akan beranjak dari laptopnya sebelum menghasilkan sebuah tulisan, setidaknya tiga halaman. Namun begitulah, sampai detik ini ia masih bengong dan tak bisa memulai tulisannya. Ia masih saja berjibaku memilah ide-ide dan kalimat-kalimat pembuka yang menarik, yang semuanya berselengkatan dalam kepalanya.

Bagaimana kalau aku menuliskan kisah ibuku, bisiknya dalam hati. Namun ia sadar, ibunya tak pernah memiliki kisah yang menarik. Keluarganya baik-baik saja. Dan menulis sesuatu yang baik-baik saja tentu kurang menarik. Kini ia berimajinasi, ibunya gantung diri karena ayahnya selingkuh dengan bibinya. Lalu suami bibinya silih menusuk ayahnya sebab menyelingkuhi istrinya. Oh tidak, itu kisah yang rumit dan terlalu tragis, pikirnya kemudian. Ia menyerah, ia memang tak bisa mengambil ide apa pun dari kisah keluarganya, alih-alih membuat kalimat pembuka yang menarik.

Setelah berpikir lagi, sedikit lama, lelaki itu lekas menyadari bahwa masalahnya bukan pada ide ataupun kalimat pembuka, tetapi pada bagaimana pisau itu bekerja dengan baik. Merajang kata-kata dan meraciknya menjadi kalimat yang lezat. Mustahil, oh mustahil, ia bahkan bingung apa yang sedang bergejolak di kepalanya. Yang jelas, semua kegalauan ini berujung pada kesalahannya sendiri: ia terlalu lama tidak menggunakan pisaunya. Kini pisau itu sudah tumpul. Dan ia baru tahu rasa.

Lihatlah! Lelaki itu hanya memelototi layar laptopnya yang kosong dengan tatapan kosong. Kosong sekosong-kosongnya. Lihatlah lelaki itu. Kau mengenalnya lebih baik dari siapa pun. Pecundang itu. Lelaki itu. Yang konon adalah seorang penulis. Sang penulis.

Aku? n

Malang, 2014


Lampung Post, Minggu, 8 Februari 2015

Sunday, February 1, 2015

Wajah dalam Potret

Cerpen Siti Marliah


“KAU masih suka memelihara mawar?”

“Begitulah,” ujar wanita berkacamata itu.

Hampir bersamaan kedua perempuan itu memandang mawar yang sedang mekar di halaman. Ada beberapa mawar di dalam pot-pot dengan berbagai ukuran. Tapi hanya ada satu tangkai yang sedang berbunga di sana. Kedua perempuan itu dapat mengamati kelopak merah dari kursi teras tempat mereka duduk. Di antara tanaman pot dan pohon palem yang berjajar rapi terpakir Honda Jazz putih di halaman.

Kedua perempuan itu memiliki tinggi yang sama. Salah seorang dari mereka mengenakan kacamata dan sebuah syal membebat lehernya. Perempuan berkacamata itu masih memegang buku bacaan. Sementara perempuan di depannya mengetuk-mengetukkan jemarinya di atas meja. Dua gelas teh tampak anggun di atas tatakan. Sebuah kertas hijau toska berpita merah tergeletak di atas meja.

“Kenapa tetap warna merah?”

“Aku menyukai mawar merah, Maya. Dan aku tidak mudah berubah.”

“Aku pun suka mawar. Tapi aku tak punya cukup waktu untuk merawat tanaman.”

“Kau bekerja sangat keras.”

“Aku hanya merasa perlu melakukannya.”

Maya tersenyum dan mengambil teh dari tatakan lalu menyeruputnya. Ia meletakkan kembali cangkir itu di atas meja. Beberapa kali jemari kanannya meremas jemarinya yang sebelah kiri. Perempuan di hadapannya mengamati setiap gerakannya.

“Sudah tiga tahun. Kau telah banyak berubah. Kau lebih anggun dan dewasa.”

“Semoga kau bukan sedang berkomentar tentang umur, Andini,” ujar Maya sambil menarik anak rambutnya ke sela daun telinga.

“Hahaha... Kenapa kau begitu gugup, Maya? Ayolah, kita baru 28 tahun,” Maya kembali mengambil gelas teh dan menyeruputnya lalu meletakkannya kembali. Perempuan itu membetulkan posisi duduknya. Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas lututnya sendiri.

