Sunday, March 30, 2014

Front dan Kesunyian

Cerpen Masdhar Zainal

   
DINGIN. Hujan terus merincis. Suaranya seperti tikaman-tikaman kecil yang mencacah kesunyian. Sesekali kilat menyabat dan guntur menggelegar, seakan-akan langit menjadi retak. Semuanya terus beriringan. Bersahut-sahutan. Ritmis. Tak habis-habis. Sementara malam… malam terus tenggelam. Kian dalam. Kian pekat. Kian gigil.

“Kenapa dingin begini! Sial! Dinginnya benar-benar laknat!”

Bibir-bibir gemetaran. Gigi-gigi gemeletakan. Tubuh-tubuh pucat itu saling merapat.

“Kita harus pergi dari tempat terkutuk ini kecuali ingin mati membeku di sini.”

“Apa kau gila? Jepang masih berkeliaran di hutan ini, mereka membangun tenda di setiap sudut, menanam ranjau, dan mebuat perangkap-perangkap yang tak pernah kita duga. Apa kau mau mati konyol?”

“Apa bedanya, jadi kita harus bertahan di sini, mengendap-endap seperti cacing tanah. Sampai kapan? Sial! Dinginnya…”

“Setidaknya kita tunggu beberapa hari lagi, sampai Jepang keparat itu benar-benar pergi.”

“Bagaimana kau tahu kapan Jepang sialan itu akan pergi?”

Hening. Mungkin hampir subuh. Hujan masih meritmis, bagai denting kecapi yang tak henti-henti. Lima orang serdadu terakhir—yang mungkin masih tersisa—itu merebahkan tubuh bersisian. Menatap dahan pepohonan hutan yang menggigil dalam remang malam, menjulur, membentuk kanopi, mengatapi tubuh mereka.
Seorang dari mereka, Sang Mayor, mengerang lirih menahan luka tembak yang masih menganga di paha sebelah kiri. Wajahnya pucat serupa mayat. Bibirnya bergemeletak menahan dingin. Luka itu nyaris busuk. Sementara yang lain hanya sanggup diam, menyembunyikan air mata di antara titik gerimis yang berhasil mengecup wajah lelah mereka.

“Mengapa musti ada peperangan?” salah seorang berbisik sendiri. Seperti menyesali keadaan. Yang lain hanya diam, tidak menggubris.

Sementara Sang Mayor, yang kakinya terluka parah, masih terus mengerang dengan mata terpejam dan bibir gemetar, mungkin menahan perih, mungkin menahan dingin, mungkin sekarat. Yang lain tak sanggup berbuat apa-apa.

“Tenang, Mayor. Kau akan baik-baik saja, setelah hujan reda, kami akan membawamu ke barak terdekat. Mungkin di sana masih ada obat-obatan yang tersisa,” yang lain menenangkan.

“Tak usah menghibur. Kita semua tahu. Kita adalah pasukan terakhir yang mungkin masih tersisa. Hanya ada Jepang di luar sana,” yang lain menimpali.

“Kau… tidak bisakah kau diam?”

“Sudah, sudah, sekarang bukan waktunya bersitegang,” seorang yang lain melerai.

“Terserah, pokoknya aku mau pergi dari tempat ini. Jika kalian masih mau bertahan, silakan,” seorang berdiri, membenarkan helm dan letak senapan yang menggantung di pundak, “Siapa mau ikut?”

Sepi. Tiga orang yang lain saling pandang. Sang Mayor masih terus mengerang meski erangan itu semakin lirih.

“Aku ikut,” seorang yang lain turut berdiri.

“Kalian berdua benar-benar gila,” yang lain melotot.

“Peperangan ini memang bisa membuat siapa pun menjadi gila.”

“Jadi kalian tega meninggalkan kami? Meninggalkan Mayor kalian yang sedang terluka parah?”

“Tapi tempat ini sudah tidak aman lagi, tidakkah kau dengar desing senapan yang kian hari kian mendekat. Tak lama lagi, pasti mereka akan mengobrak-abrik tempat ini.”

“Kita adalah pasukan terakhir yang masih tersisa, kita harus menjaga satu sama lain, jangan gegabah. Setelah keadaan membaik, kita akan memikirkan rencana berikutnya.”

“Ini perang, takkan ada yang membaik, sebelum darah tertumpah, dan salah satu dari pihak yang bertikai kalah atau menyerah.”

“Lalu apa rencanamu?”

“Apa saja, asalkan tidak membusuk di tempat ini.”

Dua serdadu yang bersikeras itu mulai beranjak, meninggalkan tiga serdadu lain yang membeku dan tak berkata apa-apa lagi. Sang Mayor, yang terus mengerang, juga turut diam, menghentikan erangannya. Sementara dua orang yang lain masih terbengong menatap punggung dua kawan mereka yang kian menjauh dan hilang di balik remang pepohonan.

“Sekarang tinggal kita bertiga,” kata salah seorang.

Seorang yang lain hanya diam, tidak menjawab.

“Istriku pagi ini memasak semur bali dan membuat puding cokelat. Si kecil ke mana, ya? Oh, mungkin sedang memberi makan koi di kolam depan. Ia marah, takut janji papanya tidak ditepati lagi. Iya, iya, Lebaran depan pasti kita akan mudik ke rumah eyang. Papa kan sudah janji. Nanti, di belakang rumah eyang, kita akan petik durian sama-sama. Nanti kita minta eyang bikinin santan durian yang lezat. Kau tahu, santan durian buatan eyang adalah santan durian terlezat yang pernah ada. Papa juga kangen sama eyang,” sang Mayor yang kakinya terluka dan wajahnya sepucat mayat itu tiba-tiba menggumam dalam pejamnya. Gumaman yang liris dan terlunta-lunta.

Perlahan, dua orang yang lain merangkak, mendekat. Mereka hanya terdiam, memerhatikan mata terpejam yang berair itu. Memerhatikan bibir pucat yang terus bergerak itu.

