Sunday, December 28, 2014

Angki

Cerpen Yulizar Fadli


DI dalam sel penjara berbau pesing, aku mendengarkan kisah dari mulut seorang lelaki paruh baya. Malam itu, kami berdua duduk bersisian sambil menyandarkan punggung ke tembok. Aku agak menyesal gara-gara menanyakan perkara perempuan bernama Angki kepadanya.

“Tolong pijiti saya,” katanya. Aku diminta memijati punggungnya. Aku bangkit dan segera melaksanakan perintahnya. Sementara itu, si lelaki paruh baya memulai ocehannya.
               
*

Saya ingat pada sebuah sore sekitar enam belas tahun lalu, saat itu jalan raya disesaki lalu lalang kendaraan dan gerimis turun saat saya dan Angki berteduh di bawah atap terpal gerobak gorengan di depan rumah toko, di seberang tugu Sumpah Pemuda. Lampu jalan menyirami kaos biru dan rambut Angki yang bergelombang. Beberapa helai rambut terjuntai menutupi sebelah matanya. Saya menyingkirkan rambut itu dan mulai memandangi matanya. Bagi saya, binar mata Angki jauh lebih terang ketimbang cahaya lampu jalan.

“Apa aja, Mas?” kata penjual gorengan.

Kami berdua kaget, Angki menunduk sambil mengulum senyum dan saya berpaling ke muka lelaki kurus berkumis tipis yang di tangan kanannya menggenggam alat pencapit gorengan berbahan stanlis.

“Campur, tapi bakwannya lebih banyak,” kata saya setelah mengulurkan uang kertas dua puluh ribuan. Saya mengangguk kepada si penjual. Pada saat yang sama, dengan ekor mata kanan saya, tertangkaplah sekilas gambar lontaran senyum Angki. Tertangkap pula gerak gemulai tangan kirinya yang tengah membenarkan beberapa helai rambut yang kembali menutupi pandangannya.

Sekali lagi saya menatap mata Angki, tapi dia justru menatap plastik hitam berisi gorengan yang dijinjing si penjual. Bibir Angki yang tipis dimonyongkan untuk memberi tanda kepada saya. Saya pun menoleh ke si penjual dan berkata terima kasih setelah lelaki berkumis tipis itu menggeleng dan melemparkan senyum.

Lalu saya berikan plastik itu pada Angki sebelum kami berdua berbalik badan dan melangkah menghampiri motor yang terparkir enam langkah dari gerobak kue itu. Gerimis masih turun dan jalan raya tetap ramai ketika saya menghidupkan mesin motor. Dengan helm di kepala, kami berdua mulai berkendara di antara puluhan kendaraan lainnya.

Kepulan asap yang keluar dari moncong knalpot-knalpot itu mungkin telah masuk ke lubang hidung dan paru-paru kami. Selama di jalan, saya dan Angki membisu sambil menembus gerimis menuju rumahnya.

Sampai di depan rumah, setelah mengembalikan helm kepada saya, Angki mengucapkan terima kasih dan melangkah masuk ke dalam. Saya menjawab ucapannya dengan angguk dan senyuman. Dia mengangkat tangan kirinya dan berkata, “Sampai jumpa.”

Dan pada jam lima sore, dua hari setelah membeli gorengan malam itu, di teritis kolam renang hotel berbintang tiga, saya dan Angki berbaku tanya. Belasan orang ada di kolam itu. 

Tubuh Angki terendam separuh di pojok kolam yang tak seberapa dalam. Sambil menyipratkan air ke muka saya, Angki berkata, “Kenapa kamu selalu bilang menyukai mata saya?”

Saya tertawa sambil mengusir bulir air berbau kaporit dari wajah saya. Saya membalas cipratannya dan berkata, ”Bukankah tak semuanya harus ditanya?”

“Jawab saja,” katanya.

”Itu sama saja kamu bertanya kenapa saya suka makan bakwan.” Saya menatap matanya.

“Tidak logis dan gombal...” dia menyipratkan air lagi.

“Tapi kamu suka...”

“Siapa bilang?” dia tertawa. “Jawablah sampai saya menyukai jawabanmu...”

“Karena matamu,” kata saya, ”Seperti segelas es jeruk keprok. Bulir-bulir kuningnya selalu terasa saya kunyah. Segarnya tertinggal di lidah. Pendeknya saya ingin meminummu setiap hari.”

“Kamu belum terlalu mengenal saya.” Angki tertawa lalu menjulurkan lidahnya. Lalu dia berenang ke seberang dan saya mengejarnya.

Terus terang saya memang belum mengenal siapa Angki. Mungkin itu karena saya tak selalu bersamanya setiap hari. Saya hanya bisa menemuinya jika dia menelepon saya.

