Sunday, October 27, 2013

Terjebak di Jalan Berlumpur

Cerpen Otang K. Baddy


SEJAK sebelum tiga dekade ini tak sedikit pun tebersit jika kehidupan kami semua bisa terperangkap di jalanan berlumpur. Yang tak cuma sekadar kotor, basah dan lembap, tapi kadang gelap dan dingin. Menggigil dan bulu-bulu pun merinding.

Mungkin sebelum tiga dasawarsa itu kami belum dewasa sehingga segala langkah perjalanan hidup senantiasa diasuh oleh ibu. Tidur dan bangun selalu dikawal ibu. Tidur ditidurkan, bangun dibangunkan. Mandi dimandikan, makan disuapkan. Bermain dan bepergian senantiasa dikawal. Jadi segalanya terjamin selamat.

Seiring dengan bertambahnya usia, baik itu usia hidup dan kehidupan, ibu kami meninggal dengan satu pesan, “Awas, hati-hatilah dalam melangkah, jangan sampai terperosok dalam lumpur,” ujarnya beberapa menit sebelum meninggalkan kami selamanya.

“Jangan khawatir, Bu. Percayalah pada kami, sebab kami kini sudah mulai dewasa!” begitulah kami menandaskan dengan nada sepele demi menyenangkan kepergiannya yang semula tampak cemas. Kami pun mengaku dewasa.

Kami pun merasa tak perlu dan tak butuh diberondong nasihat lagi, terlebih dalam masalah melangkah atau pun berjalan. Toh kami semua sudah punya prinsip dan jalur masing-masing,  bahwa untuk menyambung hidup perlu adaptasi dengan lingkungan dan pandai menyesuaikan zaman.

Namun, setelah semuanya jatuh pada keluh atau igauan, pesan-pesan yang sering terucap dari ibu selalu mengusik hati kami yang labil. “Di jalanan berbatu putih ini rukun-rukunlah kalian semua. Jika merasa gamang dan takut jatuh, peganglah tongkat biar teguh,” katanya dulu ketika kami belajar berjalan menapaki hidup. Kami pun saat itu tak lepas dari yang namanya tongkat. Baik menanjak atau pun menurun, perjalanan terus tapaki dengan tabah. Kami tak pernah oleng apalagi terjatuh, kendati sepanjang perjalanan tak hentinya ditempa angin yang hendak menjatuhkan.

Ah, betapa senangnya saat itu.

Tapi sejak kepergian ibu, segala nasihat atau isyarat, tak satu pun yang kami gubris. Terlebih setelah dusun kami dan sudut-sudut petani terancam pelebaran kota. Berhektare tanaman berbunga dan kehijauan daun terancam punah. Wangi kembang yang mekar, harum tanah gembur sisa hujan semalam, kini tak kami temukan lagi. Area tanaman berbunga serta tanah-tanah gembur kini lumat tertimpa sampah plastik dan tembok beton.

Begitu pun dalam hal jalan, kini sudah jauh bergeser. Sejujurnya kami tak mampu menolak tatkala pertama jalan berbatu putih itu tiba-tiba akan digantikan dengan aspal yang hitam. Juga saat itu tak gubris ketika ada lelucon yang menafsirkan kata “aspal” itu adalah keaslian palsu dan “hitam” berarti gelap. Rasanya tak perlu lelucon itu kami dengar. Namanya juga lelucon, jika pun umpama mengena, semua itu bukan semata-mata perkataan bijak. Tapi lebih kepada “kirata” alias dikira-kira tapi nyata. Maka kami abaikan sepenuh jiwa.

Setelah jalanan hitam itu dibangun ke segala arah dan sudut kampung, kami semua membuang tongkat. Kami semua membuang tradisi. Kalau sebelumnya berjalan itu beriringan dan bergandengan tangan kini semuanya berlari bak suatu balapan. Tak jarang kami pun saling menyalip dan saling jegal satu sama lainnya. Sampai pada waktu tertentu kadang saling membunuh. Membunuh nyawa maupun karakter.

