Sunday, July 27, 2014

Mencuri Seribu Bulan

Cerpen Fauzi B.K.


RAMADAN adalah bulan musibah, itu yang selalu ada di kitaran gerutuannya. Sejak kecil bulan yang katanya berkah ini tidak berpihak padanya. Dahulu, ia pasti tidak akan dapat tambahan penghasilan saat Ramadan hadir, lantaran warung Kang Rodi tidak buka galibnya hari biasa. Padahal dari warung itu ia sedikit banyak menggantungkan nasib. Kini, saat sudah tidak bekerja ikut Kang Rodi dan memilih menjadi pencuri, Ramadan lagi-lagi masih tidak mau berpihak.

Apa sebenarnya hebatnya bulan ini? Sering pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Toh sama saja dengan bulan lain, dalam penanggalan almanak manapun, harinya tetap tujuh dalam seminggu, siang dan malam pun sama. Yang membedakan mungkin ada ritual tak makan di kala siang menjelang, itu saja.

Padahal, jika dilihat dari kacamata seorang pencuri sepertinya, malam-malam bulan Ramadan adalah malam yang empuk menjalankan operasi mencuri. Pascaberbuka, orang-orang banyak yang berbondong-bondong ke musala atau masjid. Yang tidak suka jungkir balik dalam fana-nya rakaat tarawih bisa saja memenuhi saf mal dan pusat perbelanjaan, memburu diskon. Mendekati tengah malam mereka lekas lelap, entah kekenyangan atau kecapekan. Waktu yang empuk bukan?

Namun, segala ajian, perhitungan hari dan tanggal, jimat, mantra, bahkan kepercayaan diri untuk mencuri rasanya lenyap jika Ramadan. Mungkin ini yang menjadi alasan Kang Triman mewanti-wantinya untuk tidak mencuri di bulan Ramadan ketika mewariskan kalung berbandul tulang perawan sebagai jimat pamungkas yang ampuh untuk keselamatan mencuri. Entahlah, ia sebenarnya juga belum pernah membuktikan wanti-wanti itu.

Kadang ia berpikir untuk menabrak saja apa yang telah diwanti-wantikan Triman. Toh, ia masih sangat ingat saat memberikan ilmu-ilmu mencuri 4 tahun lalu Triman tidak menyebutkan akibat jika melanggar pantangan tersebut.

Hmm, Jangan-jangan wanti-wanti itu hanya akal-akalan Triman saja agar jatah mencurinya tidak harus terbagi. Tak ada salahnya jika mencoba untuk menebas peringatan itu. Kini Triman sudah tidak sedaerah dengannya, tentu soal jatah dan wilayah bukan hal yang perlu dipikirkan lagi. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan Lebaran. Istrinya, Srini, beserta anak-anak minta baju baru, hidangan Lebaran, dsb. Ini semua gara-gara Ramadan, tidak mungkin ada perayaan Lebaran jika tidak ada Ramadan. Musibah.
                               
***

Rabu Pahing, malam 27 Pasa, muncul dalam oret-oretan perhitungan akhir sesuai rumus yang dipelajarinya. Sejak mempelajari dan mempaktikkannya sebelum kegiatan mencuri, perhitungan tanggal dan weton yang ia lakukan tak pernah meleset, sekalipun. Di hari yang bersandar pada perhitungan inilah ia akan mencuri, sama seperti biasanya. Waktu seminggu dari hari ini sampai hari penangalan ia gunakan untuk mencari target.

Untuk hal ini tak perlu penanggalan, baginya target yang sempurna tentu saja target dengan harta yang melimpah ruah, bertempat strategis, lemah penjagaan dan akses melarikan diri yang begitu tersedia. Terhitung hanya tiga atau empat kali ia mendapatkan target sempurna seperti itu, selebihnya yang penting banyak jarahan yang dapat dibawa adalah syarat utama, soal melarikan diri jimat dan mantra yang berbicara.

Tanggal sudah ditentukan, ada tiga target yang sudah masuk incarannya. Ketiganya berada di Jalan Berkah, kawasan perumahan orang-orang kantoran yang terletak di sebelah sungai itu. Selain tak jauh dari rumah, juga suasananya sepi, tidak ada CCTV, dan minim penjagaan, empuk.

Sekarang ini situasi makin ribet. Mencuri perlu banyak perhitungan, mulai penanggalan, survei tempat, dan kemanan lingkungan dsb. Kebanyakan rumah mewah sekarang—apalagi yang ada di kompleks perumahan bonafit—tak lagi mudah ia masuki.

Selain berpagar tinggi, sekarang ini banyak yang dijaga sekuriti. Belum lagi kamera-kamera sembunyi, anjing penjaga, juga alarm. Satpam dan sekuriti bisa saja ia sirep dan hipnosis. Namun, kamera-kamera sembunyi, alarm, dan CCTV itu tak mudah untuk ia atasi dengan jimat keberuntungan yang ia miliki, perlu butuh kehati-hatian dan kecepatan yang ekstra.
                               
***

Malam 25 Pasa

Ia berada di tengah-tengah acara buka bersama di perumahan Jalan Berkah. Apa yang terjadi jika Triman atau kawan komplotan pencuri lain tahu ia ikut acara buka bersama? Pasti mereka akan tertawa terbahak-bahak. Persetan dengan mereka, mengikuti buka bersama ini adalah penyamaran sekaligus modus untuk membaca situasi dan rute pencuriannya di malam 27 Pasa, sekaligus memastikan rumah mana yang menjadi target utama.

“Malam lailatulkadar adalah malam seribu bulan, aktivitas yang kita lakukan pada waktu tersebut nilai pahalanya di lipat gandakan seperti melakukannya dalam tempo seribu bulan,” suara dari seseorang paruh baya yang berdiri sambil memegang mikrofon. Sesekali suara batuk menyelai isi petuah-petuahnya.