Dan berikutnya, dua minggu setelah kami berenang bersama, saya dan Angki berteduh di depan sebuah ruko. Saat itu hujan sangat deras. "Saya selalu mengenang saat pertama memandang matamu," kata saya sesudah menyingkirkan beberapa helai rambutnya.

Angki tersenyum setelah mencubit lengan saya. “Matamu juga selalu kukenang,” katanya. Saya menyangkal, “Ini serius. Matamu seperti telik sandi perang, selalu mengikuti ke mana pun saya pergi.”

Sekali lagi Angki mencubit, kali ini di pinggang kiri saya, “Gombal lagi,” katanya sebelum tertawa seperti orang digeltiki. Saya mengernyitkan dahi dan mengucapkan kata sungguh sebanyak dua kali. Mendengar perkataan saya, Angki menyunggingkan bibirnya. 

Sekali lagi saya memberanikan diri untuk merangkulkan tangan ke pundak Angki, tapi dia mengelak.

“Kamu punya perasaan yang sama dengan saya, kan?” kata saya.

Saya merasa tolol di depannya. Saya kehilangan diri saya. Saya justru merasa tak ada saat berdua dengannya.

Angki menatap saya. “Mungkin...” katanya sebelum mengajak saya pulang dan menerabos deras hujan.
Dan sebulan berikutnya di pinggir pantai, tepat di muka di pondok es kelapa, saya memberanikan diri untuk menggenggam kedua tangan Angki. Saya katakan padanya bahwa saya mencintainya.

Dia memandang saya dan berkata, “Sampai kapan pun, saya akan menganggapmu sebagai sahabat...”

Genggaman saya pada tangannya mengendur. “Kenapa?”

“Karena memang begitu...”

Saya melepaskan genggaman. “Kenapa kamu tidak menolak dari awal...”

“Saya tidak tahu. Saya tidak enak hati. Maafkan saya...”

“Tidak perlu minta maaf,” kata saya. Angki memeluk saya, tapi saya tidak membalasnya. Sekali lagi saya kehilangan diri saya. Saya tak ada saat berdua dengannya.

Saya berdiri lalu berjalan mendekati laut dan berdiri di tepiannya sambil memandang terbang kawanan camar. Sementara itu di belakang saya, Angki termangu di kursi bambu di depan pondok es kelapa yang sedang sepi pembeli. Lima belas menit berselang barulah saya mengantarnya pulang.

Dalam perjalanan pulang kami berdua memilih diam. Angki memeluk saya dengan erat. Rasanya saya ingin menabrakkan motor ke bagian belakang mobil yang ada di depan kami, tapi saya mengurungkannya.

Tak terasa motor yang kami kendarai sudah sampai di depan rumah Angki. Dia mengajak saya turun dan mampir ke rumahnya, namun saya menolaknya.

Enam bulan berikutnya, ketika saya pulang kerja, di seberang tugu Sumpah Pemuda, di tempat pertama saat saya memandang matanya, tepat di bangku kayu panjang milik penjual gorengan, saya duduk sendirian sambil mengunyah bakwan. Lalu, saat itu...

“Lalu, setelah mengunyah bakwan itulah bapak memutuskan untuk memutilasi tubuh Angki?” tanyaku sembarangan. Kini aku memijati kakinya.

“Ya, begitulah secara garis besar,” jawab si lelaki paruh baya sebelum mengucapkan terima kasih dan pergi pamit tidur.

“Angki...” saya menggumamkan nama itu sekali lagi. n

Bandar Lampung, 2014


Lampung Post, Minggu, 28 Desember 2014

Sunday, December 21, 2014

Suatu Waktu Kau Akan Menjelma Buku Tua di Perpustakaan yang Kuambil Sebab Hasrat untuk Mencium Aroma Kertas Tua yang Menguning dan Bebercak di Tiap Halamannya Sungguh Tak Kuasa Kukendalikan dan Kau Tidak Harus Bertanya Macam-macam Tentang Itu.

Cerpen Benny Arnas

                                                                                                                        —buat Ahmad Fajri Nida

KECINTAAN pada buku memang yang mempertemukan kita, tapi ketentuan-Nyalah yang menyeretmu bermukim dalam ingatan yang gagal mengenali malam.

Lewat pelatihan pendampingan Perpustakaan Desa (Perpusdes) selama sepekan di Bali, Oktober 2014, semesta membuat kita bersinggungan dalam adegan filmis di layar monokrom dan suara yang berisik. Kita bersisapa untuk pertama kalinya dalam acara prapembukaan dan dengan lancang kutanyakan apakah kau berdarah Aceh, sebab kau mengingatkanku pada sahabatku yang hilang disapu tsunami ketika ia pulang ke Pidie pada 2003.

