Sunday, February 23, 2014

Kembang Api di Stasiun Kereta

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko



Di kota yang tidak pernah mengubur masa lalu,
kami tidak memerlukan panggung.
Hanya satu-dua cahaya lampion, percik kembang api, lalu, malam.


MALAM ini malam Bonfire di Lancaster. Rencananya, kembang api akan diluncurkan dari menara-menara kastil. Rencananya pula, Lati akan ikut menyaksikan pesta kembang api itu bersama teman-temannya dari lapangan Giant-Axe. Tapi malam kemarin, Lati menerima pesan itu. Dan pesan itu, tentu saja, mengubah rencananya.

Lati tiba di depan pintu stasiun lima menit sebelum waktu kedatangan kereta yang ia tunggu. Ia mengibaskan air dari payungnya, melipatnya rapi dan mengalungkan tali payung ke lengannya. Di layar kedatangan yang ditempel di dinding di atas mesin tiket, ia membaca: Arrivals Time: 18.13, Origin: Manchester Airport, Plat: 3, Expected: On time.

Lati melangkah menuju pintu bertuliskan ‘To the Trains’, mengikuti arah tanda panah ke peron 3, melalui lorong jembatan yang berada di atas rel kereta dan kemudian menuruni tangga. //Keep Left.//

Lati berdiri mematung di tepi peron. Ia merasa gugup. Pandangannya berpindah-pindah dari papan pengumuman elektrik yang digantung di langit-langit peron ke pekat malam, ke arah kedatangan kereta. Dua menit lagi. Lati merasai pipinya memanas. Ia merapikan kerudung putih yang menutupi kepalanya. Kereta akan tiba kapan saja. Mungkin sekarang. Dan Steen akan melihatnya berdiri di sini, menunggunya. Ah, sungguh memalukan, pikir Lati. Ia bergegas pergi, menuju Passenger Lounge and Buffet, dan lekas menutup pintu kaca di belakangnya. Kereta belum datang. Lati menghembuskan napas lega. Ia tidak ingin Steen berpikir kalau ia tidak sabar untuk bertemu dengannya. Nanti saja, pikir Lati, ketika kereta sudah datang dan penumpang sudah turun, ia akan keluar dari ruang ini. Ia ingin melihat wajah Steen mencari-cari dirinya dan bukan sebaliknya.

Apakah Steen tetap sama? Apakah rambut cokelatnya yang halus dan bergelombang itu masih gondrong, hingga menyentuh bahunya? Masihkah ia memandang dengan sorot mata yang lembut dan berbicara tenang, dengan menyuarakan huruf “r” seperti mengeram dan menyisipkan puluhan kata “ja ... ja .. ja” di setiap percakapan?

Tiga tahun, dua bulan, dan satu hari. Selama itu mereka tak jumpa. Terakhir kali, mereka berpisah di stasiun kereta Maastricht Centraal. Saat itu, ia yang berada di kereta dan Steen berdiri mematung di peron. Saat itu, kereta bergerak pergi dan bukan datang untuk berhenti. Saat itu ia meninggalkan Steen dan bukan ingin menemuinya kembali, seperti saat ini. Tapi, bukankah ia masih memiliki waktu untuk pergi? Sebelum kereta tiba dan Steen turun, lalu menemukan ia berdiri di sini?

Di luar ruang tunggu, deru kereta terdengar mendekat. Ujung lokomotif yang serupa peluru bergerak cepat menarik gerbong-gerbong merah-perak. Kereta telah tiba. Apakah sebaiknya ia bersembunyi? Ia masih memiliki waktu untuk keluar dari pintu samping ruang tunggu. Ia masih bisa pergi menuju lapangan Giant-Axe, menemui teman-temannya dan  melihat pesta kembang api, seperti yang telah ia rencanakan sebelumnya.

Lati merasakan debar jantungnya menguat, napasnya sesak. Sudah sejauh ini ia berjalan, sudah selama ini ia menjauh dari Steen. Tapi mengapa sekarang ia berada di stasiun ini, menunggu Steen? Terlebih lagi, mengapa ia kembali ke kota kecil ini? Kota tempat ia pertama kali bertemu Steen, mengenalnya dan lalu, tanpa ia duga, jatuh cinta padanya. Sedemikian banyak kota di dunia ini untuk dijadikan tempat belajar, mengapa ia memilih kembali ke Lancaster? Mengapa memilih melanjutkan studinya di kota tua yang sunyi, di kota yang tiga tahun lalu, ia menjalani kuliah masternya bersama-sama Steen?

Beberapa orang keluar dari ruang tunggu. Sebagian dari mereka menaiki kereta, sementara yang lain menemui orang-orang yang telah mereka nantikan kedatangannya. Mereka berpelukan, tertawa, dan pergi bersama-sama menuju pintu keluar. Penumpang yang ramai turun terlihat menyeret koper-koper mereka, menenteng bawaan atau melenggang keluar stasiun. Peluit berbunyi nyaring, dan Lati tetap berdiri di ruang tunggu, di dekat pintu kaca, ragu untuk membukanya.

Tiga tahun, dua bulan, dan satu hari. Siapkah ia untuk menemui Steen lagi?

Kereta menderu pergi. Hujan telah reda. Hampir semua penumpang yang turun telah meninggalkan stasiun. Hanya satu-dua orang masih tersisa di peron, menghubungi penjemput yang belum datang melalui telepon genggam mereka.

"Where art thou?”

Tapi Lati tidak melihat Steen. Lati berdiri bingung di tepi peron. Steen tidak ada. Ia tidak datang. Apakah pesan yang ia dapat dari Maaike sekadar lelucon belaka? Maaike tidak mungkin berbuat demikian. Maaike adalah sahabat baiknya, dan Maaike telah lebih dahulu bersahabat dengan Steen.

