Sunday, May 25, 2014

Wennington Morse

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


Barat dan Timur Jauh
Masa Lalu dan Masa ini


SATU

PEPOHONAN tak berdaun, batang-batang hitam terpeta lumut perak-hijau, reranting mereka terentang, serupa jejari kurus para penyihir. Salju menumpuki kota, mengubahnya menjadi bebukitan putih tak berpenghuni. Kanal dan cabang-cabang Wyre dan Lune membeku. Di dalam sungai kristal, ikan-ikan terperangkap, mati.

Petani mengalami gagal panen. Hutan tidak lagi menyediakan kayu bakar. Leret rumah-rumah batu tua retak berlubang. Pakaian yang compang. Roti dan sup hangat di atas meja membatu dalam bayangan. Jejaring laba-laba memenuhi baskom cuci piring dan rak kayu tua. Ini musim dingin yang panjang. Musim dingin yang tidak akan pernah berakhir.


DUA

KENDI liat milik ibu pecah di lantai rumah, tanpa menumpahkan setetes air, hanya kering dan laba-laba abu-abu yang tadi bersembunyi di dalamnya. Laba-laba berlari miring, menghilang di celah dinding jalinan daun kelapa kering.

Ibu berduka melepas kepergianku. Aku dan tiga kawan mendaki gunung, berjalan di satu sisi bumi yang hangus. Angin kering berkesiur, meratapi kematian dedaunan. Debu panas, retak tanah, bau kulit terbakar, kulit manusia. Kami bertelanjang kaki. Jejak kami menandai gurun merah. Bayangan kami membekas siluet hitam, semakin memanjang, dan kemudian menghilang ke balik senja. Ayah berjalan di sisiku. Dia berjalan dengan wajah bersalah, tanpa air mata, hanya wajah yang berjelaga.

Tenggorokanku perih, haus. Aku menjilat keringat asin yang menetes dari hidung. Aku terus berjalan, menginjak semak-semak kering, duri. Darah di kaki.

"Apakah kita akan bertemu lagi?" Ayah bertanya.

"Jika kita masih hidup, tentu saja," jawabku.

"Kau adalah harapan," Ayah tersenyum lemah. "Pergi sejauh kau bisa. Pergi. Karena hanya kematian menunggumu di sini."

"Bukankah kematian juga yang menungguku di ujung lain? Di penghujung senja?"

Ayah terdiam, senyumnya menjelma bulan sabit, lalu di langit gemintang bertaburan.

Aku mendongak dan berdoa "Langit, bawalah hujan."

Tapi hanya ada bintang yang berkedip-kedip. Pada mereka, aku bertanya, "Bintang, di manakah hujan? Pintalah awan gelap menutupi kalian barang sekejap. Kami perlu hujan."

Bintang-bintang berkelap-kelip. Kedip-kedip-kedip.
***            ***
            ***            ***

Ular mendesis dari bawah bebatuan.

"Ular panggang. Adakah liur kalian menetes, teman? Nyalakan api. Kita makan enak malam ini. Esok pagi, laut menunggu."


TIGA

"LIHAT, Daddy. Orang-orang itu sangat kurus."

"Ya, manis. Sekarang makanlah dulu. Matikan televisi itu dan duduk di sini.''

"Daddy, apakah mereka lapar?"

"Ya, sayang."

"Bisakah kita memberi mereka makanan?"

"Kita telah memberi mereka, little princess. Dua poundsterling setiap bulan."

"Tapi kenapa mereka masih kurus?"

"Sudahlah. Jangan berbicara saat makan, love. Selesaikan makanmu, setelah itu kita pergi melihat bintang."


EMPAT

SEBUAH kapal dagang besi besar. Di dalamnya ada ratusan peti kemas kayu.

"Mari kita menyelinap dan bersembunyi. Jangan bergerak, apalagi berbicara. Setelah laut, kita akan sampai di ujung lain dunia. Di sana ada ladang kentang, jagung, dan wortel. Rumput hijau membentang, sungai berkelok-kelok tenang. Sapi dan domba merumput dan tidur dengan perut kenyang. Dan di hutan, beri hitam dan beri biru tumbuh liar. Apel dan pir jatuh ke tanah, membusuk.

Mereka memiliki panen yang berlimpah. Selain itu, ada ratusan kapal dagang seperti ini, yang berlayar dari setiap sudut dunia, menyeberangi berbagai lautan, membawa makanan ke sana. Kita tidak akan pernah pernah kelaparan lagi. Kemudian, kita akan kembali ke rumah suatu hari. Kita akan membawa makanan untuk ibu dan ayah, bayi-bayi kehausan. Oleh karena itu, jangan bergerak, teman-teman, apalagi berbicara. Setelah  lautan, kita akan tiba."

Udara di dalam peti kayu terasa basah oleh asin keringat. Kami tidak tahu apakah siang atau malam hari, di mana berada, tidak bisa menghitung hari dan bahkan tidak bisa melihat tangan sendiri, kaki. Teramat pekat dan kami mati rasa.

Kemudian, dari luar peti, kami mendengar ledakan memekakan telinga. Kapal bergoyang, peti bergeser.

"Apa yang terjadi?! Apakah kita sudah sampai?"

"Ssshh, tetap tenang."

"Aaaaaghhh!"

"Jangan berteriak."

"Ada sesuatu melukai punggungku!"

"Tolong diam. Gigit bibirmu. Atau kita semua akan ketahuan."

"Terlalu sakit. Sakit sekali. Aaaagh ... tolong!"

Kami mendengar langkah kaki di luar. Pintu peti dibuka. Lalu ada silau cahaya, siluet manusia.

"Saya menemukan penyelundup di kotak pojok!"

Siluet-siluet mendekat, berkacak pinggang.

"Kita apakan mereka?"

"Ada yang terluka. Tolong!"

Tidak ada jawaban. Mereka tidak mengerti. Kami berbicara dalam bahasa yang berbeda.