Aku meyakini, peristiwa itu adalah peletakan batu pertama pembangunan kedekatan kita yang absurd. Dari ciri-ciri fisik dan bahasa tubuh, tak sedikit pun kau mirip dengan sahabatku yang hilang itu. Namun, naluriku mengatakan—tentu saja seraya berharap dengan bodohnya—bahwa kau adalah dia yang Tuhan hidupkan kembali dalam wujud yang lain; seorang laki-laki dua puluh enam tahun pemilik tongsis (tongkat ponsel berkamera penyokong berfoto selfie dari jarak jauh) yang menggelengkan kepala dan menjawab “tidak” tanpa intonasi ketertarikan untuk menghangatkan percakapan.

Saban menyadari hal itu, aku selalu merutuki kebodohanku sekaligus mengutuk semesta yang tanpa tedeng aling-aling mengaitkanmu dengan dia yang selama ini hanya kuingat ketika berita tentang tsunami sesekali muncul di televisi. Ah, apa yang bisa diperbuat seorang manusia yang tidak akan hadir di dunia tanpa kehendak-Nya sepertiku ini?

Keesokan harinya, para peserta sudah terbagi dalam tiga kelompok. Kami berada di kelas yang sama dan sedikit pun aku tidak menganggapmu istimewa. Kupikir, kau hanya seseorang dari entah yang Tuhan kirimkan untuk membuatku merutuk beberapa kejap bahwa reinkarnasi itu tidak pernah ada! Lagi pula, selama pelatihan di kelas, aku tak pernah merasakan kebosanan sebab para instruktur begitu lihai berbagi ilmu, tidak pelit memberikan apresiasi pada peserta, dan tentu saja sejumlah permainan yang dikeluarkan di waktu-waktu yang mustajab. Bila pun harus kusebutkan celah yang tidak penting adalah; sebagai seorang narsis, aku sedikit kecewa sebab kau tidak membawa tongsis-mu ke dalam kelas.

*

PADA suatu malam (aku lupa malam keberapa), aku menyelesaikan sebuah esai tentang perpustakaan dan membaginya di grup Facebook yang beranggotakan para pendamping Perpusdes seperti kita. Tulisan itu beroleh respons positif, baik dari para instruktur maupun para peserta. Dan kau adalah salah satunya. Sebagai pengarang yang sudah menerbitkan enam buku, aku sudah terbiasa dengan pujian (juga kritikan, sebenarnya). Tapi entah bagaimana, keinginanmu untuk belajar menulis yang kauungkapkan ketika mengunjungi kamar hotelku pada sebuah pagi, membuat tumpukan batu bata kedekatan itu perlahan-lahan tumbuh, meninggi, dan mendindingi kita dengan sejumlah tanda tanya.

Pada malam kelima, usai memenuhi tawaranmu dan dua teman sepelatihan yang lain untuk berenang di lantai paling atas hotel bakda magrib itu, rencana makan malam bersama di sebuah kedai di pinggir jalan merusak mood-ku. Aku tidak bisa makan bersamamu dan teman-teman karena aku tidak bi(a)sa makan ayam kalau bukan ayam kampung. Aku pun meninggalkan kalian begitu saja. Ah, saban mengingat itu aku merasa sangat bersalah. Alasan bahwa perutku mulai berulah sebab mag yang kambuh sangat tidak sepadan dengan ketaksopananku. Aku akhirnya makan ke kedai yang lain dengan “menyeret” salah seorang teman yang sedang ada di lobi hotel untuk menemaniku. Sekembalinya di hotel, aku berniat menyelesaikan sejumlah deadline yang sedang kugarap, tapi perasaan bersalah sungguh menggangguku. Aku mencoba mengalihkannya dengan menonton teelvisi sebelum akhirnya mengetik pesan pendek ke nomor ponselmu. Entah bagaimana, sepertinya aku butuh teman ngobrol untuk mengembalikan mood-ku. Sementara teman sekamarku sedari tadi membiarkan acara favoritnya Arjuna Mencari Cinta menyaksikannya terlelap.

Sayang sekali, ternyata, usai makan malam, kau dan teman-temanmu mampir di pusat perbelanjaan. Kau juga meminta maaf karena telah membuatku tidak bisa bergabung makan malam bersama. Ah, aku yang “bertingkah”, kenapa kau yang meminta maaf? Aku tersenyum miring membaca pesan pendekmu. Aku mengutuk diriku yang terlalu gengsi untuk meminta maaf hingga akhirnya kaudahului. Memang, itu bukan perkara serius atau hal yang bisa merenggangkan hubungan antarteman-sepelatihan, tapi mood yang tidak baik selalu mampu melemparku pada keadaan yang sejatinya tidak kusukai: menjadi melankolik!

