Sunday, March 1, 2015

Kepak Burung Merah

Cerpen Rifan Nazhif


HARI cukup cerah. Kemudian hujan turun. Bermula gerimis, lalu menderas seakan ditumpahkan dari langit. Sekitar bandar udara sedikit berkabut. Dingin menggigit. Kurapatkan jaket membetot badan.

Selintas wajah Pa Tua membayang di mata. Sepuluh tahun lamanya kami tak bertemu. Dia ayahku. Akan terdengar geli bila aku menyebutnya Pa Tua, bukan ayah. Tapi panggilan Pa Tua lebih cocok di lidahku. Usia kami terpaut jauh. Ketika aku lahir, dia hampir 55 tahun. Dan aku adalah anak paling buncit dari istrinya yang paling buncit. Pa Tua itu Don Juan. Istrinya lima.

Tujuanku bertemu dia di Negeri Singa bukan sekadar ingin melepas kangen. Lebih tepatnya ingin mempelajari ilmu pengasih. Bagaimanapun, di usia 25 tahun dia telah memecahkan rekor beristri tiga. Di atas usia 30 tahun, sebelum berkepala empat, dia beristri lima. Sedangkan aku, menjelang 40 tahun, pacar saja pun tak punya. Konon lagi mau menikah. Kepergianku ke Negeri Singa pun tanpa sepengetahuan Ma Muda, ibuku. Pa Tua dan Ma Muda sudah bercerai sekitar sembilan tahun lalu. Penyebab utama, Pa Tua menikah diam-diam dengan perempuan berwajah oriental dan bolak-balik Indonesia-Negeri Singa.

“Kami sedang menunggu Anda. Anda Pak Safran, kan?” Seorang perempuan berbaju terusan corak batik, tersenyum di hadapanku. Aku gelagapan. Membetulkan posisi leyeh-leyeh di kursi ruang tunggu. Kemudian meraih tas jinjing berukuran sedang. Sebelum meninggalkan perempuan itu, kuucapkan terima kasih dengan kesan malu-malu.

Di lapangan udara, burung merah itu sabar menunggu. Kuturuni beberapa tangga sebelum akhirnya buru-buru menerabas hujan. Salahku terlalu lama melamun. Salahku seperti tuli ketika orang yang memanggilku dari speaker habis kesabaran.

Masuk dari pintu di ekor burung merah, aku duduk di bangku bagian tengah, sesuai nomor tiket. Seorang perempuan muda, juga seorang perempuan setengah baya, masing-masing mengapitku. Kupikir mereka satu keluarga, atau mungkin teman. Tapi aku merasa bodoh setelah mereka mengatakan bahwa burung merahlah yang mempertemukan mereka. Ya, mengapa pula mereka harus duduk dipisahkan bangkuku, kalau memang mereka satu keluarga atau teman.

Tak ada perbincangan selanjutnya. Perempuan muda itu sibuk mematikan gadget. Aku tersenyum. Sudah hampir tiga jam kumatikan handphone sebab takut ditelepon Ma Muda. Perempuan tua itu mengeluarkan kaca mata tebal dari saku baju hangat. Lalu membuka lembaran buku yang dikepitnya di ketiak sedari tadi.

Harusnya aku lebih banyak berbincang dengan perempuan muda di sebelahku. Tapi aku bukan tipe perayu, terlebih tipe pengganggu. Melihatnya menguap, lalu menyenderkan kepala di sandaran kursi, tentu tak pantas mengajaknya berbicara. Misalnya dengan menawarkan sebatang cokelat atau beberapa butir permen di balik saku jaketku. Dia pun terpejam. Entah tertidur. Malah kemudian, perempuan tua itu yang memulai perbincangan, sesaat pesawat terbang landas menembus awan tebal.

Ada getaran. Hentakan. “Kejadian ini selalu membuatku takut,” kata perempuan tua itu. Perempuan muda di sebelahku mendengkur halus, seolah tak merasakan apa pun. “Tapi setelahnya, kembali biasa.”