Ada ledakan lain. Kapal bergoyang lebih kuat. Siluet tampak menari, menjaga diri mereka dari jatuh. Kemudian sirene alarm meraung. Siluet-siluet pergi. Mereka berlari. Mereka meninggalkan kami.

"Apa yang terjadi?"

"Apakah kita akan mati?"

"Aku mau muntah."


LIMA

Langit
***        ***             ***
Matahari        ***            ***            Bulan
                    ***            ***   

"Apakah itu bintang, Daddy? Apakah itu bulan? Bukankah hari masih siang? Atau di tempat ini, siang dan malam, serta perbedaan ruang dan waktu, berkumpul di langit luas?"


ENAM

"JANGAN mati di sini, putriku. Jangan mati. Terus bergerak. Kita hampir sampai, River Lune hanya selangkah lagi," Ma memegang tanganku.

"Lihat Ma, ada mayat beku di bangku."

"Terus berjalan, love."

"Ma, ia terlihat seperti manusia salju."

"Jangan pernah berhenti. Terus bergerak. Jika tidak, kau akan membeku.”

Bayangan gelap mendekat dari balik pepohonan tak berdaun. Seorang wanita tua, kurus, bungkuk dan lemah, jubah hitamnya lusuh-compang. Ada rantai besi mengikat pergelangan kakinya. Dia bergerak perlahan ke bangku, berusaha menyeret mayat.

"Ball!” ia berteriak.

Seekor anjing hitam besar dengan gigi tajam muncul entah dari mana. Anjing itu menggigit kaki mayat dengan giginya, menyeretnya ke balik pepohonan. Wanita itu berpaling kepada kami. Satu matanya lebih besar dari yang lain. Wajahnya keriput, penuh kerut-merut. Kami membeku. Ma meremas tanganku erat-erat. Kemudian wanita itu berbalik, mengikuti anjingnya. Mereka terus berjalan menuju Gallows Hill, sebuah bukit pucat yang dikelilingi oleh kabut. Dari jauh kami bisa mendengar dia menggumam mantra.

Double, double toil and trouble;
Fire burn and caldron bubble.1/

"Ma, apakah dia seorang penyihir?" bisikku.

"There’s no such thing as witches, dear. Jika ada, mereka pasti akan membuang semua dingin, salju dan slug dari kota ini."

"Mungkinkah penyihir yang menciptakan semua dingin, salju dan slug, Ma?"

"Teruslah bergerak."

"Tapi salju sangat tebal, Ma. Sulit untukku berjalan. Kakiku berat. Aku lelah."

"Terus bergerak, sweet pea. Kita akan mencapai sungai dan bertemu ayahmu yang kembali dari berlayar. Dia membawa gula dan makanan."

"Aku tidak bisa berjalan lagi, Ma."

"Jangan menyerah."

"Apakah benar ayah akan datang, Ma?"

"Ya, dia akan datang. Mereka kembali dari Semarang, membawa makanan dan gula. Wennington membawa mereka pulang."

"Bagaimana jika ayah tidak datang?"

"Teruslah bergerak."

"Jika dia tidak datang, Ma, apa yang akan terjadi pada kita?"

"Kita akan pergi. Kita akan pergi bersama kapal-kapal yang sudah disiapkan oleh Ratu."

"Ke mana kita akan pergi, Ma?"

Serpihan salju putih berputar dalam embusan angin. Kakiku sakit. "Ma, ke mana kita pergi bersama kapal-kapal?"

"Kita akan mengikuti bintang. Kita akan menuju matahari, karena hanya kematian menanti kita di sini Kita akan berlayar ke benua lain. Di sana mereka memiliki panen yang berlimpah. Kamu bisa makan apa pun yang kamu suka. Ada ... "

"Ma, kenapa kau berhenti? Ma, teruslah bercerita. Aku ingin mendengarmu, Ma. Ma, jangan hanya berdiri di sana. Ma ...."

Angin dingin berputar-putar, menghembus beku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Kami telah tiba di tepi Lune, tapi tidak ada Wennington, atau kapal-kapal Ratu. Hanya bayangan bintang berkelap-kelip di air sungai yang beku.

"Apakah itu bintang, Ma? Apakah itu bulan? Bukankah hari masih siang? Atau di tempat ini, di langit, siang dan malam, beda jarak ruang dan waktu, berkumpul jadi satu? "


TUJUH

"IBU, lihat! Orang-orang itu mati beku!"

"Matikan televisi. Makanlah dulu, Nak."

"Kasihan sekali. Bisakah kita membantu mereka?"

"Kita telah membantu mereka. Kita telah mengisi kapal mereka dengan rempah-rempah, gula, gas alam, kayu dan buah-buahan."

"Tapi mengapa mereka membeku sampai mati di tepi sungai? Di bangku-bangku taman?"

"Bahkan di negeri subur ini, bayi mengalami kekurangan gizi dan orang-orang yang mati kelaparan, sayang."

"Mengapa begitu, Ibu?"

"Bila dewasa nanti, kamu akan tahu mengapa."

"Apakah itu sebuah misteri?"

"Ya. Sekarang habiskan nasi. Lalu kita bisa pergi ke pantai."

Laut
***— — —***
Mercusuar        ***— — —***            S.V Wennington
                        ***— — —***

“Apakah langit yang kita lihat sebenarnya adalah laut, Ibu? Apa itu cahaya mercusuar dan bukan matahari? Apakah bulan sesungguhnya adalah lampu kapal? Apa bintang-bintang itu permintaan bantuan? Lihatlah, Ibu, mereka berkelap-kelip, kedip-kedip-kedip, mengirimkan kita kode Morse.”

Lancaster, 2012

1/  Dari ‘Macbeth’, oleh William Shakespeare.



Lampung Post, Minggu, 18 Mei 2014



Sunday, May 18, 2014

Legenda Harimau dan Sumur Tua

Cerpen Yus R. Ismail


SENJA jatuh begitu indah ketika saya sampai di sebuah pelataran. Sinar matahari yang hangat menerobos dedaunan. Salur-salur cahaya seperti kain berwarna lembayung. Cahaya yang menempel di dedaunan berkelap-kelip dipermainkan angin.