Dan keesokan harinya, usai mengikuti acara penutupan di Nusa Dua, kita bersepakat untuk menaklukkan malam di lobi hotel dengan sejumlah cerita yang kelabakan mencari benang merah. Kutumpahkan kegelisahanku yang absurd: bahwa aku tak mengerti bagaimana kau bisa kukait-pautkan dengan sahabatku yang hilang dan sebagainya dan sebagainya. Tanpa rasa bersalah kuungkapkan bahwa aku membenci setiap hal yang gagal dijelaskan dengan alasan dan logika. Padahal, sebagai seorang pengarang, aku harusnya mengimani ungkapan “Realita boleh masuk akal, tapi fiksi harus masuk akal”.

Aku baru sadar bahwa memercayai sebuah parafrasa menjadi begitu menjengkelkan ketika harus dibenturkan pada kenyataan yang menimpa diri sendiri. Ya, aku gagal menemukan alasan mengapa perasaan bahwa kau adalah teman baik yang mumpuni kujadikan saudara merimbuni kepala dan meriap-riap di dalam dada. Aku gagal berdamai dengan sifat kenyataan yang paling hakiki—menisbikan sejumlah alasan karena kadangkala Tuhan dan semesta-Nya tidak ingin membiarkan manusia berbangga dengan nalarnya.

Malam itu, kau lebih banyak mendengarkan (sebuah kecakapan yang tidak terlalu kukuasai). Seolah hendak menyeimbangi keabsurdanku, kau katakan bahwa kau juga merasakan hal yang tak terjelaskan itu dan aku nyaris tersenyum lebar sebelum kau mengimbuhinya dengan alasan bahwa kau ingin belajar menulis. Oh, ternyata aku tetap berada pada pihak yang ‘kalah’ dan aku benar-benar membenci keterpurukanku. Aku seperti memaksa orang lain untuk kujadikan saudara dengan cara merangkulnya kuat-kuat sehingga ia tidak berkelit. Yang membuatku makin kalah adalah kau tak menolak dan tidak juga menampakkan bahwa kau (benar-benar) bersedia … meskipun, ya meskipun, sebagai seseorang yang menjunjung gengsi dan kemenangan, aku menginginkan lebih dari sekadar bersedia. Aku ingin mendengar bahwa kau juga merasakan keabsurdan serupa tanpa diimbuhi alasan ingin belajar mengarang!

Meskipun demikian, sebagaimana orang yang kalah, aku akhirnya tetap bercerita panjang-lebar tentang kepengarangan dan kau tampak sangat antusias menyimaknya. Bila tidak meyakini bahwa kau bukan seseorang yang Tuhan kirimkan tiba-tiba, aku tidak akan membagi rumusan mengarangku kepadamu. Dengan berseloroh kukatakan bahwa kau sejatinya sangat beruntung karena mendapatkan semuanya dengan cara privat dan tanpa mengeluarkan sepeser rupiah pun—lalu kita memecah malam dengan tertawa yang sumbang.

Pukul tiga dini hari, kita kembali ke kamar masing-masing. Kita hanya punya waktu kurang dari empat jam untuk merehatkan tubuh karena usai sarapan esok kita mesti berangkat ke Ubud untuk mengikuti rangkaian cara terakhir.

*

DI Ubud, ternyata semua peserta lebih banyak bermain dan bersenang-senang dalam outbound ringan yang sudah disiapkan instruktur. Tidak seperti di kelas dalam hotel, outbound kali ini melempar kau dan aku ke grup yang berbeda. Karena lebih banyak berada di lapangan, kau dengan tongsis-mu pun menjelma gula pasir dan kami menjadi kerumunan semut. Di mana ada tongsis, di sana orang-orang serentak merapatkan diri. Kupikir, kita bisa berfoto dengan tongsis berdua saja agar paling tidak bisa kujadikan bukti yang tidak penting bahwa aku benar-benar menemukan sahabat baru …. Dan kita tidak pernah melakukannya!

Dan … sunatullah pun berlaku. Setiap pertemuan meniscayakan perpisahan. Kupikir Tuhan terlalu cepat menunjukkkan kuasa-Nya. Bukan perkara aku masih belum mampu menemukan alasan atas kedekatan ini, tapi karena, ibarat bunga, keabsurdan ini baru saja menguncup dan tiba-tiba ia dipetik sebelum sempat mekar dan menyebarkan wangi ke sekujur jiwa. Uh!