Ia terkekeh dalam hati mendengar tausiah ustaz malam itu, sayang hanya nilai yang dilipatgandakan dalam malam lailatulkadar. Jika saja wujud yang dilipatgandakan, ia akan mencuri di setiap malam bulan Ramadan, gumamnya.
                               
***

Malam 27 Pasa

Semesta mendukung, cuaca senja ini begitu cerah. Hawa yang menyergap tidak panas pun tidak pula membuat leher bergidik dingin. Perkataan Triman dulu baiknya direvisi atau dibuang jauh dari kamus dunia mencuri, senyumnya menang.

Menjelang tengah malam, ia sudah berada dalam pagar rumah yang menjadi targetnya. Suasana amat sunyi, sang empunya rumah mungkin sudah lelap, entah kekenyangan atau letih. Jendela sisi kiri rumah menjadi pintu utamanya, hal itu sudah di rencanakan, tak sia-sia ia menyantron dan menyamar mengikuti pengajian kemarin. Dengan sedikit gerakan, jendela itu menganga, seakan mempersilakannya masuk. Srini dan anak-anak pasti bahagia, baju baru akan mereka kenakan saat Lebaran.

Tak pikir panjang, ia langsung menggeledah lemari di kanan jendela tempat ia masuk, pencahayaan dari lampu dapur yang tidak dimatikan membantunya melihat isi lemari tersebut. Tak ada apa-apa di situ, nihil. Hanya tumpukan buku dan kitab usang. Hatinya mulai gusar tak tenang, jangan sampai ia tidak mendapatkan apa-apa malam ini.

Ia beralih ke bufet di seberang lemari yang barusan ia periksa. Kegusarannya semakin menjadi. Terakhir kali ia merasakan kegusaran seperti ini kala masih menjadi pemula dalam dunia pencurian.

Ia rapal mantra penenang, meski tak dapat sepenuhnya berkonsentrasi merapalnya, ia baca saja. Berharap gusar lekas berlalu. Kaset-kaset lama, kardus gelas berdebu, cicak, kecoa, kertas-kertas yang entah apa isinya, hanya itu yang ia temui. Apa ia rumah ini tak layak dicuri? Semakin tak mendapatkan apa-apa semakin belingsatan ia mencari, tak sadar derit kursi lahir ulah langkahnya yang terburu.

Ia diam sekejap, menenangkan napasnya di pojok ruangan. Dari dalam kamar terdengar si empunya rumah terbangun. “Bu, bangun, Bu!” suara pria membangunkan Istrinya, “Dengar suara barusan enggak?”

Ranjang berderit, matilah aku, pikirnya. Segera ia komat-kamit membaca mantra penyelimur dan penyirep.

“Mau kemana, Bu?”

“Ayo dilihat, Pak. Aku kok khawatir.”

Mendengar percakapan dari dalam kamar, ia semakin cepat membaca mantra-mantranya.

“Sudahlah, Bu, mungkin cuma kucing mengejar tikus. Lagian apa yang mau di curi dari kita kalau itu memang pencuri,” bisik si suami, lirih.

“Bapak ini piye, pencuri kok dibela!”

“Bukan membela, Bu. Ini malam ke-27 Ramadan. Kalau ini malam lailatulkadar, aku enggak mau ditulis Malaikat Atid gara-gara berprasangka aneh-aneh.”

Di pojokan, kakinya mendadak lemas. Suami-istri itu masih terus berbisik-bisik di dalam kamar.

Sialan, Triman benar. Lebih sial lagi ia tak mendapatkan apa-apa. Kalaupun dapat, ia harus menanggungnya seribu bulan. Semoga Rakib mencatat kesialannya ini sebagai pahala. n

Samarinda, minggu terakhir Ramadan 1435 H.


Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2014

Sunday, July 20, 2014

Menjelang Pernikahan Adik Perempuanku

Cerpen Luhur Satya Pambudi


SEBENTAR lagi, keluarga kami memiliki hajat besar. Bapak dan Ibu akan menikahkan Vina, adik bungsuku sekaligus satu-satunya anak perempuan orangtuaku. Untuk sementara kutinggalkan Jakarta agar bisa kubantu persiapan acara keluarga yang tak biasa di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Bagi Bapak dan Ibu, pernikahan Vina di hari Minggu nanti merupakan kesempatan tunggal bagi mereka mengadakan acara mantu, jadi kami sangat serius mempersiapkan semua hal, tentunya agar acara tersebut berlangsung mulus sesuai asa bersama.

Sehari sebelum pernikahan adikku, tepatnya pada Sabtu pagi, sebuah berita duka kami terima. Pakde Parto, kakak tertua ibuku -yang sudah sakit parah selama dua tahun terakhir- tutup usia. Beliau wafat ketika fajar menyingsing dan akan langsung dimakamkan siangnya karena semua anak cucu Pakde Parto kebetulan sudah berkumpul. Mereka datang sebenarnya untuk menghadiri pernikahan adikku keesokan harinya. Kota tempat tinggal Pakde Parto dan kota kami sendiri terpisah jarak belasan kilometer belaka.

”Mungkin ibumu jangan diberitahu dulu, demikian pula Vina,” usul Mbak Runi ketika memberi kabar padam nyawanya sang ayah lewat telepon.
”Iya Mbak, lebih baik begitu. Saya mewakili keluarga besar Bapak turut berduka atas wafatnya Pakde Parto. Mohon maaf, kami mungkin tak sempat melayat.”

”Kami maklumi kalian yang tak bisa datang. Sekarang mending kamu urus persiapan pernikahan Vina. Sampai jumpa besok ya, Dik.” 

