Sunday, September 28, 2014

Lubang Bumi

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


PADA mangkuk kloset, ia mendekatkan wajah, menunduk, dan muntah. Satu pagi yang normal di musim dingin: gelap, suram, dan gigil menyumsum. Ratusan orang di kotanya terjangkit virus flu atau, seperti yang ia alami, tertular norovirus: demam panas-dingin dan muntah-muntah.

Ia menekan tombol siram, memperhatikan air tercurah ke mangkuk, menjadi pusaran, lalu hilang ke dalam pipa, menyisakan genangan. Penderitaannya belum selesai, masih ada muntah tersisa di tubuhnya. Ia membuka mulut, menunduk, wajahnya memanas, dahi berembun keringat, cairan pahit keluar dari mulutnya, kembali menyembur ke mangkuk kloset.

Ia balik menekan tombol siram. Tapi kali ini ia merasa aneh, kepalanya yang pusing dan berat seakan terpelintir, terpilin memanjang, seperti kain basah yang dua ujungnya dipegang, ditarik dan diputar ke arah berlawanan oleh dua orang.

Ia membungkuk lebih dalam. Kepalanya tersedot pusaran air di mangkuk kloset. Tangannya berusaha menahan, berpegangan pada sisi mangkuk seerat ia mampu. Namun, ia tak berdaya. Pusaran air itu mengisap begitu kuat, menghirup kepala, tangan, menelan seluruh tubuhnya, kaki, menyisakan sepasang sandal tidur biru di lantai kamar mandi.

Perasaan yang ganjil. Ia tak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri. Seperti terjaga dan tersadar di dalam lelap tidur yang amat berat, tidak bisa membuka kelopak mata, apalagi menggerakkan tubuhnya untuk bangun. Otaknya berteriak menyuruh ia melawan deras arus air, tapi tubuhnya terus tenggelam, terjatuh, dan terbanting, meluncur cepat ke lubang bumi, tercampak jauh ke dalam kegelapan. Gravitasi bumi selalu menang, ia tidak bisa melawan.

IA, anehnya, tiba-tiba saja berdiri di eskalator menurun yang curam. Ujung tangga tak terlihat, hanya pekat. Ia turun, terus turun dan turun ke perut bumi. Orang-orang berjalan cepat, beberapa berlari melewatinya.
Lorong-lorong sempit, dingin, berbau pesing dan alkohol basi, menunggunya di akhir tangga. Ada sepasang kelemayar bergelung di satu sudut.

Ia mendengar gemuruh, melihat pendar bergerak-gerak, pijak kaki berguncang. Di atap rendah sebuah lorong, papan penunjuk waktu dan tanggal elektrik digantung. Papan itu berayun-ayun dihempas angin dari kereta yang berkelebat cepat. 08.50 AM 07/07/2005. London Underground.
Gemuruh lain terdengar, cahaya menembus terowongan, kereta menghampiri, kemudian berhenti. Pintu kereta membuka di hadapannya. Ia terbawa arus penumpang, bersesakan masuk ke gerbong, berdiri sambil berpegangan pada tiang.

Kereta bergerak maju melalui lorong gelap dan picik, mengeluarkan suara berisik, serupa ular boa yang mendesis-desis. Ia merasa terkurung dalam ruang sempit hampa udara yang perlahan-lahan makin mengecil, membuat ia terdesak sehingga tak dapat bergerak dan sesak napas, klaustrophobia. Mulutnya membuka-tutup, seperti ikan yang terdampar di darat.
Orang-orang di sekelilingnya duduk dan berdiri tanpa ekspresi. Tatapan mata mereka kosong dan nanar. Mereka terlihat lelah. Ia mencium bau karet terbakar, lalu sebuah ledakan.

Orang-orang yang tadinya duduk, lekas berdiri, dan mereka yang sebelumnya berdiri, bercepat-cepat berlari, menuju gerbong lain, menjauh dari suara ledakan. Ia mendengar ledakan yang lebih kuat, asap hitam memenuhi gerbong, dan kali ini ia merasai wajahnya terciprat cairan pekat yang hangat.

Ia mengelap wajah dan melihat darah di telapak tangannya. Entah darah siapa. Orang-orang berteriak, memekik minta tolong, menangis.

PERLAHAN ruang yang mengimpitnya melebar, sesak dan gelap berganti udara segar dan cahaya pudar. Ia berada di permukaan bumi. Ia melihat pohon-pohon berdaun hijau di sekelilingnya dan tidak merasai gigil musim dingin. Ia tidak lagi berada di kotanya. 

“Papa! Papa!”

Seorang gadis kecil, sekitar tiga belas tahun, berambut hitam sebahu, berkulit langsat, berlari keluar dari rumahnya, hanya bergaun tidur putih. Ia berdiri di tengah jalan tanah, tak jauh dari mobil-mobil tentara. Ia melihat beberapa tentara menyeret tubuh seseorang, meninggalkan jejak merah di tanah dan lantai beranda rumah. Ia melihat gadis itu meraung, melolong sedih. Tapi gadis itu tidak melihatnya. Pada gaun tidur berenda, ia melihat bercak darah.

Tentara-tentara itu melempar tubuh yang mereka seret ke belakang mobil bak terbuka. Mobil melaju, meninggalkan debu dan raungan gadis kecil yang lamat-lamat memudar. Ia berdiam di belakang bak mobil, berjongkok di dekat mayat lelaki paruh baya, memerhatikan lubang-lubang peluru pada tubuh dan darah segar di wajah yang mengernyit kesakitan. Tak jauh dari mayat, ada lembaran koran yang mungkin tertinggal. Koran itu tertanggal 30/9/1965.

