Sunday, June 29, 2014

Di Bubungan Atap

Cerpen Marina Novianti



Mei 2014

ADA yang istimewa di bubungan atap. Burung–burung cokelat gemar bertengger di sepanjangnya. Mereka membentuk barisan teratur para penggosip mungil. Saling mendekatkan kepala satu sama lain, bertukar kabar angin tentang dunia dan segala kisaran rasa. Cericip mereka riuh gaduh, asyik sekali agaknya! Aku tak habis pikir, mengapa mereka memilih beramai–ramai hinggap di bubungan atap. Padahal pasti kaki, sayap, dan tubuh berbulu cokelat mereka nyaris hangus, terpanggang terik matahari. Tapi entahlah. Ini masalah rasa, kurasa. Wah… aku sedang berlagak memiliki perasaan rupanya. Hahaha!

“Hahaha! Mana mungkin kau bisa sembunyi dariku? Mau lari ke mana, hah?”

Hari ini ada pengunjung baru. Warnanya bukan cokelat, tapi biru berkotak-kotak merah. Dia tak bersayap. Ya, dia bukan burung, melainkan gadis kecil berkuncir dua. Dan dia jelas bukan anggota barisan penggosip. Sedari tadi dia diam. Kepala yang tertutup rambut hitam lebat dikuncir dua tunduk tak bergerak. Tampaknya ia terus menatap ke bawah atap.

Sesekali dia menghela napas, ekspresi wajahnya berubah–ubah dari kaku seperti papan menjadi berkabut. Sinar matanya terkadang berkilat memantulkan silau langit, adakalanya berpendar didesak air yang hendak mengalir keluar. Gadis kecil ini duduk seperti patung di bubungan atap. Akhirnya burung-burung cokelat memutuskan dia bukan ancaman bagi mereka, dan kembali hinggap berbondong-bondong, tak sabar untuk melanjutkan gosip berisik mereka.

“Sudah, diam saja! Kalau kau berontak, kau yang kesakitan. Bukan aku. Kalau kau berteriak, mulutmu kusumpal nanti. Diam!”

Aku terus mengamati gadis kecil berkuncir dua itu. Untuk ukuran seorang bocah, dia telah duduk diam terlalu lama di bubungan atap. Oh ya, aku tahu banyak tentang bocah-bocah! Sering mereka datang dan duduk di bawah naungan rindang daun–daunku yang memberi hidangan oksigen tiap hari untuk dunia. Mereka duduk terengah-engah dengan tubuh berkeringat sehabis berlarian mengejar angin atau apapun yang menurut mereka layak dikejar. Tapi gadis kecil ini, bukannya berlarian, dia memilih duduk diam berjam-jam di bubungan atap. Padahal panas genteng yang kasar pasti menggigit kulit cokelat susunya. Cokelat susu, kecuali di beberapa bagian. Ada biru kehijauan di pelipis mata, leher sebelah kiri, dan pergelangan tangannya. Mengapa, dia tak memilih untuk duduk di salah satu dahanku? Mengapa harus di bubungan atap? Bersama angin siang, ranting-rantingku melambai-lambai resah, mencari jawaban di udara. Namun sia-sia. Udara hanya tersenyum dan bersiul tinggi rendah, menertawakan tingkah polah dunia.

“Apa kau bilang? Pembohong cilik! Sembarangan mengarang cerita tentang Pak Wandi! Mana mungkin? Dia sangat baik…Berani-beraninya kau, bocah kerempeng memfitnah Pak Wandi? Kurang ajar!”

Ibu-ibu bermunculan dari balik berbagai pintu rumah. Anak – anak mulai beranjak dari duduk mereka di akarku, mematuhi panggilan ibu masing-masing. Matahari semakin intim mendekatkan diri pada kaki langit, bersiap memulai kencan dengan kekasih rahasianya yang bersembunyi di sana. Mahkota bunga di rumpun halaman merundukkan helai-helai kelopak, bentuk pengertian terhadap berkurangnya intensitas cahaya di udara. Burung–burung cokelat pun seolah mendengar panggilan malam, terbang meninggalkan bubungan atap sendirian.

Oh, tidak. Masih ada si gadis kecil berkuncir dua. Dia tak tampak hendak meninggalkan bubungan atap. Dan memang tak ada sosok seseorang atau suara yang memanggil-manggil untuk pulang. Tubuhnya nyaris menyerupai bayang-bayangnya sendiri. Sulit buatku terus mengamati raut wajahnya, cahaya semakin redup.

“Coba-coba mengadu ya? Sudah kubilang, takkan ada yang percaya padamu, bodoh. Kau hanya anak kecil yang bengal, tak bisa diatur. Semua orang bilang kau aneh dan gila. Aku kan guru yang disegani. Mana mungkin mereka lebih mendengarkanmu? Sudah, diam saja. Buka mulutmu. Lama–lama kau juga suka.”

Lama-lama, tubuh gadis kecil berkuncir dua semakin menyatu dengan bayang-bayang malam. Aku hampir tak bisa membedakan sosoknya dengan bentuk kanopi pohon lain di belakang bubungan atap. Bersama menurunnya suhu udara malam, dunia mulai menurunkan volume keriuhannya. Dan barulah terdengar sekarang, gumam lirih, cenderung merintih yang menguar dari sosok gelap gadis kecil berkuncir dua.
 
“Sakit, Pak. Sakit, Bunda. Kenapa kalian tak percaya padaku? Kenapa kalian pukuli aku? Sakit, Pak. Sakit, Bunda. Kenapa…”

Sekarang aku benar-benar ingin tahu bagaimana sebenarnya merasa. Suara lirih tersendat cairan tubuh seperti ini tak pernah kudengar dari makhluk hidup lain, kecuali dari seekor ayam sekarat yang lehernya setengah putus disembelih, masih tersisa napas satu dua. Aku ingin tahu bagaimana rasa sakit yang dirasakan gadis kecil berkuncir dua, hingga membuatnya merintih berulang-ulang sedari tadi, demikian rupa. Aku juga ingin tahu mengapa rumah besar di bawah bubungan atap ini begitu lengang. Tak menunjukkan kehidupan keluarga yang mencari-cari, bertanya ke mana si gadis kecil berkuncir dua, mengapa dia belum pulang juga.
 
“Aku ingin tahu, kalau sudah besar nanti, kau masih ingat tidak yang baru kita lakukan tadi. Buatku nikmat sekali. Mungkin saat kau dewasa,  kita bisa bertemu dan bernostalgia bersama. Hahaha!”

Gadis kecil berkuncir dua tertawa singkat, di sela-sela napasnya yang tercekat rintih. Tawa yang aneh, menurutku. Perlahan, dia mulai berdiri. Tubuh mungilnya berusaha tegak di atas bubungan atap. Ironis, betapa baju biru berkotak-kotak merahnya tampak gagal melindungi ringkihnya tubuh yang kurus kecil.

Malam semakin pekat, gelap semakin berkuasa. Sosok tegak yang limbung sudah menyatu dengan kelam, namun sorot mata si gadis kecil berkuncir dua tampak menyala-nyala.
 
“Aku tak ingin bertemu denganmu lagi, Pak. Tidak nanti kalau aku sudah besar, tidak juga besok. Aku tak mau sakit lagi, Bunda. Aku mau terbang saja.”

