Sunday, February 8, 2015

Sang Penulis

Cerpen Mashdar Zainal


SESEORANG mengatakan menulis itu sebuah ilmu dan ilmu itu seperti sebuah pisau, jika tidak dipakai atau diasah, ia akan tumpul. Maka, malam ini, setelah berbulan-bulan tidak menulis, aku mencoba memulainya lagi. Dan baru saja kusadari, bahwa pisauku telah benar-benar tumpul. Banyak ide meletup-letup dalam kepalaku, seperti gelembung bubur yang mendidih di dalam periuk di atas tungku. Begitu panas dan butuh dituangkan. Namun, ini tak semudah kedengarannya.

Aku sudah duduk di depan laptop selama hampir satu jam dan layar monitor masih putih sempurna. Hanya kursor kecil berkedip-kedip seperti mengejek. Aku jengkel dan mulai memikirkan kalimat yang menarik untuk membuka paragraf awal. Tanganku mulai bergerak, memencet tombol-tombol huruf di keyboard, suaranya sedikit berisik, seperti ketukan sepatu di ubin keramik.

Satu kalimat telah tertuang. Kubaca lagi. Berulang kali. Baru kusadari bahwa aku tak pernah menemukan kalimat pembuka yang lebih buruk dari itu. Pragraf awal dari sebuah cerita adalah hal yang sangat menentukan, tak ubahnya sebuah pintu gerbang untuk masuk ke kedalaman cerita. Jika pintu itu salah atau terkunci, pembaca takkan sudi masuk ke dalamnya, dan cerita itu pun hanya akan menjadi sebuah tulisan yang gagal. Tulisan yang ditulis oleh seorang yang mungkin saja hanya pecundang.

Aku menekan tombol backspace lama sekali, sampai deretan huruf itu hilang dan layar monitor kembali menjadi putih. Dan kursor kurang ajar itu kembali berkedip-kedip mengejekku.

Aku kembali tercenung memikirkan kalimat pembuka yang lain. Kalimat pembuka yang mungkin pantas untuk dibaca siapa pun. Setelah beberapa jenak, aku tersenyum dan kembali menuliskannya seperti orang mabuk. Sebuah kalimat pembuka telah berjajar di layar putih.

Kalimat pembuka itu kubaca berulang-ulang dengan bangga, hingga tiba-tiba seseorang tengah menggetok kepalaku dengan palu, aku menyadari sesuatu, kalimat pembuka itu memiliki citarasa seperti sebuah puisi yang tidak matang. Penuh metafora tapi kering. Aku tak percaya bahwa aku yang barusan menuliskannya. Aku menghela napas. Kutekan tombol Ctrl+A dan kemudian Del. Layar bersih seperti semula.

Aku duduk bersila dan mengambil napas pelan. Menatap layar monitor yang kosong itu dengan saksama. Kursor kecil itu masih saja berkedip-kedip. Genit sekali. Barangkali ia akan terus berkedip-kedip seperti itu sampai laptop itu kehabisan baterai dan listrik mati. Aku seperti tercenung. Dan mendadak semuanya menjadi sunyi. Aku terus menatap layar putih itu dan berharap sebuah keajaiban terjadi.

Menulis memang bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Sampai-sampai kepalaku sedikit pening gara-gara memikirkan bagaimana memulai paragraf pertama. Kepalaku benar-benar pening. Dan berat. Hingga langit-langit bagai berputar. Aku memejamkan mata. Membiarkan diriku membeku dalam keheningan. Dengan begitu rasa pening di kepalaku bisa sedikit berkurang. Mungkin.

Setelah beberapa menit, dalam keheningan, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan yang bertubi-tubi dari dalam laptop, seperti suara tombol huruf yang diketuk berkali-kali dan berganti-ganti. Suaranya tak begitu nyaring, seperti dari dalam pengeras suara dengan volume terlalu kecil. Namun, mendadak di layar putih itu muncul huruf-huruf yang saling mengejar. Aku mengucek mata. Tak percaya. Tapi aku membacanya… terus membacanya…

Lelaki di depan laptop itu jengkel pada dirinya sendiri. Ia ingin menulis sesuatu namun tak pernah berhasil. Kepalanya telah menjadi pisau yang tumpul dan tak bisa digunakan untuk mengiris kata apa pun. Ia menyesal sebab lama tidak mengasah pisau itu. Kini, setiap kalimat yang ditulisnya ia rasai seperti merajam dirinya sendiri.

Lelaki itu sebenarnya punya ide bagus tentang kisah cintanya yang dikhianati, ia ingin menuliskannya, tapi ia gagal sejak kalimat pertama. Padahal kisah itu tidak terlalu rumit, hanya seorang wanita yang menolak dinikahi seorang pria yang konon pekerjaannya adalah penulis.

Pekerjaan yang tak boleh tercantum dalam daftar identitas. Mengingat detik ini ia tidak berhasil memulai tulisan apa pun. Ia pun mulai ragu pada dirinya sendiri dan beranggapan bahwa keputusan kekasihnya itu keputusan yang adil. Pekerjaan menulis memang tidak bisa diharapkan. Menulis memang tidak lebih mudah dari menjadi seorang buruh pabrik, pikirnya. Buktinya ia hanya terlongok di depan laptop selama berjam-jam dan tak menghasilkan apapun. Malah kepalanya yang jadi pening. Ia sadar, itu kesalahannya: ia terlalu lama tidak menggunakan pisaunya.

Lelaki itu memang tak kenal menyerah—atau bebal? Ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia tak akan beranjak dari laptopnya sebelum menghasilkan sebuah tulisan, setidaknya tiga halaman. Namun begitulah, sampai detik ini ia masih bengong dan tak bisa memulai tulisannya. Ia masih saja berjibaku memilah ide-ide dan kalimat-kalimat pembuka yang menarik, yang semuanya berselengkatan dalam kepalanya.

Bagaimana kalau aku menuliskan kisah ibuku, bisiknya dalam hati. Namun ia sadar, ibunya tak pernah memiliki kisah yang menarik. Keluarganya baik-baik saja. Dan menulis sesuatu yang baik-baik saja tentu kurang menarik. Kini ia berimajinasi, ibunya gantung diri karena ayahnya selingkuh dengan bibinya. Lalu suami bibinya silih menusuk ayahnya sebab menyelingkuhi istrinya. Oh tidak, itu kisah yang rumit dan terlalu tragis, pikirnya kemudian. Ia menyerah, ia memang tak bisa mengambil ide apa pun dari kisah keluarganya, alih-alih membuat kalimat pembuka yang menarik.

Setelah berpikir lagi, sedikit lama, lelaki itu lekas menyadari bahwa masalahnya bukan pada ide ataupun kalimat pembuka, tetapi pada bagaimana pisau itu bekerja dengan baik. Merajang kata-kata dan meraciknya menjadi kalimat yang lezat. Mustahil, oh mustahil, ia bahkan bingung apa yang sedang bergejolak di kepalanya. Yang jelas, semua kegalauan ini berujung pada kesalahannya sendiri: ia terlalu lama tidak menggunakan pisaunya. Kini pisau itu sudah tumpul. Dan ia baru tahu rasa.

Lihatlah! Lelaki itu hanya memelototi layar laptopnya yang kosong dengan tatapan kosong. Kosong sekosong-kosongnya. Lihatlah lelaki itu. Kau mengenalnya lebih baik dari siapa pun. Pecundang itu. Lelaki itu. Yang konon adalah seorang penulis. Sang penulis.

Aku? n

Malang, 2014


Lampung Post, Minggu, 8 Februari 2015

No comments:

Post a Comment