Inilah pelataran legendaris itu. Pelataran yang telah saya cari beratus-ratus tahun lamanya. Pelataran yang selalu ada di pikiran dan ujung kaki saya. Karena tugas saya dalam hidup ini hanyalah mencari pelataran ini. Ya, mencari sesuatu yang belum pernah ada yang menemukannya. Setidaknya, belum pernah ada yang mengabarkannya secara jelas. Karena setiap orang yang pernah menemukan pelataran ini, selanjutnya dia tersesat di dalamnya.

Tidaklah terlalu besar sebenarnya pelataran ini. Hanya sebesal dua kali lapangan bulu tangkis. Saya menemukannya di sebuah lembah di dalam sebuah gunung yang sangat lebat. Entah berapa hari, mungkin berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya, saya menyusuri kelebatan gunung ini. Dan senja ini, saat senja yang indah ini, saya sampai ke pelataran yang selama ini dicari.

Tidak ada tanda-tanda khusus dari pelataran ini. Orang-orang yang pernah menceritakannya tidak pernah menceritakan tanda-tanda secara perinci. Anehnya, saya pun tidak pernah menanyakannya. Kami seolah yakin bahwa tanda-tanda fisik bukanlah hal yang pantas dibicarakan. Dan senja ini, saat senja yang indah ini, saya merasa yakin bahwa tempat yang dicari-cari itu sudah ditemukan.

Hati saya yang pertama merasakannya. Ketika masuk ke celah pohon yang seolah sebuah gerbang, hati saya merasa nyaman. Udara begitu sejuknya, sehingga yang merasakan kesegarannya bukan hanya paru-paru, tapi seluruh unsur dari tubuh merasakannya. Kesegaran itu menyelusup melalui pori-pori terkecil dari tubuh saya, lalu meresap sampai ke ujung rambut yang bertahun-tahun tidak pernah merasakan harumnya sampo dan ujung kaki yang bertahun-tahun menahan berat beban perjalanan.

Pepohonan berbatang sebesar perut gajah berjajar seolah melindungi pelataran ini. Akar gantung sebesar tangan orang dewasa seperti tentara bergelantungan di tunggangan perangnya. Dedaunan seperti payung yang dianyam dari pepohonan di sekelilingnnya. Dan hamparan rumput begitu rapi, hijau, menyejukkan, memenuhi pelataran legendaris ini. Tidak perlu rasanya mempertanyakan siapa yang membersihkan tempat ini, karena seperti kepada tempat-tempat suci lainnya, alam ikut menjaganya.

“Di tengah pelataran itu, engkau akan menemukan sebuah sumur tua,” kata seseorang yang bertemu secara tidak sengaja di sebuah lembah, bertahun-tahun yang lalu. “Itulah sumur legendaris itu. Sumur yang akan membawamu ke dunia baru.”

***

Sumur legendaris itu ada di tengah-tengah pelataran. Seluruh temboknya yang melingkar dipenuhi dengan lumut. Warna hijau tua dan bersemu basah memantulkan suasana mistik. Pepohonan yang rapat dan lebat, akar-akar gantung, baru terasa begitu sunyi. Mungkin telah berabad-abad mereka menyimpan sunyi. Matahari perlahan menarik cahayanya.

Beberapa jenak saya memandang sumur tua itu. Sumur yang muncul begitu saja dalam pandangan saya. Sumur yang membuat jantung berdetak lebih kencang. Ya, sejak masuk ke pelataran ini, sumur itu tidak ada. Tidak terlihat. Tapi kemudian menjelma, perlahan. Barangkali sumur itu berada di dimensi lain, dimensi yang berbeda dengan indra penglihatan biasa. Pantas saja kalau begitu banyak pencari sumur legendaris itu tidak pernah menemukannya.

Saya mendekati sumur itu. Menengok ke dalam. Air yang bening itu seolah cermin. Tidak beriak sedikit pun. Betapa indah bercermin di sini. Ketenangan tiba-tiba meresap ke sekujur tubuh. Kemudian keharuan. Keharuan yang menggetarkan hati.

Dari kedalaman air sumur itu muncul bayangan banyak binatang berupa cahaya. Kelinci, gajah, kijang, babi hutan, ular, banteng, jerapah, berbagai jenis burung, rusa, monyet, kuda, kerbau, dan binatang lainnya. Mereka menatap ke arah saya, tersenyum, dan melambai-lambaikan kakinya. Seperti karnaval, pikir saya.

Hampir saja saya terjengkang ketika suara aum harimau begitu keras menggetarkan dinding sumur. Bayangan binatang berupa cahaya yang seperti sedang berkarnaval itu terperanjat, lalu lari lintang pukang ke segala arah. Harimau yang perkasa itu muncul. Dia tampak marah.

“Aku memang harimau yang marah. Marah karena tidak mengerti kekejaman yang dilakukan kalian, hai manusia!” Harimau itu menunjuk ke arah saya dengan cakarnya. Tentu saja saya terkejut, mundur satu langkah. “Aku adalah saksi hidup ketika manusia datang membawa bencana….”

Di cermin air sumur itu bermunculan banyak bayangan harimau. Mereka berburu, bermain, berkumpul. Lalu datang sekelompok manusia membawa senapan. “Mereka menembaki kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku. Bagi kami, membunuh adalah jalan untuk hidup. Kami membunuh untuk makan. Tapi manusia tidak! Mereka membunuh karena mampu. Banyak saudara kami dibunuh, dikuliti, dan ditelantarkan. Manusia membunuh untuk memperlihatkan kemampuannya. Sejak itu aku adalah pembawa dendam. Aku bunuh siapa pun yang mendekat!”

Di cermin air sumur bermunculan bayangan binatang yang berlari ketakutan, memelas, mengaduh, dan akhirnya menjerit menjelang kematiannya. Harimau itu mengaum, menerjang, mencabik siapa pun yang ditemuinya.