“Dua puluh delapan tahun adalah alasan yang tepat untuk segera menikah.”

“Tentu. Dan kertas ini sudah di sini, apalagi yang kau cemaskan?” ujar Nandini sambil memegang kertas berpita merah di atas meja.

“Tidak. Mungkin aku hanya terlalu bersemangat.” Maya kembali menggeser posisi duduknya.

“Mahesa orang yang baik.”

“Iya. Dia telah banyak belajar dari kegagalannya.”

Nandini mengangguk dan tersenyum. Ia meletakkan buku bacaan di atas meja dan menghela napas panjang. Wanita itu mengambil gelas teh dan menyeruputnya. Ia tetap memegang gelas hangat itu.

“Aku pun belajar banyak hal dari dia,” ucap Andini lalu kembali tersenyum dan menaruh gelas di atas tatakan.

“Gagal bukan sebuah kesalahan. Sekarang itu hanya masa lalu,” lanjutnya.

“Kau benar, Andini,” ujar Maya. Hari mulai sore dan sinar matahari menerobos ke dalam teras. “Lalu kapan kau akan balas mengirimiku undangan?” lanjut Maya berseloroh.

“Oh... Tampaknya kau harus sedikit bersabar,” balas Andini.

“Ayolah, Din. Jangan mematahkan hati laki-laki lebih banyak lagi.”

“Haha.. Bukan begitu, Maya. Aku ingin fokus menyelesaikan disertasiku.”

“Baiklah. Tidak pernah ada yang bisa memaksamu, Andini.”

Maya kembali mengambil gelas teh dan menyeruputnya. Semetara Andini membuka dan mengamati kertas hijau toska berpita merah. Wanita itu meletakkan kacamatanya dan tersenyum.

“Aku suka desain undanganmu. Foto yang bagus. Kalian tampak serasi,” kata Andini.

“Mahesa yang mendesainnya. Aku hanya membantu memilih warnanya.”

“Pilihan warna yang bagus. Oh, mengapa Mahesa tak ikut kemari? Seharusnya kita bisa melakukan reuni kecil di sini.”

“Tidak. Dia banyak lembur untuk mengambil cutinya. Dia hanya menitip salam untukmu dan berharap kau datang.”

“Oh, sayang sekali. Tapi, setidaknya aku bertemu denganmu lagi setelah tiga tahun.”

“Baiklah. Sebentar lagi hari akan gelap, aku harus membeli beberapa barang sebelum kembali ke hotel. Aku akan kembali ke Semarang besok pagi,” ucap Maya.

“Kau sangat buru-buru rupanya.”

“Kau tahu, banyak yang harus aku kerjakan di sana.”

“Baiklah.”

“Sebelum aku pulang aku harus tahu. Akankah sahabatku memastikan kedatangannya di hari pernikahanku?” tanya Maya.

“Tentu saja, Maya. Namaku akan ada di urutan pertama dalam buku tamumu,” balas wanita berkacamata. “Aku pasti akan datang,” lanjutnya.

Kedua perempuan itu berbagi pelukan. Maya mengenakan sweter dan mengambil tas tangannya di atas kursi. Ia merogoh tas itu dan mengeluarkan kunci mobil. Andini mengantar Maya hingga memasuki pintu mobil. Perempuan di dalam mobil itu membuka kaca jendelanya dan tersenyum.

“Sampaikan salamku pada calon suamimu,” ujar Andini.

“Tentu. Selamat malam, Andini.”
           
***

Honda Jazz putih itu melewati pintu gerbang dan melaju ke arah selatan. Hari telah gelap, Andini bergegas masuk setelah membereskan gelas dan buku bacaannya. Ia juga mengambil kertas undangan berwarna hijau toska di atas meja. Dibacanya kembali kedua nama yang tertera di dalam kertas itu.

Wanita berkacamata itu masuk ke kamarnya. Ia duduk menghadap bingkai foto yang tergantung di tembok di samping tempat tidurnya. Bingkai itu memajang foto dirinya bersama Maya yang tengah bertoga. Ia lekas beranjak ke laci mejanya. Diletakkan undangan pernikahan Maya di sebelah undangan lain yang telah pudar warna merahnya. Di sampul depan undangan pudar itu tertera namanya sendiri dan nama Mahesa. n

Bandar Lampung, 2014


Lampung Post, Minggu, 1 Februari 2015