Betapa tidak nyamannya perasaanku. Pakde Parto berakhir riwayat hidupnya, tapi Ibu yang merupakan adik kandung almarhum malah belum tahu. Padahal sejumlah kerabat yang berada di rumah kami sudah mengerti kabar itu. Kuminta mereka semua agar merahasiakan berita duka tersebut agar tidak sampai ke telinga Ibu maupun Vina. Kekhawatiran Mbak Runi memang beralasan lantaran ibuku memiliki penyakit jantung. Sebuah kejutan tak menyenangkan manakala tengah menyambut acara membahagiakan putri bungsunya, bisa saja mempengaruhi kondisi kesehatan Ibu. Demikian pula dengan Vina yang mesti dijaga agar konsentrasinya tak buyar menjelang hari istimewanya. Aku tahu, ia memiliki hubungan yang hangat pula dengan pakdenya. Kendati kecewa tak bisa mendatangi pemakaman Pakde Parto, tapi aku paham, tanggung jawabku tak ringan demi menjamin kelancaran hajat besar keluarga kami.

***

Lantaran Vina menikah mendahului Dino, salah satu kakaknya, maka ada upacara menyerahkan pelangkah sesuai dengan adat Jawa. Namun sehabis acara tersebut dilaksanakan, Dino kemudian pergi tanpa pamit. Ia menghilang begitu saja dari rumah.

”Bagaimana ini, Mas? Tidak ada yang tahu, Dino pergi ke mana,” ucap Beni adikku menjelang acara midodareni.

”Dino sudah dewasa, Ben. Tak usahlah kita terlalu memikirkan dia. Aku percaya, dia bisa jaga diri. Besok pagi ketika Vina menikah, dia pasti sudah pulang,” sahutku mencoba menenangkan Beni.

Beberapa saat setelah acara midodareni usai, Dino tetap belum terlihat batang hidungnya. Tiba-tiba Bapak memanggilku dengan raut wajah tegang.

”Ada apa, Pak? Baru saja Bapak terima telepon dari siapa?” tanyaku.

”Itu tadi dari kantor polisi. Adikmu Dino ada di sana,” sahut Bapak agak berbisik.

Ternyata Dino berada di tempat itu karena -menurut keterangan polisi- ia mabuk dan telah menabrak orang di jalan. Ah, ada-ada saja peristiwa yang terjadi menjelang pernikahan Vina besok pagi.

”Tolong, kamu jemput adikmu, ya. Kata polisi, dia boleh dibawa pulang, asal ada jaminannya,” kata Bapak lagi.

”Baiklah, Pak. Serahkan saja urusan Dino pada saya. Oh ya, tolong Bapak jaga Ibu agar tidak sampai tahu masalah ini,” ujarku. Bapak pun menganggukkan kepalanya.

Bergegas saja aku beranjak pergi bersama Beni dan Om Narso -adik kandung Bapak- menuju kantor polisi. Moga-moga kami bisa melakukan negosiasi dengan mereka agar Dino bisa pulang selekasnya.

”Ben, kamu tahu Dino sedang ada masalah apa?” tanyaku pada Beni di dalam mobil.

”Tidak tahu, Mas. Cuma beberapa hari ini, dia kelihatan lebih pendiam,” sahut Beni.

”Apa dia sebelumnya sering mabuk?”

”Sepertinya terakhir sekitar dua minggu lalu, waktu habis putus dengan pacarnya. Begitu yang saya dengar dari Ibu.”

”Apa mungkin dia sebenarnya kurang ikhlas, karena adiknya menikah mendahului dirinya?” tanya Om Narso.

”Mungkin saja, Om,” ucapku.

”Om hanya berpesan agar kalian jangan memarahi Dino. Biarkan dia nanti pulang dengan hati nyaman. Dia mungkin merasa kurang mendapat perhatian saja.”

Aku dan Beni mengiyakan apa kata Om Narso. Dalam hati kucoba memaklumi kelakuan adikku. Usia Dino hanya setahun lebih tua daripada Vina, sementara Vina satu-satunya anak perempuan, sehingga otomatis menjadi sosok paling istimewa di keluarga kami. Barangkali tanpa sengaja, baik Bapak dan Ibu, bahkan aku maupun Beni, sudah sering bersikap diskriminatif terhadap mereka sedari Dino dan Vina masih kecil. Ketika kedua bocah itu dahulu bermain bersama, lalu Vina menangis, maka Dino selalu disalahkan dan menjadi sasaran kemarahan kami. Seiring waktu, Vina lantas melanjutkan kuliah di Yogyakarta, sementara Dino memutuskan bekerja di bengkel sepeda motor sesudah lulus dari SMK. Seusai merampungkan kuliahnya, Vina bekerja di Jakarta, dan tak lama kemudian bertemu dengan jodohnya. Sementara itu, tempat Dino bekerja tidak banyak pelanggannya, jadi kadang ia bagaikan seorang penganggur belaka. Maklumlah, kota tempat tinggal orangtua kami memang tak terlalu besar. Lalu dalam soal asmara, mesti berkali-kali pula Dino patah hati.

Bukannya aku tak pernah mencoba membantu adikku. Aku sempat mengajaknya tinggal bersamaku supaya bisa bekerja di Jakarta. Dino tak mau, karena ia kasihan pada orangtua kami yang usianya semakin menua. Memang hanya dirinya yang masih tinggal bersama mereka. Beni dan keluarganya telah memiliki rumah sendiri, meski masih berada di kota yang sama. Kuhargai pilihan Dino, apalagi alasannya adalah berhasrat menjadi anak yang berbakti pada Bapak dan Ibu.

Sesampainya di kantor polisi, perlu waktu hampir dua jam sebelum kami akhirnya diperbolehkan membawa pulang saudara kami. Orang yang ditabrak Dino dengan sepeda motornya -menurut polisi- hanya mengalami luka ringan. Adikku sendiri mendapatkan luka yang tidak seberapa di wajah, dada, tangan, maupun kakinya. Beruntunglah Dino, lantaran pihak keluarga korban tak ingin membawa insiden tersebut ke ranah hukum. Mereka meminta penyelesaian masalah ganti rugi dilakukan secara kekeluargaan belaka tanpa tergesa-gesa.