***

JALANAN itu memang terus ramai dan memikat. Betapa tidak, bagi kami dan orang-orang yang tergesa cukup menempuh jalan pintas ini. Jalanan yang lengang berbatu dan berlumut untuk sementara kami tinggalkan. Sebab yang kami cari selama ini berupa perhiasan barang-barang antik demi menyemarakkan kota kami yang kian berkembang. Karenanya, harus serbacepat dan tergesa, sebab kalau tidak, segalanya akan tertinggal. Begitulah naluri kami.

“Marilah akang-akang yang ganteng dan kalem, pilihlah jalur kami!” kata para perempuan-perempuan cantik di jalanan itu. Kendati bibir dan alis mereka bergincu, tak mengurangi daya tarik untuk merengkuhnya. Sebaliknya, kami makin gila, seluruh indera telah kami gadaikan untuknya.

Perempuan-perempuan di gerbang di jalanan itu bukan para ibu bagi anaknya, pun bukan para istri dari suaminya. Mereka jauh terbalik dengan sosok ibu kami. Sebab yang kami lihat mereka tak satu pun yang membawa anak juga tak seorang pun yang bersama suami. Mereka itu perempuan liar bak ular. Tentu saja sebagai makhluk yang gila kami pun sangat cocok untuk memilikinya.

“Kami tercipta hanya untukmu, Kang,” katanya lembut. Sejuta pesona pun ia tawarkan pada kelelakian kami. Akhirnya kami pun berebutan untuk merangkulnya, untuk mengoleksinya. Hingga jatuh kesepakatan bersama bahwa inilah sebenarnya yang kita sebut barang antik. Inilah sebenarnya yang harus kita buru!

“Dunia ini tak akan sempurna jika tanpa adanya perempuan!” begitulah kami berkata pijak. Dengannya kami pun jadi merasa terhormat karena mampu mengantongi barang-barang berharga itu. Hingga melengganglah kami ke puncak kekuasaan.

Sebagai pemangku negeri kami pun peduli akar rumput. Demi wujud nyata kami segera turun ke bawah, terutama ke daerah-daerah pariwisata yang kubangun atas kebijakan kami. Namun, alangkah terkejutnya ketika jalanan yang kami lewati itu berlumpur. Celakanya lelumpur itu begitu tebal, melebihi sawah bajakan.

‘Selamat Datang di Negeri Lumpur!’ Satu spanduk besar menyambut kedatangan rombongan kami sebagai penguasa. Terpampang di atas di gerbang wisata itu dengan tampilan wajah figur kami yang ramah. Di tepi kiri-kanan, para kolega atau pun para jelata tampak hormat dan menahan napas. Tanpa pembangkang, semunya menyembah kami.

Selepas gerbang kami menemukan beragam pengemis. Ada perseorangan, kelompok, atau komunitas. Mereka, kalau tak menadahkan tangan, cukup memasang kantong jaring sebagai penampung sedekah kami. Seraya melambai, kami taburkan receh untuknya. Namun, mereka tampak antipati dengan tindakkan kami. Wajah-wajah mereka tampak cemberut, mungkin apa yang kami berikan tak sepadan.

Sebenarnya bukan tak mau memberi yang lebih, tapi ini demi mengimbangi jumlah pengemis yang tak ada hentinya di jalanan berlumpur itu. Bahkan, kami lewati nyaris tanpa ujung. Sementara kendaraan yang kami tumpangi semakin ringkih, pekat merayap. Hingga tanpa kami duga terperosok dalam kubangan yang dalam.

Dalam keterpurukan itu tebersit pikiran yang nyaris brilian, “Pihak yang bertanggung jawab atas rakyatnya adalah pemerintah, maka apa pun yang terjadi di negara itu akibat perilaku para pemimpin yang sah di negera itu. Sebab, pemerintahlah yang bisa mereka situasi. Mau aman atau kacau, tergantung kemauan.”

Menyadari semuanya, dengan suara meringik dan merunguk kami pun manangis. Sementara para pengemis itu tertawa, sebelum kemudian beringas memburu kami yang berloncatan bertampang cecurut dan monyet. n
     
Pangandaran, September 2013


Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013

Sunday, October 20, 2013

Singaralang

Cerpen Arman A.Z.