“Steen tersiksa olehmu, Lati. Betapa teganya kamu. Tidak pernah mau mengangkat Skypenya, teleponnya, tidak pernah membalas surelnya, bahkan menghapusnya dari Facebook-mu. Dia bilang, ia merindukan kamu.”

Apakah Maaike tahu, betapa tersiksanya dirinya sendiri melakukan semua itu?

Lati tersenyum pahit. Dan ternyata Steen tidak ada di sini. Steen tidak datang. Tidak seperti ia, dulu. Ia yang memutuskan untuk menyelesaikan semuanya, berhadapan muka dan berbicara jujur. Ia yang ingin memastikan akhir kisah mereka, sebelum kepulangannya ke Tanah Air. Saat itu, Steen telah lebih dulu menyelesaikan tugas akhirnya di Lancaster University dan kembali ke Maastricht. Lati memutuskan untuk menyusul Steen. Ia telah berangkat dari stasiun ini, menuju Manchester Airport, terbang ke Schipol lalu mengendara kereta ke ujung selatan Belanda, ke Maastricht, untuk menemui Steen dan bertanya padanya, “Apakah ada kemungkinan, sekecil apa pun itu, untuk kamu percaya?” Tapi nyatanya, tidak ada ruang untuk mereka bisa bersama. Tidak ada. Dan mereka menangis malam itu, sampai kering air mata dan serak suara.

Apa setelah semua pintu tertutup sedemikian rupa, sekarang Steen mau menempuh perjalanan yang telah ia lalui? Maukah Steen bertolak dari Maastricht Centraal menuju Schipol, lalu terbang ke Manchester Airport dan kemudian mengendara kereta ke ujung utara Inggris, ke Lancaster, untuk menemuinya?

Lati mengetuk-ketuk kepalanya beberapa kali. Betapa bodohnya aku, pikirnya. Tentu Steen tidak akan datang. Untuk apa? Bukankah semua sudah usai—tiga tahun, dua bulan, dan satu hari yang lalu? Tetapi, jika benar semua telah usai, lalu mengapa ia sekarang menangis? Mengapa air mata bergulir tanpa mampu ia tahan, dan mengapa hatinya lara, mencari-cari dia?

“Where art thou?”

Kalaupun ini sebuah lelucon, ini sungguh lelucon yang tidak lucu, Lati mendengus. Ia akan marah besar kepada Maaike. Betapa teganya! Lati mengusap air matanya. Ia menarik napas dalam, mengeluarkan teleponnya dan membuka surat elektronik yang malam tadi ia terima dari Maaike.

Steen akan ke Lancaster besok. Ia akan tiba pukul 18.13 di stasiun kereta. Dia bilang, dia sangat berharap kamu mau datang menemuinya.

Sungguh tidak lucu, batin Lati. Betapa tega Maaike mempermainkannya.

Di saat Lati menduga-duga seperti itu, pengumuman dari pengeras suara terdengar memecah sepi: kereta dari Manchester Airport dengan tujuan Glasgow Central tertahan di Preston karena kerusakan mesin. Petugas yang berbicara di pengeras suara memohon maaf atas ketidaknyaman yang terjadi. Lati gegas mendongak ke arah layar keberangkatan. Time: 18.14, Destination: Glasgow Central, Expected: 18.52.

Ternyata kereta yang tadi datang bukanlah kereta yang ia tunggu. Kereta yang membawa Steen akan tiba dua puluh menit lagi.

Lati kembali masuk ke ruang tunggu, menuju bufet dan memesan satu cangkir teh. Ia mengambil dua batang cokelat yang diletak di samping tempat majalah. Ketika Lati kembali duduk di ruang tunggu, dari layar kedatangan ia tahu bahwa waktu penantiannya kembali memanjang: Departures Time: 18.14, Destination: Glasgow Central, Plat: 3, Expected: 19.14. Kereta akan terlambat selama satu jam. Tidak biasanya hal seperti ini terjadi, pikir Lati. Apakah ini sebuah pertanda? Apa Tuhan memberi kesempatan padanya untuk pergi dan membatalkan pertemuannya dengan Steen?

Lati menghabiskan teh di cangkir kertas yang sedari tadi ia genggam dengan kedua tangannya. Ia menuju bufet dan membuang cangkir ke tempat sampah. Lebih baik ia pergi saat ini juga, tekadnya. Untuk apa bertemu lagi?

Kisah mereka hanyalah sebuah kesalahan.

Lati membuka pintu ruang tunggu, menutupnya perlahan-lahan dan kembali berdiri mematung di peron, di bawah papan pengumuman elektrik. Di belakangnya, pintu menuju keluar seolah menunggu. Way Out. Itukah jalan keluar yang terbaik baginya? Namun, mengapa kakinya terasa berat untuk melangkah menuju pintu itu? Mengapa hatinya terus mengharap keajaiban terjadi untuk Steen dan ia?

Alih-alih meninggalkan stasiun, Lati malah melangkah ke sudut jauh peron 3, menuju Purple Zone, tempat quiet coach biasanya berhenti. Lati teringat, Steen selalu memilih duduk di quiet coach, selalu begitu di setiap perjalanan mereka. Berapa banyak sudut kota dan situs bersejarah di Inggris yang telah mereka jelajahi berdua? Berapa banyak kanal, danau dan pegunungan, gedung-gedung dan istana? Selama ini Lati tidak pernah menghitung-hitung, dan sekarang, kenangan-kenangan itu seolah datang bersamaan, membanjiri benaknya, menyesaki hatinya.

