Sunday, March 29, 2015

Mata Air Air Mata

Cerpen Ganda Pekasih


SUDAH beberapa minggu perempuan bermata sedih itu tinggal di rumah pengembaraannya, di sebuah kota yang kabut hitam lebih sering muncul menjelang senja lalu disusul hujan jatuh, apa yang disedihkan perempuan itu adalah kesedihan tentang seorang lelaki yang wajahnya  berlumuran darah karena membutakan matanya sendiri dengan belati, yang lalu pergi meninggalkannya.

Kota yang lebih sejuk dan sore terasa lebih cepat tiba pada senja menambah kuat ingatannya selalu pada lelaki itu, dia terus pergi mencarinya dari satu kota ke kota lainnya. Sembilan tahun sudah dia melewati gugus waktu dalam kesendirian, dan dia masih yakin suatu hari pasti akan berjumpa lagi dengan lelaki itu, yang teramat luka dan pasti sangat membenci dirinya.

Saat dia membeli tanaman-tanaman hutan yang menjalar dan anggrek kesukaannya di sebuah tepi jalan, sore yang sedang dihujani merah tembaga matahari sebelum disapu kabut dia melihat seorang lelaki bertongkat berjalan seorang diri, lelaki itu buta, dan dia sungguh merasa terkejut melihat caranya berjalan yang sangat ia kenal, rambut sebahu ikal dan panjang ciri khasnya, warna pakaiannya masih seperti warna-warnanya yang disukainya dulu.
Limbo! Benarkah itu dia?

Ah, di kota ini akhirnya dia temukan lelaki itu, lelaki yang wajahnya pernah berlumuran darah kala dia membutakan matanya sendiri. Sepasang mata tampan yang tak melihat itu tentu saja tak bisa mengungkapkan lagi cinta dengan sinarnya,  menumpahkan semua harapan masa depannya seperti dulu yang cuma untuknya.

Dia tampak berjalan pelan dan tertatih-tatih dengan tongkatnya itu menyusuri sore ke arah matahari terbenam, dulu dia seorang lelaki yang gagah, kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri saat mereka telah bertunangan dan waktu pernikahan sudah ditetapkan.
Mau ke mana dia seiring senja jatuh?

Limbo...

Suara tongkatnya terdengar memukul kerikil-kerikil tepi jalan. Dia mencoba mengikutinya beberapa puluh meter, merasa hampa tak berarti, air matanya deras berjatuhan, dia tak sanggup untuk menyapa dan akhirnya berbalik arah, pulang tergesa, menjatuhkan dirinya di ranjang yang dingin dan sepi.

Kata orang-orang di tikungan ujung perumahan di kaki bukit sejuk itu, biasanya dia ke kedai kopi langganannya untuk merokok, bertemu teman-temannya dan ngobrol dengan siapa saja yang mampir ke kedai kopi itu, lalu  dia melanjutkan pergi ke tepi danau, bekerja menjaga beberapa petak ladang bunga yang mekar di sana ketika malam dan dipanen pemiliknya pagi hari untuk dilelang ke kota.

Dia pernah cerita kepada orang-orang, menikam kedua matanya sendiri karena melihat perselingkuhan calon istrinya, cintanya, di malam acara penglepasan lajang perempuan itu, perempuan yang tak bisa menolak bujuk rayu bekas pacar di masa lalu, cinta yang pernah membutakan jiwa mereka. Beberapa temannya membawa botol-botol minuman, berpesta agak liar, jauh di luar keinginannya dan nyaris mereka semua minum sampai mabuk hingga terjadilah perselingkuhan itu. Limbo, tunangannya yang sengaja tak diundang datang, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri di kamar pesta itu, dan mereka tak memiliki alasan khilaf untuk membantah.

Limbo, lelaki yang sangat dirindukannya itu, bertahun-tahun sudah dia mencarinya, lelaki yang dengan mata kepalanya sendiri melihat tunangannya bergelinjang lupa diri dan cinta yang telah disandarkan hanya untuk sang calon pengantin, lalu dia membutakan matanya karena tak sanggup melihat petaka itu, berdarah-darah di malam pesta, menjadi pemandangan yang mengerikan. Pemandangan yang tak pernah pergi dari pikirannya yang membuat penyesalan tak berkesudahan.