Lalu muncul gajah yang berkata, “Karena siapa pun tidak ada yang sanggup menghentikan harimau, maka seluruh binatang penghuni hutan membuat kesepakatan. Mereka akan menyerahkan satu nyawa setiap hari asal harimau tidak membabi buta. Harimau sepakat. Setiap hari, meski tidak lapar, dia bisa melampiaskan dendamnya.”

Lalu muncul kelinci yang berkata, “Sampai pilihan mengerikan itu jatuh kepada saya. Tentu saja saya sangat ketakutan. Tanpa dosa, tanpa sebab, harus menanggung kematian yang tidak dikehendaki. Siapa yang tidak ngeri ketika tahu nyawa terancam dengan percuma?”

Kelinci tersenyum, lalu melanjutkan ceritanya, “Pertolongan Tuhan itu datang ketika di perjalanan saya menemukan sebuah sumur. Saya berkaca. Bayangan itu seolah mengatakan apa yang mesti saya lakukan.”

Kelinci itu lalu bertemu harimau. Kata kelinci, “Maafkan saya datang terlambat, harimau yang gagah. Saya ini kelinci yang kecil, jadi sebenarnya kami datang berdua dengan adik saya. Tapi di tengah jalan kami dicegat pencuri. Dan adik saya menjadi korban.”

Harimau yang seluruh tubuh dan jiwanya telah dirasuki amarah itu tidak sempat berpikir. Begitu mendengar berita menghina itu, dia langsung menunjukkan amarahnya dengan mengaum berkali-kali. Kelinci tentu saja bergetar seluruh badannya. Tapi nasibnya tetap diserahkan kepada pikiran jernihnya.

“Tunjukkan kepadaku di mana pencuri itu berada!”

Kelinci berjalan dengan kaki yang bergetar. Di depan sumur tempat tadi dia berkaca dia berhenti. “Ke sumur inilah adik saya diseret.”

Harimau segera melongokkan kepalanya ke dalam sumur. Lalu dia mengaum ketika dilihatnya ada harimau besar di dalam sumur. Tanpa berpikir, harimau yang diliputi amarah itu mengaum berkali-kali, lalu meloncat ke dalam sumur, menerjang musuhnya, menerjang amarahnya.

Bayangan kelinci dan harimau itu lalu menghilang. Sunyi perlahan merayap di dinding sumur, lalu ke rerumputan, ke pepohonan, dan akhirnya memasuki pori-pori tubuh saya. Sunyi menyusuri hati yang paling dalam.*1

***

“Jadi… hanya seperti itu isi Legenda Harimau dan Sumur Tua yang terkenal sejak berabad-abad yang lalu itu?”

“Seperti itu yang saya dapatkan, Tuanku.”

“Legenda yang banyak dicatat orang suci di ribuan kitab kesejatian hidup itu… hanya dongeng anak-anak?”

“Begitulah adanya, Tuanku. Tapi itu bukan dongeng anak-anak, melainkan dongeng kesejatian kemanusiaan.”

“Pengawal… tangkap orang yang berbohong ini! Umumkan kepada seluruh rakyat, siang ini akan dihukum gantung orang yang bicara bohong tentang legenda suci yang sejak berabad-abad lalu kita hormati!”

Raja yang berangasan itu marah. Dia cepat berdiri dan berlalu.

Siang itu juga saya diseret ke alun-alun. Sepanjang jalan ribuan orang memadati pinggir jalan. Ada yang naik ke gedung-gedung, tembok-tembok, pepohonan. Ketika langkah pertama saya menginjak jalan, ratusan atau mungkin ribuan benda dilemparkan orang-orang. Telur busuk, tomat busuk, mentimun busuk, bangkai tikus, tahi anjing, tanah comberan, dan entah apa lagi, semua melayang mengarah ke tubuh saya.

Tapi saya tidak merasakan itu semua. Hati saya hanya tertuju kepada cahaya yang melengkung di langit seperti pelangi, cahaya yang menjadi jalan orang-orang yang menari indah dan berpuisi, orang-orang yang sudah merasakan indahnya sumur legendaris itu, cahaya yang kemudian dititi harimau beserta para sahabatnya yang tiba-tiba menjadi begitu dekat dengan hati saya. Mereka tersenyum menyambut saya. “Meloncatlah, meloncatlah ke dalam sumurmu, maka Engkau akan merasakan betapa indahnya hidup,” kata mereka.

Saya melihat lubang tali gantungan itu seperti sumur yang memancarkan cahaya. n
                                                                      
Catatan:
*1. Dongeng harimau yang menerkam amarahnya, kesalahannya, itu diambil dari kisah Jalaludin Rumi yang ditulis kembali oleh Abdul Rahman Azzam dalam buku Untaian Kisah Menawan dari Matsnawi Rumi (The Kingdom of Joy).



Lampung Post, Minggu, 18 Mei 2014

Sunday, May 11, 2014

Tarian Pedang

Cerpen Ganda Pekasih


“INGIN bicara dengan Tuhan?” 

Penjaga dinding ratapan itu geram, belum pernah ada yang ingin bicara dengan Tuhan kecuali meratap dan membenturkan kepala. Lalu dengan sabar laksana rahib dia menyuruh lelaki itu pergi ke kastil tempat imam imam mereka. Lelaki itu menghunus sangkurnya dan menikam penjaga itu sampai mati. 

Lelaki itu sudah pergi ke berbagai pelosok dunia, istana-istana kekuasaan, kerajaan-kerajaan yang berkuasa bersama sekutunya iblis dan penjajah, negeri di bawah gelombang sampai atap dunia. Dia bisa tiba di mana saja bak kabut.

Dia pernah terlihat di Kuil Ratu Khayangan Jagat, mengamuk dengan pedangnya dan membakar seribu lampion yang tergantung di kota-kota hingga sang Ratu murka lalu menggiringnya ke ceruk Longsan, kawasan berduri dengan beribu gumpalan salju membatu di lereng lereng Gunung Rongzhi, ladang kematian kaum revolusioner. Dengan dupa emas Sang Ratu terhenyak di altar tulang belulang seratus pemuda yang mati demi mendirikan istana tujuh puncak yang menjulang tinggi bak cawan Gunung Rongzhi yang disembah.