Saat itu lampu jalan mulai menyala. Sorot mata gadis kecil berkuncir dua tampak berkilat memantulkan cahaya. Untuk pertama kalinya, senyum mulai mengembang di wajah lembab mungil. Ia menegakkan diri, tampak seperti puncak kepalanya ditarik oleh temali alam semesta yang terulur dari langit. Tubuh gadis kecil berkuncir dua bergerak seperti hendak menari. Dengan senyum di wajah dan pendar di mata, dilangkahkannya kaki ke depan, meninggalkan bubungan atap. Tubuhnya yang ringan melayang sesaat, seolah bimbang memutuskan hendak terbang menyusul burung-burung cokelat atau mendarat ke pelukan tanah. Ia sungguh–sungguh tak ingin lagi bertemu dengan siapa pun. n


Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2014

Sunday, June 22, 2014

Pelukan Pertama Ibu

Cerpen Muhammad Amin


MALAM temaram. Senyap diselimuti dingin. Nun jauh di sana, cahaya lampu berkerlap-kerlip seperti ribuan kunang-kunang yang hinggap di atas dataran yang luas. Ribuan bahkan mungkin jutaan. Tetapi itu bukan kunang-kunang. Namun, hanya cahaya lampu yang tampak kekuningan yang terpendar. Cahaya dari gedung-gedung, rumah-rumah, dan jalan-jalan.

Malam di atas bukit itu seperti selalu tampak berbeda. Angin malam sesekali berhembus menggesek dedaun jati. Lihatlah, jauh di sana pemandangan ribuan bahkan jutaan lelampu yang terpancar dari gedung-gedung, rumah-rumah, dan jalan-jalan bekerlip begitu indahnya. Hingga ke lereng-lereng bukit. Lampu-lampu di atas tower. Juga lampu-lampu dari permukiman di lereng Merapi. Ditambah bintang-bintang bekerlipan di langit. Aroma malam yang meruap memenuhi dada.

Di atas gedung lantai tiga, Zaky duduk di buah kursi kayu, menikmati pemandangan malam yang selalu memesona baginya. Malam-malam seperti sebelumnya. Dingin. Tubuhnya sudah dibungkus oleh sweter. Laptop dibiarkan menyala. Secangkir kopi dingin. Zaky membekapkan kedua tangan di dadanya. Seperti hendak mengusir dingin.

Seharusnya dia menjaga kesehatannya. Zaky mudah sekali sakit. Beberapa hari yang lalu, karena terlambat, dia seperti kaget. Tiba-tiba dadanya sesak. Tubuhnya lemas, tak berdaya. Sampai di depan tangga, tubuhnya limbung. Untung ada teman-temannya yang segera membopongnya kembali ke asrama. Dia dibiarkan istirahat. Tidak jadi kuliah. Seharian dia hanya tiduran di kamarnya.

Tiga tahun lalu.

Di rumahnya. Kejadian seperti itu sudah beberapa kali dialaminya. Tapi yang terakhir yang paling parah. Sore itu dia baru pulang main bola. Masih keringatan. Wajahnya masih semringah. Senang karena timnya menang di lapangan. Dia melepas alas kakinya. Beranjak mandi.

Selepas magrib, tiba-tiba dadanya sesak. Napasnya tersengal-sengal. Badannya lemas. Dia tiduran. Badannya panas. Saat ibunya tahu, dia langsung memanggil pamannya. Ayahnya sedang tidak di rumah. Bekerja. Pamannya datang. Melihat keadaannya. Lalu dia langsung dibawa ke tabib. Seorang tabib yang masih teman pamannya, tetangganya dulu.

Oleh tabib, dia disuruh melepas baju. Si tabib menempelkan telinga di dadanya. Seperti mendengarkan sesuatu di dalam dadanya. Kemudian dia berbicara kepada pamannya.

“Anak saudaramu ini sudah sangat parah. Seperti ada kelainan. Paru-parunya sudah rusak. Aku sarankan nanti bisa rutin ke sini seminggu sekali. Semoga bisa cukup membantu,” katanya.

Kemudian dia meramu obat. Membuka keranjang yang isinya ular, yang biasa digunakannya untuk mengobati pasien. Oleh si tabib, ular itu dipotongnya, dituangkannnya beberapa tetes darah ular itu ke dalam gelas. Juga jantung ular itu. Kemudian diracik olehnya.

Zaky disuruh meminumnya. Awalnya dia ragu. Dia tidak mau. Tapi pamannya menasihatinya, ini demi kesembuhannya. Akhirnya Zaky mau meminumnya. Anyir. Membuatnya mual.

“Kalau nanti kamu panas, minum ini,” kata si tabib sambil menyerahkan beberapa butir kapsul dan air dalam kemasan yang sudah dijampi-jampi.

Mereka pulang. Sampai di rumah, tubuhnya masih lemas. Dia tiduran. Pamannya juga sudah berpamitan pulang. Rumah pamannya hanya berjarak sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor.

Tak lama kemudian, tiba-tiba badannya panas. Panasnya semakin meninggi. Kejang-kejang. Matanya mendelik menyisakan putih. Ingatannya kacau, setengah sadar. Keringat dingin. Mengigau. Dia berguling-guling kesakitan. Napasnya tersengal-sengal. Dia berteriak-teriak memanggil ibunya. Antara sadar dan tidak. Suaranya lemah.

Ibunya mendengar anaknya yang sedang sakit berteriak lemah memanggilnya. Tergopoh-gopoh ia ke kamar putranya. Kaget. Di rumah tidak ada orang. Panik. Ibunya langsung menelepon ayahnya. Kemudian menelepon pamannya. Pamannya yang belum tiba di rumahnya, berbalik arah. Kembali.

Ibunya menangis demi melihat itu. Ibunya memeluknya. Untuk pertama kalinya dia merasakan dipeluk oleh ibunya. Untuk pertama kalinya. Antara sadar dan tidak. Dia masih kesakitan dan kejang-kejang. Tubuhnya bertambah panas. Ibunya bingung, tak mengerti apa yang harus dilakukan. Dia hanya bisa memeluknya sambil menangis.

Tak lama kemudian pamannya tiba. Dia memeriksa keadaannya dan segera memberikan air minum dan obat yang diberikan tabib itu. Malam itu tiba-tiba rumahnya menjadi penuh, sampai teras. Banyak saudara dan tetangga yang datang. Bahkan neneknya yang sudah sangat tua, yang sudah tidak kuat dan tiga tahun tidak pernah ke sana, datang dengan memaksakan diri berjalan kaki. Ayahnya pulang. Melihat anaknya terkapar dan meronta kesakitan. Ayahnya marah-marah sambil menendang-nendang kursi. Dia tidak pernah setuju anaknya dibawa ke tabib. Suasana jadi gaduh. Ada yang menangis. Ada yang marah-marah. Sementara dia sendiri masih kondisi yang memprihatinkan.
Ibunya masih menangis. Ayahnya masih marah-marah.

“Sudah kubilang, ngapain pergi ke dukun. Enggak punya alat, enggak punya keahlian. Siapa yang mengantarnya, hah?!” terdengar pintu dibanting dengan keras.

Dalam kondisi seperti itu, antara sadar dan tidak, Zaky masih sempat terpikir dalam benaknya, “Kalau seperti ini, lebih baik aku tidak usah hidup saja.” Dalam kondisi dia sedang sakit parah, orang tuanya malah marah-marah, seperti tidak peduli padanya. Dan dia merasa seperti manusia yang tidak berguna. Merepotkan saja. Untuk apa hidup kalau begini?

Emosi ayahnya mulai mereda. Neneknya ada di situ, di samping ibunya. Neneknya juga menangis. Sudah lama dia tidak dijenguk oleh neneknya. Bukankah seharusnya mereka yang sering-sering menjenguk neneknya yang sudah tua?

Setelah satu jam, panasnya mulai mereda. Sudah melewati masa kritis. Tapi dia belum kuat duduk. Dia masih berbaring. Tertidur. Ibunya mengelap keringat di dahinya dan membetulkan posisi tidurnya. Hari itu, mungkin untuk pertama kalinya Zaky seperti baru merasakan perhatian seorang ibu kepadanya. Seingatnya seperti itu. Dia baru tahu bahwa ternyata ibunya sayang padanya. Selama ini dia tidak pernah tahu.