“Papa tidak berperang, Nak. Papa hanya menjalankan tugas negara. Dan papa pasti akan pulang dalam keadaan utuh. Kalau tak percaya, tanya ibumu. Bukankah papa sudah janji mengajakmu mudik ke rumah eyang. Papa pasti pulang. Oh ya, hari ini ibumu bikin semur bali lagi, ya? Oh, bukan. Sup buntut? Sate kelinci? Lah, kelincinya siapa itu yang disate? Eyang?” bibir pucat itu masih terus meracau dengan mata rapat.

Terdengar pilu. Seperti kata-kata terakhir, kata-kata yang paling tulus yang tak pernah tersampaikan.
Dua serdadu yang hanya diam memerhatikan itu pun tak sadar, ada yang retak dan berkilat di pelupuk mata mereka. Hingga salah seorang di antaranya beranjak sebelum menyeka lelehan hangat di pipinya dengan seragam loreng yang kian kumal. “Sebelum pagi benar-benar datang, aku harus keluar untuk mencari makanan,” katanya.

“Kau akan pergi juga?” sahut yang satu.

“Aku tahu, kita semua lapar. Biar aku keluar sebentar, mencari apa-apa yang bisa kita makan. Kau di sini saja, menjaga Mayor.”

“Tapi, buah-buahan hutan di sekitar sini sudah ludas kita jarah saban hari, kau mau ke mana lagi? Rusa dan tupai pun sudah tak tampak lagi.”

“Ini hutan. Pasti masih banyak sesuatu yang lain yang bisa kita manfaatkan.”

“Tapi, Jepang berkeliaran di luar sana.”

“Aku tahu. Percayalah padaku.”

“Tapi…”

“Sudahlah, kau jaga saja Mayor, aku akan segera kembali sebelum matahari terbit.”

Sesungguhnya ia sangat cemas. Bergantian ia menatap tubuh yang berkelebat pergi itu dengan tubuh Mayor yang rebah tak berdaya di sebelahnya, yang terus meracau.

Waktu beranjak. Suara ayam hutan berkoak dari kejauahan. Ia begitu gelisah menunggu seorang teman yang beberapa waktu lalu berpamitan untuk mencari makan. Sementara, di sebelahnya, Sang Mayor kembali mengerang. Erangan yang lebih runtun dari sebelumnya. Erangan yang lebih keras dari sebelumnya. Ia semakin khawatir. Ia semakin panik.

Beberapa jeda, dari kejauhan, ia mendengar suara letusan dan desing senapan beberapa kali. Ia bergidik. Memikirkan nasib ketiga temannya yang kini sudah tak ada lagi di sisinya. Sementara, di sebelahnya, Sang Mayor terlampau lelap setelah mengaumkan erangan paling panjang. Sosok sepucat mayat itu, kini, matanya terbuka nanar, mulutnya menganga lebar. Tak ada lagi dengus napas mengalir dari hidungnya. Tiba-tiba sesak di dadanya kian menggempa. Ia tak tahu harus berbuat apa.

Tanpa pikir panjang, perlahan, ia meraih senapan pendek yang terselip di pinggang dan mengarahkan moncongnya tepat ke keningnya sendiri. Dengus napasnya berkejaran tak beraturan. Ditariknya pelatuk itu dengan tangan gemetar, perlahan…. 

***

Dari kejauhan letusan itu menggema. Mengejutkan burung-burung yang bertengger di dahan-dahan. Sejenak kemudian, hutan pun kembali senyap. Menyisakan percik hujan yang tampak merah. n

Malang, Juli 2012


Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2014

Sunday, March 16, 2014

Ular

Cerpen Yulizar Fadli


AKU telah berhasil membunuh makhluk yang dalam pandanganku berbentuk ular besar. Dialah makhluk paling menjijikkan. Aku senang, meski setelah menghabisi nyawanya, aku kesulitan menghirup udara.

*

Seperti kereta api dengan gerbong penuh cerita, kamu selalu membuatku menunggu. Kamu pandai membuat jeda, mengulur, dan menahan untuk sampai di akhir cerita. Sering kamu menyuruhku menemukan sendiri inti ceritamu. Kamu menjengkelkan. Tapi, meski demikian, aku selalu mencintaimu.

Apa kamu ingat suatu siang saat kamu memboncengku dengan sepeda motor matic sewarna susu sapi? Seperti burung kamu berceloteh tentang Oma dan Asep. Asep itu laki-laki, Oma itu perempuan, katamu. Aku belum tahu apa maksud ceritamu itu.

“Itu pelajaran SD, Jul,” kataku, ketika motor melaju tepat di jalan raya yang di sebrangnya berdiri rumah dinas Bupati Lampung Timur.

“Ya. O-Ma: Oktober sampai Maret untuk musim hujan dan April sampai September untuk musim panas,” katamu setengah berteriak.

“Terus kenapa kamu bilang A-Sep itu laki dan O-Ma perempuan?”
“Ya. Karena A-Sep suka panasan seperti laki-laki dan O-Ma suka menangis seperti perempuan. Seperti kamu, Mar.”

”Maksa. Sekarang April juga suka hujan.”

“Hmmm? Apa?”

“Maksa!”sahutku sebal.

Kamu tertawa mendengar jawabanku. Keras sekali. Seingatku, selama aku mengenalmu, belum pernah aku mendengar tawamu sekeras itu. Aku tak mau kalah, pikirku. Aku tertawa keras melebihimu.  

Kamu mengoceh lagi, berganti topik tentang Aphrodite yang tak kutahu wujudnya. Kamu bilang itu nama dewi kecantikan. Terus apa pentingnya untukku. Tapi kamu tak peduli. Kamu terus berceloteh tentang tokoh-tokoh asing yang namanya susah kuhafal.

