Sunday, December 14, 2014

Lelaki di Bawah Hujan

Cerpen Tita Tjindarbumi


Rintik hujan luruh perlahan. Semakin dipandang semakin cepat gerakannya. Membentuk garis lurus. Dan berubah bak pisau ketika ujungnya menancap ke tanah. Semakin diterjang, semakin tajam menampar kepala, wajah, lengan dan… hati.

“APA yang kau lihat?! Udara di sini tak baik untuk kesehatanmu,” lirih suara itu namun cukup dapat menimbulkan gema di dadanya.

Tak ada siapa-siapa. Tak seorang pun. Hanya langit yang semakin gelap dan pekat. Sementara dedaunan telah basah kuyup. Tangkai dan rantingnya mulai terlihat merunduk. Lunglai. Diterpa angin dan hujan yang datang silih berganti.

Kristy merapatkan krah jaketnya. Sejak sore tadi dingin merasuk hingga ke tulangnya.
Tubuhnya bergetar. Lebih tepat dibilang gemetar, menahan dingin dan rasa aneh yang membuat bulu kuduknya mulai merinding.

Perempuan itu menoleh. Ke kiri beberapa detik. Lalu memalingkan pandangannya ke arah yang berlawanan. Tak ada siapa-siapa. Suara nyangkrik mulai terdengar di antara riuhnya deras hujan. Disusul suara kodok yang bersahutan. Suara itu membuat rasa takut akibat suasana sepi perlahan-lahan menghilang.

Keinginan Kristy untuk duduk berlama-lama di teras sambil menikmati hujan semakin kuat. Andai saja waktu dapat diputar, kembali ke masa lalu yang penuh kegembiraan. Andai saja ….

Masa-masa indah saat bersama teman-teman se kampusnya berputar-putar di benaknya.

“Hai… apakah hujan pun akan kau jadikan sebagai inspirasi untuk cerita fiksimu?”

Anita terkekeh di sampingnya. Menggoda dengan gayanya yang khas. Keceriaan selalu mewarnai wajahnya yang bulat. Rambutnya yang sebahu terurai berai diterpa angin. Hujan semakin riuh membelah bumi.

Villa mungil dengan empat kamar dan fasilitas lengkap milik keluarga Anita adalah tempat favorit untuk berkumpul sekaligus refreshing bagi Anita in the genk.

“Sudah lama banget aku nggak nulis fiksi.”

Kristy serius menanggapi guyon Anita. Sudah lama sekali ia berhenti menulis fiksi. Waktunya habis untuk hunting berita. Waktunya habis di jalanan.

“Kamu terlalu larut dalam pekerjaan. Padahal fiksi-fiksimu kerap membuat fan-fanmu ikut mengkhayal,” goda Anita lagi semakin menjadi-jadi. Senyum Kristy melebar. Membayangkan masa-masa itu...

“Siapa tokoh-tokoh gantengmu? Atau tokoh hmmm… teman masa kecilmu itu?” Anita tertawa terbahak-bahak.

“Nit… please! Mereka hanya tokoh imajinerku.”

Kristy mencoba menghentikan ocehan sahabatnya yang semakin melebar ke mana-mana. Mengobok-obok hatinya. Menyudutkan dirinya pada sebuah kenyataan: betapa pahitnya masa lalu!

Siapa yang menyangka canda Anita selama ini tentang tokoh imajiner dalam fiksi Kristy bukanlah sekedar canda biasa. Kristy telah berkali-kali mengatakan, bahkan meyakinkan sahabatnya, bahwa kisah-kisah yang ditulisnya dan mendapat respons baik para pembacanya, hanyalah fiksi semata. Sangat jauh dari kisah nyata apalagi pengalaman pribadi.

“Aku nggak percaya, sumpah?” Anita menyudutkan pada pilihan yang sulit.

“Jangan terlalu melambung membayangkan tokoh-tokoh itu, Anit. Mereka hanya ada di dalam cerita,” Kristy mencoba memengaruhi sahabatnya. Kalau ia bisa membuat Anita begitu terpengaruh dengan kisah-kisah fiksinya, masak sih tidak bisa meyakin untuk hal yang satu ini?

Kristy mencoba berakting sesempurna mungkin. Nggak kebayang reaksi Anita jika saja ia tahu….