Di bangku besi merah-perak, di sudut Purple Zone itu, Lati duduk mematung. Kerumunan orang berduyun-duyun melaluinya, beberapa dari mereka membawa lampion kertas dan tongkat bersinar. Anak-anak mengenakan bando, gelang, dan kalung bercahaya warna-warni, berjalan setengah meloncat dan terlihat penuh semangat. Mereka keluar dari stasiun melalui pagar besi, menuju jalan setapak ke arah lapangan Giant-Axe. Lati mendengar sayup genderang ditabuh.

Di depannya, menara kastil mengintip dari celah gelap dedaunan Birch yang berayun-ayun diusik angin. Lati termenung, berapa banyak pertemuan dan perpisahaan yang telah disaksikan oleh menara itu? Bagi menara yang dibangun di abad pertengahan, dan stasiun yang berdiri sejak tahun 1900 ini, tentu cerita cinta seperti yang ia alami bukanlah hal yang baru. Tentu sudah ribuan orang berdiri di peron ini dan mengalami hal yang sama dengannya, sejak lebih seratus tahun yang lalu. Lati memandang ke arah menara, kemudian ke sekeliling peron. Lati tersenyum, dan entah mengapa, ia merasa pipinya menghangat.

Dari balik menara, kembang api diluncurkan, jejak asapnya membelah pekat malam, membubung tinggi dan kemudian memecah-mecah, menciptakan bunga-bunga warna-warni di langit Lancaster. Layar pengumuman elektrik yang digantung di langit-langit peron mengedip dan menampakkan tulisan: Time: 18.14, Destination: Glasgow Central, Expected: Delayed.

Melalui pengeras suara, di sela-sela ledakan kembang api, petugas stasiun kembali menyampaikan permohonan maaf. n

Lancaster, November 2013


Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014

Sunday, February 16, 2014

Ribuan Kunang-Kunang

Cerpen Amalia Achmad


04.04

BRAK!

Ribuan kunang-kunang mengangkat tubuhku, Laura. Kunang-kunang yang persis pernah kita saksikan di hutan dengan langit paling bersih dan udara paling segar itu. Pelan-pelan mereka mengeluarkan aku dari rongsokan mobil yang kutumpangi. Tidak kurasakan sakit. Tidak ada tulang-tulang remuk yang memaksa keluar dari daging. Tidak ada luka-luka yang mengalirkan darah. Tidak ada batok kepala yang hancur. Tidak ada, Laura. Mereka menghapusnya, aku kembali sempurna.

Aku terbang, Laura. Tinggi, tinggi, semakin tinggi. Kusaksikan kota tempat tinggal kita mengecil, mengecil, semakin mengecil, hingga hilang sama sekali.

Kutinggalkan kesedihan, kecemasan, dan kemarahan jauh-jauh. Hanya ada perasaan hangat mengalir pelan-pelan, seperti saat kau selimuti aku yang tidur sembarangan, seperti setiap kau peluk aku dari belakang, atau ketika kau siapkan sarapan setangkup roti panggang. Seperti bahagia-bahagia yang kukumpulkan setiap hari darimu, Laura. Jika ada hal yang aku sesalkan, bahwa aku mengalaminya sendiri, bahwa kau tak bersamaku saat ini. Semakin jauh, ribuan kunang-kunang membawaku pergi.


02.47

“Laura! Laura? Laura?!”

Aku mencarimu ke tiap sudut apartemen kecil kita. Kau tak ada di dapur atau kamar mandi. Ruang tengah dan kamar tidur lengang tak berpenghuni. Kau di mana, Laura? Kutemukan asbak dengan puntung-puntung rokok di tepian jendela yang terbuka. Sayup suara bising di kejauhan masuk ke dalam. Kau merokok lagi, Laura? Kau tentu sedang di puncak-puncaknya resah. Salah satu puntung rokok ternyata masih menyala. Kukira belum terlalu jauh kau berjalan.

Tepat ketika pintu lift menyala, dari kaca-kaca pintu apartemen, aku melihatmu. Kau berdiri di tepi jalan, sebuah koper besar di sebelahmu.

“Laura! Laura!”

Kau menoleh, Laura. Waktu bergerak melambat, begitu lambat. Rambutmu yang terayun jatuh helai demi helai, kedipan matamu yang berat satu demi satu, dan caramu memandangku seakan berkata “Mengapa?”  Kau angkat tanganmu, dan sebelum sempat aku mendekat, sebuah taksi sudah lebih dulu berhenti di depanmu. Aku terlambat.

Sebuah pesan singkat masuk ke dalam telepon genggamku. Aku pergi, menginap di rumah teman. Jangan khawatir.
Aku khawatir, Laura. Aku khawatir setengah mati. Dengan kalut yang menghantam-hantam dada, aku pacu mobil mengejar taksi yang kau tumpangi. Tunggu, tunggu aku, Laura. Aku ingin meminta maaf.


KEMARIN

Kau di mana, Danny? Tolong aku. Pulanglah, Danny.
Lagi-lagi pesan darimu, Laura. Aku sedang tak ada waktu. Sistem sarafku sedang tidak mau bekerja sama. Memegang telepon genggam yang ringan saja, tanganku bergetar hebat. Jantungku berdebar-debar, dadaku sesak dan nyeri.

Tolong, pulang Danny. Aku takut, Danny. Kurasa ada seseorang yang berdiri di luar, memperhatikan apartemen kita.
Itu hanya khayalan, Laura. Kau tentu tahu.

Seseorang dalam lingkaran menyodorkan lintingan kepadaku. Ruangan pengap dan bau menyengat menguar dari daun ganja yang dibakar.

“Buddha stick, man… Neat…“
Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang teman lama, dengan mata kuyu dan sesungging senyum aneh. Lalu kulihat ribuan kunang-kunang keluar dari sepasang matanya.