*

SETIBA di Lubuklinggau, aku sudah dihadang setumpuk pekerjaan dan deadline yang gagal kurampungkan di Bali. Namun, ternyata hal itu tidak mampu mengusir keganjilan yang menghinggapiku sejak dari Bali. Memang kita bisa tetap berkomunikasi meskipun kau suka sekali membaca Blackberry Messenger (BBM)-ku tanpa tergerak membalasnya, meskipun kau belum pernah meneleponku sebagaimana aku melakukannya padamu …. Sepertinya, aku baru saja dihadapkan pada kenyataan yang tidak fiksi sedikit pun, bahwa kau sejatinya jauh lebih sibuk dariku.

Sebagai seseorang yang biasa bergaul dengan imajinasi dan dramatisasi, dengan semena-menanya kusimpulkan bahwa aku hanyalah seseorang yang merasa memiliki seorang sahabat—apalagi seorang saudara! Aku hanya merasa. Sejatinya kau adalah seorang laki-laki baik hati yang ingin belajar menulis dariku. Itu saja.

Dan malam ini, ketika akhirnya kutulis semua kegelisahan yang menyesakkan tanpa jeda, aku pikir, sudah seharusnya aku menjadi lebih bijak. Aku maknai kehadiranmu yang tiba-tiba sebagai hadiah dari Tuhan atas hal-hal baik yang kulakukan di dunia. Dan sebagaimana kebaikan, kupikir, tidak seharusnya perasaan memiliki sahabat atau saudara, mesti juga kau balas. Aku belajar dua hal indah yang tidak mudah kuterima: bahwa menemukan kebaikan adalah juga mendapati cinta yang berkilau di tempat yang jauh; bahwa kehadiran orang baik adalah buku tua di perpustakaan, yang kuambil tanpa memerlukan alasan, alibi, dan penjelasan yang rigid, selain aku hanya ingin menikmati aroma kertas menguning yang bebercak di tiap halamannya. n
       
Denpasar-Lubuklinggau, 2014


Lampung Post, Minggu, 21 Desember 2014

Sunday, December 14, 2014

Lelaki di Bawah Hujan

Cerpen Tita Tjindarbumi


Rintik hujan luruh perlahan. Semakin dipandang semakin cepat gerakannya. Membentuk garis lurus. Dan berubah bak pisau ketika ujungnya menancap ke tanah. Semakin diterjang, semakin tajam menampar kepala, wajah, lengan dan… hati.

“APA yang kau lihat?! Udara di sini tak baik untuk kesehatanmu,” lirih suara itu namun cukup dapat menimbulkan gema di dadanya.

Tak ada siapa-siapa. Tak seorang pun. Hanya langit yang semakin gelap dan pekat. Sementara dedaunan telah basah kuyup. Tangkai dan rantingnya mulai terlihat merunduk. Lunglai. Diterpa angin dan hujan yang datang silih berganti.

Kristy merapatkan krah jaketnya. Sejak sore tadi dingin merasuk hingga ke tulangnya.
Tubuhnya bergetar. Lebih tepat dibilang gemetar, menahan dingin dan rasa aneh yang membuat bulu kuduknya mulai merinding.

Perempuan itu menoleh. Ke kiri beberapa detik. Lalu memalingkan pandangannya ke arah yang berlawanan. Tak ada siapa-siapa. Suara nyangkrik mulai terdengar di antara riuhnya deras hujan. Disusul suara kodok yang bersahutan. Suara itu membuat rasa takut akibat suasana sepi perlahan-lahan menghilang.

Keinginan Kristy untuk duduk berlama-lama di teras sambil menikmati hujan semakin kuat. Andai saja waktu dapat diputar, kembali ke masa lalu yang penuh kegembiraan. Andai saja ….

Masa-masa indah saat bersama teman-teman se kampusnya berputar-putar di benaknya.

“Hai… apakah hujan pun akan kau jadikan sebagai inspirasi untuk cerita fiksimu?”

Anita terkekeh di sampingnya. Menggoda dengan gayanya yang khas. Keceriaan selalu mewarnai wajahnya yang bulat. Rambutnya yang sebahu terurai berai diterpa angin. Hujan semakin riuh membelah bumi.

Villa mungil dengan empat kamar dan fasilitas lengkap milik keluarga Anita adalah tempat favorit untuk berkumpul sekaligus refreshing bagi Anita in the genk.

“Sudah lama banget aku nggak nulis fiksi.”

Kristy serius menanggapi guyon Anita. Sudah lama sekali ia berhenti menulis fiksi. Waktunya habis untuk hunting berita. Waktunya habis di jalanan.

“Kamu terlalu larut dalam pekerjaan. Padahal fiksi-fiksimu kerap membuat fan-fanmu ikut mengkhayal,” goda Anita lagi semakin menjadi-jadi. Senyum Kristy melebar. Membayangkan masa-masa itu...