Mungkin lantaran aku hanya diam mendengar ceritamu, kamu segera mengganti celotehmu tentang banjir di bundaran HI. Katamu, kota “satu hari satu tujuan” itu mengalami kerugian jutaan rupiah dalam sehari. Lalu ceritamu bergeser lagi ke sebuah gedung—katamu bangunan itu mirip bokong saat dilihat dari atas menggunakan helikopter—tempat berkumpulnya orang pinter yang keblinger. Kamu bicara lagi tentang korupsi yang dilakukan orang-orang pinter itu, seolah kamu itu salah satu anggota KPK.

Dari mana kamu tahu hal-hal macam itu, pikirku. Untuk sementara aku menduga kamu menontonnya dari televisi dan koran atau buku-buku yang kamu baca. Yang jelas, sejak kamu kuliah, makin pandai kamu bercerita. Kamu juga bilang kalau kamu bergabung dengan kelompok seni di kota Monas yang melambangkan Lingga dan Yoni itu. Ah, ingin sekali aku ke sana, berkunjung, melihat kegiatanmu. Tapi rasanya belum mungkin. Usaha kerupuk ikanku telah cukup membuat aku sibuk.

Aku ingat waktu kamu menyebutku kampungan. “Umur sudah 26 kok enggak pernah keluar dari kampung. Padahal empat Alfamart sudah dibangun di kampung kita.” Aku tertawa menahan marah karena ejekanmu.

“Kamu itu harus tahu perkembangan di negara kita ini. Kamu harus rajin nonton berita. Jangan hanya sibuk membuat kerupuk.”

“Kalau enggak buat kerupuk, dari mana aku bisa bayar kredit motor, makan, dan membeli pakaian. Belum lagi aku mau membangun rumah. Aku harus bayar arisan semen untuk mengumpulkan material bangunan.”

“Alah ... kamu harus pinter pokoknya.” Lekat kamu menatap mataku. Aku pun demikian.

Ah ya, kamu juga pernah bilang, setelah menyelesaikan kuliah, kamu akan bergabung dengan partai politik di tanah kelahiran kita, di Lampung bagian timur. Dan nantinya—kalau sudah cukup matang jadi politikus—kamu akan mencalonkan diri jadi bupati, atau setidaknya wakil bupati. “Dalam kampanyeku nanti, aku akan menggunakan kerupuk ikanmu untuk dibagi ke penduduk,” katamu pasti.

Membagikan kerupuk pada penduduk? Yang benar saja. Lalu, kamu tertawa dan menyangkal bahwa apa yang kamu ucapkan hanya gurauan. Tapi, beberapa menit kemudian, wajahmu jadi serius, kening berkerut dan bibir tipismu mengatup. Kamu berkata akan memodali usaha kerupukku supaya lebih maju. Aku mengangguk, meski hatiku tidak.

Aku sangat ingat, takkan mungkin lupa—kecuali aku mati—ketika kamu bertanya perihal laki-laki macam apa yang akan kupilih menjadi suami. Aih, tak tahukah kalau laki-laki macam kamulah yang kupilih? Berkulit kuning, tak terlalu tinggi, rambut lurus, wajah bulat telur, mata besar, dan bibir selalu basah.

“Aku belum tahu. Tapi nanti pasti ketemu, Jul.”

“Nanti itu kapan, Mar? Enggak jelas.”

“Ya nanti. Yang jelas laki-laki itu harus bertanggung jawab dan bisa membantuku membuat kerupuk. Pasti. Nanti pasti ketemu.” Kamu terdiam agak lama. Kita terdiam agak lama.

“Darmaji, anak Pak Prawira Rembun,” katamu setengah berteriak. ”Ya! Kelihatannya Darmaji cocok denganmu. Sesuai tuh dengan kriteriamu.” Kamu mengangkat kedua alis dan memamerkan gigimu yang rapi dan seputih kapas. Aku tertawa, tapi entah untuk apa. Yang terang, dadaku nyeri saat tertawa.   

Lalu, menjelang empat bulan setelah terakhir kita berbincang di warung bakso Susamto, pelan-pelan aku berusaha melupakanmu, meskipun hasilnya nihil; memotong rambutku, membakar fotomu. Ya, di sanalah percakapan kita berhenti. Mungkin hanya dua atau tiga kali aku menyapamu lewat SMS, tak pernah langsung menelepon.

Hingga satu tahun kemudian, akhirnya aku mendapat kabar darimu. Kamu mengirimiku pesan singkat, memberitahu kalau bulan depan kamu akan diwisuda. Kamu mengundangku dalam acara itu. Aku bahagia mendengarnya. Lalu kubalas SMS-mu dengan mengetik kalimat ‘selamat dan sukses selalu untukmu’. Amin. Mudah-mudahan bisa hadir.”

Seminggu setelah acara syukuran wisudamu selesai, kamu datang ke rumah dengan mobil biru mengilat bersama ibu dan perempuan cantik yang kamu perkenalkan sebagai tunangan. Aku menyalaminya, menyalamimu, menyalami ibumu. Mempersilakan kalian duduk dan menawarkan minum sepatutnya tuan rumah yang baik.

Kamu bertanya—setelah aku menaruh empat gelas teh panas di atas meja—kenapa aku tak datang ke acara sukuran wisudamu. Kubilang aku sibuk, pesanan kerupuk menumpuk. Lalu kamu menanyakan kabar Darmaji. Aku menggeleng. Kukatakan padamu bahwa enam bulan lalu ia resmi menikah dengan Maimunah. Kamu tersenyum. Aku tersenyum. Kita semua tersenyum. Untuk menutupi perasaanku, sambil memandangmu, aku berbasa-basi menanyakan kapan pernikahan kalian dilangsungkan. Kualihkan pandanganku pada tunanganmu. Dalam penglihatanku, gerak tunanganmu menjadi lambat. Ia mendesis, mencibir, dan menjulurkan lidah panjang bercabangnya ke arahku. Ingin sekali aku mengambil gelas dan melemparkan ke mukanya. Tapi kutahan. Tanganku gemetar. Aku berkeringat. Kualihkan pandanganku kepadamu, kamu tak ada. Kualihkan pandanganku ke ibumu, juga tak ada. Yang ada hanya tunanganmu yang kini—dalam pandanganku—telah berubah menjadi ular besar.