Keesokan harinya Zaky sudah pulih, meski belum sepenuhnya. Ibunya selalu datang ke kamarnya, menyuapinya makan. Zaky tidak mau disuapi. Dia malu karena merasa sudah besar. Dia bisa makan sendiri.

Setelah sakit parah itu, seperti ada yang berubah. Pada hari-hari yang dilewatinya, tak seperti hari sebelumnya. Dia selalu murung. Tidak bergairah. Hanya diam. Diam. Duduk dan termenung. Murung. Hanya seperti itulah hari-hari yang dilewatinya. Dia yang sebelumnya ceria. Sering main bola dan mencetak gol di gawang lawan. Tapi itu semua cepat sekali berubah.

Dia juga jadi cepat marah. Emosinya meledak-ledak. Kadang diam saja. Murung sepanjang hari. Dia selalu mengingat kejadian itu, saat sakitnya sangat parah. Dia merasa seperti tidak akan hidup lagi. Dan dia merasa seperti orang yang tak berguna. Buat apa hidup ini?

Itulah pertanyaan yang selalu mengganggunya. Selama ini hubungannya dengan orang tuanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Berbeda dengan teman-temannya yang lain, yang sangat mesra dengan orang tuanya. Mereka akrab dan hangat dengan orang tuanya. Mereka sangat dekat. Kadang dia bertanya, kenapa dia berbeda dengan teman-temannya yang lain? Dia tidak seperti mereka.

Hubungannya dengan orang tuanya biasa saja. Sudah terlalu biasa. Tidak ada yang istimewa. Kering. Hampa. Seperti gurun. Seperti padang yang tandus tak ada tanaman. Kaku. Dia dan orang tuanya seperti hidup sendiri-sendiri. Meski dalam satu atap. Meski dalam satu ruangan. Dekat tetapi seperti jauh. Kadang mereka bercakap-cakap, tetapi bukan mengobrol. Hanya bergantian berbicara.

Semuanya terasa kering. Kerontang. Apalagi ayahnya. Ayahnya tak pernah bertanya sesuatu pun padanya. Kecuali bertanya sesuatu yang sangat penting dan mendesak saja. Seperti basa-basi. Kenapa seperti ini?

Dia tidak pernah tahu apakah ayah dan ibunya sayang padanya. Dia tidak pernah tahu itu. Yang dia tahu hanyalah dia menumpang hidup di sana. Satu atap, satu rumah. Dekat tapi serasa jauh. Semua seperti sendiri-sendiri. Betapa ganjil. Kenapa dia berbeda dari keluarga yang lainnya? Apakah dia merindukan keluarga seperti teman-temannya? Ah, mungkin tidak juga. Dia sudah terlalu nyaman dengan keadaan seperti ini. Dia sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Jadi bukan hal yang aneh lagi.

Dan pada hari dia sakit parah, untuk pertama kalinya dia merasakan pelukan ibunya. Pelukan yang terasa berbeda. Seperti sesuatu yang dirindukannya. Apakah itu yang dinamakan kasih sayang? Dan dia bisa menyimpulkan jika ternyata dia baru tahu bahwa setidaknya ibunya menyayanginya. Dia bisa merasakan itu. Dia bisa menangkap getar-getar itu. Kepanikan ibunya. Pelukannya. Tangisnya.

Meskipun setelah sakit parah itu, suasana menjadi seperti semula. Terlalu biasa. Tak ada yang istimewa. Tak ada kehangatan dan kemesraan di ruang keluarga. Kering. Seperti gurun. Tapi setidaknya dia tahu bahwa ibunya menyayanginya. Itu sudah cukup baginya.

Dia masih menyimpan pertanyaan itu di kepalanya. Kadang hilang, kadang berkelebat. Dia menjadi murung karena perasaannya. Merasa tidak berguna. Merasa tak berdaya. Merasa tak berharga. Merasa hidupnya tak ada artinya. Untuk apa hidup ini kalau begini?

Suatu malam dia bermimpi. Mimpi yang sangat aneh. Dalam mimpinya, dia memesan sebuah kuburan untuk dirinya. Dia meminta kepada dua orang penggali kuburan. Kedua penggali kuburan itu bekerja sesuai permintaannya. Setelah kuburan jadi, dia menatap kuburan untuknya. Lama dia menatapnya, seperti ada suasana lain di dalamnya. Suasana yang asing dan ganjil. Menakutkan. Dia ketakutan. Dia tidak ingin mati dulu. Kemudian dia lari menjauh dari kuburan itu.

Dia berkata kepada kedua penggali kubur itu bahwa dia tidak jadi memesan kuburan. Kedua tukang gali kubur itu tidak terima. Mereka marah. Dia lari. Mereka mengejar membawa linggis dan cangkul seperti ingin membunuhnya dan memasukkannya ke dalam kubur itu. Dia lari, terengah-engah. Lalu terbangun. Dadanya sesak. Keringat dingin.

Semenjak malam itu, dia tidak pernah lagi berpikiran untuk mati. Dia takut. Dia menceritakan mimpinya itu kepada kakaknya yang pertama. Kakanya menasihatinya dan menyarankannya tidak perlu menceritakannya kepada orang lain. Abangnya selalu menyemangatinya sehingga perlahan-lahan dia tidak murung lagi. Dan setidaknya sakitnya tidak pernah kambuh lagi.

Selepas lulus SMA, abangnya menyuruhnya untuk kuliah di sebuah kampus berpesantren di Yogyakarta. Dia menurut saja. Dia tidak pernah tahu dan tidak pula pernah bertanya kenapa dia dikirim ke kampus ini, bukan kampus yang lain. Yang dia tahu bahwa kakaknya pasti lebih tahu mana yang baik bagi dirinya.

Malam itu, di sebuah bangunan lantai tiga, yaitu bangunan kampusnya yang belum selesai. Zaky menatap kejauhan. Menatap gemintang di langit sana. Menatap ribuan cahaya lampu seperti ribuan bahkan jutaan kunang-kunang yang tumpah di dataran yang luas. Zaky memperbaiki posisi duduknya. Laptopnya masih menyala. Kopi dingin yang tak disentuhnya.

Kadang di kepalanya masih saja berkelebat pertanyaan; kenapa keluarganya berbeda dengan keluarga teman-temannya yang hangat dan mesra?

Dia tidak pernah tahu, bagaimana bentuk kasih sayang itu. Dia tidak tahu, kenapa ayah dan ibunya tak pernah mengajaknya mengobrol hangat di ruang keluarga. Dia tidak tahu, kenapa ayah dan ibunya tak pernah memeluknya? n   

Yogyakarta, Mei 2014


Lampung Post, Minggu, 22 Juni 2014

Sunday, June 15, 2014

Kisah Raja Tikus

Cerpen Jauhari Zailani


RAJA Tikus duduk seorang diri. Lilin di hatinya, menyala bergoyang-goyang oleh angin. Sinarnya meredup, muramnya hidup dan kehidupan. Sinar itu sebagai penerang dan memandu kehidupan, ke mana arah kaki melangkah di tengah pergulatan antara gelap-gelap yang menggila.
                              
***

Dengan nyala lilin di depan mejanya, ia periksa rekeningnya yang terus bertambah. Ia tahu riwayat setiap jumlah angka yang tertulis. Tak pernah berkurang, tambah iya. Aliran rekening adalah kisah perjalanan dirinya si Raja Tikus. Tiap angka adalah gambaran hari harinya yang legit dengan kegiatan memburu uang. Tiada habis kata dan waktu. Tak lelah oleh kantuk di larut malam.