Mobil melewati lapangan penerbangan, memasuki jalan berbatu, ia terguncang-guncang dan ingin muntah.

Akhirnya mobil berhenti di pinggir hutan. Di dekat pokok nangka, ada sebuah sinkhole, sebuah lubang kelam yang menganga di permukaan bumi, sekelam dan segelap rongga mata yang hampa bola mata.

Banyak tentara lain telah dulu sampai. Mereka juga membawa mayat-mayat. Ia berdiri di dekat sinkhole, menyaksikan tentara-tentara itu melempar satu per satu mayat ke dalam lubang. Tambahan pula, setelah mayat habis dijungkal, mereka mengarahkan pistol-pistol dan menembak berkali-kali ke dalam sinkhole.

Ketika matahari terbit di ufuk timur, tentara-tentara itu beralih-muka, melipat-gandakan tubuh, dan saling membunuh.

Selepas itu, tentara-tentara pemenang kembali membelah diri serupa ameba, menjelma menjadi ratusan manusia berwajah hitam. Mereka berkeliaran, mengendara gelombang radio, keluar dari kotak-kotak televisi, menguasai seluruh daratan. Ia menyaksikan mereka berbaris dan dengan tatapan mata kosong, mereka berjalan dari rumah ke rumah, mengetuk-ngetuk pintu, mendobrak, dan merusak jendela-jendela kayu.

Parang, pisau, pistol, golok, arit digenggam erat di tangan mereka. Mereka berhasil mengumpulkan manusia-manusia yang kemudian mereka giring ke lubang-lubang bumi di sudut-sudut kampung. Ia melihat manusia-manusia yang diculik dipaksa berjongkok, lalu satu per satu kepala mereka menggelinding, memasuki lubang, diikuti tubuh yang dijungkal.

“Kau!”

Seorang lelaki bertubuh kurus, berambut hitam tebal, matanya abu-abu, memegang parang, berteriak padanya.

Tidak mungkin, pikirnya. Sedari tadi tak ada orang yang bisa melihat dirinya.

Tetapi lelaki itu menarik tangannya, mendorong ia hingga terjerembab di dekat lubang, di bawah rumpun bambu. Ia melihat parang diangkat tinggi, memantulkan sinar mentari. Ia berteriak, menggulingkan tubuhya ke dalam lubang.

Ia meluncur jatuh. Lubang itu lebar dan dalam. Ia mendarat di atas mayat-mayat bergenang darah. Sementara itu, dari mulut lubang, mayat-mayat terus berjatuhan, menimpanya, hingga ia tak mampu bergerak, tak juga bisa berteriak.

Lubang itu gelap, suram dan gigil menyumsum, mengingatkan ia pada satu pagi yang normal di musim dingin.

Ia sangat ingin keluar dan kembali berada di permukaan bumi.

SEKONYONG-konyong ia melihat lubang bumi yang lain: sebuah kawah raksasa, dan ia berdiri di pinggirnya. Kawah itu sangat dalam, beralur undak-undak, begitu luas dan lebar, seluas dan selebar kota di mana ia tinggal.
Tak jauh dari tempat ia berdiri, seorang pria bertubuh besar dan berkulit gelap berbicara pada telepon genggamnya.

“Ingat-ingat, Nak. Tanah kita tanah kaya. Tambang mineral yang tak pernah habis dikeruk. Tapi tanah dan kemerdekaan kita dirampas.”

Ia mendengar suara rentetan tembakan, pekik-lengking orang-orang. Di sisi lain kawah, ada kerusuhan, tentara, yang memegang senapan panjang, melawan penambang.

Pria di dekatnya terus berbicara, “Ingat-ingat, Nak, kita harus melawan. Dan ingat, papamu bukan seorang pengecut. Teruslah ingat papamu ini, jangan pernah lupakan. Jaga mamamu dan belajarlah yang rajin. Demi tanah kita.”

Pria itu berlari ke tempat kerusuhan sambil menangis. Tetes-tetes air matanya terbawa angin, jatuh ke mangkuk kawah.

Tak lama, ia mendengar tangis menyayat pilu yang sangat dekat. Ia memerhatikan sekitar, mencari asal tangisan. Tak ada seorang pun terlihat, bahkan angin berhenti mengusik dedaunan.

Ia menunduk, lalu berjongkok dan kemudian tengkurap di sisi kawah, mencoba mendengar lebih keras. Ternyata tangisan itu berasal dari bawah, dari dasar kawah.

Ia bangkit dan menjenguk curam lubang, melihat air dari tanah melesat ke udara, berkumpul tetes demi tetes, menjadi genangan di mangkuk kawah terus pusaran besar. Air meluber keluar kawah, serupa jejari, merayap ke sisi seberang. Air itu menarik para tentara ke dasar kawah. Ia melihat orang-orang berteriak dan berlarian. Lalu senyap, hanya desir angin.

Angin berbisik di telinganya: air menuju akuifer, mengalir ke sungai, bermuara ke samudra, bertemu tetes-tetes air di sepanjang arus, bertambah besar, mengepung negara asal petaka, menyusup pada pipa-pipa air minum, dan keran-keran rumah. Angin menyiarkan tulah: barang siapa meminum air kesedihan maka orang itu akan menjadi gila, teramat gila sampai bisa membunuh-tembak orang-orang, membabi-buta.

KEMUDIAN, entah bagaimana, ia sudah berada ke tempat gelap-gulita. Tempat itu terasa sempit tetapi lentur. Ia mendengar suara mengerang, napas tak beraturan, dan teriakan kesakitan ternyaring yang pernah ia dengar.