“Tenangkan hatimu, Bu.” Kuusap punggung tangannya. Buku yang dibacanya, jatuh ke lantai burung merah. Kuraih, dan kuletakkan pelan di pangkuannya. “Aku teramat sering mengalami hal yang demikian. Tapi percayakan saja semuanya kepada pilot. Mereka telah lihay.”

“Bukan percayakan kepada Tuhan?” selanya.

“Terutama itu,” Aku tersenyum.

Dia kembali membaca buku. Hanya saja, sepertinya dia lebih senang berbincang denganku. “Andai saja aku mempunyai anak yang masih gadis, akan kujodohkan dia denganmu.” Senyumnya nakal. Aku terperangah. Darimana dia tahu aku belum menikah? Apakah dia cenayang? Kutepiskan takhayul itu. Senyum kulepaskan bahwa aku tak berpikir macam-macam.

“Kau pasti bingung mendengar perkataanku. Lalu menbak-nebak tak karuan. Aku sudah tua. Sudah banyak makan asam-garam. Berbagai lelaki telah berhubungan, maksudku berbisnis denganku. Tua-muda. Jadi, apa sulitnya membedakan lelaki yang masih bujangan, menikah, atau duda?” Dia tertawa pelan. Burung merah tersentak. Bergetar seolah melewati kubangan. Buku perempuan itu jatuh lagi ke lantai burung merah. Kini, dia yang pelan mengambilnya, kemudian menyimpannya di saku kangguru yang terjahit di punggung kursi di depannya.

Awan hitam menyentuh kaca. Kilat saling menghempas di sekitar sayap burung merah. Tiba-tiba aku takut kilat itu melukai sayapnya. Lalu terbakar. Lalu… ah…

“Awan kumulonimbus,” katanya. Bukan perempuan tua itu yang berkata, melainkan perempuan muda di sebelahku. “Aku selalu takut bertemu awan itu. Menyeramkan. Seperti tangan maut.”

Suara di speaker meminta seluruh penumpang mengencangkan sabuk pengaman. Beberapa penumpang berdoa. Hening. Dan tiba-tiba sebuah sentakan menghantam seperti di bagian paruh burung merah. Kecepatan burung merah melebihi biasanya. Bukan terbang lurus. Lebih tepatnya terjun. Kilat-kilat menyambar kaca. Semua seperti ditelan cahaya. Mataku silau. Telingaku berdengung mendengar segala derak dan jerit. Aku tak merasakan apa-apa lagi, sebelum akhirnya kubuka mata, dan melihat orang-orang di sekitarku sedang bersiap mengambil barangnya di bagasi atas kepala.

“Sudah sampai, anak muda! Kerjaanmu tidur saja.” Perempuan tua itu tersenyum. Terlihat lebih cerah dan muda dibanding beberapa saat lalu. Ingin kutanyakan apakah dia masih ketakutan dengan kejadian barusan, maksudku saat disergap awan kumulonimbus. Tapi kupilih bungkam karena dia sudah menyuruhku berdiri. Perempuan muda di sebelahku sudah menghilang duluan.

Aku pikir ini di Bandara Changi. Orang-orang bergegas menembus gerimis. Setelah keluar dari perut burung merah sekitar sepuluh atau sebelas langkah, kusempatkan menoleh. Ajaib, burung merah itu telah lenyap!  Begitu cepatnya, seperti mengejar setoran.

Keluar dari pintu kedatangan, aku merasa melihat seseorang yang sangat kukenal di antara kerumunan penjemput dan sopir taksi. Dia menatapku takjub. Melambaikan tangan sambil tersenyum. “Safran, kapan kau tiba, Kawan?” Dia mengacuhkan larangan petugas bandara agar jangan melewati pembatas penjemput. Disongsongnya aku. Dirangkulnya bahuku. Meski agak gamang dan rikuh, tapi cepat juga kurasakan kami menjadi sangat akrab. 