“Siapa tokoh-tokoh gantengmu? Atau tokoh hmmm… teman masa kecilmu itu?” Anita tertawa terbahak-bahak.

“Nit… please! Mereka hanya tokoh imajinerku.”

Kristy mencoba menghentikan ocehan sahabatnya yang semakin melebar ke mana-mana. Mengobok-obok hatinya. Menyudutkan dirinya pada sebuah kenyataan: betapa pahitnya masa lalu!

Siapa yang menyangka canda Anita selama ini tentang tokoh imajiner dalam fiksi Kristy bukanlah sekedar canda biasa. Kristy telah berkali-kali mengatakan, bahkan meyakinkan sahabatnya, bahwa kisah-kisah yang ditulisnya dan mendapat respons baik para pembacanya, hanyalah fiksi semata. Sangat jauh dari kisah nyata apalagi pengalaman pribadi.

“Aku nggak percaya, sumpah?” Anita menyudutkan pada pilihan yang sulit.

“Jangan terlalu melambung membayangkan tokoh-tokoh itu, Anit. Mereka hanya ada di dalam cerita,” Kristy mencoba memengaruhi sahabatnya. Kalau ia bisa membuat Anita begitu terpengaruh dengan kisah-kisah fiksinya, masak sih tidak bisa meyakin untuk hal yang satu ini?

Kristy mencoba berakting sesempurna mungkin. Nggak kebayang reaksi Anita jika saja ia tahu….

Gubrak!

Tiba-tiba seekor tikus besar menabrak pot berisi tanaman yang daunnya berjuntai ke bawah. Seketika itu juga lamunannya berantakan. Ah… masa-masa yang indah dan apakah mungkin akan terulang lagi. Anita…

Mengingat sahabatnya itu serasa menoreh kembali pisau di dadanya. Kristy tahu, tak baik untuknya jika terus menerus larut dalam kungkungan kenangan masa lalu. Apalagi, ia ragu, mampukah hatinya bersikap seperti sebelum kejadian demi kejadian itu menghantam-hantam perasaannya?

Persahabatannya dengan Anita sepertinya harus berakhir tidak menyenangkan. Kalau saja ia tidak bersikukuh dan lebih memilih berterus terang tentang tokoh-tokoh dalam fiksinya…. Mungkin…. Ah, siapa yang bisa mengubahnya jika kenyataan telah berkata lain. Ia dan Anita berseteru hanya karena seorang yang sama sekali tak jelas rimbanya.

“Chris, tokohmu itu anak sefakultas dengan kita, ya?” Anita menatap Kristy dengan mata penuh bintang.

“Lagi-lagi pertanyaanmu soal itu. Emang kenapa?” Kristy mengalihkan pandangannya. Berharap sohibnya ngga focus ke soal tokoh itu.

Tokoh Galang tanpa sengaja ia temukan pada senja yang basah. Waktu itu ia sudah terlanjur keluar dari gedung fakultas. Dan sialnya di bagasi motornya tak ada jas hujan. Padahal biasanya Kristy selalu siap.

Tiba-tiba saja entah datangnya dari mana sosok tegap tanpa senyum itu sudah berada di dekatnya. Menatapnya dengan sorot mata dingin. Hanya sejenak karena setelah itu laki-laki itu hanya diam. Menatap lurus ke depan seperti sedang menghitung jumlah rintik hujan yang semakin deras.

“Aku tidak sedang bicara dengan tembok kan?” ujarnya lagi. Kali ini tatapan matanya tertuju tepat di dada Kristy.

“Oups maaf....” Kristy terbata. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gigil dan dengan sigap menutup bagian dadanya dengan tas kanvas yang sejak tadi berada di dekapannya. “Lain kali jas hujan jangan sampai ketinggalan,” kata laki-laki itu seperti sedang bicara pada dirinya sendiri.

“Galang... namaku Galang. Aku penghuni gedung yang berhadapan dengan gedung fakultasmu.” Laki-laki menyodorkan tangannya. Dengan ragu Kristy menerima uluran tangan itu. Tangan yang kekar dan cukup memberikan kehangatan di senja yang basah oleh hujan yang tak jelas kapan berhentinya.
                               
***

Peristiwa senja itu bagi Kristy bukan hal yang istimewa. Ia terlalu sering bertemu dengan orang baru. Bahkan nyaris setiap hari ia harus menghadapi berbagai macam karakter orang yang menjadi nara sumbernya.

Sampai suatu hari, entah mengapa selalu di saat hujan, sosok Galang tiba-tiba muncul di depannya.

“Ketemu lagi, ya?“ kata Galang setelah menyampirkan backpack-nya yang sedikit lusuh tetapi tidak menghilangkan kesan mahal. Kristy, seperti dihipnosis, matanya langsung mengikuti gerak tubuh Galang.