SANJALAH Tuan ke Tanjung Iran, negeri elok yang akan membuat siapa pun kerasan. Jikalau mengusung niat baik, takkan kehadiran Tuan ditentang. Warga kami tahan berkorban apa saja untuk menjamu tamu dengan hidangan paling nikmat. Bila tak sedang diburu waktu, sambutlah tawaran bermalam di sana. Begitulah kami punya adat menjunjung tamu.

Kututurkan itu pada siapa saja yang kujumpa dalam kembara menyambangi negeri-negeri asing dan jauh. Aku tak sedang bermanis mulut saat mewartakan Tanjung Iran pada mereka yang berbaik hati menyediakan air minum dalam kendi di depan rumah atau menawari makan dan menginap kala langit beranjak pekat.

Tanjung Iran berpagar nyiur berbatang-batang. Sawah ladang hijau membentang. Rumah-rumah panggung beratap ijuk dengan anak tangga berjumlah ganjil. Sungai bagai liuk naga. Ngarai bagai bokong sapi betina. Meski hilir mudik kemarau dan hujan, Tanjung Iran permai belaka. 

Bila Tuan bangga nian pada kampung halaman, gerangan apa membuat Tuan jauh ngembara? Bukan sekali dua pertanyaan itu kuterima. Maka, tanpa maksud mengolok adab, kujulurkan kaki kiri ke hadapan mereka. Tahi lalat kecokelatan di telapak kaki ini, penanda sejak zaman puyang bahwa hidupku kelak penuh kembara.

Kalau merekah sekarang seruni, bunga makanan burung bebarau. Kalau bertuah balik ke sini, tidak bertuah hilang di rantau. Bila belum puas hati, sebutlah namaku di Tanjung Iran. Mengakulah sebagai sanak famili atau handai taulanku. Niscaya sangsi Tuan dan Puan terobati.

***

AKULAH Singaralang, bujang juaro dari Tanjung Iran. Telinga siapa tak pernah mendengar namaku malang-melintang seantero negeri? Bertubuh kekar, bermisai bercambang lebat, pandangan nyalang serupa mata lemawang. Berteman seribu jin, berilmu halimunan, tak mempan segala senjata. Hanya orang-orang lolo yang nekat menjajal adu nyawa denganku.

Begitulah takdir pengembara. Mata angin adalah ibu yang setia menemani perjalanan. Telah kenyang aku ditempa panas dan hujan. Melintas dusun, memintas ladang. Menyeberang sungai, menyusur ngarai. Menyibak belukar, meniti pematang. Tidur beratap gemintang berlampit bumi.

Kerap melanglang bukan berarti kubuang risalah kampung halaman. Musykil kulupakan segar air kendi yang jadi obat dahaga, reranting tempatku menjemur baju, perigi tempatku mandi, juga anak tangga rumah panggung tempat bertukar kelakar. Takkan pula kulupa bujang gadis teman sepermainan yang bersama menabuh gendang meniup serunai.

Sejak belia aku setia menyabung beruga. Singgah dari pasar ke pasar, dari kampung ke kampung, mencari lawan sabung. Jika ada yang culas hendak menggagalkan kemenanganku, alamat mengundang bala. Siapa sanggup menyulut amarahku, harus siap pula menghunus keris. Kerap sabung beruga berujung sabung nyawa. Bukankah ajal, pengintai segala yang hidup itu, telah tertera di kitab takdir? 

Takdir pula yang membawaku jadi hulubalang penjaga Tanjung Iran. Semenjak kakanda Wayang Semu jadi mantu Kerie Carang, orang terpandang di Tanjung Iran, kian jarang aku ngembara menyabung beruga. Tak kuasa kutolak amanat yang dilepakkan di pundak untuk menjaga merawat Tanjung Iran.

Mari bertukar sepah pinang, dirajang dengan runcing kuku. Air mata jatuh berlinang, iringlah saat mengubur daku. Tidak boleh ditebang lagi, kalau ditebang menimpa padi. Tidak boleh dikenang lagi, kalau dikenang menyusahkan hati.