Ia terdorong keluar dari dalam kegelapan melalui lubang bumi, melihat sinar terang yang berkilauan. Kemudian ia merasai dekapan hangat.
Suara teramat lembut berbisik padanya, “Aku rela mati untuk melahirkanmu ke dunia. Anakku.”

IA berdiri di dekat kloset. Ia bermimpi, pikirnya. Ia menyeka keringat di dahi kemudian wajah. Ia merasai cambang. Bagaimana mungkin?
Seingatnya, ia baru bercukur kemarin pagi. Ia menatap cermin, cambang-bauknya benar menyemak, rambut hitamnya tambah panjang.

Ada cicit burung di luar. Ia mendekati jendela, menarik tali penutup kaca. Deret daffodil dan krokus bermekaran di taman belakang, tersiram gilang-cemerlang sinar mentari. Kuncup dedaun mapel merekah hijau muda dan kuntum-kuntum magnolia bergoyang menyambut hangat.

Ia terbelalak, mulutnya menganga, hatinya bersuka, ternyata musim dingin telah usai, semi datang, dan bumi terlahir kembali. n

Lancaster, Maret 2013


Lampung Post, Minggu, 28 September 2014

Sunday, September 21, 2014

Menulis di Atas Monas

Cerpen Jauhari Zailani


MONAS. Tunggu, aku datang. Aku dengar kabar, kau sedang bersolek. Mumpung di Jakarta, kuwajibkan diriku kunjungi Monas. Monas, pertama yang akan kucari dan kunjungi. Baru kemudian, tentu saja Tanah Abang dan Ancol. Aku terobsesi oleh cerita abang. “Monas adalah kebanggaan Indonesia. Tugu itu pongah tegak berdiri menjulang. Di tengah Jakarta, di pusat ibu kota, Negara Republik Indonesia.”

Menurut Abang, Monas adalah simbol. “Tugu itu, gambaran dunia laki-laki. Pada pangkalnya, seonggok lemak yang melindungi penyangga sebuah lingga nan menjulang. Ujung puncaknya, obor api nan membara. Gambaran nafsu laki-laki yang membara. 

Membayangkan megah dan gagahnya Monas, lihatlah ketika “tegak” kemaluanmu. Dari sisi mana pun, kau pasti lihat “dia”. Begitu seksi dan menarik perhatian. Monas, menjadi penanda dunia laki-laki. Pongah di antara gemulainya “nona-nona, nyonya, nyonya dan ibu-ibu”-nya ibu kota.

Kata abangku, untuk mencari Monas, cukup kau tengadahkan kepala. Di mana pun kau berada, kau akan lihat Monas yang menjulang. Tugu sebagai pemandu arah, terlihat dari mana pun kau berada. 

Pagi tadi, kuteguhkan semangat, kaki melangkah menuju Monas. Untuk satu tujuan, buktikan cerita atau sekedar bualan abang. Panas membara di atas kepala. Belum ketemu juga. Meski siang terik, tak hendak ku menyerah. Kaki mulai melepuh, terus melangkah. Meski puyeng kepala lelah tengadah, kaki terus melangkah. Mata nanar oleh bangunan-bangunan jangkung yang memancarkan hijau berkilau-kilau. Takkan kuhentikan langkah, takkan kuhentikan tengadah. Mencari Monas, si lingga membara.

Kaki terus melangkah menelusuri jalan, melintasi jembatan. Di atas jembatan, kakiku tertahan, berhenti. Pemandangan aneh atas sungai, berair hitam, pekat berat, dan bau bacin. Pada jembatan lain, ada keanehan lagi, jembatan tanpa sungai.

Penguasa di Jakarta bisa berbuat apa saja. Aku setuju pada pendapat abangku. “Di Jakarta, penguasa memanjakan orang kaya.” Pembeli mobil dan pembuat mobil bersekutu memaksa penguasa untuk terus menambah “jembatan tanpa sungai”. Sedangkan di desaku, banyak sungai tanpa jembatan. Ada juga jembatan gantung “ogal-agil”, yang dilalui orang-orang desa. Setiap hari orang tua harus was-was hati, ketika anak-anak melewati jembatan itu. Untuk bersekolah, anak-anaknya harus melewati jembatan “sirotol mustakim”. Pergi dan pulang.

Tapi kini aku di Jakarta. Di atas jembatan tempat aku berdiri, kulihat di seberang ada pohon merindang. Kakiku melangkah menghampiri, berteduh dari uap bara matahari. Bau anyir dari air hitam itu kian menyengat menyusup hidung dan dada. Di bawah pohon ini, panas tak lagi membakar, tetapi tetap menyergap. Sinar matahari yang memutih terik, silaukan mata. Memaksa muka tertunduk. Kaki mendorong badan untuk merapat pohon. Badan bersandar, kaki lemes. Terduduk badan, bersandar pohon. Lelah dan penat.

Tak hendak kedip mata, menatap kilau-kilau mobil-mobil yang terus berkelebat. Mobil berpacu tak henti, tak terhitung jumlahnya. Semua orang bergegas, semua orang memburu dan terburu-buru. Di Jakarta ini tak ada orang jelek. Orang-orang bergegas itu menebar harum, ganteng dan cantik. Tentu saja mereka tak hirau pada laki-laki lusuh yang teronggok lelap di bawah pohon.

***

Menulis di atas Monas. Aku menulis surat untuk Bintang, seorang sahabat. Oh Bintang yang memerah. Dua ratus tahun kutunggu. Mataku merabun dan tulang merapuh. Darah memutih. Tulang melunak, lapuk. Termakan waktu. Pesanmu tak sampai juga. Daya tangkapku tak cerdas membaca berita. Berita tentang mencari pemimpin, yang kami peroleh seorang pecundang.