“Selamat datang Lelaki Pedang, demi namamu yang masyhur.”

“Kau menjamu tapi juga ingin membunuhku?”

Ratu Khayangan murka, wajah semua pengiringnya  membeku, lelaki itu telah melumpuhkannya, terhempas pecah seperti kaca. Sang Ratu membuka topengnya dan melesat ke atap istana.

“Mampuslah kau pendusta!” seru lelaki berjubah kelabu tua.

Lalu meteor-meteor salju sekeras batu terlepas dari busurnya, menghunjam dari lereng-lereng Gunung Rongzhi. Pedang berkelebat, panah menghunjam, sang Ratu sekarat di atas atap gerbang istana.
 
&&&

Lelaki itu tiba di semenanjung utara Teluk Hudson Kanada ketika musim semi pergi dan beruang-beruang muncul mencari makan. Sebuah tempat peribadatan tua ramai dikunjungi orang-orang muda yang tertarik kemunculan wajah Tuhan di atas langit rumah ibadah.  Usai kemunculan wajah Tuhan lonceng menara tak digerakkan lagi oleh tangan penjaga, tapi digerakkan oleh angin berputar-putar kencang menyambut kedatangan lelaki itu.

Perempuan tua bersyal putih dibordir gladiol dengan wajah keriput, mata keruh berwarna seperti air sumur menunjukkan jari telunjuknya ke menara  kepada orang orang muda yang mengaguminya sebagai wanita suci hingga muncul wajah Tuhan di sana, saat Lelaki berjubah itu tiba di dekatnya wajah perempuan tua itu berubah merah darah memandangnya, terpancar pandangan kebencian berabad abad. “Bodoh…,” Sinis lelaki itu.

“Kunci mulutmu!”

“Pembohong besar!”

Perempuan itu melepas syal putihnya dan berlari ke rumah peribadatan, jubah panjangnya yang hitam berkibar seperti hendak terbang,  lalu dia menghilang di dalam. Api tiba tiba mulai membakar rumah itu, orang orang panik, perempuan suci itu bisa mati di sana tapi tak ada yang berani menolongnya menjadi martir Tuhan, sedang lelaki berjubah itu mengacungkan pedangnya ke langit, menampung kilat panas cahaya yang membakar apa saja.
                               
&&&

Meksiko, seratus orang sedang merapal mantera, Sekte Hari Kiamat menetapkan 9 Juni sebagai hari akhir. Dan mereka telah melihat surga. Tuhan memberkati mereka bahwa  sebuah komet dari galaksi terjauh kutub bumi, yang mereka namakan Malaikat Srigala Guadalahara  akan menjemput roh mereka ke surga yang dijanjikan, di sana tubuh mereka akan diganti jadi lebih kuat.

“Jangan percaya iblis pengkhianat, mereka ingkar dan kalian akan jadi tumbal api jahanam!”

Seratus orang yang merapal mantra menggigil memperhatikan Lelaki Berjubah, pengembara dari negeri asing berselimut debu yang tak pernah mereka lihat. Mereka ingin menyentuh, memegang jubahnya bak sayap burung burung dari utara, membuat kerinduan dalam dada, tapi pemimpin sekte  cepat membagikan mereka cawan-cawan minuman untuk dihabiskan.

Mereka lalu meregang nyawa, roh mereka direntapkan dengan kasar. Lelaki itu menghunus sangkurnya dan menikam mati pemimpin sekte. “Pimpin anak buahmu ke neraka, iblis terkutuk!”

“Tolong, jaga anakku yang akan lahir. Beri dia nama Jacguess yang agung. Mahgdalena kalau wanita, aku suka tentang perempuan bernama Maghdalena yang ditulis Khalil Gibran.”

“Kau akan punya anak?”

“Ibunya pelacur di jalanan Guadalahara”

“Kau tertipu, Iblis! Jacguess telah mati!”

Lelaki itu menangis memanggili Jacguess agung, melolong-lolong seperti anjing serigala tua berwarna kelabu dari Balkan.
                               
&&&

Bosnia, seorang pengemis tua berambut dan berjenggot putih duduk di ujung pintu rumah sakit sehabis pembantaian oleh para tentara penguasa bermata perak, sisa kekuatan politik abad lampau yang kejam dan sadis. Bau amis darah yang mengering di jalan itu menikam penciuman.

“Kami berlindung pada Tuhan. Tuhan datang dengan wajah tak dikenal. Dia bisa dilihat pada hari kiamat seperti ketika melihat bulan. Ketika suatu hari nanti kita akan melihatnya itulah hari yang nyata di mana kita akan kekal bersama di sungai sungai yang mengalir.”

Lelaki Pedang bersimpuh.    

“Semua manusia akan digiring pada bukit yang tinggi, di mana Tuhan dapat melihatnya. Mereka akan berdiri di belakang pemimpin pemimpin yang mereka sebut dulu Tuhan tapi tak bisa berbuat apa apa, lalu mereka digiring ke jembatan yang menuju Jahannam. Tuhan akan menghukum mereka. Beristirahatlah, akan ada seorang Rasul yang pertama diberi lewat, yang sedih mengkhawatirkanmu sepeninggalnya, ikutilah dia dari bangsa mana pun.”

Lalu sangkurnya yang pendek seperti kepunyaan para

Resi dilepaskan. “Besi-besi bengkok seperti gantungan daging akan menyambar nyambar, mereka akan menyesali menentang Rasul Sang Utusan. Tuhan mengenali mereka pada wajahnya yang tak ada pada makhluk lain, maka neraka diharamkan untuk mereka.”

“Seperti apa wajahnya?”

“Kau telah melihatnya dalam mimpi.”

“Aku tak pernah memimpikannya, aku tak bisa melihatnya.”

Lelaki berjubah bangkit dan menghunus pedangnya.