Tak bisa lagi aku menahan tanganku untuk segera mengambil gelas dan melemparkan ke kepalanya. Beling slinder itu mendarat mulus di pelipis kanannya. Kuterkam dan kucekik lehernya hingga ia kesulitan menghirup udara dan akhirnya mati. Ia tak sanggup melawan. Aku senang, meski setelah membunuhnya, aku juga kesulitan menghirup udara. Keringatku bercucuran. Dadaku memadat seolah dijejali balok kayu. Pandanganku buyar. Amat sangat buyar.

Bandar Lampung, 2013-2014


Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2014

Sunday, March 9, 2014

Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam itu

Cerpen Yetti A.KA.

SEHARUSNYA kami sudah tidur pada malam itu—seperti Nome, adik kecil kami yang sudah pulas. Tapi Nat berbisik, “Saat bayi, kau ditemukan Ibu dekat pagar rumah kita. Kau bukan kakak kami.”

Mula-mula aku merasa geli. Nat pasti sedang mengarang. Dia memang banyak berkhayal sebelum tidur. Kadang-kadang dia bilang kalau Ibu ada di kamar kami. Kata Nat, Ibu tidak berubah sedikit pun, tetap seperti hari-hari terakhir bersama kami. Selalu cantik. Kami semua menikmati karangannya itu. Membayangkan kalau Ibu benar-benar menemani tidur kami, setiap malamnya. Melindungi kami dari mimpi-mimpi buruk. Nat memandang tepat ke bola mataku, “Kau merasa tidak apa-apa mendengar ini?”

“Nat?” Aku memandang lama pada Nat, seakan-akan aku minta ia segera mengakhiri permainan yang mulai membuatku cemas.

“Tanya pada Bibi Salda. Dia tahu semuanya.”

Sungguh, seharusnya aku tumbuh menjadi gadis bahagia kalau saja malam itu tidak pernah ada. Umurku lima belas tahun. Nat satu tahun di bawahku. Nome baru berumur tujuh tahun (Ibu kami meninggal ketika melahirkannya). Sebelumnya kami anak-anak perempuan yang saling mencintai. Bahkan ketika Nat mengatakan rahasia besar itu, aku juga percaya perasaannya masih tetap sama padaku.

Tapi aku berubah. Aku mulai membenci segalanya. Dan aku tidak pernah mengatakan apa-apa.

***

Aku menggambar—sebenarnya aku hanya mencoret-coret saja kertas gambarku—di meja taman belakang. Aku mendengar suara Ayah, Nat, dan Nome. Mereka baru pulang dari kebun kakao kami. Setiap hari Minggu Ayah biasa mengajak kami ke sana, terlebih setelah Ibu tidak ada. Di sana Ayah bertemu dengan para pekerja. Sementara kami bermain-main di bawah batang kakao. Itu dulu. Sekarang aku tidak pernah mau ikut lagi. Kukatakan pada Ayah kalau aku ingin menggambar saja di rumah. Aku tentu saja tidak sepenuhnya menggambar. Aku lebih banyak memikirkan betapa bahagianya mereka di kebun kakao dan aku tidak ada di sana. Apa mereka sempat memikirkanku? Apa mereka merasakan ada tempat kosong yang tidak terisi di sana—tempatku? Lalu mereka pun menyadari betapa aku amat berharga dan karena itu mereka segera berbalik pulang?

“Maganda,” panggil Ayah yang sudah berdiri di pintu belakang rumah kami. Nome bergantung di lehernya seperti anak monyet. Pipi Nome sangat merah. Nat berdiri di samping kanan Ayah juga dengan pipi yang merah.

“Sudah pulang?” tanyaku singkat, lalu berpura-pura sibuk menggambar lagi. Sebenarnya, dalam hati, aku bersorak riang.

Aku tidak tahu apa Ayah menjawab pertanyaanku dengan mendeham atau mengangguk. Aku tidak memperhatikannya. Bahkan aku tidak tahu kapan mereka meninggalkan pintu belakang. Yang kudengar suara mereka begitu ramai di ruang tengah. Mereka sepertinya berebut sirop dan kue kering yang disiapkan pembantu kami.

Seketika aku kembali murung. Tidak bisakah Ayah berdiri lebih lama di pintu itu? Tidak bisakah Ayah mengalahkan rasa tinggi hatiku dan membuatku luluh. Ayah hanya perlu sedikit waktu untuk membujuk hatiku yang terluka.

Tapi Ayah tidak melakukannya. Malah aku mendengar tawa mereka yang makin keras. Duniaku selalu gelap setiap melihat atau mendengar kebersamaan semacam itu. Aku menangis. Aku lari ke kamar mandi. Di sana aku terus bersedih dengan perasaan sembab.

Untuk pertama kali, pada malam harinya, aku mencoba bunuh diri dengan mengiris pergelangan tanganku. Nat memekik keras saat menemukanku hampir pingsan dengan darah berceceran di sekitar tempat tidur. 

***

Ayah bilang padaku, “Kau cemburu, Mag. Kenapa kaulakukan itu?”

Menurut ayah, semua anak perempuan seusiaku sibuk bermain bersama hingga kepala mereka dipenuhi jenis-jenis boneka cantik, tokoh komik, nama-nama teman yang ditulis dalam buku harian lengkap dengan keterangan hobi, moto, dan cita-cita, atau juga rahasia-rahasia yang mereka simpan bersama-sama.  