Wahai Bintang, kini, aku duduk di atas Monas. Lelah menunggu di rumah, kaki membawaku ke Monas. Kutatap dirimu di sana. Tapi wahai bintang, kenapa mukamu memerah?

Mukamu memerah, atau mataku yang memerah. Tak kuraih, tak kupetik pesanmu. Gagu lidah, keras hati dan dungu laku. Meski kupicing mata, kubuka telinga dan hati. Kekuasaan kuniatkan untuk menggali emas dan perak bagi kepentingan sekalian penghuninya. Tanpa setitikpun niat mengelabui dan khianat janji. Tapi, tunaikan janji kekuasaan terasa lebih berat, ketimbang ingkar.

Acap kali, diri ini fasih bertasbih dalam pidato dan wawancara. Tapi dawai nurani lurus kaku tanpa getar, melihat duka nestapa kaum papa. Meski sudah kutundukkan wajah, tetapi hati sudah memerah dan kemudian menghitam. Hati tak lagi lembut, mengeras. Hati bagai ladang tak terurus dan membelukar. Dedemit dan hantu bergelayutan di antara pohon-pohon keangkuhan. Antara ucap dan laku, seperti siang dan malam.

Di balik kemegahan kekuasaan, tubuh memancar kedholiman. Diri ini lebih sering kalah oleh godaan dan bujuk rayu nafsu angkara murka. Indahnya dunia lebih menggoda dan merangsang nafsu berkuasa. Hingga diri ini lupa pada fitrah dan janji melayani nasib petani dan nelayan negeri ini.

Masih teringat ketika kau berkata, “Telah kuamanatkan kepadamu kekuasaan. Kekuasaan untuk memandikan si tengik di negerimu. Telah kuperintahkan menjaga jelaga nirwana bagi ulat dan cacing. Dan telah kuperingatkan bagi yang khianat kehidupan yang pedih. Telah kukabarkan pula kenikmatan abadi bagi yang setia dan tunaikan janji.”

Kini, diri ini berada di atas Monas, pasrah menanti rahmat dan berkah pemimpin yang hikmah. Ia, pemimpin itu, yang menerangi kegelapan. Ia yang menyirami kekeringan. Ia yang menyebar harum dan mengusir yang busuk.

Kudengarkan pesanmu, dan kini fasih kuulang dan kuulang. Kekuasaan ini, untuk melayani penghuninya, rakyatnya. Bukan untuk Tuan Pemilik Partai atau Tuan Belanda. Karena kau memperoleh mandat dari tuan dan pemilik negeri ini, dan pemilik dirimu Yang bersemayam di surga.
Wahai Bintang, dawai di pojok nurani menangkap getar. Sampaikan terima kasih dan salamku pada tuanmu. Sampaikan pada tuanmu wahai sang Bintang, tadi malam kami, aku dan anak-anaku melakukan ritual suci.

Memang masih kudengar kau terpekik, “Astaghfirllah”. Kudengar gumammu: Manusia tak lagi mampu membedakan anaknya dan anjingnya. Mana yang lebih mulia dari keduanya. Anjing makan daging, manusia makan anjing. Anak manusia lahir dari rahim sang perawan kencur. Sang anak memanggil bapaknya yang juga kakeknya. Dan di belahan bumi lain anak manusia memerkosa neneknya.

Wahai Bintang, oleh ulah anak-anakku sebabkan tuanmu kirim angin beliung menghancurkan suatu kaum. Begitu telah kau wartakan dari tuanmu. Engkaulah sang Bintang yang mengilhami dan menerangi. Namun ritual-ritual maksiat itu tetap berlangsung. Seperti upacara pada pagi ini.

Pagi ini, upacara dimulai dengan canda-canda ria. Anakku bercanda ria bersama dengan anjing piaraannya. Anjing dan anakku berkejaran, bergumul, dan berguling-guling. Suara tawa anakku dan gonggongan anjing bersahutan.

Hingga aku tak dapat lagi membedakan antara erangan kesakitan dan kenikmatan. Ketika kudengar erangan “nafsu anjing” dari mulut anakku. Sang anjing menggonggong panjang, meronta dan kesakitan. Anakku yang mengisap darah anjing, pun mengerang “anjing”. Dari mulutnya, menetes darah anjing membasahi bajunya. Mulut dan lidahnya berdecap-decap menikmati hisapan darah segar anjing. Mulutnya dan giginya dipenuhi gumpalan daging anjing. Wajahnya berkerut-kerut binar melahap daging anjing. Suara bersahutan antara suara anakku yang menyeringai dan terkekeh-kekeh dengan suara lolongan anjing.

Wahai Bintang, tahukah engkau, bahwa kali aku menikmati adegan anakku yang menjagal anjing dengan giginya. Musik blues lamat-lamat terdengar, meningkahi lolongan anjing dan erangan anakku. Bau wewangian itu dari anyir darah. Darah segar yang mengalirkan nafsu birahi. Anjing antara mati dan hidup.

Adegan ini berlangsung di depan mataku. Tanpa peran pengganti, tanpa basa-basi anakku membantai dan melahap daging anjing itu hidup-hidup. Aku terdiam, terpana. Kudecakkan bibir, mata tak berkedip. Menikmati adegan ketika anakku melakoni adegan ini. Anakku sedang menikmati daging anjing. Anjingnya itu masih hidup, meski kaki sebelah telah koyak oleh gigi anakku. Lelah meronta, mata anjing itu merem melek. Dagingnya digerogoti anaku.
                                                               
***

Di halaman rumah, angin malam menggoyang daun daun apokat. Semilir angin dingin mendesau kulit dan mengelus pipi. Dada berdegup kencang ketika kutundukkan muka. Rumput menghitam di antara kaki. Cahaya sang dewi, pun tak kuasa menghijaukan.

