Sunday, January 25, 2015

Dua Ufuk Langit pada Sepasang Mata

Cerpen Adi Zamzam


LANGIT adalah ruang yang selalu dapat memberikan perasaan lapang pada sepasang mata kita ini. Karena itulah, ia selalu suka memandangi langit, terutama saat dadanya disesaki masalah. Seolah langit bisa menjadi dadanya, atau dadanya bisa berubah seperti langit.

Kebiasaan ini sudah sejak ia masih umur sepuluh. Sepotong episode hidup ketika ia lebih banyak belajar tentang arti mengalah, hingga kini ia lebih banyak tahu lagi tentang arti mengalah. Ia telah yatim piatu sejak umur lima. Bersama tiga saudara tuanya, paklik1) kemudian mengambil alih peran orang tuanya. Tapi tentu saja tidak semua hak sebagai anak ia dapatkan. Anak pakliknya sendiri ada empat orang. Maka langitlah yang kemudian kerap ia jadikan tempat mengadu. Meski langit bisu.

Ada yang amat ia suka dari ufuk langit timur. Saat sebelum dan sesudah cahaya terbit. Bukan lantaran langit menyuguhkan permainan warna yang menakjubkan. Perpaduan jingga, merah muda, dan warna tembaga, sering kemudian menjelma wajah seorang perempuan. Kenangan yang amat menyenangkan untuk diulang-ulang. Tentu saja sepasang mata ini mengenal siapa wajah perempuan itu. Seorang gadis yang pernah membuatnya berhenti dari masa-masa petualangan tanpa tujuan.

“Kelihatannya dia gadis lugu, Dir. Selain hanya tamatan SD, sehari-hari waktunya hanya untuk menenun dan membantu emaknya di dapur. Sepertinya tipe yang mudah didapat. Apa istimewanya hingga dirimu ngotot ingin mendapatkannya? Di Troso, banyak yang setipe itu,” suara Karmawi berpusar-pusar di liang telinganya.

Sepasang mata kita ini kemudian menemukan seekor pipit yang melompat-lompat di reranting kamboja. Tak dilepaskannya segala tingkah makhluk mungil itu. Ia tahu, sedari tadi sepi tengah mengintainya.

“Kenapa tak Arini saja, anak Haji Warsono itu? Sudah terawat, berpendidikan pula.”

Namun, akhirnya pipit kecil tadi lolos dari kedua mata tatkala suaranya sendiri mengisi telinga, “Yang seperti Arini aku yakin takkan kuat dijadikan punggung,” ujarnya membuka alasan di hadapan sepupunya itu. “Lagi pula siapalah aku.”

Karmawi baru paham maksud ucapan sepasang mata kita ini beberapa tahun setelah pernikahan itu jalan. Ketika kedua mata kita ini mulai  memuaskan dahaga kaki menjejak ke berbagai kota demi uang, Karmawi melihat dan mencatatnya. Ia mengangguk-angguk paham tatkala menceritakan ulang apa-apa yang dilakukan perempuan itu ketika ditinggal sepasang mata kita ini.

“Ternyata kau memang tak salah pilih, Dir…,” begitulah Karmawi memulai pujiannya. Ia ceritakan ketabahan perempuan itu ketika uang kiriman tak mencukupi. Ia puji keuletan perempuan itu memutar uang dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Ada yang tersenyum saat mendengar celotehan itu. Karmawi adalah anak paklik, sepupu yang paling dekat dengan sepasang mata kita ini. Mendengar semua pujian itu, semangatnya pun bertambah-tambah. Dan ia memang telah merasakannya sendiri. Setiap pulang dari rantau, jarang terdengar keluhan apa pun tentang rumah. Seolah di situ tak pernah terjadi masalah serius, perhiasan atau bahkan kelaparan bukanlah hal yang patut dirisaukan.   
                       
***

Dan perjalanan waktu pun membawa sepasang mata kita ini pada masa kejayaan. Di kota rantau, bisnis mebelnya mendapatkan pengakuan. Ia yang mula-mula hanya berperan sebagai distributor, akhirnya bisa buka gudang sendiri demi memenuhi permintaan pelanggan.

Perempuan itu akhirnya turut menjadi pemegang kendali atas semua denyut gudang selama ia memperlebar relasi di berbagai kota lainnya. Seiring tokonya yang beranak-pinak menjajah ke kota-kota lain, perempuan itu pun melahirkan dan merawat dengan telaten benih-benih yang ia taburkan.

Hidup pun seperti ingin membalas atas masa lalu kelam yang pernah diberikannya. Orang-orang kaya yang dulu pernah meremehkan sepasang mata kita ini mulai disadarkan kenyataan. Ada yang mengangguk hormat (begitu nasib mereka sendiri telah terbalik), tetapi ada pula yang masih enggan memasang wajah pengakuan di hadapannya. Sepasang mata kita ini tak pernah ambil pusing dengan semua itu.

Ada yang kemudian berubah beberapa tahun kemudian. Ini perihal kesenangannya memandangi ufuk langit barat tatkala senja hampir tenggelam. Ini bukan soal keindahan semburat warna jingga, merah muda, dengan sedikit sapuan jelaga yang terkombinasi sempurna. Ini tentang sebuah kisah lain.