Gubrak!

Tiba-tiba seekor tikus besar menabrak pot berisi tanaman yang daunnya berjuntai ke bawah. Seketika itu juga lamunannya berantakan. Ah… masa-masa yang indah dan apakah mungkin akan terulang lagi. Anita…

Mengingat sahabatnya itu serasa menoreh kembali pisau di dadanya. Kristy tahu, tak baik untuknya jika terus menerus larut dalam kungkungan kenangan masa lalu. Apalagi, ia ragu, mampukah hatinya bersikap seperti sebelum kejadian demi kejadian itu menghantam-hantam perasaannya?

Persahabatannya dengan Anita sepertinya harus berakhir tidak menyenangkan. Kalau saja ia tidak bersikukuh dan lebih memilih berterus terang tentang tokoh-tokoh dalam fiksinya…. Mungkin…. Ah, siapa yang bisa mengubahnya jika kenyataan telah berkata lain. Ia dan Anita berseteru hanya karena seorang yang sama sekali tak jelas rimbanya.

“Chris, tokohmu itu anak sefakultas dengan kita, ya?” Anita menatap Kristy dengan mata penuh bintang.

“Lagi-lagi pertanyaanmu soal itu. Emang kenapa?” Kristy mengalihkan pandangannya. Berharap sohibnya ngga focus ke soal tokoh itu.

Tokoh Galang tanpa sengaja ia temukan pada senja yang basah. Waktu itu ia sudah terlanjur keluar dari gedung fakultas. Dan sialnya di bagasi motornya tak ada jas hujan. Padahal biasanya Kristy selalu siap.

Tiba-tiba saja entah datangnya dari mana sosok tegap tanpa senyum itu sudah berada di dekatnya. Menatapnya dengan sorot mata dingin. Hanya sejenak karena setelah itu laki-laki itu hanya diam. Menatap lurus ke depan seperti sedang menghitung jumlah rintik hujan yang semakin deras.

“Aku tidak sedang bicara dengan tembok kan?” ujarnya lagi. Kali ini tatapan matanya tertuju tepat di dada Kristy.

“Oups maaf....” Kristy terbata. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gigil dan dengan sigap menutup bagian dadanya dengan tas kanvas yang sejak tadi berada di dekapannya. “Lain kali jas hujan jangan sampai ketinggalan,” kata laki-laki itu seperti sedang bicara pada dirinya sendiri.

“Galang... namaku Galang. Aku penghuni gedung yang berhadapan dengan gedung fakultasmu.” Laki-laki menyodorkan tangannya. Dengan ragu Kristy menerima uluran tangan itu. Tangan yang kekar dan cukup memberikan kehangatan di senja yang basah oleh hujan yang tak jelas kapan berhentinya.
                               
***

Peristiwa senja itu bagi Kristy bukan hal yang istimewa. Ia terlalu sering bertemu dengan orang baru. Bahkan nyaris setiap hari ia harus menghadapi berbagai macam karakter orang yang menjadi nara sumbernya.

Sampai suatu hari, entah mengapa selalu di saat hujan, sosok Galang tiba-tiba muncul di depannya.

“Ketemu lagi, ya?“ kata Galang setelah menyampirkan backpack-nya yang sedikit lusuh tetapi tidak menghilangkan kesan mahal. Kristy, seperti dihipnosis, matanya langsung mengikuti gerak tubuh Galang.

“Kenapa dengan backpack-ku?” Galang kelihatan terganggu melihat mata Kristy masih tertuju pada //backpack// yang dengan cepat disembunyikan di belakang punggung Galang yang kokoh.

“Oh...o... nggak apa-apa. Agak basah, ya?” jawab Kristy salah tingkah. Huh, ngapain juga ngomongin soal backpack. Apa nggak ada topik pembicaraan yang lebih menarik?

“Tidak bawa jas hujan lagi?“ tanya Galang seperti ingin mencairkan suasana yang tegang. Kristy masih tegang. Ia tidak siap bertemu dengan Galang. Baginya Galang adalah sosok aneh yang membuat jantungnya berdetak tak seperti biasa.