”Apa yang akan kau katakan, jika Ibu melihatmu seperti itu?” tanyaku di dalam mobil yang membawa kami berlalu dari kantor polisi.

”Saya naik motor dan tabrakan di jalan. Apa lagi yang mesti saya bilang, Mas?” sahut Dino dengan raut wajah datar.

”Dino, apa kau tidak sadar sudah bikin susah banyak orang?” ucap Beni dengan suara agak keras. Ia tampak geregetan melihat sikap adiknya yang seolah tak merasa bersalah.

”Ben, yang penting malam ini Dino bisa pulang,” kataku yang berada di belakang kemudi. Beni duduk di sampingku, sementara Dino di kursi belakang bersama Om Narso.

“Dino, jika boleh Om menyarankan, nanti sampai rumah, kau bersedia kan, mandi dan segera tidur? Oh ya, kamu sudah makan belum?” Om Narso ikut bersuara.

Dino ternyata belum makan, sehingga kami memutuskan mampir di sebuah warung tenda yang masih buka di seputar alun-alun. Rasanya kami memang perlu menenangkan hati masing-masing sebelum kembali ke rumah.

”Mas Rano, Mas Beni, dan juga Om Narso, saya minta maaf. Seharusnya sejak sore tadi, saya tak perlu ke mana-mana,” ujar Dino setelah rampung makan mie ayam dan minum teh hangat. Kami bertiga sempat saling menatap, lantas tersenyum bersama menyikapi kata-kata Dino.

”Ya, sudahlah. Masih kau ingat kan, apa saran Om Narso tadi?” tanyaku.

”Iya, Mas. Terima kasih ya, kalian bertiga sudah mau menjemput saya sehingga bisa tidur di rumah malam ini,” sahut Dino sambil tersenyum.

Aku lega, kami bisa pulang dengan hati yang lebih tertata. Setibanya di rumah, Dino bersedia melakukan saran paman kami. Syukurlah, Ibu sudah masuk ke kamarnya, setelah sempat menemani Vina terjaga sampai pukul dua belas malam. Kulihat waktu menunjukkan jam satu lebih sepuluh menit dini hari. Masih ada beberapa kerabat kami yang terjaga di depan rumah.

                                ***

Hari pernikahan adik perempuanku tiba. Segala sesuatunya berlangsung mulus tanpa aral gendala. Aku sebenarnya sempat khawatir, ketika melihat Ibu pagi-pagi bertanya pada Dino tentang wajahnya yang memar.   
”Ibu tidak usah cemas. Tadi malam saya hanya jatuh dari motor,” sahut Dino.

Ibu tampak mengangguk dan menyibukkan diri lagi. Perasaanku kembali tidak tenang kala melihat putra-putri almarhum Pakde Parto datang. Tapi tampaknya Mbak Runi tahu mesti menjawab apa, jika Ibu menanyakan kabar ayahnya.

Sekian jam kemudian, ketika malam menjelang, kami sekeluarga tengah berkumpul di dalam rumah. Pada intinya, kami mensyukuri hajat besar keluarga dapat berjalan lancar. Bapak kemudian memintaku menceritakan apa yang terjadi sehari sebelum adik perempuanku bersanding di pelaminan.

”Ibu, sebelumnya kami mohon maaf. Ada sesuatu yang terjadi kemarin, tapi Ibu mungkin belum tahu,” kataku yang berusaha berhati-hati sekali menyusun kalimat.

”Apa maksudmu, Nak?” tanya Ibu.

”Mmm... Ini tentang Pakde Parto.”

“Hah, pakdemu kenapa?”

“Semoga Ibu bisa kuat dan sabar mendengar kabar ini. Pakde Parto kemarin sudah meninggalkan kita semua.”

Serta merta pecahlah suara tangisan Ibu. Mataku ikut berkaca-kaca menatap reaksi ibuku. Beliau tampak terpukul mendengar berita kepergian kakak sulungnya. Kami berusaha menenangkan kegalauan hati Ibu. Bapak lekas saja memeluk istrinya dan mengelus-elus punggungnya. Yang tidak kuduga, beliau ternyata memiliki firasat tersendiri tentang wafatnya Pakde Parto.

”Menjelang bangun tidur subuh tadi, Ibu sempat bermimpi didatangi Pakde Parto. Beliau hanya tersenyum, jadi Ibu mengira kondisinya baik-baik saja. Ternyata, mungkin itulah salam perpisahan dari beliau,” ujar Ibu yang masih berurai air mata.

Esok harinya, kami sekeluarga berziarah ke makam saudara tertua Ibu, setelah sebelumnya mengunjungi rumah keluarga Pakde Parto. Ibu berusaha mengikhlaskan diri menerima takdir Ilahi atas kakaknya. Yang paling penting, tiada masalah berarti selama acara pernikahan Vina kemarin. Tentang insiden yang terjadi pada Dino, biarlah nanti Bapak saja yang menceritakannya pada Ibu di lain waktu. n


Lampung Post, Minggu, 20 Juli 2014

Sunday, July 13, 2014

Luna Tak Ingin Pulang

Cerpen Alexander G.B.


DI kamar berdinding cokelat itu ia bangkit, melempar buku karya Murakami yang belum selesai dibaca. Dadanya turun naik, berkali-kali mendengus, melangkah bolak-balik di dekat ranjang, lalu mendekat jendela, memperhatikan jalanan, kabut tipis mulai turun. Ia menuntaskan bir yang tinggal satu tegukan.

Di luar, orang-orang hilir mudik memenuhi jalanan. Setelah menatap jam, ia mengambil pistol yang tersimpan di laci meja. Beberapa saat merasakan dingin pistol yang telah digenggamnya, menimang-nimang, lantas memasukkannya ke dalam tas dan bergegas keluar. Sampai di trotoar, ia melihat beberapa pasangan keluar dari hotel dan restoran.
Sambil mengisap rokok putihnya pelan-pelan, Luna melangkah mendekat ke salah satu pasangan, lalu membidikkan pistol ke arah salah satu pasangan.