Aneka rintangan menghadang telah terlewati dan ditundukkan. Segala kekuatan siap bergerak dan menggerakkan. Siang dan malam bergegas mengejar waktu. Ritual malamnya menghitung uang, ia tatap angka demi angka dalam rekeningnya. Wajah-wajah berseliweran bungah dan muram dalam bayangan.
Sebelum tidur ia sempatkan ke garasi. Mobil barunya telah membawakan kebanggaan diri. Ia tersenyum mengenang kerumunan wajah-wajah kagum. Bersama mobilnya, ia menjadi pusat perhatian. Mobil-mobilnya melengkapi tumpukan uang yang acap menghiasi mimpi-mimpi tidurnya.

Mobil ini upah yang pantas bagi dia yang selalu punya waktu untuk duit. Dia, selalu bersemangat menyambangi dan menyambut uang. Di mana pun, kapan pun. Wajah-wajah berkelebatan dalam bayangan melengkapi mimpi tidurnya.

Dalam peraduan, ia memeriksa mantra-mantra ajaib yang selalu diulangnya dalam pergaulan; apa proyek kita, berapa bagianku. Untuk apa kita berteman jika tak saling berbagi proyek dan untung. Karena pengalaman mengajarkan ada duit abang sayang, abang berkantong tipis pasti nangis. Matanya terlatih menyelidik dan mengukur teman barunya. Taksiran pada arloji yang melingkar di tangan. Cincin yang melingkar di jarinya. Sepatu yang menyangga kakinya. Ia tersenyum melihat aneka wajah yang melintas dalam ingatannya.

Dari tempat tidurnya, wajah dan matanya melirik koleksi arlojinya. Dalam dunianya, busana dan turangga bukan saja bahan bincang, melainkan juga penentu peran dan fungsi. Bahkan status dan identitas. Pengelompokan dan pergaulan atas dasar apa yang dimiliki. Si kaya penentu perbincangan dan acara. Layaknya pengarah dan pengatur bagi hidup dan kehidupan orang-orang yang nampak dan dalam bayangan, di balik tirai kehidupan. Bagi si bokek, cukuplah rela menjadi pemanis acara dan objek ejekan. Terbayang aneka wajah yang mengagumi jam yang dipakainya.
                               
***

Raja Tikus mulai bercerita entah pada siapa. Malam ini, rumahku semarak oleh sebuah pesta. Pesta Tikus. Acara dimulai dengan karnaval Tikus. Tikus-tikus berarak, berpawai dengan menyandang aneka atribut, dengan aneka gaya. Lagak-lagaknya dalam menari dan meloncat. Menyeringai, tersenyum hingga memekik. Melenggang, bergoyang, dan membungkuk. Aneka bunyian keluar dari mulut tikus-tikus, bercericit. Berisik dan bising tak alang kepalang. Setiap sampai di depanku, Tikus-tikus itu berhenti sejenak. Wajah-wajah dipalingkan ke arahku. Seraya tersenyum, membungkuk, dengan membuka topi.

Aku pun wajib berdiri seraya melambai tangan membalas salam dari peserta karnaval. Membalas lambaian tangan dan senyuman. Tikus-tikus terus melenggang tenang dan tertibnya, sesekali berisik nguik-nguik. Entah yang ke berapa, seekor tikus dengan atraktif mengangkat kedua kaki depannya, memegang mulut dan menarik kumisnya. Tikus yang di belakangnya, melenggang lalang tanpa melihat panggung, pandangan acuh ke arahku. Suit bercuit-cuit bersahutan dari tribun kehormatan dan balkon penonton.

Karnaval kian menarik dan semarak oleh aneka atribut. Atribut warna warni yang dominan mengingatkan pada aneka spanduk di pagar, pasar, pohon dan rentang jalan. Seringai Tikus itu mengingatkan pada aneka gaya yang terpampang pada stiker di gerobak sayur, becak, angkot dan pohon. Aneka warna atribut dan senyuman. Berbagai bentuk kreativitas dan selera menghasilkan kekayaan gaya, warna dengan variasi separasinya. Pertanyaan sempat sembul, “kok dunia tikus kreatif banget ya”. Lebih kreatif dari  wajah-wajah dalam bayanganku.

Menyaksikan tikus-tikus berbaju dan bersolek dalam karnaval, menyibak satu hal. Atribut dan warnanya sebatas kulit. Tak sampai menyentuh daging, darah, sungsum apa tah tulang. Warna, semestinya tak sekadar jaket, tapi menjadi pemandu tata rasa, rasio, dan raga. Tapi kini, lebih penting menikmati pesta Tikus-tikus dengan sukaria. Entah warna, tak harus sadar ideologi, tak apa tanpa kehendak dan tujuan. Terang gamblang. Warna hanya pada jaket yang sebatas menyentuh bulu-bulu, setidaknya ketika dikenakan.

Usai pesta, kembali pada fitrahnya: Tikus berbulu. Atribut itu, semua masih berupa hiasan, kamuflase, seolah-olah. Aku tak hendak hentikan pesta itu. Karena aku Raja Tikus, bagian dari komunitas tikus. Aku menikmati wajah-wajah tikus yang sumringah. 

***

Paginya, berkat pesta tadi malam, Raja Tikus bangga menjadi penggiat dan penguasa kerajaan Tikus. Namun, beranjak siang, kebanggaan itu dikotori oleh ulah Tikus berwarna cokelat. Atas nama peradaban, satuan itu dengan garang mengobrak-abrik pengais rezeki. Kakinya yang kotor dan kokoh menginjak dan menari di atas berantakan sayuran bayem, kangkung, bawang, ikan asin, ikan teri.

Ajaibnya, tukang sayur hanya tersenyum, meski getir. Sesungguhnya hubungan tukang sayur dan penendang gerobaknya itu dekat dan akrab. Kemarin kepada Tikus cokelat itu, ia masih setor segepok uang. Segumpal rezeki bagian dan jatah anak-anaknya. Pagi ini ia saksikan betapa mudahnya tikus ini berubah ulah. Kemarin pagi bermanis muka, kini pagi ini berkerut muka. Tak ada cara menghentikan.

Kemudian tukang sayur pun menari dengan riangnya. Tangan kirinya cekatan menarik lembaran demi lembaran uang. Ia memainkan lembaran duit bak kipas-kipasi wajah. Wajah tersenyum, tangan kanan terus memainkan kipas duit. Dengan luwesnya kaki, badan dan pinggulnya bergoyang, badan memutar.

Tangan kirinya berkacak pinggang dengan lentur dan lemas. Mulutnya bernyanyi: duit-duit-duit. Tarian kian asyik, kemudian diramaikan pedagang lain yang ikut nimbrung. Demi solidaritas, atas nama nasib mereka bersama-sama menarikan kipas duit. Penonton dadakan yang berkerumun ikut bertepuk tangan. Meningkahi suara-suara berirama dari batok kelapa, kaleng cendol, lapak meja, dan ember tahu. Semarak.

Melihat kelebat duit dalam tarian kipas duit, Tikus cokelat sontak henti. Muka seri, mata berbinar, bibir tersungging senyum. Kaki melangkah dengan tangkas tangannya merenggut lembaran uang dari para penari. Suara dan lagu bermusik tukang sayur berbunyi. Terima kasih Tikus cokelat. Engkaulah pelindung kami. Karena engkau kami menjadi tertib. Karena engkau kami dapat leluasa menjarah tempat ini. Nada dan syairnya mengeras. Di mata penari, wajah tikus itu berubah-ubah antara wajah Setan kotor dan wajah Sultan yang terhormat.

Kehormatan tikus-tikus itu terjaga dengan memeras tukang sayur seperti kami. Kian banyak korban kian bergengsi si Tikus cokelat. Simaklah, pasukan berbaju cokelat itu. Ada di sembarang tempat. Penyandang hormat sekaligus laknat. Pembawa amanah penyandang khianat berpasangan dalam diri seorang. Penjaga dacin timbangan, pencuri makna huruf dan angka. Si penjaga pengguna jalan, sekaligus pemerasnya. Pemberi rasa aman, sekaligus perampasnya. Pembuat, penjaga aturan, dan memperdagangkan juga.