Tapi apa peduliku, sejenak dan sengaja kulupakan sang Bintang. Kemudian kurasakan, kakiku nikmat menginjak rumput yang mengering. Kursi yang menopangku telah dan terus mengayun kenikmatan. Kangkangi rumput yang hitam dan mengering. Kututup mata ketika “tuanmu” tergolek di antara rumput kering. Di antara pohon di taman yang meranggas, bau busuk kentut dan napasku.

Kian nikmat terasa menguasai bulu cumbu dan uban yang memerah. Kupandang diriku yang memerah dan rumput serta dedaunan yang menghitam. Kupegang tangan dan kakiku yang mengeras ketika kudengar suaraku.

Wahai Bintang, tolonglah aku dan sampaikan pada tuanmu. Kembalikan aku pada kesempurnaan kemarin. Darah anjing telah mengalir deras dalam diriku. Akan datang anakku, hendak mencabik-cabik tubuhku dalam santapan pagi.

Memang, aku telah mewariskan sifat anjing pada anak-anakku. Mata hati tak kuasa menahan angkara yang menggelegak. Bergelimang dosa dan terus dahaga pada harta dan tahta. Harta untuk membeli lonte yang ayu dan kenes. Demi keagungan kekuasaan, mabuk harta dan madat.
Demi kekuasaan. Kini darah anjing mengalir dalam tubuhku. Sifat setia pada anjing kuingkari, demi kekuasaan.

Kupalingkan diriku dalam sepi, aku seorang diri. Wahai Bintang kunikmati rona merahmu dari sini. Di taman Monas ini aku persembahkan kepadamu. Kepala anjing yang tersisa dari pesta anak-anak tadi pagi. Kini, aku amat berharap sampaikan pada anakku: “daging bapakmu bukan daging anjing. Dan janganlah menjadi santapan pesta”. 

Anaku, kau boleh makan gunung dan hutan hingga rata dan gundul. Sedotlah perut bumi dan laut hingga kempis dan kerontang. Asal bukan darah bapakmu. Meski darah bapakmu ya darah anjing. Meski daging bapakmu ya daging anjing. Meski hati dan perilakunya seperti anjing. Tetap saja dia bapakmu.

Wahai Bintang yang memerah, kabarkan kepada tuanmu: aku di sini baik-baik saja. Entahlah rakyatku. Masihkah mereka di sana dan mendukungku?

***

Aku mendengar pekikan klakson. Terkaget dan gelagapan. Dengan punggung telapak tangan, aku usap bibir dan mata. Badan terasa segar, perut lapar. Entah berapa lama aku sudah tertidur di bawah pohon ini. n

Bandar Lampung, awal Juli 2014.


Lampung Post, Minggu, 21 September 2014

Sunday, September 14, 2014

Lukisan Palsu

Cerpen Satmoko Budi Santoso


SIANG yang mendung, langit redup. Seorang tamu datang ke rumah saya. Ia datang dari Ibu Kota: J. Ia menanyakan apakah tahu orang yang memproduksi lukisan palsu. Ia pun minta diantar ke rumah orang tersebut, jika memang ada. Tentu saja, saya menyanggupi mengantar karena memang saya tahu tempatnya. Kebetulan, saya adalah mantan ketua RT dan rumah-rumah yang satu RT dengan saya, banyak yang dikontrak seniman yang pekerjaannya membuat lukisan. Satu di antaranya saya tahu khusus membuat lukisan-lukisan palsu. Jadi, saya tahu ke mana saya harus mengantar tamu saya itu. Tamu itu tahu rumah saya juga karena kebetulan saja. Katanya, kampung tempat tinggal saya pernah masuk televisi sebagai kampung seniman sehingga ia mengingat baik-baik informasi dari televisi itu.   

Tamu itu sungguh senang bertemu dengan seniman atau orang yang ia maksud.

“Jauh-jauh dari Ibu Kota akhirnya ketemu juga. Terus terang, saya ini orang kaya baru alias OKB. Barusan saja hidup saya sukses. Kini, saya perlu memermak rumah saya dengan lukisan-lukisan. Saya datang ke sini khusus mau membeli lukisan palsu. Saya dengar dari mantan Pak RT ini, Anda membuatnya?”

“Benar, Pak.”

“Syukurlah. Tamu-tamu saya tidak perlu tahu yang asli. Asal ada lukisan dengan nama dan tanda tangan seolah-olah buah tangan maestro lukisan, tamu-tamu saya sudah terkagum-kagum. Saya pun terdongkrak martabatnya. Anda tahu, kan? Ha ha ha…”

“Ha ha ha…”

“Berapa harga per biji? Saya perlu lima sekaligus.”

“Tergantung, Pak. Ada yang tiga juta, lima juta, sepuluh juta, sampai dua puluh juta.”

“Wah, lukisan palsu saja mahal, ya? Saya kira maksimal 2 juta.”

“Lho, kan tergantung seolah-olah karya maestro siapa, ukuran lukisan, dan tingkat kesulitan dalam membuat. Rata-rata setiap lukisan saya perlu modal awal 300 sampai 500-an ribu. Itu untuk membeli bahan pembuatan, pengawetan bahan, pokoknya biaya praproduksilah.”

“Oke. Saya mengerti.”

Kesepakatan harga dan lukisan palsu yang dibeli pun terjadi. Termasuk biaya pengirimannya. Sebagai mantan ketua RT saya melihat dengan mata kepala sendiri semua transaksi itu. Dalam perjalanan pulang ke rumah saya, di dalam mobil, tamu saya bermaksud memberikan uang fee sebagai ucapan terima kasih karena saya telah membantunya. Saya menolak secara baik-baik. Tamu saya itu sempat heran tapi kemudian memahami pilihan saya.