"Mengapa kau harus bersama banci itu. Fuck you!" ujar Luna, lebih kepada dirinya sendiri.

Letusan pistol Luna menggema. Lelaki itu roboh sambil memegang dadanya. Perempuan di sebelahnya berteriak histeris dan menutupi wajah dengan kedua tangan, menata sosok Luna lalu memeluk lelaki itu, sambil meraung-raung seperti suara sirene ambulans membelah jalanan.

Dua burung bersayap merah terbang ke langit.

Tak berselang lama tampak kabut semakin menebal, lelaki dan perempuan itu pun tinggal menjelma bayangan, pelan-pelan menjadi dua titik hitam yang semakin kecil lalu lenyap. Namun, suara teriakan wanita itu masih terngiang-ngiang di telinga Luna.

Luna menutup telinga dengan kedua tanggannya, tubuh wanita yang sebentar lagi akan merayakan ulang tahun ke-26 itu bersimbah keringat. Selimut terlempar ke lantai bersama bantal guling. Ia menggeliat, seperti didekap sesuatu yang sangat kuat, tubuhnya menegang, napasnya kian tak teratur. Sekitar 15 menit kemudian akhirnya ia berhasil membuka mata dan mencoba menyadari apa yang barusan terjadi dengan dirinya, lalu terkulai. Saat itu wajah Luna sepucat mayat dan bibirnya gemetar.

Luna menatap dinding yang ditempeli foto-foto keluarganya, lalu beralih ke langit-langit kamar. Lekas ia mengambil posisi duduk, mengambil bantal dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia mencoba mengingat kembali mimpinya. Namun gagal.

Sementara angin menggerakkan daun jendela, terdengar pula suara detak jam yang memantul-mantul di dinding kamar.  Perlahan nafasnya kembali teratur, memeluk kedua kaki hingga dagunya bersandar pada kedua lutut. 

Saat kembali teringat pesan ayahnya yang meminta lekas kembali ke Tanjungkarang, wajahnya kembali berubah muram.  Tak mungkin menolak perintah lelaki itu.

Dua minggu sudah ia menimbangnya, tetapi tak kunjung bulat keputusannya, terombang ambing antara pulang dan bertahan. Lantaran itu hampir setiap malam ia berkarib dengan mimpi-mimpi ganjil, tentang wanita tua yang matanya menyala, tentang pistol yang tiba-tiba ada di laci meja, pisau, sepasang mata lelaki yang serupa mata serigala, sungai yang sewarna tinta cumi dan gurita dengan bau amis yang menyebar ke seluruh kota. 

Barangkali, seluruh mimpi buruk itu bersumber dari sorot mata lelaki dan perempuan itu. Dua sosok yang ia percaya membuat hidupnya kehilangan pukaunya. Ia terjebak pada situasi putus asa dan kehendak untuk mengakhiri hidup lebih cepat dari yang semestinya.

Namun, ada suara penyangkalan yang berbiak di kepalanya. Suara-suara yang bergema setiap malam, sesaat sebelum matanya terpejam. Pada waktu-waktu lain ia terusik oleh bayangan di cermin yang terletak di sebelah kanan ranjang. Cermin itu terkadang menghadirkan sosok yang asing bagi dirinya sendiri. Sosok yang tersenyum dan kerap menampilkan kegembiraan pelayan toko yang pura-pura ramah kepada setiap pelanggan.

Pada titik ini, ia ragu apakah keganjilan yang ia rasakan bersumber dari sepasang mata lelaki dan perempuan itu atau justru dari dirinya sendiri. Kebimbangan ini menyakiti perasaannya sendiri. Keadaan yang membuatnya tak pernah sunggguh-sungguh bisa menikmati hidupnya.

Seperti ketika ia bersama Dani, seorang arsitek yang lembut dan berpenampilan rapi, bertubuh tegap, senyum menawan, cerlang matanya begitu cerah, seperti pagi di bulan Juni. Namun, baru beberapa bulan kemudian, Luna bosan, merasa kehampaan menyelimuti hubungan keduanya. Kembali Luna terusik sepasang mata lelaki itu. Demikian halnya ketika ia menjalin cinta dengan yang lainnya, sepasang mata lelaki itu seperti tak ingin membiarkan Luna menikmati hidupnya.

Seketika ia merasakan senyap merayap ke tepi ranjang, jarum jam dinding mengarah pada angka dua. Masih terlalu cepat baginya untuk meninggalkan kamar dan tampak ia enggan kembali tertidur. 

Kota itu masih terlelap, gedung dan atap-atap rumah tampak hitam, lampu yang masih menyala seperti kunang-kunang yang berkerumun, sementara suara jangkerik dan belalang bagi Luna seolah menyusun nada-nada yang melulu kesedihan.

Pada saat-saat seperti ini, sepasang mata lelaki itu kembali memenuhi ingatannya. Sepasang mata yang terkadang menyala di tengah kegelapan, berkilat seperti sepasang mata serigala. Meski kerap timbul rasa takut, diam-diam Luna mengagumi sepasang mata yang terkadang begitu lembut dan menenteramkan baginya.

***

Beberapa saat sebelum Luna berniat menutup kisah hidupnya, ia dikejutkan sepasang mata Robert di kaca jendela. Sepasang mata yang sesekali tampak lembut, misterius, jalang, tak peduli, dan terkadang merupa langit kala senja. Hal yang membuat kaki dan tangan Luna gemetar, hingga pisau yang digenggamnya terlepas. Ia mundur beberapa langkah lalu terduduk di samping ranjang dan segera menyembunyikan wajah pucatnya dengan kedua lutut yang masih gemetar. Pakaian Luna basah oleh butiran-butiran garam yang keluar dari tubuhnya. Ia menggigil, meringkuk dengan bahu yang sesekali terguncang. Sesekali pula matanya—melalui celah jemari—menatap kaca jendela, namun sepasang mata Robert tak lagi ada di sana.