“Aku hanya berpikir akan ada yang bisa melayaniku meski umur sudah condong ke barat. Kau tahu batas umur kekuatan laki-laki?” sepasang mata kita bertanya balik kepada Karmawi yang menuduhnya sudah gila karena mengkhianati kesetiaan perempuan berharga. “Kau pernah dengar tentang kasus seorang kakek-kakek cabul? Itu karena kekuatan laki-laki tak begitu terpengaruh umur. Sepertinya hanya penyakit saja yang bisa menggembesi keperkasaan laki-laki. Sedang dia? Umurnya sudah empat delapan. Dia selalu saja menghindar ketika aku menginginkannya. Aku sadar bahwa dia sudah tidak mampu lagi,” tuturnya dengan tanpa nada bersalah. Tanpa malu pula.

“Tapi kau melukai perasaannya. Bukankah niat awalmu menikahinya bukan untuk kau perlakukan seperti itu?” tanggapan Karmawi.

“Kupikir malah dialah yang melukai perasaannya sendiri. Seharusnya dia tak kecewa jika mau mengerti keadaanku. Aku hanya ingin menyelamatkan diri. Aku tak ingin mati di tempat pelacuran.”
“Tapi dialah punggung yang pernah menegakkanmu,” suara Karmawi masih saja bernada menusuk.

“Dia memang pagi yang menerbitkan aku. Tapi dia lupa bahwa kami sama-sama menuju senja. Dia tak sadar, bahwa dialah yang tenggelam duluan.”

“Kau tak berperasaan!”

“Oya?”

“Kau tak menganggapnya sebagai manusia. Kau mungkin memang matahari yang diterbitkan oleh pagi. Tapi sadar jugakah dirimu? Pagi memang akan terus seperti itu karena tak memiliki perasaan, tak punya hati, tak mengenal lelah. Dia perempuan, dia bukan pagi,” Karmawi sudah benar-benar geram.

Sepasang mata kita ini paham mengapa Karmawi begitu membela perempuan itu—meski dulu pernah meremehkannya. Perempuan itu konon sering menyelamatkan keuangan keluarga Karmawi.

Demikian juga ketika anak-anaknya mulai memasang bendera permusuhan. Meski ia sudah berusaha bersikap adil, sepasang mata kita ini tak  memedulikan itu. Saat rumah pagi tak lagi hangat menyambutnya, rumah kedua pun menjadi tempat pulangya kemudian.

Banyak desas-desus miring berhembus perihal perempuan di rumah keduanya. Bahwa perempuan yang mantan sekretarisnya itu mau menerima tubuh tuanya hanya lantaran harta. Tapi ia tak peduli. Meski hal itu benar sekalipun, ia akan bisa memakluminya. Toh perempuan muda itu begitu hangat dalam melayaninya.

Memang, ada sebuah masa yang dicatat dengan baik oleh sepasang mata kita ini. Itu terjadi ketika keran-keran uangnya macet dan ratusan karyawannya terancam kehilangan pekerjaan. Pasca-“reformasi”, harga kayu bersaing dengan harga emas. Pencurian dan perusakan hutan lokal mewabah di mana-mana. Perempuan mudanya pun mulai diuji keadaan.

Sepasang mata kita ini sempat merasai kesedihan dan ketakutan yang mengguncang hati. Hingga akhirnya ia memutuskan pulang ke rumah pagi. Betapa pun di saat ia masih ditolak oleh anak-anaknya sendiri. Namun, sungguh tak diduganya, perempuan pagi itu masih menyuguhkan kesetiaan yang dulu sempat renggang.

“Apa kau pikir aku akan tega melihatmu terusir dari rumah barumu itu? Ambillah sebagian simpananku itu. Selamatkan orang-orang yang masih setia denganmu. Buatlah perempuan itu kembali terkesan denganmu. Aku akan tetap mengawal anak-anakku di sini. Aku sudah tak butuh apa-apa lagi,” kata perempuan pagi saat itu.

Kadangkala tumbuh penyesalan mengapa dulu ia tega mengkhianati perempuan ini. Padahal kesetiaannya sudah amat teruji. Entah apa itu dulu yang bisa menutupi keistimewaan perempuan itu di matanya. Dan justru orang lainlah yang malah bisa merekam keistimewaannya. Sayangnya, waktu tak bisa diputar ulang.
                       
***

Sudah hampir seharian penuh sepasang mata kita ini berada di tempat itu. Sejak pagi menerbitkan cahaya hingga semuanya beranjak pulang ke rumah senja. Ia sadar sudah tak ada yang memedulikannya lagi. Baik perempuan di rumah keduanya maupun anak-anak di rumah pertamanya. Ia sadar bahwa kini semakin tak dibutuhkan. Kejayaannya hanyalah masa lalu. Orang-orang akan selalu mengutamakan kepentingannya sendiri meskipun di atas kepentingan suami atau bapaknya sendiri.

Sepasang mata kita ini menitikkan air mata ketika meninggalkan makam itu. “Bukankah matahari selalu sendirian ketika terbit dan tenggelam?” bisik hatinya. Itulah sebabnya, ia senang memandangi dua ufuk langit, di saat pagi dan lalu petang. Pagi yang selalu diikuti segala keramaian dan kesibukan, serta petang yang segera dibekap kesunyian. Ia seperti mendapatkan teman senasib. n

Banyuputih, Kalinyamatan, Jepara 2014.