“Ajak saya makan siang saja, Anda telah menjadi teman saya. Kalau saya menerima uang Anda, tentu bisa tidak ada hubungan pertemanan lagi di antara kita.”

Tamu itu pun mengajak saya makan siang di sebuah restoran sederhana. Kami bicara sekadarnya, bertukar nomer ponsel juga. Ia kemudian mengantar saya pulang setelah semuanya dirasa cukup.
                      
***

TAMU semacam itu adalah tamu yang pertama dalam hidup saya. Pengalaman itu pun saya ceritakan kepada warga kampung, suatu malam di sebuah acara ronda. Ada warga kampung yang menanggapinya santai dan tertawa saja, ada yang lumayan serius.

“Wah, gawat, mantan ketua RT kok jadi makelar lukisan palsu,” ujar salah seorang warga.

“Lho, apa salahnya? Menurutku, itu justru lebih fair, tidak ada bohongnya. Permintaan yang ada disesuaikan dengan produk yang ada. Kalau mengantar orang mau beli lukisan asli ternyata dialamatkan ke pemalsu lukisan, itu baru bohong besar. Tidak fair.

Suaraku sebagai mantan ketua RT ternyata masih cukup berpengaruh. Seorang warga yang tampak mau mendebatku menjadi mengalah. Entah di dalam hati, ia setuju atau tidak dengan pikiranku. Aku pun berterus terang kepada warga bahwa aku memilih tidak menerima fee dan sekadar makan siang saja. Seluruh warga di gardu ronda yang mendengar cerita bahwa aku hanya dapat makan siang saja, tertawa ngakak.

“Benar-benar mantan ketua RT teladan. Kenapa tidak mendaftar jadi anggota KPK?” Seloroh seseorang.
                       
***

SELANG seminggu saya kedatangan tamu dari Ibu Kota itu, datang lagi tamu yang ternyata teman dari tamu terdahulu. Ia juga datang dari Ibu Kota, sama dengan tamu yang pertama. Ia mengontakku setelah punya nomor ponselku. Tentu yang memberi adalah tamu yang pertama. Tamu kedua tersebut kebutuhannya adalah sama, ingin membeli lukisan palsu.

Rutinitas sebagaimana yang kualami dengan tamu yang pertama kembali kujalani. Ia kuantar ke pembuat lukisan palsu. Transaksi terjadi. Sebanyak 3 lukisan palsu deal. Harga dan pengiriman tersepakati. Uniknya, setelah transaksi beres, di mobilnya tamu kedua itu langsung menawariku makan siang. Ia juga menyatakan bahwa aku pasti tidak mau menerima fee. Tentu, saya merespons dan juga saya katakan kepadanya bahwa yang seperti itu sangat baik buat saya. Saya juga katakan kepadanya, pasti ia tahu perihal itu dari tamu yang pertama. Ia mengiyakan.

Restoran sederhana tempatku makan dengan tamu kedua juga sama dengan restoran makanku dengan tamu pertama. Di dalam restoran kami bicara ke sana kemari hingga pertemuan usai dengan sendirinya.
                       
***

MINGGU berikutnya, saya menerima tamu lagi dengan kepentingan yang sama dengan tamu pertama dan kedua saya yang datang dari Ibu Kota. Rupanya, dalam pergaulan antara mereka nama saya sudah menjadi referensi utama sebagai penunjuk jalan dalam membeli lukisan palsu. Hingga tamu-tamu berikutnya yang datang, terhitung sudah satu tahunan dan setiap minggu satu orang. Karena pembicaraan antara mereka pula, tamu-tamu selama satu tahunan itu dengan sendirinya sudah sangat tahu kebiasaan dan kesukaan saya, hanya mengantar, tidak menerima fee, dan cukup makan siang saja.

Atas kenyataan ini, tentu saya dibodoh-bodohin oleh warga kampung di saat ronda tiba. Saya memang selalu menceritakan kepada warga kampung mengenai tamu-tamu saya.

“Wah, sayang sekali, kenapa tidak mau menerima fee? Kalau mau kan selama satu tahunan ini sudah kaya. Dulu waktu jadi ketua RT tidak digaji, giliran sudah mantan kok masih prihatin. Bodoh itu namanya,” kata salah seorang warga yang umurnya jauh lebih tua dari saya sehingga saya maklumi saja ketika ia menganggap saya bodoh. Kalau umurnya lebih muda dari saya, mungkin saya bisa tersinggung jika dianggap bodoh.  

Saya tentu saja hanya tertawa mendengar respons dari warga kampung. Saya tegaskan kepada mereka, meskipun itu bukan merupakan urusan mereka dan jelas terserah keputusan saya, saya akan tetap bertahan dengan cara cuma sebagai pengantar tamu saja. Biarpun si “seniman” pembuat lukisan palsu sudah kaya, banyak karyawan, dan kelak akan terus bertambah kaya, saya tetap akan bertahan cuma sebagai pengantar tamu.

“Tapi, hati-hati, awas nanti kalau tertangkap polisi, ya? Jangan bawa-bawa kampung kita. Pemalsu lukisan kok ya masih disebut-sebut sebagai ‘seniman’!” umpat salah seorang warga.