Sesungguhnya cerita dan pertunjukan pagi ini hanya melengkapi cerita kemarin pagi. Di pasar ini, tikus berjaket biru unjuk gigi. Mondar-mandir berjalan di atas panggung, melepas jaket dan pamer kotang. Rambut panjangnya beraroma dolar. Senyum bibirnya selembut putri raja, seringai giginya seksi penuh dengan ajakan dan ancaman. Derai air matanya bernuansa drama. Tarian di atas panggung dadakan itu ber-setting cerita kehidupan anak manusia tak tahan goda kekuasaan.
                               
***

Puncak dari adegan-adegan ini, bermula ketika Tikus hitam itu tergiur sepotong daging. Dengan mudah ia melewati jalan sempit. Di dalamnya sang Tikus menikmati lezatnya sepotong daging, tak hiraukan tikus-tikus yang lain. Usai puas menyantap daging, ia mencari jalan kembali. Malang, setelah ditelusuri setiap sudut dan lubang, sadar dia telah terkurung dalam jebakan. Begitu kuat usahanya keluar dari kerangkeng itu, dengan meronta, merangsek, mendorong setiap titik yang bercelah.

Tak ada kata mundur, apalagi balik badan. Mulutnya terus mencari, mengendus, dan mendorong. Hingga moncong mulutnya berdarah, tetap tak hirau. Lukanya justru mengobarkan semangat. Semakin terluka kian kuat mendorong. Setiap tetes darah, berarti cambuk bagi dirinya. Setiap lecet adalah lecutan untuknya. Kian kuat halangan, kian semangat mencari jalan keluar. Pada satu titik, ia menemukan celah. Hingga semangatnya membara.

Kian dalam dia masuk ke dalam lubang celah. Kian semangat ia menggoyang pantatnya, kakinya terus mendorong, cungutnya terus mengendus dan mendesak. Terus, terus, dan terus mendesak akhirnya tubuhnya terkunci, tak dapat bergerak. Hanya kaki dan buntutnya yang meronta-ronta. Dari cungutnya yang berdarah, lantai berceceran darah.

Bau anyir darah tikus beraroma daging, mengundang seekor Tikus Piti untuk mencoba. Mula-mula menjilat dan menjilat tetes demi tetes darah yang terpecik dari luka Tikus besar yang kini iba. Tikus Piti seraya mengeluarkan cuit-cuit kenikmatan, mengendus amisnya darah. Menjilat setetes darah, mengeluarkan rintihan nikmat cuit. Kemudian datang tikus kedua, tikus ketiga, keempat dan seterusnya. Kian ramai suara, kian seru mengisap darah. Tak lagi beda suara erangan nikmat dari kesakitan korban.

Ibu Raja Tikus berteriak histeris, tikus menghambur. Beriring tikus menuju plafon atap kamar, suara-suara melemah dan akhirnya menghilang, lenyap dalam sunyi di atas langit. Tikus tikus pergi entah ke mana. Pembantaian sesama tikus berakhir.
                
***

Arisan ibu-ibu Raja Tikus amat subur gosip. Dari rumah-ke rumah. Giliran arisan di rumah Bu Raja Tikus. Di tengah asyik bergosip, sang ibu masuk ke kamar. Sejenak kemudian ia berteriak histeris. Tangan Bu Raja Tikus menunjuk tumpukan uang di atas kasur. Ia raih beberapa lembar kepada ibu-ibu ia tunjukkan seraya mengumpat. “Kurang ajar. Duit di gerogoti. Nyaris habis.”

Ibu-ibu tikus Piti saling pandang, tertawa. Bu Raja Tikus melotot, berkacak pinggang dan bersungut-sungut. “Kalian nglunjak, kian terang-terangan melawanku. Kian berani melawan ya. Akan kuadukan pada Raja Tikus.”

Rombongan arisan saling pandang. Mereka tahu, uang Raja Tikus disikat tikus-tikus piti, suami-suami mereka. Di dalam kamar dan lemari pribadi Raja Tikus. Ajaib. Bu Raja Tikus belum sadar juga, Raja Tikus dagingnya telah menjadi santapan tikus-tikus Piti. Satu-satu kerumunan ibu-ibu, pergi meninggalkan kamar dan rumahnya. Seiring padamnya lilin penanda kehidupan. n

Bandar Lampung, November 2013


Lampung Post, Minggu, 15 Juni 2014

Sunday, June 8, 2014

Laki-Laki di Jendela

Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim


SEMENJAK tamat dari es-em-a, tahun 1977 lalu, aku bekerja sebagai guide pada sebuah biro perjalanan. Jangan heran kalau aku bisa jadi pemandu, sebab meskipun hanya lulusan es-em-a, aku telah mengantongi ijazah bahasa Inggris dan Jerman. Bintang terang agaknya selalu menerangiku sehingga dalam waktu singkat aku bisa menjadi seorang pemandu yang paling laris di perusahaan tempatku mengabdi.
 
Pada 1980, sewaktu aku sedang bertugas mengantar tamu ke Pulau Dewata, aku sempat berkenalan dengan seorang gadis cantik bernama Eva. Ia seorang mahasiswi tingkat akhir pada sebuah perguruan tinggi negeri. Perkenalan itu kemudian berlanjut menjadi percintaan. Dan masa berpacaran berakhir pula dengan sebuah pernikahan kami, setelah Eva berhasil menggondol gelar doktoranda.
  
Sebenarnya, hubungan kami yang akhirnya berlanjut pada jenjang pernikahan kurang disetujui oleh keluargaku, terutama ibu yang telah menjanda. Banyak argumentasi yang mereka kemukakan. Antara lain karena Eva anak orang kaya, sedang aku dari keluarga “Senin-Kemis”. Karena Eva sarjana, sementara aku cuma lulusan sekolah lanjutan atas. Karena usia Eva lebih tua dariku dua tahun dan sekeranjang alasan lainnya. Tapi dasar namanya sudah terkiwir-kiwir, aku teruskan saja. Ternyata, apa yang mereka khawatirkan terjadi juga.
   
Tiga bulan sudah perjalanan bahtera rumah tangga kami, ketika sesuatu yang tak pernah kubayangkan terjadi. Terus terang, aku sangat terkejut dan tak percaya melihat sikap istriku yang tiba-tiba berubah. Kalau sebelumnya ia begitu penuh dengan kasih sayang, kemesraan, kemanjaan, dan pengertian, kini berubah menjadi sebaliknya. Ia sudah mulai berani kepadaku dalam segala hal. Bahkan tak jarang pula memerintahku seenak perutnya sendiri. Aku seakan tak berarti di hadapannya. Tersinggung? Tentu saja perasaan itu hadir di hatiku. Tapi aku berusaha tetap menahan diri lantaran selain tak menginginkan pertengkaran, juga karena kami masih menumpang di rumah orang tuanya.
   
Ternyata, dari hari ke hari sikap Eva kian merajalela kepadaku. Hampir setiap waktu aku menjadi sasaran sikap dan ucapan kasarnya. Wibawaku sebagai seorang suami sudah dihancurkannya, baik di hadapan keluarganya maupun teman kerabatku. Sementara itu, sikap orang tua dan adik-adiknya pun kurang adil terhadapku. Pokoknya, aku terus tersiksa dengan keadaan selalu dimusuhi seperti itu. Untuk mengatasi semua itu, aku bermaksud pindah rumah saja. “Barangkali dengan tinggal di rumah sendiri, aku bisa menundukkan istriku. Karena tak akan ada lagi rasa sungkan kepada mertua,” pikirku. Maka, dengan mengambil uang simpanan di bank, aku bisa mengontrak rumah selama lima tahun.
   