Kau ingat, kan, Laura? Suatu hari kita pernah berkemah di sebuah hutan, mengikuti anjuran terapis. Katanya kita butuh udara segar. Pelan-pelan pohon besar yang berdiri tepat di sebelah tenda kita, mengeluarkan cahaya. Mula-mula hanya satu-dua, hingga tiba-tiba titik-titik cahaya semakin banyak, semakin ramai. Natal datang lebih cepat, pohon cemara berhias kelap-kelip lampu, katamu. Itu kunang-kunang, Laura, jawabku. Dan kita terduduk diam dalam takjub.

Aku melihat mereka lagi, Laura. Ribuan kunang-kunang memenuhi kepalaku.


HARI INI

Danny, kupikir aku dikejar-kejar mata-mata pemerintah. Mereka berhasil menemukan apartemen kita. Kau tak bisa kuhubungi. Bagaimana jika mereka membunuhku? Aku takut, Danny.

Berkas-berkas matahari yang menerobos lewat tirai jendela menimpa wajahku. Sudah siang dan semua orang masih tergeletak tak sadarkan diri. Kau mengirimkan puluhan pesan singkat dan telepon yang terjawab, Laura. Oh, Laura, oh, Laura! Kau merepotkan sekali. Kau tentu tahu semua plot tentang mata-mata pemerintah, dokumen rahasia, dan pembunuhan berencana, itu semua hanya ada di otakmu.


13.07

“Danny?”

Suaramu di ujung telepon berbisik. Kesadaranku setengah terkumpul. Mulut dan mataku terasa kering. Dadaku kembali nyeri.

“Danny, aku harus pergi. Mereka membuntuti aku, Danny. Jangan khawatir, aku tidak akan memberikan namamu jika sampai aku tertangkap. Selamat tinggal, Danny.”

Laura, kaukah itu?

Samar aku mencoba mengingat-ingat. Aku terbangun di atas sofa tapi warnanya bukan cokelat tua. Ini bukan sofa yang ada di ruang tengah apartemen kecil kita. Undangan dari seorang teman lama. Ia bilang ada barang bagus yang merugilah aku bila tak mencoba.

Pertengkaran demi pertengkaran kita, Laura. Ya, aku ingat juga. Serangan panikmu mengintai, dan bisa datang kapan saja. Aku tidak siap, Laura. Kau ciptakan delusi yang tak bisa kupahami. Berhari-hari kita berkutat dalam labirin yang sama. Kau tak mau menemui psikiatri karena dalam pikiranmu ia berkomplot dengan alien untuk mencuri otakmu yang berharga. Kau curiga kepada siapa saja, bahkan kepada tukang susu langganan kita. Suatu ketika, seperti biasa ia menaruh dua botol susu di depan pintu, kau menuduhnya sedang menanam kamera pengintai lalu mengejarnya dengan tongkat kasti terayun-ayun hingga ke jalan raya. Sudah lama sejak kau keluar dari apartemen, kerjamu hanya duduk termenung di depan jendela. Laura, aku khawatir tetapi aku manusia biasa juga.

Laura, aku bisa gila. 

Lalu bujukan datang dalam rupa teman lama. Ya, dia pemasok heroinku dulu, oh, bukan itu saja, juga meth dan MDMA. Sekali-kali, aku ingin bebas, aku ingin terbang, tinggi, tinggi tanpa kau, Laura.

Sisa-sisa bau ganja. Oh, Laura, aku ingkar dari perjanjian kita.


03.34

Mataku masih bisa menangkap ekor taksi yang membawamu pergi, Laura. Membayangkanmu sendirian di dalam sana tidak bisa tidak membawa kalut ke pikiranku. Maafkan aku, Laura.
Kita bertemu kurang lebih enam tahun lalu. Duduk berseberangan pada salah satu kursi-kursi yang disusun melingkar, diam-diam saling mencuri pandang. Di dada sebelah kananmu tersemat label nama bertuliskan “Hi, my name is Laura, and I am a drug addict” serupa milikku.

Rambutmu yang pendek berantakan, sementara wajahmu seperti belum dicuci berhari-hari. Kau hanya mengenakan kaus berwarna putih yang kusam dan celana longgar. Lingkaran hitam membingkai kedua matamu yang sering tampak kosong. Seakan-akan kau tak berada di sana, dan tubuhmu hanya daging tanpa nyawa. Tapi ketika kau tersenyum, Laura. Saat itu kau benar-benar tersenyum. Meski bukan untukku, kurasakan hangat menjalar pelan-pelan ke seluruh tubuh, perasaan yang sudah lama kulupa.

Pada pertemuan pertama itu, aku menemukan pengganti candu. Menjumpai alasan untuk kembali besok dan besoknya lagi. Alasan itu adalah kau, Laura.

Maafkan aku, Laura. Lebih cepat, lebih cepat lagi. Harus kupacu mobil ini lebih cepat lagi. Entah apa yang akan kau lakukan. Benar-benar menginap di rumah teman, atau melompat dari pinggir jembatan layang. Semuanya mungkin. Dan aku tak mau kehilangan kesempatan. Lebih cepat, lebih cepat lagi.

BRAK!

Ribuan kunang-kunang mengangkat tubuhku. Aku mendapatkan apa yang aku mau; terbang tinggi tanpa kau, Laura.  Tetapi anehnya, aku merasa sedih sekali.

04.05


Lampung Post, Minggu, 16 Februari 2014

Sunday, February 9, 2014

Sang Bocah Perempuan dan Malaikat Buta

Cerpen Dina Amalia Susamto

                    
SINAR biru melesat saat malaikat buta keluar jendela kafe. Hanya seorang bocah perempuan yang melihatnya.                  