Entahlah. Minggu-minggu seterusnya saya masih disibukkan dengan kegiatan mengantar tamu pemburu lukisan palsu. Itulah yang bisa saya lakukan di sela pekerjaan serabutan saya lainnya, entah sebagai MC acara-acara tertentu di tingkat antarkampung, entah sebagai petani dan peladang biasa. Sampai kemudian suatu siang saya mendengar kabar, bahwa si “seniman” lukisan palsu itu sudah berpindah kontrakan, tidak lagi sekampung dengan saya. Saya tidak tahu ke mana ia pindah, karena ia juga sama sekali tidak pamit dengan saya. Sejujurnya, saya menganggap tidak apa-apa tidak dipamiti, karena saya benar-benar tidak merasa sebagai apa-apa selama berteman dengannya. Ya, hanya sebagai tetangga satu kampung dan pengantar tamu-tamunya saja. Titik. Saya pahami di dalam diri saya sendiri, ia tidak pamit dengan saya karena saya duga ia tahu bagaimana cara memperlakukan saya, biasa-biasa saja. 

Di gardu ronda ketika giliran ronda saya tiba, saya mendengar informasi dari salah seorang warga bahwa si “seniman” lukisan palsu itu sudah membeli rumah di sebuah perumahan yang berbeda kecamatan dengan kecamatan yang saya tempati. Tapi, tepatnya di perumahan apa, alamatnya di mana, warga itu tidak tahu. Warga yang bilang kepada saya itu adalah warga yang rumahnya dikontrak selama membuat lukisan-lukisan palsu.

Saya menyungging senyum mendengar kabar tersebut. Setelah saya mendengar kabar itu, tangan saya kemudian sibuk membalas sebuah SMS dari seseorang, tamu yang kesekian, yang besok minta diantar untuk membeli lukisan palsu. Ringan saya membalas SMS dari seseorang tersebut, ‘Maaf, saya sangat kecewa tidak bisa membantu Anda, karena orang yang Anda maksud sudah pindah dari kampung saya. Saya tidak tahu ke mana ia pergi. Ia tidak mempunyai masalah apa-apa dengan saya. Mungkin Anda sangat bersedih mendengar kabar saya ini. Saya juga merasa bersedih karena saya tidak lagi dapat membantu dia dan juga Anda. Terima kasih atas perhatian Anda.’ n


Lampung Post, Minggu, 14 September 2014

Sunday, September 7, 2014

Pakuraksa

Cerpen Kartika Catur Pelita


KOTA tua. Pantai tua. Penginapan yang usianya sudah tua. Bangunan model tua. Ranjang tua. Bangku tua. Korden tua. Lukisan tua. Penjaganya pun lelaki tua.

Malam juga semakin tua tapi aku belum bisa juga memejamkan mata. Aku keluar kamar, Pak Tua menawarkan rokok. 

"Merokok?”

"Maaf saya tak suka membakar uang.”

"Tak bisa tidur?"

"Saya belum ingin memeluk guling.”

"Jalan-jalan saja ke pantai!"

Ide cemerlang juga. Aku mengiyakan. Ke kamar mengambil tas dan jaket. Udara malam pasti dingin, tak di pergunungan, juga pantai. Angin malam riang melayang...

"Hati-hati kalau jalan-jalan di pantai sini. Beberapa tempat wingit. "

Aku menghentikan langkah, duduk sebentar di dekat Pak Tua, mendengar kisah.

"Pernah seorang sakit memohon kesembuhan di sini. Datang ke makam keramat. Juru kunci menyuruhnya mandi malam Jumat. Si sakit mandi dan sembuh. Kau tahu siapa yang menyembuhkannya. Ada orang yang melihat dia dimandikan seekor naga raksasa!"

Benarkah? Aku masih mendengarkan kisah yang lain.

"Ada kisah seorang pemuda-pemudi berandal yang berbuat maksiat di pantai ini. Mereka ditemukan mampus, gancet!"

Aku melangkah ketika mengucap salam pada Pak Tua. Udara malam pantai dingin, tapi aku tetap melangkah, ingin. Berdiri di gazebo membelakangi patung kura-kura raksasa. Memandangi lepas laut luas, kerlip mercusuar di Pulau Panjang menerangi kapal dan perahu lewat. Pesisir pantai. Malam ini senyap. Sepi. Hanya ada satu bintang dua kerlip di langit. Mungkin karena baru saja turun hujan, orang lebih suka berkalung sarung atau selimut di peraduan.

Angin laut berkesiur menerpa rambut, kuduk, aku merasa lapang. Perasaan lega seluas samudra. Aku melupakan pikiran kusutku. Hei... mengapa kusut, bukankah esok hari aku sudah memutuskan untuk ke Jakarta agar bisa menemui sang Presiden! Untuk memohon kentut miliknya, demi istriku yang ngidam! Aku harus segera ke Jakarta! Tanpa menundanya lagi!

"Hei anak muda apa yang kau pikirkan?"

Satu suara menyapa... atau desau angin? Aku menajamkan telinga. Hanya suara angin, keluhku. Tapi...

Sebongkah batu raksasa muncul di hadapanku? Batu bisa bergerak?! Aku mengucek mata. Apakah ini mimpi...?!

"Hai anak muda. Jangan kaget. Aku yang mengajakmu bicara."

Demi Tuhan... aku melihat kura-kura raksasa berdiri di dekatku, dan dia bisa bicara! Sesuatu yang aneh bukan? Aku menengok ke belakang. Aku meyakinkan diri bahwa ini bukan halusinasi? Ah tidak. Kura-kura raksasa masih berdiri di belakangku!

Dia hanya seonggok patung. Tapi benda di depanku ini bergerak dan matanya hidup! Bukan mata patung kura-kura yang konon katanya menangis karena dia mata bayi yang jadi tumbal  bangunan itu. Ah... di zaman seperti ini masih saja ada orang  yang percaya bahwa untuk membangun bangunan kokoh kita harus menanam tumbal untuk sesajen siluman yang menghuni bangunan itu. Aku teringat penuturan seorang paranormal yang mengaku bisa melihat alam gaib. Entah.