“Kau berbeda sekali dengan anak-anak lain, kau tidak berteman dengan siapa pun,” kata Ayah. 

Ayah benar. Aku berbeda sekali. Di usia lima belas tahun aku tidak punya satu teman akrab pun sebab dulu kupikir aku punya keluarga yang sempurna. Tepat di usia lima belas tahun pula kepalaku justru dimasuki benda jahat, dan karena itu aku juga berpikir ingin menyingkirkan Nat dan Nome. Aku meyakini keberadaan mereka membuatku tersisih. Membuat Ayah bukan lagi milikku seperti sebelum aku mendengar rahasia dari Nat.

Bola mata Ayah keluar, seperti bola yang seakan siap jatuh dan menggelinding, saat kukatakan semua itu, lalu ia memberiku peringatan atas sesuatu yang kelewat kelam dalam jiwaku.

Sampai suatu hari, Ayah menyerah. Ia memilih mengeluarkan aku dari rumah. Hanya untuk beberapa waktu (tapi aku tahu itu untuk selamanya), bujuk Ayah.

Aku tinggal bersama Salda, istri salah seorang penjaga kebun kakao yang paling dekat dengan keluarga kami, hingga aku dewasa. Aku tidak terlalu suka pada Salda sejak ia membuka rahasia tentangku pada Nat, tapi aku tidak punya pilihan selain tinggal bersamanya. Aku juga tidak mengungkit atau mempertanyakan tentang apa-apa yang dikatakan Nat. Aku tidak mau membicarakan apa-apa.

Ayah memang sering mengunjungiku. Sesekali saja bersama Nat dan Nome. Ia membawa berbagai hadiah, tapi perasaanku sudah berbeda. Aku tidak suka semua yang ia lakukan itu. Ayah sering berkata, “Kau salah sangka. Kau keliru. Aku tidak membuangmu.”

Siapa pun tahu, kenyataannya aku dibuang oleh Ayah. Aku tidak pernah kembali lagi ke rumah kami yang berwarna cokelat; dari lantai, atap, hingga dinding-dindingnya—warna-warna yang mewakili selera etnik Ibu (rumah tempat aku pernah merasa sangat bahagia ketika Ibu masih ada).

Lama-lama aku berusaha tidak lagi mengingat kalau aku punya Ayah—seperti halnya aku berusaha melupakan Ibu yang telah mati—meskipun  ia tidak berhenti datang padaku. 

***

Kesedihan itu—kesedihan yang benar-benar pekat dari biasanya—datang pertama kali pada pagi tanggal 25 Januari saat ulang tahunku yang ke-24. Ayah menitipkan kado satu hari setelahnya pada Salda dan belum kubuka hingga hari ini sebagaimana kado ulang tahun sebelum-sebelumnya. Salda sendiri berencana akan membuatkan masakan spesial untukku, tapi aku menolaknya dengan alasan tidak ada teman-teman yang akan datang.

“Bagaimana mereka mau datang kalau kau tidak mengundangnya,” ujar Salda.


“Sejujurnya aku tidak menyukai satu orang pun dari
teman-temanku itu,” timpalku.

“Kau tidak membuka hatimu.” Salda merapikan kertas-kertas gambarku di meja. Aku belajar sketsa tiga kali seminggu pada seorang pelukis di kotaku. “Seharusnya gadis seusiamu juga sudah pacaran beberapa kali. Bukan hanya sibuk sendiri dengan kertas-kertas gambar ini,” tambah Salda.   

Aku menatap gusar pada Salda. Ia cepat-cepat menghindar. Lari ke dapur. Di dapur ia meributkan soal sampah yang menumpuk. Aku tahu itu cara ia mengalihkan kekesalanku.

“Ayahmu pasti mau datang kalau kau menginginkannya.” Salda sudah berdiri lagi di dekatku dengan satu kantong sampah di tangan kanan, sementara rantang kosong di tangan kirinya.

Aku langsung menjawab bahwa aku tidak menginginkan Ayah di hari ulang tahunku. Aku tidak mau ada siapa-siapa. Juga Nat. Juga Nome.

Pada hari itu Salda cepat pergi tanpa berkata lagi.
Tapi kesedihan yang pekat itu tidak beranjak ke mana pun. 

***

Pukul lima sore Salda datang membawa rantang makanan. Setelah aku dewasa aku memutuskan tinggal sendirian, tapi Salda tetap tidak bisa percaya kalau aku bisa membuat makanan. Aku menyembunyikan tentang kesedihan itu pada Salda. Tapi Salda bukan orang yang mau membiarkan sesuatu yang tidak biasa lewat dari pengetahuannya, ia bertanya, matamu merah dan bengkak, apa ayahmu nekat datang dan kalian bertengkar?

Kukatakan: Tidak.

Kata ayahmu kau memang keterlaluan sekali bulan lalu itu saat kau menolak membukakan pintu untuknya. Aku sarankan padanya untuk menunggu saat kau benar-benar menginginkan bertemu dengannya lagi jika mau memperbaiki keadaan. Mungkin saja ia menuruti nasihatku, ujar Salda. Tapi tetap saja seharusnya ia memaksakan diri untuk datang di hari ulang tahunmu. Ia harus berusaha.

Aku tidak menginginkannya lagi. Apa kau mengerti?

Tidak perlu kaujawab sekarang, ujar Salda, lalu kenapa matamu? Kaupasti banyak sekali menangis.
Aku bertemu kesedihan yang pekat.

Salda tampak tidak mengerti, tetapi ia tidak bertanya lagi. Salda paham sekali, hidupku, termasuk pikiran-pikiranku, terlalu rumit. Bedanya dengan Ayah, Salda bisa menerima pikiran paling tidak masuk akal atau paling menakutkan yang keluar dari kepalaku. Ia tidak membuangku. Mungkin karena Salda tidak punya kekuasaan untuk itu. Bisa pula karena ia menyayangiku.