1) Paman


Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2015

Sunday, January 18, 2015

Hujan Bulan Januari *)

-bagi Iswadi Pratama
Cerpen Alex R. Nainggolan

 
sepanjang jalan tanjungkarang
januari gugur sepertu hujan
kemilau pasar: cahaya di pipi perempuan
**)

MUNGKIN, di Januari ini engkau akan sedikit menyepi. Ketika tahun mulai membuka jubahnya, sekaligus melemparkan kesedihan atau kesakitan bagi puisi yang pernah kautulis. Tapi, bukankah penyair juga berhak berbahagia? Sebab kesedihan terkadang menjadi seluas lautan saat menjelma jadi puisi. Duh, mengapa puisi senang berlarat-larat dengan peristiwa? Barangkali pula, ini bukanlah hujan sebagaimana yang tertulis dalam puisimu. Tapi bukankah hujan tetaplah hujan? Tak peduli bagaimana bentuknya. Entah itu gerimis, deras, ataupun rinai.

Dengan dinginnya yang wingit, semacam memberikan celah yang sempit. Sekejap segalanya membasah. Jalanan, rumah, gedung-gedung, kendaraan, orang-orang, juga puisi. Seperti juga tubuhmu, yang kuyup—kenangan mendadak buram. Tak ada halte buat dirimu singgah, bahkan perempuan yang ranum sekalipun. Bukankah kenangan pula yang membuat kita kerapkali buta? Dengan sekejap datang tanpa diduga, serupa hantu.

Ah, mengapa engkau lupakan jalan pulang? Bukankah di rumah mungil itu telah lama menunggu; canda anak-anak dan seorang istri yang senantiasa menyeduhkan secangkir kopi setiap pagi? Setidaknya engkau bisa melepaskan setiap lelap pikiranmu. Saat tiba di sebuah rumah, anak-anak yang berlarian menyebut namamu: Ayah. Ketika pagar kaubuka, mereka akan sigap melompat, berlarian mengejarmu.

lelakiku kesasar di sini
dalam setiap dering telepon, kartu pos, atau pacar lama
**)

Januari ini hujan turun lagi. Hampir setiap hari. Hampir sepanjang hari. Langit melulu redup. Dingin serasa terkunci, mengatup. Dan kota yang kutinggali dicekam ketakutan. Air menggenang di mana-mana. Tubuh-tubuh membeku. Terkunci. Tak bisa bergerak. Jalanan serasa mampat. Di kota yang kutinggali, hanya ada bukit kecemasan, setiap kali aku bertemu dengan orang lain. Yang ditanyakan hanyalah: ”Apakah tempat tinggalmu dikepung banjir?” atau ”Seberapa tinggi banjir yang masuk ke dalam rumah?” atau ”Apakah engkau bisa berangkat kerja dengan banjir yang mengepung?” atau ”Apakah engkau mengungsi saat banjir datang? Ke mana? Ke hotel apa apartemen?” atau puluhan tanya lainnya yang nadanya sama. Ketakutan tentang banjir yang melanda. Pertanyaan yang membuat dirimu muak. Pertanyaan yang terasa semacam ketololan semata.

Mudah-mudahan bukan di kotamu, penyair. Sebab bagiku Tanjungkarang selalu menyisakan gemintang harap, yang senantiasa menggertap. Tanjungkarang akan kerap berpijar dengan denyarannya yang abadi. Bukankah kota itu telah lama menyihir para penyair? Seakan menjadi tenung yang panjang, katakanlah untuk sekadar merenung. Di setiap sudutnya, masih ada puluhan diksi yang abadi. Diksi itu ibarat buat yang telah masak, sehingga tinggal dipetik saja. Hmm. Betapa Tanjungkarang meninggalkan segurat tanda di kepalaku. Jalanannya yang seperti abadi dalam ingatan. Bertahun-tahun, setiap kali aku bertandang ke kota itu, tak banyak yang berubah.

DI JALANAN Tanjungkarang itu pulalah, terasa benar jika sunyi telah membesar. Sunyi yang berkecambah acapkali menguliti rindu yang magis. Tanpa mesti ada tangis. Di kotamu, segalanya seperti meninggalkan tanda, bukan hanya tertera pada plang nama jalan semata. Melainkan juga pada setiap relung yang terlewati. Saat kita melangkahkan kaki, terasa benar sudutnya yang bergetar. Semacam ada sekelebat cahaya yang melambai, untuk minta didatangi.

Sebagaimana aku yang dulu menikmati kotamu. Sebuah jalan yang lurus terbentang, menuju sebuah titik. Tanjungkarang yang dipenuhi rindang cahaya. Tak ada keramaian di kota itu yang benar-benar riuh, bagiku. Sepertinya orang-orang begitu menikmati segala metamorfosa sunyi dari Tanjungkarang. Meskipun sesekali, mobil angkutan kota bergerak dengan hantaman bising lagu house music-nya, yang membuat sunyi itu pecah. Tapi itu pun tak terlalu lama, dengan sekejap sunyi kembali menyusun dirinya, selapis demi selapis.

Tapi Januari di kotaku terasa berbeda. Kota yang dipenuhi selokan yang mampat. Belum lagi sejumlah orang yang berkomplot, dengan pelbagai muslihat atau rencana jahat. Ya, justru di Januari ini, orang-orang sibuk membaca denah kota. Saling menyalahkan mengapa hujan yang turun sepanjang hari, setiap hari itu meninggalkan genangan air yang abadi.