“Kau hanya pintar berkata-kata karena kedatanganku!”

“Aku pernah mendengarnya, membaca riwayat dan kitabnya.”

“Kau penipu, fitnah, penghasut. Kau iblis laknat, orang munafik.”

“Terserah padamu, tapi iblis dan para munafik juga membenarkan kelahirannya adalah tanda akhir zaman yang pertama di dunia. Duduklah bersama. Sudah cukup pekerjaan para Iblis, tak perlu berapa juta manusia lagi untuk mengisi neraka sedangkan nenek moyang mereka dulu  pernah di surga.”

“Panggilkan aku nenek moyang-nenek moyang yang kau sebutkan itu!”

“Mereka selalu datang berwujud penguasa-penguasa, berebut menjadi pemimpin dan melupakan hukum-hukum-Nya, mereka menyimpan dayang wanita-wanita telanjang, raja dan ratu yang sudah kau kenal sebelumnya.”

“Mereka punya sejuta wajah?” 

“Pergilah ke Timur, kau akan temukan di selasar gedung kepolisian, seorang bocah yatim piatu, kedua orang tuanya terlunta-lunta tanpa rumah, mereka orang orang yang shaleh,  mereka segelintir dari manusia yang akan masuk surga tanpa diisap.”

“Kau sok tahu.”

Lelaki itu memejamkan matanya, malaikat di kiri kanannya memberinya penglihatan, dia lalu melihat pemandangan seperti laut,  menggelegak panas di bawah cendawan langit yang marah. Lelaki itu malu, dia sudah lama mendengar dan membaca berita lumpur itu tapi hanya mendengarnya.

Lalu dia berkelebat pergi, dan pengemis itu menangis kehilangan.
                           
&&&

Sidoarjo, di selasar kantor polisi dia menemukan seorang gadis kecil 5 tahun sedang menghitung kerikil dari balik bajunya yang sempit, lalu dia pingsan. Lelaki berjubah terhenyak, anak perempuan yang kelaparan mengganjal perutnya dengan batu di negeri timur matahari berbukit bukit hijau.

Sepeninggal lelaki itu mencari makanan gadis itu terbatuk, lendir dan busa keluar dari mulutnya.  Iblis perempuan bersama suaminya Lelembut Banaspati tiba di tempat itu ingin melarikan si gadis kecil  untuk mereka isap jiwa dan darah manisnya dari urat uratnya yang hijau.   

“Kau nakal, kau lupa bahwa paru parumu kotor karena tenggelam di Lumpur waktu ayahmu demo. Ayo kembali ke pengungsian.”

Gadis kecil itu meronta, setan-setan itu mengecup bibirnya. Lelaki berjubah tiba. 

“Hentikan Laknat!”

Sepasang setan itu bersiap melesat ke balik awan dengan gadis kecil itu yang tak bergerak dalam cengkeraman. “Ambillah!”

Setan itu melemparkan mayat si gadis kecil, lelaki itu cepat menangkapnya dan menghunus pedangnya, berkelebat bagaikan kilat.

Di atas luapan Lumpur di permukaan bejana raksasa uap racun lelaki berjubah berhasil memenggal sepasang kepala setan itu, membakarnya dengan asap racun lewat panas ujung pedangnya, hingga bak debu yang berhamburan.

Dia mengembalikan gadis itu ke selasar kantor polisi dan menampar polisi gemuk yang tertidur di posnya.

Awan-awan bergelombang di atas luapan lumpur beriringan di antara angin yang bertiup perlahan. Lelaki itu menangkap bisik-bisik awan dan lumpur yang menyembur tak henti-henti, membaca bentang kitab mereka bahwa Tuhan Allah selalu turun dini hari di sini. Tuhan beserta bala tentaranya yang tak pernah tidur mengurus makhluk-makhluk-Nya.
                               
&&&

Inilah negeri paling laknat dibanding mana pun, rakyatnya pura-pura menyembah Tuhan padahal menyembah setan dan iblis. Mereka bersekutu dengan pusaka-pusaka milik setan iblis yang mereka puja-puji, pejabatnya korupsi, ingkar janji, padahal bersumpah di atas kitab-Nya yang paling suci, mereka paling senang ke dukun-dukun yang mengaku paranormal pandai terawang nasib. Negeri ini sangat hina dina karena paling makar pada-Nya, penantang yang nyata tanpa menoleh ke hukum-hukum-Nya.

Lelaki berjubah duduk bersimpuh di selasar Masjid Tua At-Taubah, dan rumah-rumah yang akan terus jatuh dibenamkan ke tanah oleh gelegak lumpur, dia tersedu mencium jubahnya yang kelabu dan berpasir. Di tempat ini dia ingin bicara dengan Tuhan, bahwa dia ingin melihat surga yang diceritakan yang pernah didiami dan dinikmati nenek moyang segala iblis dan setan, yang mereka bilang semua sangat indah dibanding bumi tua renta bak perempuan tua yang bersolek menyambut malam ini, tapi surga itu telah mereka tinggalkan sejak dulu demi sebuah rencana besar memasukkan semua manusia ke Jahanam.

Dini hari, bulan begitu bersinar indah, kuning berkilau keemasan dan tembaga. Bukit-bukit membisu, gelegak berhenti, hewan-hewan menahan napasnya, hening. Dini hari yang sendu biru. Dia melihat seribu malaikat mulai turun dengan sayap-sayapnya yang bercahaya berkilauan, baru sekarang dia melihat makhluk-makhluk putih itu, dan seakan dia mencium bau surga yang mereka bawa, surga yang kekal, rumah-rumah dari zamrud dan mutiara, minuman susu dan daging burung terlezat yang dijanjikan untuk manusia. Mereka selalu muda, dikelilingi bidadari yang selalu perawan dan katanya para lelaki di pagi hari mereka akan meniduri seratus bidadari yang bisa kembali perawan.