Bila ajalku tiba, telah kutitipkan amanat pada sanak kerabat: tanam aku di kaki kubur bunda. Andai nyawaku putus di ujung runcing keris musuh, usah menghunus balas. Jangan biarkan dendam beranak-pinak tujuh temurun. Jangan pula mengingat yang sudah mangkat. Selayaknya adat, tundalah mengunyah sirih dan pinang beberapa hari untuk menghormati kematianku.

Pangkal selasih bunga cengkudu, mendari dayik tinggal tuan. Tinggallah kekasih tinggallah duduk, jangan muka daku dilupakan.

***

KEMENAKANKU Dayang Rindu, bidadari yang lahir dari rahim Tanjung Iran. Jelitanya semerbak ke seluruh negeri. Senyumnya bak hujan di tengah kemarau, membasahi sawah ladang kerontang. Di buri rumah panggung, di bawah rindang tembesu, berkali kunasihati ia. Peliharalah lagak laku. Jangan kecantikan membuatnya jadi perawan kanji besar kepala yang memeram petaka.

Banyak bujang, hingga dari negeri jauh, datang ke Tanjung Iran. Satu semata hajat mereka: meminang Dayang Rindu. Namun semua pulang menekuk wajah menggumam keluh. Niat mereka ditolak Kerie Carang. Tiada dalih lain, cucunya Dayang Rindu telah dijodohkan dengan Ki Bayi Radin, putra Batin Pasak dari Rambang.

Aku hanya bisa bertanya dalam hati, sebab apa semua yang hendak meminang selalu ditampik Kerie Carang. Jika jodoh Dayang Rindu telah datang, mengapa tega menutup pintu? Mantu dan besan macam apa yang dicari? Setiap yang datang, disuguhi permintaan yang nyaris tak masuk akal. Apakah dia sedang bermain-main dengan jodoh cucunya sendiri? Apa yang diharap dari mematahkan hajat baik orang lain? Ah, Kerie Carang, kian uzur, pikirannya serupa anak kecil. Ataukah demikian adab orang terpandang, bercongkak-pongah di depan orang?

Bukan aku tak paham Ki Bayi Radin. Jejaka gagah sahaja itu pun tak mudah mendapatkan Dayang Rindu. Susah payah dipenuhinya permintaan tak masuk akal dari Kerie Carang. Daun sirih selebar nyiru dan pinang sebesar kulak telah ditemukan. Hanya satu permintaan lagi yang nyaris membuatnya putus asa. Manalah mungkin menemukan kerbau bertanduk tiga?!

Kerap Ki Bayi Radin singgah mengharap petuah. Duduk di jabo, iba aku melihatnya bermuram muka mengeluhkan sikap Kerie Carang. Berbilang purnama telah dicarinya kerbau tanduk tiga. Meninggalkan Rambang dan Dayang Rindu, serasa tubuhnya dibuang jauh. Selalu saja kukatakan kepadanya: jangan gugup jangan sangsi, jikalau jodoh takkan ke mana.

***

DATANGLAH perahu bidar, perahu bercadik, kapal-kapal besar berbendera lambai mengular, mengusung banyak nian muatan. Banyak hulubalang dan prajurit di dalamnya. Turut pula penghulu, ketib, dan imam.

Seisi negeri berpayung risau. Dusun mana hendak dilanggar, negeri mana hendak dilebur. Gawi apa gerangan hendak dituju? Kalau hendak menyabung, orang sini tak punya banyak beruga. Kalau hendak berjudi, orang sini bukan penjudi. Kalau hendak berperang, orang sini tidak berani. Kalau hendak berdagang, orang sini tidak beruang.

Serupa beruga lama dikurung tak kunjung disabung, gatal juga aku bertemu lawan. Beringkas kubawa senjata dan kubebat seluruh jimat. Kalung hitam pusaka puyang yang bertahun terpisah dari leher, kukenakan lagi. Aroma kecut keringat di kalung itu bagai membentangkan kembali lingkaran masa silam.