Setiap sore dan senja turun hingga malam dia berdiri menunggu lelaki itu kembali lewat di depan taman penjual bunga-bunga hutan dan anggrek, tapi saat lelaki itu muncul mengayun tongkatnya, dia yang sudah dekat di belakang mengikuti hingga puluhan meter tak berani menegur sedikit pun, apalagi mengeluarkan suaranya yang terisak, bahkan dia takut lelaki itu akan mengetahui kehadirannya.

Hingga suatu ketika lelaki itu menghentikan langkahnya, mematung, perlahan dia memalingkan wajah ke belakang, ke kiri dan ke kanan, dia mungkin sudah tahu sejak pertama perempuan itu mengikutinya beberapa hari yang lalu, aroma tubuh perempuan itu pasti terendus hidungnya, bercampur bau anggrek-anggrek hutan kegemarannya sejak dulu, Lelaki itu tampak acuh saja kemudian melanjutkan perjalanannya lagi, dia pasti tahu perempuan itu terdiam di tempatnya, menahan sedu sedan tangis kesedihan, lalu berlari pulang meninggalkannya.

Sepetak ladang bunga itu mulai mekar di bawah bulan dan langit dini hari, tak ada angin berhembus kecuali hening, hanya serangga serangga kecil mengisi kesunyian menikmati aroma bunga-bunga.

Ketika terdengar suara kokok ayam dia pun pulang, kicau-kicau burung beraneka suara mengiringi langkahnya, rumahnya hampir lima kilometer dari petak-petak ladang bunga itu, di tepi lembah yang berbatu-batu.

Melewati kembali tikungan yang agak sedikit ramai dengan deretan penjual makanan, penjual bunga-bunga segar tempat dia biasa singgah sekejap minum kopi, sarapan bubur, dan merokok sebelum istirahat memejamkan matanya di rumah, mata yang tak melihat apa pun sejak peristiwa berdarah itu, kecuali kegelapan cintanya yang dikhianati.
Memperhatikan dan mengikuti laki-laki itu beberapa kali lalu akhirnya terisak pulang kini perempuan itu sampai di ladang bunga. Mereka sama-sama tiba di sana, duduk berjarak beberapa meter.

Lelaki itu menyadari sudah begitu sering dia terus diikuti, bau tubuh perempuan itu yang membuat dirinya terpelanting ke masa lalu.  Dia pernah yakin tak akan pernah berjumpa lagi dengan gadis yang pernah bertunangan dengannya itu, calon istrinya yang harus ditinggalkannya. Dia yakin itu Mayan, yang membuat dia lebih baik membutakan matanya sendiri dan pergi. Apa yang dicarinya datang ke tempat sunyi ini? Bukankah semua sudah berlalu?

Wanita-wanita yang kini dikenal lelaki itu merasa dia adalah pria yang tampan pada mulanya jika dia masih mempunyai sepasang bola mata itu, sepasang mata adalah cahaya kehidupan. Dengan mata buta ketampanan tak bisa berwujud, dia jadi hilang bentuk, wanita-wanita itu mereka-reka seperti apa ketampanannya, tapi mereka yakin dia awalnya adalah lelaki yang tampan.

Setelah mereka hanya membisu, Mayan akhirnya tak bisa lebih lama lagi membeku.

“Aku ingin buta seperti juga kau Limbo, aku merindukanmu, sangat merindukanmu.” Mayan terisak.

Angin malam berdesir, bunga-bunga mulai bermekaran dini hari berlomba menjumpai pagi.

“Apa yang kau cari lagi,  Mayan.”

Lelaki itu bangkit, berjalan ke tengah ladang bunga dan memetik beberapa rose, memberikannya kepada Mayan.

“Ini ladang pencaharian bibiku, aku hanya menjaganya sebelum pagi dipetik untuk dibawa ke pelelangan.”

“Terima kasih.” Mayan menghirup serumpun rose mekar dalam-dalam. “Butakanlah mataku dengan tangkai tangkai mawar ini Limbo, biar kita menjadi sepasang kekasih buta.”

“Aku lama mencarimu. Aku menderita sejak melihat darah itu. Aku sungguh menyesali semua itu.”