Sejak beberapa jam yang lalu sang bocah duduk saja di beranda kafe dengan pandangan takjub ke arah panggung kecil di pojok  dalam kafe. Ia melihat melalui jendela kaca yang sangat transparan sambil tangannya tak henti-henti menghitung tasbih menyebut nama-nama Tuhan di mana pun ia berada. Ia diajarkan ayahnya sejak kanak-kanak, kalimat-kalimat doa yang panjang, nama-nama Tuhan, dan selawat nabi-nabi dan rasul agar dapat masuk salah satu surga.

Tapi sejak ayahnya tiada, cita-cita hidupnya hanya ingin menyusul ayahnya. Dan ia sangat percaya ayah berada di surga Eden yang tamannya indah, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dengan mata air yang sangat jernih, penuh buah-buah apa pun, dan pelayan-pelayan cantik bernama bidadari.

“Jika aku bisa menyusul ayah? Apakah akan cemburu pada bidadari-bidadari?”

“Hussh!! Teriak ibu warung yang pernah menemukannya menangis tanpa orang dewasa satu pun yang bertanggung jawab padanya di geladak kapal Pelabuhan Bakauheni. Saat itu bocah perempuan itu berumur 4 tahun dan mengaku bernama Binar.

Suatu ketika, ia melihat ada yang tidak biasa, saat sedang berjalan pulang ke rumah ibu angkatnya yang terletak persis di belakang tembok kafe, setelah ia menyelesaikan rutinitas pekerjaannya menjaga warung. Malam Sabtu di atas pukul 22.00, sesosok tubuh dengan cahaya kebiruan bergerak masuk dan keluar pada pukul 03.00 dini hari, melewati jendela. Seperti mimpi dalam tidur sang bocah perempuan, tapi ia yakin tidak bermimpi, karena sedang terjaga di warung rokok ibu angkatnya. Cahaya kebiruan itu selalu melewati jendela. Kemudian ia duduk di kursi yang disediakan di atas panggung kecil, sambil memangku gitar yang sebelumnya juga sudah disediakan. Penjaga kafe ternyata tak pernah tahu, bahkan tak seorang pengunjung pun tahu, bahwa ia keluar-masuk melalui jendela.

Semua pengunjung terkagum padanya, pada suara baritonnya, terlebih pada jemari-jemarinya yang lentik memetik gitar, dan kemampuannya bernyanyi sesuai suasana hati pengunjung. Ia laki-laki tampan, paruh baya, dengan gurat-gurat di dahinya yang tidak terlalu lebar, tapi juga tidak bisa dikatakan sempit. Gurat itu bukan jenis penuaan, lebih menarik karena mempunyai alur kisah tersendiri. Dan dari semua pengunjung, tak satu pun yang mengetahui, bahwa ia malaikat buta yang datang dari negeri langit bernama surga Eden, kecuali Binar yang senantiasa memikirkan tentang surge Eden.

Binar hanya menikmati resital gitar malaikat buta di beranda kafe. Ia tak mau memasukinya. Tak akan pernah mau. Ayahnya pernah berpesan, jangan pernah memasuki tempat-tempat seperti itu, apalagi buat anak perempuan seakan banyak kejahatan di sana seperti tipuan-tipuan iblis buat anak perempuan dengan cara licik dan halus. Bocah itu semakin teringat ayahnya apalagi pernah satu lagu kesukaan ayahnya terselip, dinyanyikan dengan sangat baik oleh malaikat buta. Ia sangat merasa bahagia. Mungkin iblis memang akan menipu bocah perempuan itu, karena ingatannya pada ayahnya.

“Kapan aku bisa bicara pada malaikat buta?” tanyanya pada ibu warung. 

“Ibu, saya melihat malaikat turun bersayap biru bawa pesan dari ayahku.”

“Malaikat, turun, bersayap biru?” Ibu warung geleng-geleng kepala.

Anak yang ditemukannya di geladak kapal ini sudah lama menurutnya agak kurang waras. Perkataannya sering aneh, sejak ia sering teringat-ingat ayahnya.

Sebenarnya bocah perempuan itu merasa tidak tahu apakah surga, kecuali janji-janji makanan dan minuman enak, serta sungai yang jernih, yang sungguh segar bila berenang di dalamnya. Justru itu ia ingin bicara pada malaikat buta, ia ingin tahu segala tentang surga Eden; dan barangkali malaikat buta itu membawa pesan dari ayahnya.

Bocah perempuan itu memasuki kafe melewati pintu yang biasa dilewati para pengunjung masuk. Tak ada satu pun pengunjung yang memperhatikannya. Begitu pun pemilik dan penjaga kafe. Mungkin mereka tahu, tetapi mereka menganggap, mempertanyakan bocah perempuan dekil itu, sama saja membiarkan kejorokan bersemayam di kepala.

Ia mencium harum aroma kopi. Mungkinkah ini harum Taman Eden? Ia juga sangat hafal harum bunga kopi, saat musim berkembang. Dulu. Di tanah ayahnya berladang. Rumah ayah yang terakhir juga disemayamkan di ladang, bertaburan bunga kopi. Tapi kini ladang itu sudah menjadi milik orang lain. Bocah perempuan  tidak tahu, ladang dan makam ayahnya telah ditumbuhi pohon sawit.

Ia duduk di lantai depan panggung. Tepat di hadapan malaikat buta yang sedang bernyanyi.

“Hai, malaikat buta, apa kau utusan langit? Kau mengembara sambil bawa gitar dan pesan-pesan dari surga dari ayah?” Tak ada yang menjawab pertanyaan itu, bahkan malaikat buta. Binar tidak peduli, masih duduk di sana, menunggu jawaban. Ia setia menunggu, sama sekali tak merasa lelah tanpa sapaan, tanpa perhatian malaikat buta yang sangat dipujanya. Bocah perempuan sudah merasakan, betapa bahagia hanya duduk di hadapan malaikat buta, mendengar suaranya dari jarak dekat, dan melihat jemarinya yang lentik, seakan segala keindahan Taman Eden telah hadir di kafe itu.