Selalu hanya seperti itu percakapan mereka. Hujan menenggelamkan mereka ke dalam kebisuan. Banyak yang ingin Kristy tanyakan, tetapi lidahnya kelu. Bahkan bertukar nomor ponsel dan PIN BB pun tidak.

Lalu bagaimana ia bisa tahu tentang laki-laki aneh itu? Kebekuan kata itu pula yang mendorong Kristy menduga-duga. Bertanya dan menjawab sendiri semua pertanyaannya dengan caranya sendiri. Membiarkan imajinasinya meliar.

Rasa penasaran Kristy semakin membuncah. Ia ingin mencari tahu tentang Galang. Bukan ingin lebih dekat dengan sosok aneh itu, tetapi ia ingin menuntaskan menjawab semua kegelisahannya. Sebab, beberapa kali Kristy berkunjung ke gedung yang berhadap-hadapan dengan gedung fakultas, Kristy tak pernah melihat Galang di kampus.

Atau ia mencari di saat yang tidak tepat. Dengan kata lain jam kuliah mereka tidak sama? Bisa saja Galang hanya mengikuti kuliah di jam pagi, sementara Kristy justru ambil mata kuliah di jam sore?

Rasa penasaran Kristy semakin membludak karena ia memang nyaris tak pernah melihat mahasiswa yang wajahnya seperti Galang. Siapakah Galang? Kenapa ia begitu misterius? Bahkan Anita saja setengah memaksa memintanya mengenalkan Galang padanya.

Kristy tak bisa menjawab semua pertanyaan dan permintaan sahabatnya, sebab ia sendiri tak tahu siapa dan dimana bisa menemukan sosok Galang.
                               
***

Hujan belum juga berhenti. Gemericik air yang jatuh di atas Vila semakin besar tekanannya. Entah mengapa Kristy masih ingin berlama-lama duduk di teras vila. Memandang hujan dalam kegelapan yang pekat. Angin yang semula terasa silir-silir kini terasa seperti badai yang setiap saat dapat membuat tubuhnya semakin menggigil.

Betapa hujan begitu memukau malam itu. Apalagi diselingi suara gesekan daun yang memecah sunyi. Kristy suka sekali mendengar desau angin dan gesekan dedaunan yang seakan meneriakan kegelisahannya.

“Selamat malam Nona penyuka hujan,” tiba-tiba suara berat itu mengacaukan keasyikannya menikmati hujan.

“Kamu....” sahut Kristy terkejut. Seketika wajahnya memucat. Darimana datangnya sosok itu. Bukankah sejak tadi ia hanya sendirian? Lalu darimana laki-laki itu tahu keberadaannya? Tiba-tiba saja bulu kuduk Krsity berdiri.

Mengapa ia selalu datang tiba-tiba? Aneh sekali...

Bagaimana Galang tahu tempat ini? Bukankah ia tak pernah bercerita apa-apa tentang apa pun pada laki-laki aneh ini. Mereka hanya bertemu tiba-tiba dan tak prnah bertukar cerita. Bahkan, menatap wajah lelaki itu saja Kristy tak pernah. Seperti ada yang menghalangi keinginannya itu.

“Kaget ya saya tiba-tiba ada di sini?” kata Galang membuat Kristy tersadar dari lamunannya.

Aku tak boleh memperlihatkan keherananku pada Galang, gumam Kristy dalam diam. Lalu setelah mengumpulkan keberaniannya, Kristy mempersilahkan Galang duduk di salah satu kursi yang ada di teras vila. Kendati sebetulnya Kristy tak yakin apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar. Mempersilahkan seorang laki-laki di tengah hujan deras masuk ke vila bukan pilihan yang tepat. Tetapi membiarkan Galang berdiri di bawah hunjaman air hujan yang kian deras, betapa tdak berkeprimanusiaan.

“Duduklah, Lang. Aku bikinkan teh panas, ya? Tubuhmu menggigil. Kamu bisa sakit jika dalam keadaan basah begitu.” kata Kristy dengan ujung mata melirik ke backpack lusuh yang dengan terang-terangan disembunyikan di balik tubuh Galang yang tinggi besar.

Kristy berdiri dan ingin cepat-cepat beranjak masuk, tetapi sorot mata Gslang menahannya.