“Tak boleh Mayan, mata tak berguna tanpa cahaya.”

“Aku merindukanmu hidup bersama. Aku tahu khianat mana pun tak ada yang bisa menandingi kecewamu, aku akan mengobati lukamu, mengabdi padamu.”

“Sudah terlambat Mayan.”

“Aku ingin buta bersamamu Limbo, aku sudah lama mencarimu, Limbo.”

Mayan memeluk Limbo sekuat tangannya.

Bunga-bunga bermekaran.

Pagi hari mereka pulang, diiringi mentari, Mayan ikut ke rumah Limbo. Mereka disambut seorang perempuan dengan sepotong tongkat seperli Limbo dan matanya buta.
Mayan tercekat!

“Dia istriku, namanya Layonsari, kami sudah kenal lama di daerah ini, dia membutakan matanya sendiri karena melihat perselingkuhan suaminya, lalu dia datang menemuiku dan kami saling membutuhkan, mencintai dalam kebutaan, seiring waktu kami merasa kami tidak buta, cinta kami  bercahaya.”

Mayan dilibas cemburu. 

Perempuan buta itu mendekati Mayan, merabai wajahnya, menelusuri bahu dan rambut Mayan.

“Kau perempuan yang cantik,” dengusnya tak suka.

Napas Mayan memburu.

“Kau pasti perempuan yang bernama Mayan itu? Limbo pernah menceritakanmu. Hh, kau ternyata!”

Mayan terpatung, Layonsari mundur beberapa langkah.

“Aku tak mau berjumpa lagi dengan Koko!” Tiba-tiba dia histeris. “Dia jahat, dia tak boleh mencariku ke sini hanya karena suatu saat nanti dia menyesali perbuatan selingkuhnya, seperti perempuan ini, yang membuat kekasihnya membutakan matanya sendiri lalu dia datang mencari kekasihnya mengatakan dia sangat bersalah! Tidak! Pergi kau! Pergi!”

Mayan bergidik ngeri mendengar ucapan perempuan itu, perempuan yang  pasti sangat membenci lelaki yang membuatnya membutakan matanya sendiri, seperti juga bencinya Limbo dulu padanya. Lalu perempuan itu tampak menggapai-gapai ke arah Limbo, begitu dapat tubuh Limbo langsung dia peluk dengan erat.

Mayan bergetar melihat pasangan buta itu, dilibas cemburu.

“Butakanlah mataku, aku sangat cemburu! Itulah balasan yang pantas untukku! Aku tak akan menyesal!” Mayan mendekatkan wajahnya ke arah Layonsari sambil dia mengulurkan tangkai-tangkai rose yang panjang berduri.

Limbo menggapai-gapai mendekati Mayan.

“Pergilah Mayan, tolong pergi dari sini, jangan ganggu kami.”

Mayan makin dilibas cemburu, Limbo mengusirnya, yang lama dia cari bertahun-tahun. Mayan merasa hancur berkeping! Merasa sangat pantas jika dia membutakan mata sedihnya sendiri segera, itu setimpal dengan kemarahan Limbo dulu, tak perlu lewat tangan mereka, tapi dengan kedua tangannya sendiri. Tapi jika dia membutakan matanya sendiri bukankah Limbo sudah tak bisa melihat darah-darah itu, tak bisa. Jadi percuma saja karena Limbo tak akan melihat pengorbanannya.

Limbo dan istrinya melewati jalan ke arah matahari jatuh, bergandengan tangan, istrinya itu pasti tak membiarkan lagi suaminya pergi sendiri, juga tak ingin kekasihnya dari masa lalu datang lagi mendekat membawa penyesalan, ujung tongkatnya ia sambarkan ke sana kemari.
Mayan terisak, sudah beberapa sore mereka memamerkan cinta dan kemesraan, tak memberinya lagi kesempatan sedetik pun didekati. Mayan melemparkan tangkai-tangkai rose berduri dan bergegas lari. Limbo beruntung menemukan lagi sosok yang dicintanya, sedang dia akan mengembarai lorong, makam sunyi, dengan sepasang mata sedihnya yang tanpa cahaya kecuali air mata. n


Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2015

No comments:

Post a Comment