Itulah tempat yang dirindukannya dan semua makhluk di bumi,  berapa lagi iblis-iblis terkutuk dari jenis manusia bodoh, serakah, mengangkat dirinya raja, pemegang pusaka setan-setan yang harus diburu, agar dia bisa kembali pergi ke sana dan menukarnya dengan surga. Surga yang dulu nenek-nenek moyangnya meninggalkannya karena tak suka ciptaan-Nya yang lain, yang mereka sebut bau dan kotor, penantang zalim yang bernama manusia. Dan takhta, surga yang sebatas hanya baru dijanjikan bagi mereka, semakin jauh dari bumi yang hijau. n
   

Lampung Post, Minggu, 11 Mei 2014

Sunday, May 4, 2014

Suara yang Memanggil-manggil

Cerpen Adi Zamzam


SUARA itu seringnya terdengar begitu jauh sekali. Sayup-sayup, seperti berasal dari arah ujung yang paling ujung. Suara itu takkan terdengar saat telinga berada di tengah-tengah suara bising. Karena itulah pemuda ini memiliki tabiat aneh. Kadang, ia sengaja menyepi ke tengah laut hanya demi mendengar suara itu. Bahkan terbersit pula keinginan dalam hatinya untuk mencari muasal suara itu, meski harus mengarungi samudera sekalipun.

Ia tidak pernah bisa mendefinisikan seperti suara apa suara itu. Suara itu terdengar begitu nikmat. Mengalahkan nikmatnya alunan musik dangdut yang paling disukai oleh para nelayan di kampung itu. Begitu halus, mampu menelusup ke yang paling dalam. Hangat. Tak terbendung. Seperti memanggil-manggil dan ingin mendekap. Setiap suara itu datang, semua masalah yang bersesakan dalam dada dan semua yang berisik di dalam kepala akan langsung mengendap. Suara itu seperti pusaran yang mampu membeningkan segala yang keruh, menenangkan segala yang riuh, dan mendinginkan segala yang api.


***


Subuh benar. Sail sudah terlihat sibuk sendiri di dapur. Ia merasa perjalanan kali ini sepertinya akan lama—yang mungkin akan memakan waktu beberapa hari. Karena itulah pagi itu ia menyiapkan bekal sendiri. Dalam segala hal, Sail selalu berusaha tidak ingin membuat emaknya yang sudah janda itu kerepotan. Umurnya sudah kepala enam. Umur yang menurut Sail seharusnya sudah menjadi milik penuh si pemilik umur.

“Sebenarnya apa yang kau cari, El?” tanya emak Sail yang berdiri di ambang pintu penghubung dapur dengan ruang tengah.

Hanya suara kesibukan Sail yang menjawab.

“Apa kau tak dengar perkataan orang-orang mengenai kelakuan anehmu itu?” Masih hanya suara kesibukan Sail yang menjawab. Dalam diamnya itu Sail berpikir, emaknya berkata demikian mungkin karena telinganya menangkap omongan semua orang. Beda dengan dirinya yang akan langsung tuli ketika suara yang memanggil-manggil itu terdengar. Telinganya hanya akan mendengar suara itu. Meski suara lain justru lebih jelas terdengar di telinga orang lain.

“Bagaimana pikiran Emak bisa tenang jika dirimu seperti itu? Jangan sia-siakan umurmu, Nak. Kenapa kau tak ikut kakakmu Sarmin saja?” Sarmin adalah kakak sulung Sail yang telah menjadi sebuah cerita nelayan sukses di kampung itu. Tapi Sail tak pernah merasa menyia-nyiakan hidupnya. Ia justru merasa tersia-sia oleh hidup saat ia mengikuti jejak kakak-kakaknya.

Ketika suara emaknya terdengar semakin berisik saja, Sail pun gegas bangkit. Semua bekal telah siap. “Sail berangkat, Mak,” sambil menenteng semua kebutuhan yang akan dimasukkannya ke perahu.

“Sebenarnya apa yang kau cari, El? Sampai kapan kamu akan seperti itu?”

Sebelum pertanyaan-pertanyaan emaknya memanaskan isi kepala, Sail telah sampai ke perahunya yang tertambat di bawah pohon cemara laut tak jauh dari rumahnya. Perahu warisan bapaknya itu pernah hampir dijual emaknya setelah tiga kali selama tiga hari membawa Sail entah melaut ke mana. Tapi kemudian urung karena perempuan itu masih menaruh harapan bahwa suatu hari nanti Sail akan berhenti dari kebiasaan buruknya itu dan berubah menjadi seorang nelayan yang baik.

Beberapa orang menyapa dengan pertanyaan basa-basi ketika melihat Sail menyeret perahunya. Pertanyaan-pertanyaan remeh yang sebenarnya tak penting, namun kadang membuat Sail terus bertanya kepada dirinya sendiri. Bahkan saat ia sudah mengapung di laut.

“Mau cari ikan ke mana sih, El?”

“Berburu paus ya, El?”

“Kalau sudah dapat putri duyung, segera bawa pulang ya, El.”

Dan ketika Sail telah benar-benar jauh dari daratan, memang tak ada yang dilakukannya selain diam, membiarkan suara itu kembali mengusik heningnya, dan lalu segera mengayuh perahu menuju suara itu, suara yang memanggil-manggil itu.

***

Kisah pertama yang dialami Sail ketika mencari muasal suara itu terjadi sekitar satu setengah tahun silam. Tiga bulan persis setelah kematian bapaknya yang akibat angin duduk—sesuatu yang kerap dituduh sebagai penyebab kematian tiba-tiba di perkampungan nelayan itu. Sepeninggal bapaknya ia memang kerap seperti ini. Mengayuh keras-keras perahunya seperti orang kesetanan. Tak tahu tujuan. Lalu tiba-tiba saja ia sampai pada sebuah pulau yang mereka sebut Pulau Fakir.

Di Pulau Fakir, perbedaan antara si kaya dan si miskin seperti jurang yang menganga dalam. Yang miskin, karena saking miskinnya, waktu mereka habis demi mencari uang dan uang. Yang kaya, karena saking kayanya, banyak yang berlagak bak dewa yang sering pamer kekuasaan. Tempat pelacuran dan tempat perjudian menjamur di mana-mana. Banyak si miskin yang coba mengadu nasib di tempat-tempat semacam itu. Banyak pula hartawan yang mengumbar nafsu di tempat-tempat semacam itu.