Semua risau itu pupus. Mereka utusan Pangeran Riya, raja dari negeri Palembang. Berlayar berhari-hari mengarungi Sungai Ogan, Selat Bangka dan Teladas, melabuh sauh di Tanjung Iran. Berpakaian indah, mereka datang mengusung amanat Pangeran Riya untuk menyunting Dayang Rindu. Segala sesembahan dibawa. Kulit macan, sirih dan tembakau, gambir dan pinang, emas dan uang bergantang-gantang, perhiasan berjuntai-juntai, beras berdulang-dulang, puluhan peti berisi kain dan sutera yang terlipat rapi, payung-payung berpucuk intan, juga keris dan senjata.

Ketika hajat itu ditolak Kerie Carang, berat hati mereka segera pulang ke kandang. Tumenggung Itam mendelik berkacak pinggang. Seluruh senjata yang jauh-jauh mereka bawa akan ditikamkan di tanah Tanjung Iran jikalau Dayang Rindu gagal dibawa ke Palembang. Demi langit dan bumi, naluri bujang juaroku mengendus gelagat tak sedap. Telah lama kudengar nama Tumenggung Itam, juga hulubalang-hulubalang sakti dari Palembang. Dibalik pakaian sutera, mereka sembunyikan congkak. Sungguh tamu tak tahu diuntung, sukar diajak berbijak hati. Tebersit sangsi, adakah hajat tersembunyi di balik niat meminang Dayang Rindu? Apakah mereka hendak menguasai Tanjung Iran?

Bunga berkembang di dalam hati, dinanti layu tidak kan layu. Apa lagi dinanti-nanti, mengamuk payu berperang payu.

Inilah harinya beruga menyerang elang. Bagai hidup dari mati bila bertemu lawan sepadan, mengamuk aku bak badai di lautan. Kapal dan perahu kukaramkan. Kutebang orang bagai menebang batang pisang dan tebu. Roh-roh beterbangan dari tubuh-tubuh yang terbunuh. Tanjung Iran menjelma jadi tanah dendam. Pedang dan keris meneguk darah bergantang-gantang. Akan kubuat tulang belulang mereka pulang dibawa gagak. Akan kubuat darah mereka menghilir dibawa arus.

Akulah penjaga Tanjung Iran. Selama hayat di kandung badan, siap kusabung nyawa demi marwah keluarga dan tanah kandung. Buat aku terjengkang, hasut amarahku hingga puncak ubun, maka ruh lemawang menyatu dalam ragaku.

Apa yang tersisa dari amuk? Kakandaku Wayang Semu mati di tangan Ki Bayi Metig. Ki Bayi Radin dibunuh Kerie Niru. Panas menjalar sekujur tubuh. Aku meraung laksana lemawang luka.

Mudik ke hilir mudik ke tanjung, bawa jangkar seribu tali. Putus benang boleh disambung, putus nyawa di mana cari. Kiranya Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig masih sawan pada ajal. Tak mudah mereka menyembah minta hidup. Kutebas telinga kiri Tumenggung Itam. Kucacatkan hidung Ki Bayi Metig. Itulah pengganti harga diri lelaki pemberani, penebus malu mereka yang kalah bertarung.

Siapa nyana siasat busuk mereka berhasil mengelabuiku. Dayang Rindu raib dari Tanjung Iran. Dia berhasil diboyong ke Palembang. Entah siapa yang diam-diam menculiknya. Demi puyang-puyang yang bertakhta sepanjang bukit dan sungai, takkan aku tinggal diam. 

Kalau tumbuh selasih, jangan dilimbang dulang. Kalau sungguh hamba dikasih, jangan diberi di ambil orang.

Terbetik kabar, setiba di Palembang, Dayang Rindu tak sudi diperistri Pangeran Riya. Tinimbang bersanding dengan lelaki bukan pilihan hati, ia terbang ke khayangan, berkumpul kembali dengan kedua orang tua dan tunangannya Ki Bayi Radin.

Malu dan dendam bersekutu membuat Pangeran Riya muntab. Kepalang tanggung, dikerahkannya rombongan perahu dan kapal dalam jumlah lebih besar untuk menebus dendam, melantakkan Tanjung Iran. Tersebab kasih tak sampai, lelaki berharta bertakhta jadi gelap mata.