Tapi apa yang salah dengan hujan yang turun di bulan Januari? Mereka saling berteriak, saat curahan hujan turun begitu deras. Saat hujan seperti jatuh tanpa ampun. Seketika mendadak ngungun. Saat hujan masih turun, lalu menciptakan beberapa genangan di setiap sudut. Bahkan saat hujan semakin deras, genangan seperti cepat beranak-pinak, menjadi banyak dan semakin meninggi.

Di kotaku, bayangan hujan mendadak menjelma jadi ketakutan yang memanjang. Bahkan untuk sekadar bayang-bayang hujan sekalipun! Saat langit mulai gelap, dengan mendung yang terkurung. ”Sialah, hujan turun lagi!” umpat mereka. Mereka seperti menyesali hujan yang bertandang. Ketika hujan mulai datang yang bermula dari gerimis, kemudian menjadi deras dan lebat. Seketika mereka mulai memeriksa saluran di sisi rumah. Saluran yang dipenuhi endapan lumpur ditambah sampah yang menumpuk. Di kotaku, tak ada yang menyambut hujan dengan raut wajah ceria. Melihat hujan wajah mereka sekejap murung.

Pun di televisi, mereka asik berdebat. Berbusa dalam omongan. Menyodorkan sejumlah asumsi dan teori. Saling menyalahkan kembali. Memberikan solusi, namun tak sepenuhnya dikerjakan. Jika banjir akibat salahnya tata kota. Jika banjir akibat banyaknya curah air dari tempat yang lebih tinggi. Jika banjir pembangunan kota yang semrawut. Ah, bukankah banjir sendiri adalah berkah? Dengan begitu, kita seperti ditegur dengan keras—jika manusia memang sekadar pion bagi Tuhan. Bahwa kita tak pernah bisa melawan kehendak-Nya. Jika kita memang hanya bisa berencana, namun Tuhan pulalah yang menentukan.

Bukankah renungan itu seperti dengung yang abadi. Untuk kita senantiasa berbenah, secara tidak langsung jika hal ini akibat ulah kita sendiri. Menghilangkan resapan air, membuang sampah sembarangan, membuat sempit aliran sungai. Duh, mengapa justru aku yang melantur. Mendadak jadi seorang pengkhotbah? Padahal aku hanya ingin menikmati hujan yang turun di Januari ini, sebagaimana yang kautuliskan dalam puisi. Hujan yang membuat dirimu terus menggeluti setiap jejak sunyi. Terasa begitu kepayahan dirimu untuk memungutinya satu per satu. Semacam pekerjaan yang serius dan tekun; ketika menyusun kepingan puzzle. Kepingan-kepingan itu adalah sisa ingatanmu yang masih sempat berdenyar. Ah, betapa kenangan terasa begitu menyesakkan dada. Terasa banyak yang mesti disusun ulang, rencana-rencana yang terasa tinggal sekadar kata-kata.

Dengan ingatan itulah, engkau seperti ingin mengajak berdamai dengan masalalu. Seperti ingin merekatkannya dengan kuat. Namun serasa tak sepenuhnya segala hal bisa kauingat dengan sempurna. Terasa ada hal-hal yang kurang, berlalu begitu saja. Abai bersama waktu. Di muka tahun, ingatan-ingatan itu terus saja meenerjang lalu-lintas pikiranmu.

Januari ini hujan terasa panjang. Memasuki setiap urat kota, menelusup di segala ruang. Jalanan basah dalam erang. Langit begitu meriang. Tak ada tirai matahari yang terbuka. Tak terasa pijar hangat yang terkuak dari sinarnya. Mendung seperti terkurung di angkasa. Tak bisa ke mana-mana.

Lalu, orang-orang di kotaku akan berteriak hingga serak, ”Cahaya... di mana cahaya? Kami butuh cahaya! Di mana matahari kami?”

*

aku merapatkan mantel dan kerah kemeja
orang-orang menyusun dirinya
memasuki masa lalu
yang terus tumbuh dalam otakku
**)

Januari ini hujan turun lagi. Hampir setiap hari. Hampir sepanjang hari. Langit melulu redup. Dingin serasa terkunci, mengatup. Dari kejauhan, aku sendirian membaca puisi yang kautuliskan. Di kejauhan, kaca jendela terciprat hujan yang luruh. Menjadi sebuah bayangan magis, yang mengumpulkan segala ingatanku. Tentang kota atau seorang perempuan. Mendadak pandanganku buram, kota seperti berenang menghampiriku. Hampir tenggelam.

Poris Plawad/Edelweis, 2014

Catatan:
*) Judul kisah ini diambil dari puisi Iswadi Pratama dengan judul yang sama, setidaknya turut menjadi inspirasi bagi kisah di dalamnya.
**) Lirik puisi Hujan Bulan Januari ditulis oleh Iswadi Pratama


Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2014

Sunday, January 11, 2015

Ibuk

Cerpen Muhammad Amin 


SETAHUN lalu lelaki itu masih berdiri gagah di ruang megah gedung TokyoTech, Suzukakedai, memberikan last lecture di hadapan mahasiswa, peneliti, dan profesional Indonesia yang tinggal di Jepang. Usianya sekitar 43 tahun. Namanya Tri Mustofa. Peraih gelar Philosophy of Doctor di Tokyo Institute of Technologi, Jepang.

Wajahnya begitu cerah dan bersemangat. Apalagi, setelah bertahun-tahun tinggal di Negeri Sakura ini, dia dan keluarga kecilnya, istri dan seorang anak lelakinya, akan kembali ke tanah air. Sesuatu yang selalu dia tunggu-tunggu karena kerinduannya akan keluarganya di tanah air. Terutama rindunya pada ibu.