“Kenapa dengan backpack-ku?” Galang kelihatan terganggu melihat mata Kristy masih tertuju pada //backpack// yang dengan cepat disembunyikan di belakang punggung Galang yang kokoh.

“Oh...o... nggak apa-apa. Agak basah, ya?” jawab Kristy salah tingkah. Huh, ngapain juga ngomongin soal backpack. Apa nggak ada topik pembicaraan yang lebih menarik?

“Tidak bawa jas hujan lagi?“ tanya Galang seperti ingin mencairkan suasana yang tegang. Kristy masih tegang. Ia tidak siap bertemu dengan Galang. Baginya Galang adalah sosok aneh yang membuat jantungnya berdetak tak seperti biasa.

Selalu hanya seperti itu percakapan mereka. Hujan menenggelamkan mereka ke dalam kebisuan. Banyak yang ingin Kristy tanyakan, tetapi lidahnya kelu. Bahkan bertukar nomor ponsel dan PIN BB pun tidak.

Lalu bagaimana ia bisa tahu tentang laki-laki aneh itu? Kebekuan kata itu pula yang mendorong Kristy menduga-duga. Bertanya dan menjawab sendiri semua pertanyaannya dengan caranya sendiri. Membiarkan imajinasinya meliar.

Rasa penasaran Kristy semakin membuncah. Ia ingin mencari tahu tentang Galang. Bukan ingin lebih dekat dengan sosok aneh itu, tetapi ia ingin menuntaskan menjawab semua kegelisahannya. Sebab, beberapa kali Kristy berkunjung ke gedung yang berhadap-hadapan dengan gedung fakultas, Kristy tak pernah melihat Galang di kampus.

Atau ia mencari di saat yang tidak tepat. Dengan kata lain jam kuliah mereka tidak sama? Bisa saja Galang hanya mengikuti kuliah di jam pagi, sementara Kristy justru ambil mata kuliah di jam sore?

Rasa penasaran Kristy semakin membludak karena ia memang nyaris tak pernah melihat mahasiswa yang wajahnya seperti Galang. Siapakah Galang? Kenapa ia begitu misterius? Bahkan Anita saja setengah memaksa memintanya mengenalkan Galang padanya.

Kristy tak bisa menjawab semua pertanyaan dan permintaan sahabatnya, sebab ia sendiri tak tahu siapa dan dimana bisa menemukan sosok Galang.
                               
***

Hujan belum juga berhenti. Gemericik air yang jatuh di atas Vila semakin besar tekanannya. Entah mengapa Kristy masih ingin berlama-lama duduk di teras vila. Memandang hujan dalam kegelapan yang pekat. Angin yang semula terasa silir-silir kini terasa seperti badai yang setiap saat dapat membuat tubuhnya semakin menggigil.

Betapa hujan begitu memukau malam itu. Apalagi diselingi suara gesekan daun yang memecah sunyi. Kristy suka sekali mendengar desau angin dan gesekan dedaunan yang seakan meneriakan kegelisahannya.

“Selamat malam Nona penyuka hujan,” tiba-tiba suara berat itu mengacaukan keasyikannya menikmati hujan.

“Kamu....” sahut Kristy terkejut. Seketika wajahnya memucat. Darimana datangnya sosok itu. Bukankah sejak tadi ia hanya sendirian? Lalu darimana laki-laki itu tahu keberadaannya? Tiba-tiba saja bulu kuduk Krsity berdiri.

Mengapa ia selalu datang tiba-tiba? Aneh sekali...

Bagaimana Galang tahu tempat ini? Bukankah ia tak pernah bercerita apa-apa tentang apa pun pada laki-laki aneh ini. Mereka hanya bertemu tiba-tiba dan tak prnah bertukar cerita. Bahkan, menatap wajah lelaki itu saja Kristy tak pernah. Seperti ada yang menghalangi keinginannya itu.

“Kaget ya saya tiba-tiba ada di sini?” kata Galang membuat Kristy tersadar dari lamunannya.

Aku tak boleh memperlihatkan keherananku pada Galang, gumam Kristy dalam diam. Lalu setelah mengumpulkan keberaniannya, Kristy mempersilahkan Galang duduk di salah satu kursi yang ada di teras vila. Kendati sebetulnya Kristy tak yakin apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar. Mempersilahkan seorang laki-laki di tengah hujan deras masuk ke vila bukan pilihan yang tepat. Tetapi membiarkan Galang berdiri di bawah hunjaman air hujan yang kian deras, betapa tdak berkeprimanusiaan.