Ya, memang bukan pertama. Sudah beberapa kali aku mencobanya. Tetapi selalu saja gagal pada akhirnya. Selalu saja muncul keraguan atau sesuatu yang menggagalkan niatku. Sebenarnya Ini sangat menyedihkan.
Aku membenci sesuatu yang dulu kerap kamu katakan bahwa hidup hanyalah serangkaian kemungkinan dan kitalah yang memastikannya. Faktanya tak ada kepastian, yang pasti hanyalah ketidakpastian itu sendiri.

Dan aku ingin ia lebih cepat datangnya masa itu. Aku merindukan kepakan sayap malaikat, hingga tuntas semua penderitaanku.

Dari jendela aku menyaksikan dunia yang memutih itu. Aku melangkah sendirian dengan bibir gemetar. Ah, mengapa kau terus mengusikku. Sepasang matamu lagi-lagi membuyarkan keberanianku. Kamu benar-benar mirip patung yang terbuat dari perunggu dengan hati yang terbuat dari timah.
Tetapi mungkin ini salahku, sebab tak kunjung mampu membuang ingatan-ingatan tentangmu. Seandainya aku bisa menghapusmu.... Sayang, kurasa aku gagal. 

Tindakan ini bukan didorong rasa frustrasi karena gagal mendapatkan lelaki lain selain darimu. Mereka mencintaiku, hal yang menyedihkan justru aku yang tak kunjung mampu mencintai mereka…. Kamu tahu, karierku cukup membanggakan, gaji lebih dari cukup untuk hidup setiap bulannya, tetapi tetap terasa ada yang tak lengkap.

Tolong. Hentikan. Tidak. aku tidak ingin berpikir. Aku tidak ingin merindukan. Aku tidak ingin apa pun. Aku ingin pergi ke jalan, pohon-pohon menggigil, dunia memutih.

//(Diam, menyeka beberapa butir air yang sempat menggantung di kelopak matanya)//

Aku memutuskan berhenti di sini. Aku ingin membuat sebuah upacara sederhana menjelang tidur panjangku.
Wanita itu, ah, ia terlalu banyak menyimpan jejakmu… Sayang aku juga sangat mencintainya. 

Pada saat-saat terakhir seperti ini tiap detik menjadi sangat berarti, setiap kenangan menjadi begitu berharga. Baiklah, sekarang biarkan aku tenang. Biarkan aku tenang, tak membenci atau mencintaimu secara berlebihan.
Apa kau dengar detak jam dinding yang melambat itu?
Angin mendesau. Berkali-kali Luna menghela napas. Sesaat ia memejamkan mata.

Luna…

Luna …

Suara wanita setengah baya membuat Luna terhenyak. Ia mengenali suara itu. Matanya terbuka, lalu bangkit, menoleh ke sana kemari, keluar dari kamarnya.  Ia menoleh ke kanan, tak ada siapa pun di ruang tamu.

Ia melangkah masuk ke kamar mandi, memutar shower, memejamkan mata, dan membiarkan air kran yang serupa hujan itu menyentuh kulit kepala dan tubuhnya. Satu jam kemudian ia mulai menggigil dan menyelesaikan upacara di kamar mandi. Sampai di depan pintu kamar ia berhenti sejenak, membayangkan wanita itu termangu di ruang tamu.

Luna telah berganti pakaian, tetapi kembali merasakan kepalanya berdenyut. Sesaat, tubuh Luna bergetar, meremas, merobek kertas atau apa saja yang ada di dekatnya. Debu-debu berlompatan di kamar itu. Matanya berubah merah, dadanya sesak, ribuan jarum seperti menusuk-nusuk kepalanya. Mulutnya terbuka, otot-otot wajahnya menegang. Tangannya gemetar memegangi kepalanya. Ia melihat sebilah pisau tergeletak di lantai berdekatan dengan salah satu kaki meja. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya menegang, lalu terkulai di samping ranjang.
Dan bulan tertutup awan. n

Bandar Lampung, Januari 2014


Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2014

Sunday, July 6, 2014

Capucino Kenangan

Cerpen Tita Tjindarbumi


Secangkir kopi cappucino yang kuseduh malam ini membuat aku terkejut. Tiba-tiba aku menyadari bahwa ternyata kita menggemari rasa kopi yang sama. Lebih terkejut lagi karena aku melihat bayangmu pada uapnya yang mengepul, padahal sudah kulipat ingatanku tentangmu. Ah, perempuan bermata embun.
                     
***

MENCINTAI dan dicintai bukanlah sesuatu yang pernah kita rencanakan apalagi hadirnya dibuat-buat. Ia datang menyusup serupa udara yang kita hirup, memenuhi rongga dada yang terkadang justru membuat kita kelelahan. Barangkali karena fakta yang berlari melaju terlalu dini mencapai garis finis, sementara kita masih bersiap-siap di garis start untuk melangkah mencetak jejak, mengambil sekadar pilihan.

Dan…kita seperti dua manusia yang tersesat di hutan belantara yang gelap. Tak membawa perbekalan dan juga peta!

Baru kusadari, cinta saja memang tak cukup untuk berjalan sampai di tujuan, sebuah rumah cinta yang selalu ramah dan memberikan rasa nyaman dan aman. Kuakui, menepis semua godaan memang tak semudah membalik telapak tangan. Perhatian dan kasih sayangmu terasa belum menyempurnakan hidupku yang terbiasa dengan lompatan-lompatan yang menggairahkan. Jauh di dasar hatiku, aku menginginkan dirimu seperti perempuan lain yang mengejar-kejar diriku. Sepertinya mereka tak peduli dengan segala urusan yang bernama cinta. Bagi mereka bersamaku jauh melebihi rasa cinta.