Rumah yang kukontrak memang tak begitu besar. Tapi halamannya cukup luas dan dirimbuni berbagai pepohonan. Di sebelah kirinya ada sungai kecil yang airnya cukup deras. Di depan rumah terdapat poskamling dengan serumpun pohon bambu kuning di sisi kirinya. Suasana kampung baruku cukup tenang, apalagi kalau malam hari. Yang terdengar hanya alunan nyanyian katak dan jangkrik.
   
Hari-hari pertama tinggal di sana memang ada perasaan tak kerasan di hatiku, tapi lama-kelamaan senang juga. Hanya satu yang membuat hatiku belum bisa gembira, yakni sikap Eva yang tak kunjung berubah. Bahkan semakin menjadi-jadi. Harapanku setelah pindah ke rumah sendiri istriku dapat menjadi baik, ternyata meleset. Justru malah naik “voltase”nya. Kini, pertengkaran terjadi hampir tiap hari. Ini karena aku sudah mulai unjuk taring. Tak hanya diam mendengarkan dampratannya, dan tak kuat lagi menahan emosi. Ada saja bahan untuk dibuat pertengkaran. Perkara sepele bisa menimbulkan ledakan pertengkaran yang dahsyat.
   
Suatu hari, kami bertengkar cukup seru. Gara-garanya, aku menolak menyemirkan sepatunya. Malam hari setelah “Perang Bharata Yudha” itu terjadi, aku tinggal seorang diri di rumah karena Eva purik (ngambek) ke rumah orang tuanya.
   
Jam dinding berdentang dua kali, tapi mata ini tetap tak mau terpejam. Mungkin disebabkan kekacauan pikiranku. Tiba-tiba, terdengar olehku suara langkah kaki di luar seperti mendekati kamarku, dan berhenti persis di jendela. Jujur saja, waktu itu hatiku berdebar keras. Rasa takut dan khawatir mencekam perasaan. Apalagi ketika kuingat cerita Pak Harun, tetangga kanan rumahku, bahwa sebelum kutempati rumah tersebut dikosongkan pemiliknya kurang lebih tiga tahun. Pasalnya, konon rumah yang kudiami sekarang ada “penunggunya”.
  
Lamunan yang tidak-tidak mendadak buyar oleh semilir angin yang menerpa permukaan kulitku. Sungguh, yang namanya bulu kuduk berdiri tegak, setegak-tegaknya. Mataku yang tak berkedip menatap ke jendela yang membuka dan menutup sendiri, semakin melotot ketika menangkap bayangan di jendela. Bayangan seorang laki-laki muda yang cukup tampan. Ia tampak tersenyum kepadaku, seolah mengatakan, “Jangan takut sobat!”
   
Aneh, melihat senyumnya, hati ini rasanya tenteram. Rasa takut yang melanda hatiku mendadak sirna. Namun, sayang, sebelum aku sempat berbuat sesuatu, bayangan laki-laki di jendela itu sudah lenyap begitu saja.
  
Hari-hari berikutnya, bayangan laki-laki misterius itu sering menampakkan diri. Terutama kalau aku habis bertengkar dengan Eva. Apa maksudnya selalu menampakkan diri? Tentu saja aku tak mengerti. Tapi kalau kulihat dari pandangan matanya, seakan ia menaruh rasa iba kepadaku. Bisa jadi. Suatu malam, ketika bayangan itu kembali menampakkan diri, kuberanikan diri untuk menegurnya. Kutanya siapa ia dan apa maksudnya “menggangguku”. Tapi ia tak menjawab, hanya menudingkan jarinya ke arah foto pengantinku, lalu ia kembali lenyap.
   
Selama aku mendapat “gangguan” tersebut, aku tak pernah menceritakan kepada Eva. Tapi justru pernah sekali kuceritakan pada Pak Harun, itu pun setelah ia menanyakan apakah aku tak pernah mendapat gangguan? “Tenang saja Mas, enggak usah ditanggapi! Nanti kan hilang sendiri. Yang penting, tingkatkan kebaktian kita kepada Tuhan!” saran Pak Harun. Dan, Pak Harun cuma tersenyum, ketika aku ingin mengetahui lebih jauh tentang hantu laki-laki tersebut. “Sudahlah, nanti sampeyan akan tahu sendiri,” jawabnya.
  
Enam bulan sudah kami tinggal di rumah itu. Keadaan ekonomi rumah tanggaku semakin mantap. Ini karena ditunjang Eva yang sudah punya kedudukan di salah satu instansi yang terkenal “basah”. Namun, pertengkaran semakin sering terjadi.
    
Pada awal bulan ketujuh, aku bertengkar lagi dengan Eva. Kali ini benar-benar habis-habisan. Begitu emosinya, ia kupukul beberapa kali. Selain itu, barang-barang yang ada, seperti televisi, kulkas, kipas angin, dan sebangsanya, hancur terkena amukanku. Aku benar-benar kalap. Emosiku sudah tak mampu kubendung lagi. Aku sudah nekat. Harga diriku tak boleh diinjak-injak terus.

Awal perkaranya? Sepulangku dari mengantar turis ke Jawa Tengah selama seminggu, mendadak Eva menuntutku untuk menceraikannya. Alasannya, ia sudah bosan hidup bersamaku. Tak hanya itu, Eva juga menyatakan sangat menyesal menjadi istriku. Dan yang paling membuatku naik darah, ia mengulangi cerita lama, mengumpat dan menghinaku; laki-laki tidak bonafide, goblok, keturunan kere, tidak intelek dan semacamnya.
   
Semenjak bom emosi itu meledak, Eva minggat ke rumah orang tuanya. Dan sekali lagi, aku digempur ramai-ramai oleh ibu dan adik-adiknya, seperti biasanya kalau kami lagi berselisih. Sekitar tiga minggu kami pisah tidur, mendadak pada suatu pagi, Eva pulang sambil menangis minta maaf. Ia menyatakan tak akan menyia-nyiakanku lagi. Kontan saja aku sangat heran dengan perubahan yang tiba-tiba itu. Setelah tenang, Eva menceritakan asal mula yang mengilhami kesadarannya.
   
Selama berada di rumah orang tuanya, katanya, ia selalu mimpi  bertemu dengan seorang laki-laki misterius yang tak dikenalnya. Setiap bertemu, laki-laki itu selalu minta agar Eva mau “gencatan senjata” denganku. Mula-mula Eva tak menanggapi. Tapi lama-lama, dipikirkannya juga permintaan tersebut. Hatinya benar-benar tersentuh, ketika pada suatu malam, dalam mimpi, laki-laki itu datang dan memberikan gambaran buruk yang pernah dialaminya sendiri. Entah, mukjizat apa yang turun, sehingga cerita itu masuk ke dalam jiwa Eva.
    
Malam harinya setelah “gencatan senjata”, kami memulai lagi malam manis penuh kemesraan, seperti saat sehabis naik pelaminan dulu. Tengah malam, tiba-tiba aku dibangunkan Eva. Wajahnya tampak sangat ketakutan, sambil menatap ke arah jendela. Ketika kulihat, laki-laki misterius yang selalu menggodaku, kembali menampakkan diri. “Dia Mas. Dia yang …. yang datang kepadaku!” teriak Eva. Namun, sebelum aku bangkit untuk mendekatinya, laki-laki misterius itu telah lenyap. Kepergiannya diakhiri dengan senyuman dan lambaian tangan. Sejak saat itu, sahabat misteriusku itu tak pernah muncul lagi.
   
Sungguh aku tak menyangka, hantu laki-laki di jendela yang selama ini kuanggap selalu mengganggu ternyata justru sebagai pahlawan penyelamat rumah tanggaku dari jurang kehancuran. Badai yang selama ini melanda, ternyata dengan mudah dihentikannya. Padahal, selama ini aku sangat kesulitan menemukan jalan keluarnya. Berbagai cara telah kucoba. Tapi hasilnya nihil.
   