Ketika malaikat buta telah selesai dengan lagu terakhirnya, bocah perempuan itu berdiri, mengulurkan tangan kecilnya pada jemari lentik yang kini bebas. Tetapi malaikat buta melenggang turun panggung dan begitu cepat melesat dengan bayangan biru, keluar melalui jendela seperti biasanya.

Binar mengejarnya. Tapi di luar ia tidak menemukan siapa-siapa. Tak sekejap sayap yang terbang di langit menjelang pagi dapat tertangkap oleh sepasang matanya. Bocah perempuan itu masih berdiri di belakang pagar, menatap langit. Ada satpam di dekatnya, ia merasa satpam itu melihatnya, tapi ternyata sama sekali satpam itu pun tak menyapanya.
Bocah perempuan masih berdiri di halaman kafe. Ia mengambil tasbihnya yang sejenak tadi terlupa ketika ia duduk di panggung di hadapan malaikat buta. Ditatapnya lekat-lekat tasbih itu, yang didapatnya ketika melangsungkan yasinan 100 hari kepergian ayah. Ia menggerakkan tangannya sekuat tenaga, melempar tasbih itu ke taman kafe. Terdengar bunyi “plung” yang memecah keheningan sebelum azan subuh. Tampaknya tasbih itu jatuh tepat di kolam.

Betapa bodohnya aku memikirkan surga Eden, pikirnya. Apakah tidak mungkin ayah bohong. Tapi bukankah ayah berkata sesuai dengan kitab suci? Dan ia juga pernah membacanya sendiri. Ayah, entah ke mana ayah pergi setelah tiada. Ke mana malaikat buta itu, yang mungkin juga hanya seorang pengamen pengembara yang sedang menghibur dirinya sendiri. Tak ada pesan dari surga Eden. Mungkin sebenarnya tak ada pertemuan dengan ayah nanti. Lalu bagaimana, ia rindu pada ayahnya? Juga malaikat buta, sang pengembara itu yang telah membuat hatinya begitu bahagia seperti bertemu ayahnya. Kini keduanya tak akan ditemukannya lagi.

Sejak itu, Binar tak pernah lagi datang ke kafe. Ia pergi dari ibu angkatnya, menggelandang, bernyanyi, menjajakan lagu-lagu yang pernah ia dengar dari suara baritone yang merdu milik malaikat buta. Pada awalnya masih saja langkahnya pada setiap malam, melewati kafe itu, selalu menoleh beberapa saat, dan menunduk berkaca-kaca. Tapi kemudian, ia memilih pergi tertelan malam, tak pernah kembali. 

Kelak kau melihatnya menjadi salah satu bunga di jalanan, yang selalu berlari-lari setiap ada petugas-petugas negara yang gagah berpatroli. Bocah perempuan itu sebenarnya tidak peduli, jika tertangkap sekalipun. Baginya siang dan malam sudah tak ada bedanya, apalagi tanah yang ia pijak masih juga bernama dunia, di mana tak ada lagi ayah, malaikat buta, surga Eden dan harapan bertemu kembali. Menyanyi..menyanyi..dan menyanyi saja ia, semua lagu yang pernah ia dengar dari malaikat buta, dan tidak tahu untuk apa. Bahkan ia masih juga bergumam, ketika tangan-tangan kekar, kasar mengangkut tubuhnya ke mobil patroli, sementara teman-temannya melawan, berteriak, dan menangis.

***

Begitulah tukang dongeng itu mengakhiri kisahnya dengan pelahan diiringi suara kecapi yang dimainkannya sendiri di kafe. Pengunjung bertepuk tangan. Hiburan berupa dongeng yang menyenangkan, jeda obrolan obrolan tentang politik, anggaran, dan kemiskinan.

Depok-Menteng, Mei 2011


Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014



Sunday, February 2, 2014

Kota Dalam Gambar

Cerpen F. Moses


SIANG cerlang berpemandangan sepi, ditambah beberapa perempuan dan lelaki, anak delapan tahun itu kembali bergegas keluar rumah untuk melihat langit di hamparan cakrawala. Kala gambar belum terselesaikan. Kala separuh gumpalan awan itu masih diwarnainya cergas dengan pensil hitam.

Kini gambar itu hampir selesai, tetapi aneka peralatan warnanya keburu habis. Maklum, tak hanya ke dalam buku gambar, tetapi juga ruas-ruas dinding di dalam rumah. Hampir semuanya menjadi gambar entah berpenuh warna. Meski demikian, kapan waktu apabila ia mau memajangnya, beberapa gambar yang hampir selesai itu tampak siap untuk dipajang.
Pernah aku bilang padanya agar segera dijadikan hiasan dinding saja biar lebih pantas, tapi ia berkeras melarang karena masih dianggapnya belum selesai. Ya, belum, karena masih diperlukannya tampak gambar matahari yang menangis, air hujan berwarna merah, sungai cokelat keruh, sumur tanpa air, pohon-pohon tanpa daun, dan sebuah gunung yang seolah siap meletus kapan waktu, serta perkelahian antarkelompok, katanya suntuk.

Sejak kejadian aneh menyergap kampung ini, saat penduduk mulai kelimpungan kebingungan, dan anak-anak dalam pengawasan para orang tua yang begitu ketat ketakutan, anak itu tetap tampak bersahaja, hampir separuh hari diisinya dengan menggambar. Hal itu dilakukannya sekuat tenaga, tiada takut waktu lain tersita. Menggambar dan menggambar.