Sayangnya, kau bukan mereka. Dan tak akan pernah bisa menjadi mereka!

Pernah di suatu kesempatan percakapan kita yang tak pernah bisa berdurasi panjang, bagaimana kau menyimpulkan bahwa "cintaku hanya sebuah retorika" dan hanya sekadar konsep yang tak mewujud dalam tindakan nyata. Merangkum semua ucapanmu, selalu kusimpulkan bahwa realitasnya adalah; ada dia suamimu, seseorang yang nyatanya selalu ada dan setia menunggumu meskipun ia tahu cintamu kini untukku.

Dalam kenyataan yang sama, di ruang kosong hatiku yang lain, masih ada seorang perempuan yang tak lagi asing bagimu dan kau selalu menyebutnya sebagai musuh abadi. Aku dan terlebih dirimu, sering membuat kesimpulan yang sama: bahwa kita hanya membuang waktu untuk hal yang tak mungkin bisa tergapai. Kita, terlebih dirimu hanya membuang energi yang seharusnya energi itu dapat kau manfaat untuk hal yang lebih berarti dari sekadar mencintaiku, lelaki yang kau sebut manusia ambigu!

Itu sebabnya, tak bisa kupersalahkan ketika matamu tak lagi menatapku penuh binar. Jemarimu tak lagi bergetar setiap rindu ini tak kuasa kutahan dan rasa itu ingin kutumpahkan meski hanya sebatas menggenggam jemarimu yang tak pernah berhenti bekerja. Kau terkadang seperti arus yang mengalir jauh menuju samudera luas.

“Jika hanya ini yang dapat kau berikan, aku tak akan menampiknya,” ujarku ketika jemarinya dingin berada di genggamanku.

Bibir yang warnanya selalu berwarna cokelat soft itu terkatup. Kau menatapku sejenak. Tidak lebih dari lima detik. Dadaku ingin pecah menahan getar yang menggila.

Ah, sepertinya aku sedang mengalami tsunami hati. Ombak naluri bergulung-gulung. Naik turun membuncah dan pecah di tepian menyebarkan buih.

Aku bisa gila setiap berhadapan denganmu, perempuan yang kurasakan membalas perasaan cintaku dengan sinyal-sinyal yang berpendar dari matanya yang berembun, tuturnya yang membuatku ingin mengulum setiap kata yang terucap dari bibir yang selalu terlihat seksi dan menggoda berahi.

“Hanya ini yang kupunya,” jawabnya pendek. Rambutnya yang panjang tergerai meriap kena angin yang masuk lewat jendela ruang tamu yang selalu ia buka lebar setiap aku berkunjung.

Aku diam. Menunggu sekian detik sinyal dari bahasa tubuhmu. Yang kubayangkan ternyata memang terlalu berlebihan. Kau tetap saja seperti arca yang terbuat dari pualam. Dan aku tak berani menyenggolmu. Aku tak ingin membuatmu retak. Lebih tepatnya, aku tak ingin kehilanganmu jika nekat memperlakukanmu seperti perempuan-perempuanku, pendahulumu.

“Aku tak bisa memberimu lebih, kau tahu alasanku,” katamu lagi.

Aku kembali menatapmu. Aku tahu kau perempuan normal yang butuh sentuhan. Namun tetap saja ketakutan akan kehilanganmu jauh lebih kuat dan membuatku tak berdaya.

Setiap menghadapi kenyataan ini, aku merasa menjadi lelaki tanpa taring. Kadang ingin kuterjang semua keraguan dan ketakutan yang sepertinya telah berhasil mengangkangiku. Membuatku menjadi lelaki tanpa daya setiap berada di dekatmu. Namun, tetap saja rasa cintaku padamu berhasil membuatku menjad lelaki penyabar yang harus puas dengan hanya menggenggam tanganmu.

“Aku akan menjadi pengabdi yang setia jika sudah tiba saatnya,” katamu, saat kau dengan pasti dapat membaca kegelisahanku.

“Berapa lama aku harus menunggu saat yang mendebarkan itu?” tanyaku dengan suara bergetar. Ombak semakin bergulung dan gerakannya nyaris membuatku kehilangan akal sehat.

Darah di otakku bergerak cepat. Aku sudah tak tahan ingin memeluknya.

“Berapa lama? Kita tidak pernah tahu apa rencana Tuhan,” jawabmu lembut dan dengan suara bergetar. Aku terpaku menatapmu.

Jantungku seperti berhenti ketika kau menyebut kata Tuhan. Terasa seperti disengat aliran listrik bertegangan tinggi.

“Ketika kita menginginkan sekarang sementara Tuhan belum berkehendak, maka kita akan dimarahi Tuhan,” katamu lagi, mimik wajahmu serius.  Begitu indah sekaligus kejam caramu menjinakkan kegelisahanku. Begitu jitu caramu menyentil kenakalanku.

Bibirmu tersenyum. Tetapi aku lebih suka memandang matamu yang kian berembun. Kalimatmu sungguh ajaib plus manjur. Dengan sebuah kalimat saja telah membuatku terlempar ke masa lalu yang berwarna hitam.

Diriku seperti domba nakal yang tak pernah mengenal Tuhan.

Aku ingin beringsut melepas genggaman tanganku. Tetapi rasa tak rela itu lebih kuat memenjarakan hatiku. Mematahkan keinginan-keinginanku, terutama melampiaskan kenakalanku. Aku lelaki normal. Begitu anehkah jika aku berharap lebih dari sekadar menggenggam jemari?

Atau justru aku sudah gila? Membiarkan perempuan yang manusia biasa dan kuanggap peri….atau bidadari penyelamat hidupku?