Kini, sikap istriku tak lagi seperti dulu. Sekarang ia begitu mencintai dan menghormati padaku, sebagaimana layaknya seorang istri. Rumah tangga kami berjalan manis dan harmonis. Apalagi setelah kami dianugerahi momongan yang mungil dan lucu. “Terima kasih Tuhan. Engkau telah menurunkan mukjizat lewat laki-laki misterius itu,” pujiku.
   
Siapa sebenarnya laki-laki di jendela itu? Menurut cerita Pak Harun, sepuluh tahun yang lampau, seorang warga kampung bernama Sukarno ditemukan tewas bunuh diri dengan jalan menyilet nadi pergelangan tangannya. Laki-laki itu ditemukan tergeletak di bawah jendela kamarnya. Yang membuatnya putus asa hingga nekat bunuh diri, lantaran ia tak kuasa lagi menahan kehancuran harga dirinya karena perbuatan istrinya. Istrinya yang bernama Rahayu, terlalu berani dan tak mau menghormati suaminya sedikit pun.
Bahkan, beberapa kali Sukarno memergoki Rahayu berbuat zina dengan seorang pemuda kampung di dalam kamar tidurnya. Entah bagaimana kejadian selanjutnya yang sampai membuat Sukarno nekat menghabisi nyawanya. Yang jelas, ia telah menyelamatkan kehancuran rumah tanggaku. Agaknya ia tak rela, kisah sedih yang pernah dialaminya terulang kembali, terjadi padaku. n

Jakarta, Gang Harlan, Petamburan; 6 Mei 2014


Lampung Post, Minggu, 8 Juni 2014

Sunday, June 1, 2014

Kupu-kupu Tanalia

Cerpen Yetti A.KA


TANALIA menatap dinding kamarnya. Di sana tergantung satu lukisan. Ia sendiri yang melukis saat umurnya enam tahun. Lukisan seekor kupu-kupu dengan salah satu sayap yang robek. Sekarang ia tidak pernah melukis lagi. Masya melarangnya melukis kupu-kupu dan ia tidak berminat melukis objek lain.

Kenapa Masya melarang ia melukis kupu-kupu? Kata Masya, seekor kupu-kupu besar pernah hinggap di lengannya—kupu-kupu besar yang keluar dari hutan. Ketika terbang, kupu-kupu itu meninggalkan serbuk yang beterbangan dan membuat batuk. Sejak itu Masya menganggap kupu-kupu binatang yang buruk.

Tanalia sudah tidak percaya pada cerita mamanya itu. Ia anak kelas lima SD yang tidak mudah lagi dibohongi.

Pintu kamar Tanalia terbuka. Kepala Masya menyembul. “Belum tidur?” tanyanya. Tanalia cepat-cepat bangkit. Sudah satu jam ia tidur-tiduran, menunggu mamanya pulang kerja. Dari siang ia sudah menyusun rencana demi seekor kupu-kupu. Ia mau memberi tahu Masya tentang keinginannya memelihara kupu-kupu dalam kamar. Permintaan itu memang hampir tidak masuk akal mengingat Masya pembenci kupu-kupu. 

“Kupu-kupu?” mata Masya terbelalak. Masya menjaga emosinya tidak meletup di hadapan Tanalia. Ia mengembuskan napas pelan-pelan dan menggeleng.

“Aku melihatnya hinggap di pagar sekolah. Sayapnya ungu…”

“Tidak, Nalia,” potong Masya.

“Aku ingin sekali.” Tanalia hampir menangis.

“Kamarmu bukan kebun bunga, Nalia. Bagaimana bisa kau memelihara kupu-kupu?” Masya membujuk.

Mata Tanalia mendadak berbinar, “Ma, aku ingin punya kebun bunga di depan kamarku. Biar aku bisa pelihara seekor kupu-kupu di sana. Boleh, ya?”

Masya memandang lelah pada Tanalia.

Tanalia menunggu. Dadanya sedikit gugup. 

“Mama tidak suka kupu-kupu, Nalia. Kau ingat?” ujar Masya meruntuhkan harapan Tanalia. Membuat Tanalia langsung masuk dalam selimutnya dan tidak mau bicara lagi. Ia bahkan diam saja ketika Masya mengucapkan selamat tidur dengan suara rendah. Ia menyukai kupu-kupu. Masya justru membencinya. Mungkin hanya mamanya yang membenci kupu-kupu di dunia ini. 

Ia dengar langkah kaki Masya menjauhi tempat tidurnya. Lalu bunyi pintu. Lalu hening. Seperti biasanya, kalau sedih, kembali ia menginginkan kehadiran lelaki kupu-kupu. Ia memanggil orang itu paman. Paman kupu-kupu. Ia yang dulu sering mengetuk jendela kamarnya dan mengajak keluar untuk mencari kupu-kupu di pagi hari. Setiap kupu-kupu yang mereka temui akan ia lukis sepulang dari perjalanan itu. Masya tentu tidak tahu apa-apa. Masya cuma tahu Tanalia masih tidur di kamar saat ia berangkat kerja. Tugas pembantu memandikan dan mengantar Tanalia ke sekolah bermain. Dan pembantu itu tidak pernah memberi tahu Masya kalau ia sering menemukan Tanalia melukis di lantai kamar dengan baju yang kotor sekali atau kadang-kadang lembap embun.

Sudah enam tahun paman kupu-kupu tidak lagi menemui Tanalia. Waktu itu, untuk terakhir kali, ia muncul di jendela, melambaikan tangan, pergi untuk selamanya—bertepatan dengan Masya mulai melarang Tanalia melukis kupu-kupu dan memasukkan semua lukisan Tanalia ke dalam gudang kecuali lukisan yang sekarang dipajang di dinding.

***

Di kamarnya, Masya tidak bisa tidur. Ia teringat terus pada permintaan Tanalia. Kupu-kupu. Kebun bunga. Bukan. Sebenarnya Tanalia bukan menginginkan kebun bunga, tapi kupu-kupu. Apa yang Tanalia pikirkan tentang itu semua? Kupu-kupu. Masya mengembuskan napas. Ia menarik sebatang rokok dari dalam bungkusnya. Membakar bagian ujung. Ia memain-mainkan rokok itu. Dulu, bermalam-malam, ia merokok dalam kamar yang gelap saat ia berada dalam keadaan kacau. Ia menciptakan kunang-kunang agar tidak merasa sendirian. Sekarang ia kembali pada perasaan itu. Sendirian. Dan ia tidak lagi sempat memikirkan kunang-kunang, sebab kepalanya mendadak dipenuhi kupu-kupu dari masa lalu.

Kupu-kupu. Lelaki penyuka kupu-kupu, itu. Ia yang mengaku datang dari sebuah hutan.

“Kau suka kupu-kupu?” tanya lelaki itu.

Masya berumur enam belas—seorang gadis kesepian waktu itu. Sebenarnya, ia tidak tahu apa ia suka kupu-kupu. Ia cuma senang pergi bersama lelaki itu mencari kupu-kupu. Mereka singgah di kebun bunga orang, ladang di pinggir kota, dan tempat-tempat bersemak di mana kupu-kupu terbang bebas.

Lama-lama lelaki itu sering datang pada Masya membawa rombongan kupu-kupu yang banyak sekali. Masya kadang heran melihat ratusan kupu-kupu terbang di atas kepala lelaki itu dan beberapa hinggap di bahu, rambut, dan punggungnya.

Sekarang ia berpikir, pasti saja semua itu hanya halusinasinya saat remaja dulu. Ia tersihir ketika itu. Juga saat lelaki itu mengajaknya mencari kupu-kupu pada tengah malam. Ia tahu kupu-kupu tidak terbang malam hari, tapi ia tidak peduli. Ia keluar lewat jendela saat orang tuanya tertidur. Berkali-kali ia melakukannya bersama lelaki kupu-kupu.    