Sail pernah coba tinggal di pulau kecil itu selama tiga hari tiga malam. Tentu saja sambil mencari sumber suara yang menjadi tujuannya, yang semula ia sangka berasal dari pulau itu. Ia telah menyusuri dari ujung barat ke ujung timurnya, dari ujung selatan ke ujung utaranya. Namun suara itu justru tak terdengar lagi. Yang ada hanyalah suara kesibukan dan riuh rendah kehidupan para penghuni pulau.

Di tengah-tengah bising kehidupan orang-orang Pulau Fakir itu, Sail sering dicekam kesepian. Ia sering merasa kehilangan dirinya sendiri, sama seperti ketika ia masih berada di rumah. Bukan karena ia tak nyaman dengan pemandangan kaum miskin Pulau Fakir yang begitu menyedihkan. Toh ia terlahir dari sebuah keluarga miskin juga. Kehampaannya juga bukan disebabkan kemuakannya saat melihat kepongahan kaum kaya Pulau Fakir dalam menikmati kekayaannya. Ia hanya merasa tak menemukan sesuatu yang ia cari di pulau itu sehingga ia kemudian menjadi benar-benar bosan.

Sekeluarnya dari pulau itu Sail pun kembali terombang-ambing di lautan lepas. Berkali-kali emaknya menasihati agar kebiasaan buruk itu disudahi. Tapi Sail tak peduli. Pikir Sail, mungkin karena emaknya memandang hanya dari luar saja. Ceritanya pasti akan lain jika perempuan itu mengalami seperti apa yang tengah dialaminya.

***

Pulau kedua yang pernah Sail sangka sebagai muasal dari suara yang memanggil-manggil itu adalah Pulau Sirkus. Sebuah pulau aneh yang  muncul dari balik kabut. Daratan itu tiba-tiba terlihat ketika Sail merasakan kekosongan yang paling kosong. Saat itu ia kehilangan gairah hidup dan sengaja membiarkan perahu yang menampung tubuhnya bergerak mengikuti ke manapun ombak membawanya pergi.

Para penghuninya semakin menguatkan keanehan pulau itu. Seluruh penduduk di pulau itu adalah para pemain sirkus. Bocah-bocah yang beranjak remaja pun sudah dipersiapkan untuk menjadi pemain tertentu. Setiap hari mereka melakukan pawai, memenuhi jalan-jalan di sepanjang pulau itu. Dengan atraksi-atraksi yang beraneka ragam; ada yang menari-nari, ada yang berjoget liar, ada yang bertingkah seperti badut, ada yang tertawa-tawa dan senang berbicara sendiri di sepanjang jalan, ada yang senang berjalan melompat-lompat dengan satu kaki, ada yang membiarkan kedua matanya terpejam di sepanjang perjalanan, ada yang berjalan dengan mundur seperti undur-undur, ada yang koprol di sepanjang perjalanan, ada pula yang telanjang bulat meski ia tahu banyak mata melihatnya.

Sail pernah bertanya kepada beberapa orang di antara mereka. “Mengapa kalian melakukan hal-hal konyol itu?”

Apa yang didapat Sail selalu saja pedas, “Goblok!”

Sail tidak mengerti. Mengapa ia diteriaki goblok? Benar-benar tak mengerti.

Iseng, Sail pernah coba mengikuti pawai itu. Turun ke jalan, ikut berjalan di antara orang-orang konyol itu. Sail kesepian. Di sepanjang jalan Sail berusaha tetap diam dan hanya mengikuti. Namun, baru sebentar Sail sudah mulai bosan dan tak nyaman. Ia menggerutu sendiri, mengomentari semua yang terlihat matanya tanpa peduli ada yang menanggapi atau tak, juga kadang berteriak-teriak sendiri demi memecah sepi yang mendekap hatinya. Lama-lama ia merasa konyol. Ia bahkan sering memukul-mukul kepalanya sendiri di sepanjang jalan. Beberapa orang yang sepertinya terlihat peduli pernah menyarankan Sail untuk mengikuti apa yang mereka lakukan. Tapi Sail merasa bahwa itu bukanlah dirinya. Untunglah kemudian ia kembali sadar dan lalu memutuskan keluar dari pawai itu.

Sungguh sebuah tempat yang tak ingin ia singgahi lagi. Apalagi suara merdu yang memanggil-manggil itu sirna oleh keriuhan para penduduknya.

***

Suara yang memanggil-manggil itu entah dari mana datangnya, dan entah pula mengapa hanya dirinya yang bisa mendengar. Sail pernah menanyakan kepada beberapa orang yang ia jumpai di beberapa pulau yang ia singgahi. Jawaban mereka macam-macam. Ada yang bilang Sail harus berhati-hati dengan bisikan-bisikan menyesatkan semacam itu, sampai ada pula yang menduga bahwa suara itu hanyalah kebohongan Sail sendiri.

Tapi entah mengapa Sail sangat yakin dengan perasaannya sendiri. Ia merasa, jika kelak berhasil menemukan sumber suara itu, dirinya tak akan beranjak ke mana-mana lagi. Dan Sail merasa bahwa ia harus segera menemukan sumber suara itu.

Dan kini, perahu Sail tengah terombang-ambing dalam pencarian itu. Ia tak mau memikirkan harus berapa lama lagi mencari. Tak peduli akan kesasar ke pulau-pulau aneh lagi. Yang ia ingini hanya segera memenuhi suara yang memanggil-manggil itu agar segera sampai ke sana.

“Sebenarnya apa yang kamu cari, El? Sampai kapan kamu akan seperti itu?”

Tak ada yang bisa mendengar suara yang terus memanggil-manggil itu. Tak ada. Selain Sail seorang diri. n

Kalinyamatan – Jepara, 2013.


Lampung Post, 4 Mei 2014