Ia selalu sibuk menggambar, seperti penuh pengembaraan jauh ke dalam angan-anganya. Seperti hujan yang meresapkan air bagi pepohonan untuk mengantarnya ke mana celah-celah akar itu berada. Sering kedua orang tuanya resah, mengapa ia tak berhenti barang beberapa waktu dari aktivitas itu. Sering ditakutinya pula, khawatir kalau ia menderita kelainan. Seperti gila, misalnya. Betapa gawat dan menakutkan menjadi si gila yang tak pernah bisa sembuh. Paling kurang berterima, mereka kerap kesulitan menangkap maksud dari gambar-gambarnya. Seperti tampak tak mengartikan apa-apa. Kecuali berbekas jadi bayangan ketakutan saja.

Untuk kesekian-kalinya, tiap kali pula orang tuanya mesti dipaksa mengomentari warna paling cocok ke dalam gambar-gambarnya.

”Kuning, hijau, ungu, cokelat, atau, ah, terserahmu, Nak.”

”Apa dong paling cocok, Mah?” Katanya merengek.

”Iya apa, Mamah tak tahu.”

”Hitam, betul, kan?” katanya memungkas yakin.

”Loh, kok!”

Mamah tak menyahut. Kecuali menaikkan kedua alisnya. Tampak dahinya mengernyit. Setelahnya mengusap dada. Tampak telapaknya yang halus. Seketika lemas tak habis pikir, menyaksikan sang buah hati menggambar sesuka hati.

Mamah paling takut dengan warna hitam. Masih membekas beberapa tahun lalu, setelah ia menggambar dengan hitam, tak lama berselang, mala pun datang—sebelum akhirnya semua orang mesti mengungsi dengan batin terpaksa. Lantaran perang antarkampung tak bisa dihindari. Juga lantaran banjir pernah menyergap beberapa kampung di sini. Membuat banyak orang memaksa menangisi takdir hidupnya. Memaksa semua manusia bahwa kesembuhan adalah air mata yang saban waktu mesti diteteskan. Semoga bukan lantaran sugesti belaka. Ah, tetapi mengapa hitam ke dalam gambar yang selalu ia pilih.

Ia memang lebih memilih menghibur diri dengan menggambar kala liburan begini, menyempatkan waktu kala tugas-tugas sekolah mulai membosankan. Apalagi ekstrakurikuler yang seperti dipaksakan. Papah menyuruh agar meluangkan waktu sambil membaca, Mamah berpesan untuk bermain saja dengan teman-teman sekampung di dekat rumah, tapi ia lebih memilih menggambar. Ia merasa lebih lepas berekspresi, itu saja. Serasa lebih menyatu dengan warna kesukaannya. Mendaging dari segala ia ciptakan. Selain juga berdarah dan berkeringat atas pesona gambar yang ia buat.

Aku masih tak tahu mengapa ia sedemikian menyukai hitam. Menggambar sawah dan langit yang semestinya hijau dan biru, justru dipilihnya hitam. Pegunungan dengan segala ngarai lembahnya pun hitam. Perbukitan dan segala tubirnya juga hitam. Lalu laut dengan segenap pulau serta pantainya pun hitam. Semoga bukan karena selalu kuceritakan kepadanya, betapa kedatangan mala kadang seperti hantu dalam gelap. Namun, tak kuhubung-hubungkan antara keduanya itu dan hitam. Dan di sini, saat para penduduk begitu ketakutan atas keakraban bencana yang akhir-akhir ini kerap hadir, ia justru bernafsu menggambar. Riang bersahaja membawa imajinasinya ke luar dari lingkaran ketakutan, menerbangkannya cerdik leluasa. Semoga juga hitam tak selalu dekat pada kehirapan kehidupan ini.

”Aku hanya meniru, Pah.”

”Ya sudah, teruskanlah, Nak. Yang kau lakukan dan pilih, itulah warnamu. Dan yang kau lakukan serta bagimu hobi, itulah pekerjaanmu. Tapi jangan pernah melupakan belajar!”

Memang, selain alam yang diwarnainya hitam, anak itu juga mewarnai jalan raya dan segenap ruas-ruasnya, plaza, permukiman, sekolah, hingga etalase-etalase pertokoan yang tertampak rapi di sepanjang jalanan dengan warna yang sama.

“Bila perlu, sebagian orang-orangnya juga berwarna sama, Pah,” kata si anak sambil menggigit ujung pensil.

Papah tampak menerawang pada bulan dan malam berpenuh bintang. Entah apa dipikirnya. Sebatang dua batang, berlanjut tiga dan empat batang diisapnya. Kepulan tampak membubung tak berhenti dari bibirnya

***

Sepanjang hari Papah dan Mamahnya memang kerap menyaksikan ulah gambaran anaknya itu. Mamah semakin panik. Ia berharap kepada suaminya untuk bersepakat membawa anaknya ke dokter spesialis psikiater anak. Lantaran kesehariannya tak kunjung berubah. Apa-apa segala sesuatunya menggambar dengan satu warna saja, yakni hitam. Tapi Papah dengan tenang hanya mempertanyakan saja niatan istrinya itu.

”Untuk apa?”

”Loh, Papah ini bagaimana, sama sekali tak panik melihat anaknya yang saban hari cuma menggambar dan menggambar. Kapan waktu dia buat belajar,” kata Mamah sambil merengut.

”Kan masih liburan. Memang menggambar bukan belajar?”

”Ya memang. Tapi kan, juga mesti belajar yang lainnya. Atau paling tidak melakukan aktivitas lain juga, kek. Apalagi setiap menggambar selalu diwarnainya hitam. Menakutkan. Seperti tiada warna lain. Lagi pula monoton juga jadinya. Anak-anak, kok, sukanya warna hitam! Perasaan keturunan dari masing-masing kita juga enggak ada yang sedemikian fanatik dengan warna hitam.”