Lekas dimakan, kata Salda, mumpung masih panas.

Setelah itu Salda meninggalkanku. Rumah Salda berjarak setengah kilo dari kediamanku. Sebenarnya itu bukan rumah Salda sebagaimana pula rumah yang kudiami bukan rumahku. Itu rumah yang diberikan Ayah. Hanya, Salda menghiburku, semua yang ayahmu miliki sekarang adalah yang dulu kepunyaan ibumu. Kau boleh benci ayahmu, tetapi aku tahu kau sangat sayang pada ibumu. Jangan buat ibumu bertambah sedih dengan menjadi gelandangan di jalan. 

Aku tidak tahu apa orang yang sudah mati masih bisa sedih.

***

Kesedihan itu datang lagi di Minggu pagi bulan Februari. Dan aku belum tahu juga alasan kenapa ia memilih hari itu, selain aku hanya menebak-nebak, di hari lain ia mendatangi rumah-rumah yang lain pula. Mula-mula aku melihatnya berdiri di luar pagar. Lalu ia membuka pintu pagar yang sengaja tidak kugembok. Salda sering mengingatkan tentang kemungkinan orang-orang yang tidak diinginkan menerobos masuk ke halaman. Aku bilang pada Salda, satu-satunya hal yang kucemaskan di dunia ini setelah Ibu mati adalah kehilangan Ayah. Namun, ternyata aku juga sudah kehilangan. Lantas apa lagi yang perlu kutakutkan?

Ia sudah berdiri di depan pintu. Aku mencium aroma tertentu yang sulit kugambarkan, meski sudah begitu kukenali. Kata Salda, kesedihan yang pekat itu pasti berbau busuk. Tentu saja bukan. Baunya menyerupai aroma akar. Walau tidak juga sepenuhnya benar.

Aku membuka pintu seperti seseorang yang sudah lama menunggu. Seperti biasa, saat aku menatapnya, aku kembali merasakan masa lalu di kamar gelap saat aku begitu sedih memikirkan Ayah. Memikirkan betapa aku ingin cinta yang bulat, tapi Ayah menganggapku jahat. Saat-saat di mana aku ingin mati dengan cara yang membuat Ayah tidak bisa melupakannya seumur hidup. Aku cepat saja menangis sebab dadaku memang sangat sesak.

Kemudian kesedihan itu berbisik, “Semuanya sudah berakhir.”

Kucium bau akar yang bertambah pekat. Lama-lama bau akar itu berubah menjadi bau Ayah, Nat, Nome yang juga pekat. Mengambang di udara. Bagai aroma  kematian. Amis darah yang teramat pekat.

Seketika aku mundur ke arah dinding. Tubuhku menggigir, lalu melorot ke lantai, lalu gelap.  Ayah, Nat, Nome, aku takut sekali. Sungguh. Seharusnya malam itu tak pernah ada. Bangunkan aku. Katakan ini mimpi. n

JEM, 13-14


Lampung Post, Minggu, 9 Maret 2014

Sunday, March 2, 2014

Martir yang Terkutuk

Cerpen Aris Kurniawan


BUTIRAN keringat dingin mengalir di pelipis keriput Kiai Husen. Ia terlihat tegang. Bola matanya mendelik seperti hendak mengejar bayangan yang berkelebat meninggalkannya melalui jendela. Aku ingin menubruk tubuh ringkih lelaki itu, tapi sesuatu menahanku. Bahkan mulutku diam terkunci. Menyaksikan sinar lampu bolham di kamar Kiai Husein bagai meredup dan gorden kamar tersingkap, bergetar-getar, tertiup angin. 

Sejak itu aku mendapati wajah Kiai Husein selalu tampak murung. Kehilangan rasa percaya diri. Seribu pertanyaan memadati dadaku tanpa dapat kuungkapkan. Lelaki yang selama ini menjadi tempatku memperoleh segala jawaban atas berbagai persoalan itu, kini seolah berubah jadi pikun. Sifat ekspresifnya lenyap. Matanya selalu menghindar bertatapan langsung dengan mataku. Hingga aku terus menahan diri untuk bertanya tentang peristiwa malam itu.     

Aku mendapatkan jawaban dari seribu pertanyaan tentang peristiwa malam itu bertahun-tahun kemudian, ketika aku menjenguknya sepulang dari perantauan. Kian Husein makin tampak ringkih, suaranya bergetar lirih saat menceritakannya.

Malam itu Azazil datang ke rumah Kiai Husein. Moyang iblis dari zaman Nabi Adam itu telah mengembarai seluruh antero bumi untuk menemukan Kiai Husein. Azazil tampangnya masih serupa dengan saat pertama kali diciptakan Tuhan dari kobaran api. Kiai Husein sendiri mengaku tidak mampu, atau tepatnya tak ada bahasa manusia yang berdaya menggambarkannya secara perinci dan meyakinkan.   

“Apa keperluan Azazil mendatangimu, Kiai?” kataku, tak mampu membendung rasa penasaran yang bertahun-tahun ditimbun. Seperti biasa, Kiai Husein seolah sengaja mempermainkan emosiku, menahan kecamuk pertanyaan bersemburan dari mulutku. Aku tahu, sorot matanya memintaku tenang, jangan grasa-grusu. Ia menyulut rokok, menyesap perlahan-lahan, meletakkannya di asbak, menghembuskan asap, lantas menarik napas dalam-dalam.
   
Sebelum bertemu Kiai Husein, Azazil telah mendatangi satu per satu kiai-kiai besar di Timur Tengah. Ia mengetuk pintu kediaman imam-imam besar seluruh masjid di pusat-pusat spiritualitas dunia tanpa terkecuali. Namun, tak satu pun dari mereka mampu mengabulkan permohonan Azazil. Mereka justru memping-pong Azazil hingga akhirnya sampai di rumah Kiai Husein yang terpencil di tepi perkuburan desa yang sepi.