Memasuki bulan April. Cuaca di Tokyo mulai menghangat. Bunga sakura sudah nampak bermekaran. Sebelum pulang, dia menyempatkan mengajak istri dan anaknya ke gedung Miraikan, museum sains dan inovasi masa depan Jepang, menyaksikan pertunjukan ASIMO., sebuah robot yang menyerupai astronot berpakaian putih dengan membawa ransel di punggungnya. Amir, anak lelakinya yang berusia 13 tahun, begitu antusias. Hari itu jumlah pengunjung sedikit, sehingga orang tua dan anak-anak bisa duduk berdekatan.

Dengan iringan alunan musik, robot mungil itu masuk ke ruang pertunjukan sambil memberi salam kepada penonton, kemudian melakukan berbagai atraksi. ASIMO menjawab pertanyaan-pertanyaan pemandu dengan tangkas. Berbicara dalam bahasa Jepang dengan fasih. Anak-anak begitu menikmati setiap perkataannya. ASIMO juga bermain bola bersama pemandu dan sebagian anak-anak.

"Sughooi! (hebat!)" terdengar kalimat spontan itu dari para penonton yang takjub dengan pertunjukan robot pintar itu. Amir juga sempat bermain bola bersama ASIMO. "Ayah, menakjubkan sekali!" komentar anaknya semringah. Selesai pertunjukan, mereka kembali ke apartemen.

Itu hari terakhir mereka di Jepang. Wajah lelaki itu seperti selalu memancarkan cahaya kebahagiaannya. Esok mereka akan terbang ke tanah air. Akhirnya kata pulang yang belakang selalu dinantinya tersampaikan juga. Dia sudah kangen dengan rumah di kampung halamannya. Dan tentu saja kangen dengan seorang yang begitu berharga bagi dirinya: Ibuk!
               
***

Lelaki itu kini tergolek tidak berdaya di atas tempat tidur. Tubuhnya kurus yang sebagian tidak bisa digerakkan. Di kepalanya dipasang semacam alat berbentuk pompa seperti seorang hydrocephalus. Ini sudah ketiga kalinya ia terserang stroke dan kondisinya semakin parah.

Setelah menjalani pemeriksaan MRI, ternyata terdapat tumor di otak besar bagian tengah menempel di pembuluh darah besar. Dokter tidak berani mengoperasi. Terlalu besar risikonya dan terlalu kecil kemungkinan selamat.

Padahal, setahun lalu lelaki itu masih berdiri gagah di ruang megah gedung TokyoTech, sehari sebelum dia kembali ke tanah air. Dua bulan sekembalinya ke Indonesia, dia terkena serangan stroke yang pertama. Selama sebelas hari koma di rumah sakit. Sebulan kemudian keadaannya membaik.

Tetapi, itu hanya sementara. Beberapa pekan kemudian dia kembali terserang stroke yang kedua. Dan dia mulai kehilangan ingatannya. Dia mulai tidak bisa menghitung. Dan banyak kosakata yang hilang dari memorinya. Kata dokter dia mulai terkena alzheimer.

Satu bulan kemudian dia terserang stroke yang ketiga. Kondisinya lebih parah dari sebelumnya. Dia lupa akan banyak hal. Dia lupa untuk bergerak. Dia lupa akan kata "sakit". Bahkan dia lupa anggota keluarganya sendiri. Dia tidak mengenal istri dan anaknya.

Ratna tentu mengerti, sebagai seorang istri dengan suami dengan keadaan yang demikian, ini merupakan cobaan berat bagi keluarga mereka. Kadang dia merasakan guncangan yang hebat. Betapa pun ini membutuhkan kesabaran yang tidak sedikit.

Mas Mustofa benar-benar sudah kehilangan ingatan, tak sedikit pun bisa mengenali dirinya dan Amir, anak semata wayang mereka. Guncangan pertama itu terjadi ketika ia masuk ke kamar. Mas Mustofa yang sedang tergolek lemah di ranjang tiba-tiba saja berteriak-teriak seperti ketakutan, seperti melihat makhluk asing si kamarnya.

“Ini aku, Mas. Istrimu…”

Mas Mustofa menggeleng dan menyuruhnya keluar dari kamarnya. Ratna menangis sesenggukan.
               
***

Mas Mustofa sudah kehilangan hampir semuanya. Dia sudah kehilangan seluruh ingatannya, bahkan berbicara saja dia sudah tidak bisa. Bukan! Bukan karena mulutnya kaku dan tidak bisa digerakkan. Tetapi karena semua kosakata telah hilang dari memorinya. Benar-benar hilang tanpa tersisa. Kecuali satu kata saja yang ajaibnya masih ada di ingatannya: Ibuk!

Ibulah yang kini rajin membantu Ratna merawat Mas Mustofa, karena hanya dia satu-satunya yang masih dikenalinya di rumah ini. Ya, hanya satu-satunya sosok yang masih disimpan dalam memorinya. Mas Mustofa tak mampu berkata apa pun, kecuali satu kosakata saja: Ibu. Karena itulah, setiap kali memerlukan sesuatu atau menginginkan sesuatu, dia hanya menyebutkan kata ibu.

Ketika lapar, haus, ingin buang hajat, ingin bangun, takut, sedih, dan semuanya, hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya: Ibuk. Dan beruntungnya perempuan yang telah melahirkannya itu selalu ada di sisinya menyiapkan segala sesuatunya.