“Duduklah, Lang. Aku bikinkan teh panas, ya? Tubuhmu menggigil. Kamu bisa sakit jika dalam keadaan basah begitu.” kata Kristy dengan ujung mata melirik ke backpack lusuh yang dengan terang-terangan disembunyikan di balik tubuh Galang yang tinggi besar.

Kristy berdiri dan ingin cepat-cepat beranjak masuk, tetapi sorot mata Gslang menahannya.

“Tetaplah duduk, saya sudah terbiasa berbasah-basah begini. Lagipula saya hanya mampir sejenak. Saya sedang tak ingin minum apa-apa. Saya memang senang bermain di bawah hujan,” kata Galang semakin membuat Kristy bergidik.

“Kalo gitu, saya akan mengambil handuk dan pakaian ganti,” jawab Kristy asal saja. Ia sendiri tidak tahu apakah di vila ini ada pakaian laki-laki yang bisa dipakai sebagai pengganti T-shirt Galang yang basah dan sudah lengket di tubuhnya. Dalam keadaan basah kuyup begitu Kristy sempat memperhatikan postur tubuh Galang. Tinggi besar, kokoh, dan kuat. Jangankan hujan badai pun sepertinya bisa dihadangnya.

“Tak perlu, Nona...” lagi-lagi Galang melarangnya. Tetapi Kristy tak menggubris. Ia tetap menyeret langkahnya masuk ke dalam vila.

Dengan langkah setengah berlari Kristy masuk ke kamar. Anita sudah tidur lelap di balik selimut tebalnya. Kristy ingin membangunkan Anita, tetapi ia tak tega. Lagi pula Anita pasti heboh bila melihat kehadiran Galang yang sangat tiba-tiba dan dalam keadaan basah.

Sebaiknya Anita tidur saja. Toh Galang tak lama. Ia pasti akan pergi meneruskan perjalanannya setelah hujan redah. Kristy membuka lemari besar yang ada di dalam kamar. Mencari sesuatu yang dapat membantu Galang, setidaknya sepotong T-shirt atau sarung?

Tak ada satu pun T-shirt berukuran besar di dalam lemari. Kristy ngubek-ngubek traveling bag milik Anita. Biasanya Anita membawa T-shirt berukuran raksasa setiap kali ia bepergian kemana pun.

Saat sibuk mengacak pakaian Anita, tiba-tiba saja Kristy melihat sebuah T-shirt corak kotak-kotak di bagian bawah traveling bag Anita. Dengan cepat Kristy menarik T-shirt itu, tetapi karena begitu bersemangat sikut tangannya menyenggoln patung yang letaknya tak jauh dari traveling bag.

“Oufff... gubrak”. Patung tersungkur dan pecah. Anita terbangun.

“Ngapain malam-malam ngubek koperku?” tanya Anita setengah berteriak dan langsung bangun dari tidurnya. Selimutnya disibakan begitu saja.

“Maaf... aku mencari baju ukuran besar. Biasanya kamu kan selalu membawa kemana pun kau pergi, Nit!” jawab Kristy sambil berdiri dan memperlihatkan T-shirt yang sudah di tangannya.

“Ada seseorang di depan membutuhkannya?” kata Kristy meminta persetujuan Anita.

“What?” Anita lompat. Dengan sigap menarik T-shirt dari tangan Kristy.

“Plis, Nit!”

Tetapi Anita tak menggubris. Ia malah lari keluar kamar dan seperti sedang dikejar setan Anita menuju teras vila diikuti langkah Kristy yang mengekor di belakangnya.

“Mana orangnya?” tanya Anita penasaran.

Kristy melongo. Tak ada siapa-siapa di teras vila.

“Dia siapa, Kris? Plis ceritakan padaku,” ujar Anita menghiba. Matanya berkaca-kaca.

“Tadi ada di sini. Ia selalu datang tiba-tiba,” ujar Kristy dengan suara tertahan.

“Katakan padaku dia seperti apa?” kata Anita dengan menghiba.

Lalu Kristy menceritakan sekilas gambaran tentang Galang. Sejak pertemuan pertama, sampai kejadian malam ini.

“Ga...lang... betul dia Galang!” Tiba-tiba saja tubuh Anita lemas dan terkulai. Tak sadarkan diri.

Tanpa sadar Kristy menjerit histeris. Suaranya memecah kesunyian malam. Tetapi siapa yang  peduli. Vila itu letaknya terpencil, jauh dari tempat tinggal penduduk asli daerah itu. Hujan semakin deras menenggelamkan suara gesekan dedaunan. Bahkan suara kodok pun seperti tercekat. Di benak Kristy menggantung beribu tanya. Tentang lelaki itu yang selalu hadir di saat hujan. n   


Lampung Post, Minggu, 14 Desember 2014