“Apa permintaan Azazil itu, Kiai? Mengapa para imam besar itu tak mampu mengabulkan permintaannya?” kejarku, setelah lelah menunggu karena cukup lama Kiai Husein membiarkan keheningan berdiam seakan tengah menyiapkan ledakan dahsyat. Ia berdeham beberapa kali, seperti ragu melanjutkan ceritanya.

“Kamu pulanglah dulu, Karim. Bukankah kamu baru datang dari perantauan bertahun-tahun dan belum bertemu orang di rumah,” suara Kiai yang teduh seakan menghentikan laju darahku yang menggelegak oleh keingintahuan yang dipendam berabad-abad. Aku mengemasi ranselku, menatap wajah Kiai Husein dengan kegusaran yang hampir meletus. Tapi aku tahu, aku tak mungkin memaksa lelaki ini untuk melanjutkan ceritanya sampai tuntas sekarang juga. Masgul aku mengemasi ransel yang berisi beberapa buku cerita.

Aku meraih tangannya untuk kucium. Kiai Husein menyerahkan tangannya yang halus dan empuk pada genggaman tanganku, tetapi ia segera menariknya ketika hampir sampai ke wajahku.       

            
***


KIAI Husein menatap mataku dalam-dalam, seakan mengukur seberapa besar keingintahuanku tentang peristiwa malam itu. Angin berdesir. Terdengar lolongan anjing dari arah perkuburan. Aku tiba-tiba merasakan kengerian ditatap Kiai Husein seperti ini. Belum pernah tatapannya semenghunjam ini. Kiai Husein baru selesai melaksanakan salat malam dari masjid tua samping pondoknya ketika aku tiba di pondoknya. Langkahnya tertatih ketika berjalan menuruni tangga masjid menuju arah pondoknya.

Aku yang duduk menunggunya di ambin depan pondok segera bangkit berdiri, menghampirinya untuk memapahnya. Tapi Kiai Husein menahan tanganku. Ia memberi isyarat mengikutinya masuk ke pondoknya yang berlampu temaram.

Tatapan mata Kiai Husein membuatku gelisah. Ingin rasanya segera meninggalkannya seandainya rasa penasaran itu tidak menyiksaku.

“Karim,” suara Kiai Husein terdengar seperti keluhan. “Permohonan Azazil begitu berat, ini persoalan paling berat yang pernah saya hadapi.”

Raut muka Azazil begitu kecewa manakala Kiai Husein terus menggeleng, tak mampu berkata-kata setelah mendengar seluruh gundah gulana, kesedihan, dan keinginan yang disampaikan Azazil.

“Kiai, engkau adalah harapan terakhir saya setelah ribuan imam besar di seluruh penjuru bumi tak mampu menunjukkan jalan padaku untuk menggapai keinginanku bertobat. Saya sungguh-sungguh mengungkapkan keinginan ini dari perasaan paling dalam yang saya miliki. Jangan biarkan saya tersiksa menanggung semua ini, Kiai,” suara Azazil meratap dengan kesedihan yang begitu menyayat-nyayat perasaan Kiai Husein.

Kiai Husein memahami betul perasaan Azazil. Perasaan seseorang yang dikorbankan demi kemuliaan Adam. Tetapi bagaimanakah kiranya sejarah dunia ini bila Tuhan mengabulkan pertobatan Azazil?  Tentu ini akan membatalkan ayat-ayat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan Tuhan? Isi kitab-kitab suci ayat-ayat harus dikoreksi besar-besaran. Kiai Husein tercenung beberapa lama. Tak pernah terpikir olehnya betapa ia akan menghadapi persoalan serumit ini.

“Bagaimana, Kiai? Dapatkah kau membantu mengajukan pertobatan saya kepada Tuhan? Saya sungguh menyesal telah membangkangi perintah Tuhan memberi hormat kepada Adam. Waktu itu saya begitu dikuasai kesombongan, saya tak mampu berpikir panjang. Hingga saya terjebak dalam perjanjian yang sungguh merugikan saya dan seluruh keturunan saya.”

“Saya sungguh-sungguh menyesali kebodohan saya di masa lalu. Dan kini saya ingin menebusnya, bagaimanapun caranya. Saya rela diperlakukan apa saja asalkan saya diperkenankan bertobat, dan mencabut kembali semua perjanjian itu, Kiai.”

“Kiai, imam-imam besar di seantero bumi yang telah kutemui semuanya menganjurkan aku datang kepadamu mengadukan persoalan ini. Selama ini engkau dikenal sebagai orang bijaksana, orang yang selalu berpikir jauh ke depan. Mampu memahami keadaan paling rumit sekalipun.”

Kiai Husein masih tercenung, tak mampu berkata-kata. Sempat terpikir olehnya, tidakkah kata-kata Azazil mulai menjebaknya. Bukankah menurut ayat-ayat dalam semua kitab suci Azazil memang licik dan pintar menjebak manusia? Tapi pikiran itu ia enyahkan jauh-jauh. Kiai Husein merasa kesungguhan dalam semua tutur kata dan sikap tubuh Azazil.            

Dengan nada lembut dan hati-hati, Kiai Husein bertanya apa melatarbelakangi kesadaran Azazil hingga mendadak ingin bertobat. Tentulah ada peristiwa besar yang membalikkan sikap Azazil hingga ia sampai pada keinginan bertobat.

“Tidak ada peristiwa besar apa pun yang membuat saya ingin bertobat. Keinginan ini sesungguhnya sudah muncul sejak dulu, manakala Tuhan mengutukku, saat itu juga muncul penyesalan saya. Namun, sebelum saya sempat mengungkapkan, Tuhan telanjur mengajukan perjanjian yang mau tidak mau harus saya sepakati. Posisi tawar saya lemah. Waktu itu perasaan saya tertimbun oleh kekesalan.