Ratna tak pantas merasa cemburu karena Ibu yang lebih diingat Mas Mustofa. Tentu saja lantaran perempuan itulah yang lebih lama memberikan kasih sayangnya. Ratna sama sekali tidak pantas untuk merasa tidak lebih beruntung daripada Ibu. Karena itu memang sudah sepantasnya.

Tetapi, kadang godaan itu pasti ada. Kadang datang dari beberapa kerabatnya yang menyarankannya untuk menikah lagi. Bukan satu-dua, sudah banyak yang mengatakan hal itu padanya. “Kamu masih muda dan cantik. Anakmu masih satu. Kamu masih bisa mendapatkan suami lagi.”

Meskipun Ratna tak pernah menanggapi perkataan itu, bagaimana pun dia tetaplah seorang perempuan biasa yang kadang muncul pula godaan-godaan serupa dari dalam dirinya sendiri. Kini dia hanya bisa berdoa agar dirinya diberikan kekuatan menghadapi ujian ini.
               
***

Mas Mustofa orang yang saleh. Kata Ibu, sejak kecil dia tak pernah sekali pun meninggalkan salat dan rajin mengaji. Juga rajin shalat tahajud. “Nak, kalau kamu ingin berhasil dalam segala hal, dekat-dekatlah dengan Gusti Allah.” Begitulah petuah ibu yang selalu membuatnya rajin ibadah.

Selain itu, Mas Mustofa juga dianugerahi otak cerdas. Sejak di sekolah dasar sampai kuliah selalu mendapat beasiswa. Setelah menyelesaikan kuliah di Jurusan Teknik Elektro UGM, Mustofa mendapat beasiswa belajar ke Nanyang Tecnological University, Singapura. Kemudian mendapatkan beasiswa S-3 di Tokyo Institute of Tecnology, Jepang.

Tapi, kini kecemerlangan dan kecerdasannya lenyap dalam sekejap saja akibat sebuah penyakit. Ratna masih belum mengerti kenapa hal itu bisa terjadi. “Bu, kenapa ya orang baik selalu mendapatkan cobaan yang berat?”

Mereka sedang mengobrol di ruang tengah ditemani secangkir teh. Ibu hanya tersenyum. “Karena balasan itu surga itu teramat manis, Nak. Jauh lebih manis daripada teh buatanmu ini.”

Ratna ikut tersenyum. Seiring waktu, dia banyak belajar dari kesabaran Ibu. Bagaimana Ibu merawat Mas Mustofa dan selalu berada di sisinya. Tak pernah ada keluhan. Tak ada rasa lelah yang tampak dari wajahnya yang berkeriput. Ratna ingin seperti Ibu yang selalu bisa bersabar menghadapi segala kesulitan yang sedang mereka hadapi. Kata dokter, Mas Mustofa mustahil bisa disembuhkan.

Ratna hanya bisa memutar kembali kenangan-kenangan bersama Mas Mustofa dan si jangkung Amir adalah bukti cinta mereka selama ini.

Meski pun tak tersisa secercah ingatan dalam memori Mas Mustofa tentang dirinya, Ratna tak ingin kehilangan sedikit pun perasaan cinta pada suaminya itu. Kini dia sudah belajar banyak. Godaan-godaan itu sudah berkurang banyak.

Dengan ditemani Ibu, Ratna kerap menunjukkan album foto keluarga kecil mereka. Juga foto-foto terakhir mereka di depan gedung Miraikan. Senyum semringah yang memancar kebahagiaan itu mungkin sedikitnya bisa memercikkan secercah ingatannya kembali.

Mas Mustofa tetap tak mampu mengingat apa-apa. Tak ada kata-kata yang yang keluar dari mulutnya kecuali “Ibuk!”
               
Hamfara Yogyakarta, November 2014


Lampung Post, Minggu, 11 Januari 2015

Sunday, January 4, 2015

Sejak Musim Hujan Terlambat Datang

Cerpen Budi Afandi

PUNYA sepuluh anak lelaki lebih aman ketimbang punya seorang anak perempuan, begitu biasanya orang di kampung kami berkata.

Dan belakangan ini perkataan itu makin sering terdengar setelah, Jumat minggu lalu, ditemukan mayat seorang bayi perempuan di penempuran sungai di belakang kampung. Bayi dalam karung beras itu seakan sudah digariskan untuk berhenti di sungai di belakang kampung kami, agar para orang tua bisa berbondong membawa anak perempuan mereka untuk menyaksikan, lalu mencengkeram pergelangan lengan anak perempuan mereka sambil berbisik: Awas kamu hamil sebelum nikah! Saya gorok kamu!

Pada saat yang sama, para anak lelaki bisa leluasa datang dan pergi menyaksikan mayat bayi itu tanpa mendapat peringatan apa pun dari orang tuanya, termasuk saat kami membawa mayat bayi itu ke pekuburan untuk dimakamkan dengan nisan bertuliskan: Anak Cucu Adam.

Setelah pemakaman itu hingga hari ini, topik pembicaraan di kampung kami masih seputar bayi malang itu. Berbagai dugaan perihal asal muasal bayi itu bermunculan dari mulut orang-orang, dan pada akhirnya aturan-aturan baru tentang kunjungan orang-orang luar yang datang midang ke kampung kami makin diperketat.

“Ndak boleh ada tamu lelaki masuk kampung di atas jam sembilan malam,” kata Kepala Kampung saat rapat membahas persoalan tersebut.