Secangkir capucino seduhanmu memang telah membuatku tak berdaya selain mencintaimu dan rela menjadi si kodok yang merindu rembulan…

***

Aku mendengar sumpah serapah itu serupa gendang bertalu-talu, menggebuk gendang telinga, mencambuk kebodohan, meremuk-redamkan jiwa dan memorak-porandakan batinku. Tetapi apalah arti semua itu jika aku tak bisa melakukan apa-apa, selain marah pada keadaan. Marah pada manusia yang memetak-metakan keyakinan. Marah pada mereka membeda-bedakan tempat untuk menuju Tuhan.

Aku tak bisa marah ketika dirimu mengatakan bahwa Tuhanmu begitu sayang padamu sehingga kau bisa menikmati sekaligus mensyukuri semua beban deritamu meski kau hidup sendirian. Aku ingin mendebatmu ketika kau bilang kesendirianmu karena itu bentuk kasih Tuhanmu yang sedang mengujimu dan kau ikhlas menerima hanya agar kau bisa naik kelas.

Sungguh, kau perempuan yang tak mudah dimengerti jika sedang bicara tentang Tuhanmu. Apalagi kau begitu takut kusentuh hanya karena sebuah kata “dosa”.

Lalu aku? Sikapmu membuatku merasa kau sedang meragu akan diriku. Seakan kau bertanya “Bertuhankah diriku?” Tatap matamu seakan menempatkan diriku di barisan manusia yang penuh dosa karena aku suka berganti-ganti perempuan.

Tuhan…di mana dirimu? Di mana kau letakkan diriku? Apakah Tuhanku berbeda dengan Tuhanmu?

Tubuhku membiru pasrah menikmati kenyataan yang hanya mampu membuatku seperti seorang pangeran tanpa mahkota. Seperti arjuna tanpa anak panah yang hanya bisa menunggu, seperti katamu: ketika tiba saatnya…

Tak banyak aksara yang dapat kususun dalam kata-kata, berbaris menjadi puisi yang mampu membuat jiwaku nyaman menunggumu hingga waktu menjelma binar wajahmu seperti merahnya senja paling ranum di lengkung cakrawala.

Ah…a..aku bukan pujangga yang bisa meruntuhkan keyakinanmu dan menjelma menjadi pangeran yang kau impikan. Pangeran yang diutus Tuhanmu membawa kebahagiaan yang abadi.

Abadi?

Bukankah kau bilang, tak ada yang abadi, kecuali perubahan…

Andai bisa kuputar ulang “Mississippi” tanpa bermaksud merayumu agar kau selalu mengingatku, hingga pita suara laptopmu parau kelelahan menyanyikannya, seolah kaki pengembara yang tergagap langkahnya hingga terbujur di atas padang ilalang yang ujung dedaunnya tajam menusuk sukma.

Andai….

Ternyata aku salah menerjemahkan pesan musim yang datang menyapa rimbun ilalang di rumah cinta, tempat di mana kita pernah saling menggenggam jemari menerima kenyataan yang kejam sebagai kenangan.

Kini jalan pulangmu jadi sempurna sesempurna langkahmu yang purnama saat hujan bulan Juli menyapa iringi lambaian tanganmu yang terakhir di bandara itu, tinggalkan secarik cerita dan sisakan sendiriku yang tak menerima kepergianmu. Maka kubiarkan kau jadi kisah sebuah musim dan melipatnya dalam sunyi yang paling purba.

Aku ternyata salah membaca pesanmu, aku keliru meraba hatimu yang ternyata separuhnya telah pergi hingga badai benar-benar datang menenggelamkan kita di lautan kenyataan. Adalah aku lelaki yang terbungkam ambigu, cuma bisa menyusun rindu lewat aksara. Mungkin hanya terdengar seperti nyanyian camar yang rindukan sarang, maka tak perlu menyalahkan waktu juga keadaan sebab cinta kita mungkin hanya untuk memijak hari kemarin.

Kini saat fajar mulai membuka pagi dengan gerimis paling romantis memasuki musim kehilangan. Ada rasa cemas meremas terasa makin sunyi,  berteman redupnya matahari ketika kau pergi di senja kemarin. Mungkin tak ada lagi suguhan istimewa yang bisa kuberikan padamu andai nanti kau datang singgahi kotaku, sebab kita tak bisa kembali pada jalan yang terpecah oleh keyakinan. Maka pulanglah kau kepadanya…

Begitu sederhana caraku menyelesaikan persoalan. Bagiku mungkin ini jalan paling terbaik untuk kita.

Kita?

“Semua bisa terjadi dalam percintaan,” kataku seakan begitu yakin bahwa dirimu tak akan menangis. Yang ada di kepalaku bermacam-macam jenis kekhawatiran. Tetapi melihatmu tak menangis adalah hal yang paling dominan. Sebab, aku tak akan mampu beranjak pergi setiap melihat air mata perempuan. Mungkin itu kelemahanku. Air mata perempuan pulalah yang membuatku tak bisa menolak kehadiran mereka. Menikmati kemanjaan dan dimanja oleh mereka.

“Ya, saatnya memang sudah tiba,” katamu dengan suara pelan, seperti biasa, membuatku gemas. Aku berharap kau menangis dan aku segera memelukmu.

Lima menit…itu tak terjadi. Justru senyum tipismu menusuk jantungku. Kau memang peri penyelamat bagi dirimu. Bukan peri penyelamat kegelisahanku.

Semusim lalu saat aroma bunga kau tebar dan memasuki relung hatiku yang kosong, kukira kau jelmaan peri yang akan menolongku dari sunyi. Ternyata kau perempuan yang lebih suka membiarkan matamu kian berembun, daripada berlari menerjang rambu yang Tuhanmu ciptakan. Kini aroma bungamu berubah menjadi jeruji sunyi yang memenjarakan hatiku: lelaki ambigu. n

* Catatan di sebuah kota yang tercoret dari petamu, 2 September 2011 pukul 20.22, terinspirasi dari sebuah puisi karya EMP.

                       
Lampung Post, Minggu, 6 Juli 2014