Tapi yang kualami kali ini… apakah juga alam gaib? Kura-kura raksasa bisa bicara? Aneh tapi nyata!

"Kamukah kura-kura raksasa yang baru saja bicara?"

"Ya… akulah kura-kura raksasa yang mengajakmu ngomong."

"Kau kura-kura aneh. Begitu besar. Bicara pula."

"Tak usah heran. Banyak keajaiban yang sejatinya ada di dunia ini."

"Sejatinya benarkah kau bisa bicara... atau ini hanya halusinasiku semata?"

"Yakinlah ini kenyataan."

"Aku bisa membuktikannya?"

"Cubit tanganmu? Sakit kan?"

Aku menuruti perintahnya, sakit. Jadi ini bukan mimpi!

"Kura-kura kau darimana dan untuk apa datang ke sini?"

"Aku hidup di dasar laut terdalam. Aku ke sini karena tertipu."

"Apa maksudmu?"

"Satu bulan purnama ketika muncul di laut aku melihat kekasih hatiku yang hilang berdiri di bibir pantai. Kukira dia kekasih hati yang menungguku. Ternyata... dia hanya seonggok patung kura-kura. Bukan kekasih hatiku yang ternyata telah pergi dan tak pernah kembali lagi. Huhuhu....!"

Kura-kura raksasa menangis. Aku terhenyak, terpana, tapi aku harus bisa menghiburnya.

"Sudahlah Kura-kura jangan menangis. Bukankah dalam hidup kita harus belajar menerima kenyataan. Kedatangan dan kepergian dalam kehidupan sesuatu yang alami. Kita harus mencoba bisa menerimanya kan?"

"Tapi benar-benar sakit kenyataan ini."

"Seiring waktu kau akan bisa menyembuhkan luka itu. Percayalah."

"Benarkah?”

"Kita baru bertemu, berkenalan, masa sih aku tega membohongimu?"'

"Ah... aku terpuji. Kau manusia baik. Bukan mereka yang suka memburu bangsa kami. Mengambil tempayas, daging, telor, untuk kesenangan. Mereka tak berpikir bagaimana kalau kami musnah. Bukankah anak cucunya nanti tak bisa mengenal kami, hanya melihatnya dalam gambar?"

"Tak semua manusia begitu. Ada yang berusaha menangkarkanmu, memelihara bangsamu, supaya tetap ada dan berkembang biak sehingga selamanya ada di muka bumi ini."

"Aku bahagia mendengarnya."

"Aku tak ingin melihat kau sedih lagi."

"Ya aku tak sedih lagi kehilangan kekasih. Karena bangsaku takkan musnah dari bumi ini!"

"Aku sekarang bahagia mendengar kata-katamu."

"Aku akan pulang, kembali ke negeri dasar laut. Sebelum aku kembali aku akan membalas budi kebaikanmu. Apa yang bisa kulakukan untukmu?'

"Aku tak butuh apa-apa."

"Benarkah? Tapi kulihat tadi kau sedih."

"Kau menduga begitu?”

"Kau pasti punya masalah. Jangan katakan kau pun kehilangan  orang yang kau cintai."

"Tidak. Aku hanya berharap apa diinginkan orang yang kucintai terwujud."

"Apa maksudmu?"

"Aku harus segera ke Jakarta untuk mewujudkan ngidam istriku. Ah, hari sudah malam. Aku segera kembali ke penginapan bersiap-siap!"

"Kau mau ke Jakarta? Bagaimana kalau kuantar?"

"Jangan ngawur! Ke Jakarta naik kura-kura?"

"Aku tak bercanda. Naiklah ke punggungku kuantar kau ke Jakarta. Secepatnya. Sebelum subuh kita sudah sampai!"

"Bagaimana kalau aku terjatuh ke lautan? Tempo hari aku nyaris mati di lautan. Terkatung-katung di lautan. Untung aku selamat. Aku masih trauma!"

"Jangan takut. Jangan trauma. Aku lebih aman daripada kapal. Naiklah ke tubuhku. Berpegang eratlah pada punggungku!"

"Kau yakin…?"       

"Kau yang harus yakin. Naiklah, duduklah, berpegang erat. Kita berangkat!"

Aku bagai terhipnosis. Seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk naik ke punggung kura-kura. Aku duduk nyaman di cangkangnya, lalu perlahan kura-kura melaju berenang cepat mengarungi lautan!

Tapi belum lama kura-kura melaju... aku sudah terperosot dan jatuh.

Bukan di teengah lautan, tapi di sebuah ubin dingin!

Sungguh aku telah bertemu kura-kura raksasa dan menaikinya? Apa artinya. Sejenak aku terlongong ketika pintu tiba-tiba diketuk…

“Siapa?”

“Aku penjaga penginapan.”

Aku menguak pintu. Pak Tua menggerutu.

“Tadi kau berteriak keras. Mimpi buruk apa?!”
Aku menggeleng.

“Seingatku tadi aku jalan-jalan di pantai, tapi mengapa aku kini sudah ada di kamar ini….”

Penjaga menatapku, lekat.

“Kau tak pernah ke luar kamar sejak masuk di Penginapan Pakuraksa ini!”

Dia lalu  meninggalkanku.

Aku menghela napas. Aku mencubit lenganku. Aku menatap cermin, mual melihat wajah lelaki renta. n
                                                         
Kota Ukir, 29 Juni 2014


Lampung Post, Minggu, 7 September 2014