“Lelaki yang midang harus pulang sebelum jam sepuluh malam,” kata yang lainnya.

Musyawarah yang digelar malam minggu, sehari setelah mayat bayi ditemukan, berakhir dengan beberapa kesepakatan, termasuk soal denda bagi warga yang melanggar, denda yang akan digunakan untuk menambah biaya pembangunan pos ronda. 

Salah satu pos ronda yang nantinya bisa mendapatkan dana dari hasil denda adalah pos ronda yang malam ini kami tempati, berada tepat di ujung kampung di seberang sungai di depan pekuburan. Beberapa orang warga, termasuk aku, sedang asik bermain domino ketika suara anjing terdengar menggonggong sejak beberapa menit lalu.

Kami saling lirik. Permainan kartu tertahan. Salah seorang dari kami turun dari balai dan menyalakan senter ke arah langit, hal yang biasa kami lakukan untuk memeringatkan siapa saja, bahwa masih ada orang terjaga di sekitar mereka. Tapi suara anjing terus terdengar semakin mendekat ke arah permukiman, hingga akhirnya kami sepakat turun dari balai dan bersiap dengan senjata masing-masing.

Saat baru saja menyepakati dua orang untuk tetap tinggal di pos ronda, terdengar suara tembakan. Suara tembakan yang terdengar akrab. Aku yakin, mungkin juga yang lain, suara itu berasal dari senjata rakitan yang menggunakan pipa air berukuran tiga sentimeter sebagai larasnya dan kelereng sebagai pelornya. Sebulan ini banyak warga kami yang menyiapkan diri dengan senjata rakitan itu untuk berjaga-jaga jika ada rampok.

Tembakan terdengar sekali lagi dan suara anjing itu raib.

“Kamu dan kamu, diam di sini,” ucap Sanimah, “Kabari yang lain.”

Begitu selesai berkata, Sanimah mengeratkan sabuk lalu melangkah menuju pematang. Aku dan dua rekan lainnya mengikuti. Kami menyusuri pematang yang membelah dua ladang jagung yang sudah tumbuh setinggi orang dewasa.

Tanah pematang terasa lembap. Rumputnya basah embun. Tapi udara di sekitarku terasa makin berat dan hangat. Tanpa nyala senter kami membelah malam menuju hamparan ladang jagung di belakang kampung yang tak jauh dari sungai di mana mayat bayi itu ditemukan.

Tangan kiriku memegang erat gagang senter sementara tangan yang lain memegang gagang kelewang. Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain kemungkinan ada gerombolan rampok yang mungkin sedang mencari cara memasuki kampung kami. Gerombolan yang beberapa kali beraksi di beberapa kampung di sekitar kampung kami. Rampok yang menyiksa dan menjarah apa pun dari korbannya, termasuk menjarah nyawa.

Kami berlari kecil, sesekali berhenti dan berjongkok saat terdengar suara-suara dari ladang jagung di kiri kanan kami.

“Bagi dua,” Sanimah yang paling tua di antara kami berkata sambil menunjukku dan Sadeli lalu menunjuk pematang yang ada di kanannya.

Kami berpencar, bergerak mengitari sebuah ladang jagung.
           
***

Siskamling harus digiatkan lagi. Begitu pesan Kepala Kampung saat cerita tentang aksi perampokan kerap terdengar.

Beberapa waktu lalu, perampok dengan senapan rakitan mendatangi rumah seorang warga di kampung yang tak jauh dari kampung kami. Haji Muji yang disatroni rampok itu mengalami luka parah karena dikeroyok. Menurut cerita, Haji Muji awalnya tidak hendak melakukan perlawanan dan merelakan gerombolan itu membawa semua hartanya. Namun, kesumatnya meledak saat beberapa orang dari gerombolan itu hendak memerkosa anak gadisnya. Dan begitulah, karena hendak membela kehormatan anak gadisnya, Haji Muji kalap dan anak lelakinya tewas.

Aksi gerombolan rampok terasa makin parah sejak musim hujan terlambat datang. Musim kering terasa terlalu panjang hingga ladang dan kebun jadi kurang menghasilkan. Di kampung yang dikenal subur saja, seperti kampungku, orang-orang tidak berani menanam padi karena tak tahu kapan ladang bisa mendapatkan air sehingga orang memilih menanam jagung meski sangat berbahaya ketika hujan tiba-tiba datang.

Suasana musim kering yang sudah terasa parah, diperparah lagi oleh kabar adanya orang-orang yang sengaja menembaki awan dengan panas agar hujan tak datang, hal yang dilakukan karena mereka sedang mengerjakan proyek-proyek pembangunan jalan dari penguasa.

Warga sempat marah begitu mendengar kabar itu lalu bersama warga kampung lain, kami mengajukan protes agar penembakan awan dihentikan. Penguasa berjanji hendak menuruti permintaan kami, namun setelahnya warga masih juga mendengar penembakan awan dilakukan agar pembangunan bisa rampung sebelum akhir tahun. Dan hasilnya, hujan masih juga belum datang.

Beberapa waktu lalu, pada minggu yang sama dengan saat mayat bayi ditemukan, warga sempat sudah nekat hendak menuju lokasi pembangunan jalan untuk menghancurkan mesin-mesin penembak awan. Tapi Kepala Kampung menahan dan menjanjikan akan menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara baik-baik dengan penguasa. Karena itu, warga bersepakat menahan diri dan tidak mengamuk.
               