”Hei, sampai hari ini aku juga suka hitam, Mah. Hitam rambutmu yang pertama kali membuatku jatuh cinta kepadamu. Lagi pula, masak Mamah tak tahu, sejak kecil anak kita juga memang sudah suka dengan hitam, kan? Ingat enggak saat ia berumur empat tahun pernah polos bilang kalau Tuhan itu cuma ada di waktu malam saat langit mulai hitam. Terus katanya, pada waktu itulah rumah Tuhan baru terlihat; yakni di dalam bulan.”

”Oh..yayaya, terus kata anak kita bilang bahwa rumahnya Tuhan di bulan ya, Pah. hahaha. Ya, aku ingat betul. Lucu ya, Pah, anak kita itu,” Mamah tertawa.

”Iya, Mah. Iya.”

”Lo, kok, Papah sepertinya malah senang? Tapi, kan, tak berlaku saat usianya mau masuk sepuluh tahun begini. Bagimana kamu ini, Pah. Makanya jangan cuma keasyikan kerja!” kata Mamah bernada ketus.
Mamah langsung sontak tegap bersedekap. Wajahnya berpaling. Bergegas memilih tak melanjutkan topik pembicaraan. Kecuali mendekat ke anaknya yang sedang sibuk menggambar. Lagi-lagi hitam, lirihnya membatin.

***

Kesabaran Mamah memuncak. Terlalu banyak diingatnya segala hal buruk mengenai warna hitam. Mamah masih tak pernah tahu alasan sebenarnya mengapa ia senantiasa menggemari warna itu. Alasan dari dokter pun, menyoal warna kesukaan bagi tiap anak, tentulah berbeda. Meski kecenderungan bagi anak selalu memilih warna yang beraneka ragam.
Meski pun tunggal, setidaknya warna cerah yang kerap dipilih. Meskipun tdak, setidaknya bertahan beberapa hari saja, karena anak-anak juga tak bisa lepas dari kecenderungannya merasakan bosan. Terlebih aktivitasnya, beraneka ragam pula. Tak mesti melulu menggambar.

Meski sebenarnya dirasa tak sabar, Mamah tetap mengikuti petunjuk dokter supaya tetap kembali melakukan pendekatan terbaik kepada anaknya. Sabar adalah obat terbaik, katanya membatin. Maka, selain mengamatinya dari jauh, Mamah mulai kembali untuk tampil di sampingnya. Meski akhirnya keluar juga komentar spontannya. Selain si anak juga spontan mengomentari gambar bagi dirinya sendiri kepada Mamah.

”Ya jangan selalu hitam dong, Nak. Masak seperti enggak ada warna lainnya saja..”

”Enggak ada warna lain, Mah. Oh ya, Mah, lihat nih adek ngegambar seorang perempuan mulai jelas, kan?"

Mamah menggeser tubuhnya. Mendekat sembari merangkulnya. Sesekali mengusap kepala anaknya.

”Tuh, Mah,” kata si anak semangat memperlihatkan selembar kertas pada buku gambarnya. ”Lihat matanya, giginya yang sedang tersenyum, telinganya, dahinya, pipinya, bibirnya, badannya, tangan serta kakinya, adek bubuhkan dengan warna hitam. Bagus, kan?” Si anak semangat menambahkan.

”Cobalah dengan pilihan warna lain, Nak,” kata Mamah sambil menarik napas.

”Enggak, Mah. Warna adek suka cuma satu, hitam. Kecuali baju dan celana yang setiap hari adek pake.”

”Iya...tapi apa indahnya warna hitam itu. Gambar adek yang banyak itu, masak diwarnainya hitam terus. Sampai semuanya serbahitam. Lalu apa indahnya, Mamah pusing tak habis pikir!” kata mamah bernada meninggi. Kesabarannya masih ditahan sekuat tenaga. Mesti bersabar dan sabar. Tidak ada kata lain selain sabar, lirihnya dalam hati.

***

Sepulang Papah dari kantor, di ruang keluarga, istri dan anaknya masih tampak seperti memperdebatkan sesuatu. Lagi dan lagi adalah menyoal warna hitam. Seperti tak ada persoalan lain saja untuk dibahas. Papah bergeming saja, di balik pintu yang sudah setengah terbuka. Membiarkan mereka bercakap.

”Pokoknya Mamah sedih. Titik. Mamah tak mau lagi adek menjadi penyuka hitam, hitam dan hitam!” Kata Mamah yang kesabarannya seperti mulai meredup.   

”Tapi adek maunya cuma dengan warna hitam saja, Mah, Terus...”

”Enggak ada tapi-tapian, Nak. Ayolah bekerja sama, jangan bikin kepala Mamahmu ini sakit. Kamu menggambar segalanya dengan hitam. Segala alasan adek juga tak jelas. Pokoknya adek jangan lagi menggambar dengan hitam. Kalau masih, maaf, Mamah terpaksa membuang saja pewarna yang kamu gunakan itu!” Mamah menyergah.

Setelah memotong pembicaraan dengan anaknya, Mamah langsung berdiri untuk berlanjut memilih ke kamar. Baru saja hendak menuju kamar, perlahan langkahnya melambat lantaran anaknya seperti hendak memberikan alasan kepadanya.

”Mamah, pokoknya adek selalu suka dengan hitam, biar enggak kelihatan lagi segala yang membuat dunia ini menangis. Lagi pula, biar rumahnya Tuhan juga kelihatan jelas. Saat langit mulai hitam, bulan dan bintang pun tampak terang benderang. Maukah Mamah membantu adek melihatnya lagi malam ini? Adek mau lihat halaman dan kamar tidurnya Tuhan, Mah.”

Lampung-Jakarta-Bandung, 2012-2013


Lampung Post, Minggu, 2 Februari 2014