“Tetaplah duduk, saya sudah terbiasa berbasah-basah begini. Lagipula saya hanya mampir sejenak. Saya sedang tak ingin minum apa-apa. Saya memang senang bermain di bawah hujan,” kata Galang semakin membuat Kristy bergidik.

“Kalo gitu, saya akan mengambil handuk dan pakaian ganti,” jawab Kristy asal saja. Ia sendiri tidak tahu apakah di vila ini ada pakaian laki-laki yang bisa dipakai sebagai pengganti T-shirt Galang yang basah dan sudah lengket di tubuhnya. Dalam keadaan basah kuyup begitu Kristy sempat memperhatikan postur tubuh Galang. Tinggi besar, kokoh, dan kuat. Jangankan hujan badai pun sepertinya bisa dihadangnya.

“Tak perlu, Nona...” lagi-lagi Galang melarangnya. Tetapi Kristy tak menggubris. Ia tetap menyeret langkahnya masuk ke dalam vila.

Dengan langkah setengah berlari Kristy masuk ke kamar. Anita sudah tidur lelap di balik selimut tebalnya. Kristy ingin membangunkan Anita, tetapi ia tak tega. Lagi pula Anita pasti heboh bila melihat kehadiran Galang yang sangat tiba-tiba dan dalam keadaan basah.

Sebaiknya Anita tidur saja. Toh Galang tak lama. Ia pasti akan pergi meneruskan perjalanannya setelah hujan redah. Kristy membuka lemari besar yang ada di dalam kamar. Mencari sesuatu yang dapat membantu Galang, setidaknya sepotong T-shirt atau sarung?

Tak ada satu pun T-shirt berukuran besar di dalam lemari. Kristy ngubek-ngubek traveling bag milik Anita. Biasanya Anita membawa T-shirt berukuran raksasa setiap kali ia bepergian kemana pun.

Saat sibuk mengacak pakaian Anita, tiba-tiba saja Kristy melihat sebuah T-shirt corak kotak-kotak di bagian bawah traveling bag Anita. Dengan cepat Kristy menarik T-shirt itu, tetapi karena begitu bersemangat sikut tangannya menyenggoln patung yang letaknya tak jauh dari traveling bag.

“Oufff... gubrak”. Patung tersungkur dan pecah. Anita terbangun.

“Ngapain malam-malam ngubek koperku?” tanya Anita setengah berteriak dan langsung bangun dari tidurnya. Selimutnya disibakan begitu saja.

“Maaf... aku mencari baju ukuran besar. Biasanya kamu kan selalu membawa kemana pun kau pergi, Nit!” jawab Kristy sambil berdiri dan memperlihatkan T-shirt yang sudah di tangannya.

“Ada seseorang di depan membutuhkannya?” kata Kristy meminta persetujuan Anita.

“What?” Anita lompat. Dengan sigap menarik T-shirt dari tangan Kristy.

“Plis, Nit!”

Tetapi Anita tak menggubris. Ia malah lari keluar kamar dan seperti sedang dikejar setan Anita menuju teras vila diikuti langkah Kristy yang mengekor di belakangnya.

“Mana orangnya?” tanya Anita penasaran.

Kristy melongo. Tak ada siapa-siapa di teras vila.

“Dia siapa, Kris? Plis ceritakan padaku,” ujar Anita menghiba. Matanya berkaca-kaca.

“Tadi ada di sini. Ia selalu datang tiba-tiba,” ujar Kristy dengan suara tertahan.

“Katakan padaku dia seperti apa?” kata Anita dengan menghiba.

Lalu Kristy menceritakan sekilas gambaran tentang Galang. Sejak pertemuan pertama, sampai kejadian malam ini.

“Ga...lang... betul dia Galang!” Tiba-tiba saja tubuh Anita lemas dan terkulai. Tak sadarkan diri.

Tanpa sadar Kristy menjerit histeris. Suaranya memecah kesunyian malam. Tetapi siapa yang  peduli. Vila itu letaknya terpencil, jauh dari tempat tinggal penduduk asli daerah itu. Hujan semakin deras menenggelamkan suara gesekan dedaunan. Bahkan suara kodok pun seperti tercekat. Di benak Kristy menggantung beribu tanya. Tentang lelaki itu yang selalu hadir di saat hujan. n   


Lampung Post, Minggu, 14 Desember 2014

No comments:

Post a Comment