***

Dadaku bergemuruh saat mendengar suara langkah berlari terdengar dari arah pematang di belakangku. Aku dan Sadeli berjongkok, lalu kami turun ke sisi kiri kanan pematang dan rebah di dekat pangkal batang jangung. Langkah-langkah semakin mendekat, semakin perlahan, lalu kelebat beberapa orang terlihat semakin mendekat dan semakin jelas. Rupanya beberapa warga dari pos ronda lainnya.

“Bagaimana?” Kamran berbisik kepadaku saat kami sudah keluar dari persembunyian.

“Siap-siap saja,” timpalku.

Sekitar lima orang berjongkok sepanjang pematang, di sisi lain mungkin sama, Sanimah dan orang-orang dari pos lain sudah pula bertemu.

Dari ladang jagung masih terdengar suara-suara tak biasa, suara keresek seperti orang yang sedang memperbaiki posisi duduk atau berdiri. Kami masih menunggu dalam suasana malam yang terasa lebih panas saat tiba-tiba terdengar teriakan Sanimah, “Aman! Semua kemari.”

Aku dan yang lainnya saling melirik sebelum berdiri dan melihat nyala senter dari tengah ladang jagung. Kami segera menyalakan senter lalu masuk ke ladang jagung menuju posisi nyala senter Sanimah. Saat tiba di sana, lelaki dengan kepala plontos itu sedang mengarahkan senternya ke tanah tempat sebuah tikar pandan tergelar.

“Brengsek!” ucapnya saat senter diarahkan ke sudut di mana sebuah celana dalam dan kutang berada.
“Anjingnya di sini!” suara lain terdengar dan kami bergegas.

Seekor anjing tergeletak dengan kepala terluka. Kaki binatang itu bergerak-gerak. Mungkin ia sedang berada di alam pertengahan antara sadar dan tidak. Kami saling lirik kemudian mengangkat anjing itu. Membereskan tikar. Membungkus celana dalam dan kutang. Kami bersepakat tidak menceritakan hal itu sampai ada keputusan dari Kepala Kampung. Setelahnya kami kembali ke pos masing-masing dan bermain domino.
Keesokan harinya, aku dan Sanimah membawa barang bukti itu untuk dilaporkan kepada Kepala Kampung.

Kami percaya pada Kepala Kampung seperti kami percaya pada diri kami sendiri. Karena itu, saat persoalan dengan penembak awan, kami biarkan saja sesuai permintaannya meski sampai hari ini belum ada kejelasan. Maka penyelesaian soal celana dalam dan kutang yang kami temukan di tengah ladang jagung, kami serahkan juga padanya.

Saat meninggalkan kediaman Kepala Kampung aku belum bisa mengusir bayangan buruk tentang orang-orang kampungku. Siapa warga kami yang telah mesum di ladang jagung? Mungkinkah mereka orang tua dari bayi mati yang kami temukan? Sejak kapan mereka melakukannya? Jangan-jangan tindakan mereka yang menyebabkan kami dihukum langit dengan kekeringan?
Prasangka-prasangka itu semakin parah hingga aku curiga dengan semua anak perempuan di kampung kami. Entah, apa hanya aku yang memikirkannya? Atau warga yang bersama kami malam itu, menemukan celana dalam dan kutang di tengah ladang jagung, juga memikirkannya? Yang pasti kecurigaanku semakin memuncak? Setiap melihat anak perempuan memainkan ponsel sambil tertawa, aku mencibiri. Setiap melihat anak lelaki berbisik-bisik dengan ponsel di telinga, aku mencibiri. Semua orang terlihat begitu buruk, bahkan terasa lebih buruk dari gerombolan rampok yang mungkin datang ke kampung kami.

Menjelang siang aku menuju masjid dengan semua prasangka buruk dalam kepalaku. Bayangan orang berbuat mesum di ladang jagung masih bercokol dalam kepalaku. Tapi bayangan itu raib saat aku melihat kerumunan di depan tembok rumah yang berada tepat di depan gerbang masjid. Aku bergegas, memasuki kerumunan seperti saat aku memasuki ladang jagung tadi malam.

Orang-orang sedang sedikit mendongak ke arah tembok di mana sebuah tikar pandan dibentangkan dengan paku kecil di empat sudutnya. Sebuah celana dalam hijau dan kutang merah jambu dipaku tepat di tengah-tengahnya. Di bawah kedua benda itu ada kertas putih bertulisankan:

Benda ini ditemukan tadi malam di tengah ladang jagung. Jadi saya harap, jagalah anak-anak perempuan kita dengan lebih baik.
Tertanda: Kepala Kampung

Setelah membaca tulisan itu aku melihat raut muka orang-orang. Banyak mata yang mulai kemerahan. Ada mulut yang menggerutu. Ada gigi yang bergemeretak.

Kulihat Sanimah memasuki gerbang masjid. Segera kuikuti guru silat itu. Ia tersenyum saat kami mulai naik masjid. Dan tak lama kemudian khotbah jumat dimulai. Kudengar orang terisak. Dadaku bergemuruh. Khotbah hari itu soal hukuman bagi para pezina. n

# Mataram, November 2014

Keterangan:
penempuran; muara pertemuan beberapa sungai
midang: ngapel atau berkunjung ke rumah kekasih
sabuq: ikat pinggang
sapuq: ikat kepala khas lelaki sasak


Lampung Post, Minggu, 4 Januari 2014