Ini adalah kebodohan saya. Sekarang saya ingin menebusnya, Kiai. Dulu ketika Tuhan mencetuskan perjanjian denganku, sehingga aku memproklamasikan diri sebagai musuh manusia sejatinya aku tidak sepenuhnya sadar. Sudahlah, semua telah berlalu dan tak mungkin kita putar ulang. Mungkin ini sudah garis takdir. Dan sekarang saya akan mengubah garis takdir itu. Bukankah tidak ada kata terlambat untuk bertobat, Kiai?”

Kiai merasa bahwa Azazil belum mengungkap seluruhnya. Namun, ia tak ingin mengejarnya. Biarlah ia menunggu Azazil mengungkapkannya sendiri. Kalau pun Azazil tetap menyimpan sebagian penyebab lainnya, Kiai Husein merasa tidak perlu memaksanya, karena toh apa pun alasan di balik keinginan Azazil, Kiai Husein merasa tidak mampu menolongnya. Sekarang persoalannya bagaimana ia menyampaikannya kepada Azazil yang tampak begitu bersedih. Suatu kesedihan yang mahadalam. Kiai Husein mendadak merasa begitu bodoh dan zalim lantaran tidak mampu menolong mahluk Tuhan yang hendak bertobat.

“Menyesal sekali, Azazil, saya tidak bisa membantumu. Satu-satunya jalan kamu harus menghadap langsung kepada Tuhan.” Begitulah Kiai Husein akhirnya dengan suara tersendat mengatakannya pada Azazil yang bersimpuh dengan air mata berurai. Mendengar jawaban Kiai Husein, secepat kilat Azazil berkelebat meninggalkannya...     

***

RUPANYA Azazil berkelebat terbang ke langit, mengikuti saran Kiai Husein, ia berniat langsung menghadap Tuhan di Kerajaan Surga. Sepanjang perjalanan menuju Kerajaan Surga itu air mata Azazil berderai-derai. Butiran air mata penyesalan itu seperti kilauan permata yang berlesatan di keluasan semesta. Azazil merasa begitu kecewa kepada Kiai Husein dan semua imam besar yang tak satu pun bersedia membantunya bertobat. Terbayang kembali peristiwa menyakitkan yang membuatnya jadi pecundang. Sudah berapa ratus ribu tahunkah semua itu berlalu?

Waktu itu Azazil bahagia sekali Tuhan menciptakan makhluk baru yang dibuat dari tanah. Makhluk bernama manusia itu diciptakan begitu sempurna. Azazil bahkan sempat mengagumi keindahan makhluk baru itu. Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Kabar yang berhembus tentang bakal ditasbihkannya Adam sebagai makhluk terbaik membuat Azazil resah.

Keresahannya makin menjadi manakala Tuhan memanggil seluruh makhluk ciptaannya, termasuk Azazil untuk berkumpul. Hatinya betul-betul rontok, amarahnya meledak manakala Tuhan benar-benar mengumumkan kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya untuk menundukkan diri di hadapan manusia.      

Azazil tersentak dari lamunannya ketika tubuhnya hampir menyenggol meteor. Jarak ke Kerajaan Surga tampaknya tidak jauh lagi. Namun, manakala ia sampai di pintu gerbang langkahnya segera dicegat seorang malaikat. Setelah terjadi perdebatan yang cukup alot, akhirnya malaikat tanpa sayap itu menyilakan Azazil bertemu Tuhan.

“Terserah padamulah, silakan menghadap sendiri,” seru malaikat, kesal, suatu sifat yang semestinya tidak dimiliki makhluk berbahan dasar cahaya itu. Azazil akhirnya berhadap-hadapan dengan Tuhan. Di hadapan pencipta alam semesta itu, Azazil mengungkapkan keinginan yang sudah ia ceritakan kepada Kiai Husein dan imam besar lainnya. Di hadapan Tuhan, Azazil mengungkapkan alasan lain yang tidak diutarakan di depan Kiai Husein.

“Tugas hamba menggoda manusia sudah selesai. Sekarang, tanpa dibujuk pun, manusia sudah punya inisiatif untuk berlaku jahat. Bahkan kejahatan mereka melampaui apa yang hamba sarankan. Hamba kini jadi pengangguran ya, Tuhan. Kalau Engkau tidak mengabulkan permohonan tobat hamba, berilah hamba tugas baru, menggoda anak Adam untuk berbuat baik dan kembali ke jalan yang lurus.”  

Para malaikat yang menguping permohonan Azazil, saling celingukan, garuk-garuk kepala. Salah satu di antara mereka tiba-tiba angkat bicara.

“Tidak mungkin! Ini tidak boleh terjadi. Kami tidak sudi bertukar peran denganmu, Azazil!”

Azazil menoleh, menatap malaikat yang kehadirannya sungguh mengejutkannya. Namun, Azazil segera menenangkan malaikat yang tampaknya khawatir tugasnya diambil alih.

“Sabar, kita akan bersama-sama mengajak manusia ke jalan yang benar. Dengan kerja sama yang baik, pasti dengan mudah manusia dapat kita kembalikan ke jalan yang benar,” kata Azazil, bijak sekali.

“Kalau seluruh manusia kembali ke jalan yang lurus, lalu bagaimana drama di bumi akan dilangsungkan?” malaikat, terus mengejar.

“Inilah tantangan buat Tuhan, bagaimana Ia dapat menciptakan drama dengan tokoh-tokohnya yang lurus semua.”

“Tidak bisa, takdirmu tidak dapat dikoreksi. Kau tetap menjadi martir yang terkutuk,” kata malaikat.

Seketika halilintar menggelegar. Kegelapan menutup semua pandangan seperti layar hitam menutup panggung pertunjukan. n

Gondangdia, September 2013


Lampung Post, Minggu, 2 Maret 2014