Dia mengajakku singgah di gerai makanan. Menawarkanku mi telor kuah hangat. Seperti selera beratku dulu. Kukatakan dulu, sebab sekarang dokter melarangku memakan, bahkan menyentuh makanan itu. Gula darahku lumayan tinggi. Begitu juga tekanan darah. Dan masalah perut yang agak membusung, menjadi perhatian utama. Artinya, jika ingin lebih panjang umur, aku harus puasa selamanya dengan masakan siap saji, junkfood atau apalah namanya dan setipe dengan itu. Namun, tawaran dengan kawan baruku itu tak selayaknya ditolak. Lagi pula posisiku jauh dari dokter. Hmm, tak ada salahnya membatalkan setelah hampir empat tahun berpuasa.

“Dingin-dingin begini enaknya memang makan yang hangat-hangat dan sedikit berlemak.” Dia menatap perutku. Kami tertawa. Dua kursi kosong di meja sudut, menyambut kami.

Perbincangan demi perbincangan semakin lancar laksana arus air. Entah kenapa aku merasa kami memiliki banyak kesamaan. Sama-sama masih bujangan. Sama-sama suka memakai jins dan kaos. Sama-sama suka sepatu kets warna putih. Dan sekarang kami mengenakan jins, kaos, sepatu kets yang warnanya senada. Apakah dalaman kami juga sama? Aku tersenyum geli.

“Kenapa kau tersenyum?”

“Memangnya senyum dilarang?”

Kami keluar dengan perut kekenyangan dari gerai itu. Sebuah taksi mengantarkan kami ke rumah Pa Tua. Dia mengenal dekat lelaki itu, setelah kuceritakan di gerai, tujuanku ke Negeri Singa ini. Jadi, tak ada salahnya dia mengantarku ketimbang memilih pergi sendiri dengan risiko tersesat. Sungguh tak mengenakkan, bukan?

Taksi berhenti di depan sebuah rumah. Sebentar kami sedikit berdebat. Makan-minum di gerai dia yang membayari. Kenapa pula urusan taksi harus dia pula yang menanggung? Sebagai pemanduku, dia harus dibayar, bukan membayar.

Tapi tabiat kami ternyata sama. Keras kepala. Hanya saja sedikit aneh, kenapa aku kalah masalah keras kepala dengannya? Apa memang kepalanya sekeras batu? Refleks kuketok jidatnya. Dia mengaduh. “Ternyata tabiat dan kepalamu sama-sama kerasnya.” Kami terbahak.

Seorang perempuan manis menyambut kami. Sepertinya dia sudah mengenal wajahku dan terlihat sudah akrab dengan lelaki di sebelahku. Perempuan itu berlari ke dalam rumah, katanya ingin memanggil Pa Tua.

Aku memandang kawan baruku. Sejak pertama kali bertemu, aku belum tahu namanya. Sementara dia sudah tahu namaku. “Eh, dari tadi aku belum tahu namamu. Namamu siapa?” tanyaku.

“Apalah arti sebuah nama.”

“Janganlah berperibahasa, kawan.”

“Itu bukah peribahasa. Itu perkataan pujangga besar.” Dia terdiam sejenak, lalu berkata lagi, “Namaku, Safran.”

Kupukul pelan lengannya. Kukatakan dia bercanda. Tapi wajahnya terlihat amat serius. Dia setengah menyeretku ke cermin yang sengaja di tempel di dinding rumah. Dan betapa terkejutnya aku, ternyata bentuk tubuh dan wajah kami serupa.

“Gila. Apakah aku bermimpi? Ini cuma halusinasi!”

“Ini benar, Safran. Aku adalah dirimu. Dirimu adalah aku. Tepatnya aku adalah amal ibadahmu.” Aku meremas rambutku seolah gila. “Safran, mustahil ada yang hidup setelah burung merah itu diremas awan kumulonimbus dan meledak, dan jatuh berserak ke dalam laut. Percayalah! Kau tahu maksudku, kan?” n


Lampung Post, Minggu, 1 Maret 2015

No comments:

Post a Comment