Ah, sesuatu menusuk dada Masya. Ia mengisap rokok dan memainkan asap yang mengambang. Ia ingat betul, enam bulan setelah itu, ia merasakan sesuatu tumbuh dalam tubuhnya.

“Itu seekor kupu-kupu,” bisik lelaki itu sebelum ditelan kegelapan dan tak bisa lagi ia temukan.

Dan kini kau minta seekor kupu-kupu, Nalia? Masya menyandarkan punggungnya di dinding. Dari kedua sudut matanya keluar air yang selama ini ia tahan. Dalam gelap, Masya membiarkan air dari matanya kian meluap.

***

Dari atas tempat tidurnya, Tanalia memandangi malam yang muram. Ia sengaja membuka jendela beberapa saat setelah Masya keluar. Malam sering menyembuhkannya dari kesedihan-kesedihan. Dalam kegelapan malam ia merasa lelaki kupu-kupu tengah menatapnya dari kejauhan. Dan ia sudah setengah tidur, saat matanya benar-benar menangkap sebentuk bayangan di balik jendela.

“Paman kupu-kupu?” desisnya tak percaya. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar, namun kelopak matanya kaku. Tanalia ingin bangun, tubuhnya berat. Ia cuma bisa menatap bayangan lelaki kupu-kupu itu. Juga mendengar suara sayap kupu-kupu yang halus. Lelaki itu datang membawa banyak kupu-kupu. Apa ia membawanya dalam kandang kawat? Tanalia penasaran sekali.

“Tetaplah di sana, Nalia,” suara lelaki kupu-kupu, “Aku datang untuk memberimu hadiah.”

Tanalia menunggu. Satu detik. Lalu satu menit. Dan… dari luar jendela, kupu-kupu aneka warna menerobos masuk. Mereka beterbangan di ruang kamar Tanalia. Beberapa ekor hinggap di dinding dan lemari. Sementara Kupu-kupu lain terus berdatangan, bagai keluar dari kotak seorang pesulap yang lupa ditutup.

“Kupu-kupu, kupu-kupu,” Tanalia berseru-seru. Ia tertawa bahagia.

Lelaki kupu-kupu tersenyum.

***

Masya pergi ke kamar Tanalia untuk melihat wajah anaknya yang sedang tidur. Ia biasa melakukan itu pada tengah malam saat ia belum juga bisa memejamkan mata. Tapi, ia terperangah menyaksikan kupu-kupu memenuhi kamar Tanalia. Di tempat tidur, anaknya terlelap dengan tangan memeluk guling dan bibir menyunggingkan senyum. Ia melihat jendela. Tanalia lupa menutupnya, pikir Masya. Dari sanalah kupu-kupu masuk, seakan mereka mendengar keinginan hati Tanalia. Masya segera berlari menuju lemari pakaian sambil menghalau kupu-kupu yang terbang di depannya dengan kedua tangan. Dari lemari, ia keluarkan sepotong kain. Dengan kain itulah Masya mengusir kupu-kupu. Kain ia kibas-kibaskan.

“Pergi!” desis Masya, “Pergi!” Tiga ekor kupu-kupu jatuh. Sayap-sayapnya remuk. Masya bergerak ke sana ke mari. Mengikuti ke mana pun kupu-kupu terbang tanpa memberikan kesempatan pada serangga itu hinggap. Sebagian kupu-kupu sudah keluar lewat jendela, sebagian masih beterbangan di kamar Tanalia.

***

Begitu pagi, pertama-tama yang dilihat Tanalia serpihan sayap kupu-kupu terserak di lantai. Belum sempat ia berpikir jauh, matanya menemukan tulisan pada kertas yang ditempel di dinding—tempat biasa Masya meninggalkan pesan jika ia pagi-pagi pergi kerja: Tiga hari lagi Mama akan memberimu hadiah kebun bunga. Tapi, kau harus lupakan kupu-kupu. Janji ya.

Tanalia membaca ulang pesan itu. Sampai tiga kali. Mamanya sengaja meninggalkan pesan itu agar ia tidak bisa membantah. 

***

Tanalia memandangi kebun bunganya dengan mata tak berkedip.

“Kau suka, Nalia?” tanya Masya. Tangannya mencengkeram lembut bahu Tanalia.

Tiga hari lalu, saat Masya menulis pesan akan memberinya kebun bunga, Tanalia sudah membayangkan batang-batang dahlia, kembang sepatu, seruni, bahkan juga cempaka. Tiga hari lamanya ia sudah memikirkan bagaimana kupu-kupu tersesat di kebun bunga itu dan ia akan menyembunyikannya.

“Nalia?” Kali ini Masya mengguncang pelan bahu Tanalia. “Bagaimana menurutmu?” Masya tidak sabar. 

Ini tentu saja bukan kebun bunga sebagaimana yang ia bayangkan, namun Tanalia tetap saja bahagia. Paling tidak, ia tahu, mamanya sudah meluangkan waktu untuk kejutan ini. Mamanya sangat jarang pulang cepat. Namun, hari ini ia sudah menunggu Tanalia di pintu saat pulang sekolah pada pukul lima sore.

“Cantik sekali, Ma.” Mata Tanalia sudah berkedip lagi. Ia mengembangkan senyum, berbalik, dan memeluk Masya. “Tapi pasti tak akan pernah ada kupu-kupu yang tersesat di sana.” Wajah Tanalia seketika berubah murung.

“Lupakan kupu-kupu, Nalia.” Masya mengelus rambut anaknya yang panjang.

Tanalia segera membalikkan badannya kembali, memandangi kebun bunga di dinding kamarnya. Kebun bunga itu menempel di dinding keramik dengan warna dasar hijau tua. Bunga-bunga itu tampak begitu hidup. Ada bunga mawar yang besar-besar. Lengkap dengan daun-daunnya yang masih muda dan tepi yang tidak rata. Di petak lain, ada kembang seruni merah. Ada banyak jenis bunga lainnya. Masya pasti sudah merencanakan semua itu dengan serius. Memilih sendiri motif bunga pada petak-petak keramik yang akan dipasang di sebidang dinding kamarnya agar kebun bunga itu terlihat penuh. Lalu minta tukang mengerjakannya saat ia  di sekolah.

***

Betapa terkejutnya Tanalia saat suatu hari, sepulang sekolah, ia melihat bunga-bunga yang menempel di dinding keramik benar-benar hidup. Beberapa bunga berkembang segar. Beberapa lain sudah layu dan membusuk. Mata Tanalia mengerjap-ngerjap. Bunga yang layu itu segera pula digantikan bunga baru yang mungil. Terlebih, di kebun itu ia juga melihat seekor kupu-kupu sedang terbang. “Kupu-kupu!” jeritnya. Itu kupu-kupu yang tersesat. Memang bukan kupu-kupu ungu yang dilihatnya di pagar sekolah, melainkan kupu-kupu bersayap kuning dengan bintik cokelat.

Semenjak ada seekor kupu-kupu di kebun bunga, Tanalia selalu bermain bersamanya. Karena itu, jika suatu ketika Masya pulang ke rumah dan tidak lagi menemukan Tanalia, anak perempuan itu tentu tengah asyik berlari-lari dalam kebun bunga di dinding kamarnya. Masya mungkin panik, memanggil-manggil nama Tanalia. Mencari ke berbagai sudut rumah. Dari gudang hingga semua kamar mandi. Tanalia tidak juga ia temukan.

Sementara itu, di kebun bunganya, Tanalia sedang mengejar seekor kupu-kupu kuning sambil tertawa-tawa. Ia sungguh tidak mendengar apa-apa. Tidak pernah mendengar apa-apa lagi.

Dan tanpa sepengetahuan Masya dan Tanalia, di tempat yang jauh lelaki kupu-kupu memandang mereka berdua dengan kedua matanya yang segelap malam. n

GM, 2014
   

Lampung Post, Minggu, 1 Juni 2014