Aku pun tak jera tarung sekali. Ketika rombongan dari Palembang dalam perjalanan kembali ke Tanjung Iran, aku pergi memburu lawan. Dusun dan rimba kulalui. Menyusur jalan setapak berliku-liku. Dari pinggang hingga puncak bukit. Menyeberang ngarai curam dan sungai berhantu banyu. Akan kuburu Pangeran Riya hingga ke lubang semut.

***

TERANG bulan di Tanjung Iran. Perang Palembang dan Tanjung Iran telah selesai. Kerie Niru mati kubunuh, namun mujurlah Pangeran Riya. Ajal masih jauh dari napasnya. Seperti kijang sawan menghindari terkam lemawang, dia berhasil kabur ke jantung belantara sebelum sempat bersua denganku.

Tapi tak kunyana, sepulang berperang di Niru dan Palembang, Tanjung Iran luluh lantak tak berwajah. Darah menggenang sepanjang jalan. Anyirnya menyesak ke paru-paru. Rumah-rumah panggung jadi arang. Kendi pecah, lampit koyak-moyak. Tubuh-tubuh tanpa nyawa centang perenang. Sanak kerabat dan handai taulan tak tersisa. Sungguh, pulang ini serasa mati. Hidup serasa hilang nyawa. Demi apakah perang ini? Untuk siapakah mengadu nyawa?

Akulah Singaralang, bujang juaro Tanjung Iran. Terkapar di kampung halaman yang berkubang darah, tahi lalat di kaki kiriku berdenyut pelan, seperti mengimbau agar aku kembali berjalan. Menghilir hingga sisa umur. Bukankah ajal, pengintai segala yang hidup itu, telah tertera di kitab takdir. n

Bandar Lampung, 2012-2013


Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013

Sunday, October 13, 2013

Kami Tusuk Mata Kami

Cerpen Benny Arnas


ANAK pertama kami lahir. Jenis kelaminnya perempuan. Saya dan istri senang sekali. Kami menamainya Dinda Sahasika. Sebenarnya kami ingin menamainya Sahasika saja. Memang kami tidak terlalu paham artinya. Kami lebih menyukai bunyi ketika nama itu disebut. Terdengar unik. Namun, karena ibu saya yang begitu bahagia dikaruniai cucu perempuan meminta pendapatnya didengarkan, kami pun menambahkan “Dinda” sebagai nama depannya.

Perihal nama, bagi kami masih dapat dikompromikan selama itu masih enak didengar. Lagi pula, bagi kami, arti sebuah nama tak banyak berpengaruh terhadap sifat dan masa depan seseorang. Lihatlah, begitu banyak orang yang memiliki nama dengan arti yang luar biasa bagusnya, tetapi berperangai kurang ajar dan hidup tak berjuntrungan. Ah, sudahlah, kami tak mau membincangkan ini lebih jauh. Kami takut malah menyinggung perasaan orang lain.

O ya, setelah kami pikir-pikir, nama anak kami yang sekarang juga terdengar indah.

Ah, hal ini tidak lepas dari rona kebahagiaan yang kami tangkap dari wajah perempuan yang melahirkan saya itu (ya, istri saya adalah seorang yatim piatu). Walau Dinda Sahasika bukan cucu pertamanya, sejauh ini Dinda adalah cucu perempuan satu-satunya. Cucu pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki lahir dari rahim adik ipar saya (adik saya lebih dahulu menikah daripada saya). Fakta lain yang mendukung adalah saya dan tiga saudara kandung saya semuanya laki-laki.

Dengan kenyataan itu, kami memaklumi kebahagiaan Ibu yang meletup-letup. Tentu kami tidak mau mencederai perasaannya hanya karena usulan namanya kami tolak. Ibu bahkan sempat melompat kegirangan beberapa detik setelah memastikan bahwa istri saya melahirkan bayi perempuan. Dua perawat yang membantu proses melahirkan pun tampak sedikit terkejut dengan kegirangan Ibu. Mereka sempat berpandangan sesaat sebelum sigap membereskan jahitan di selangkangan istri saya.

*

ORANG-ORANG menyebut kami sangat beruntung. Bukan hanya karena kami memiliki buah hati, tapi juga karena istri saya melahirkan pada tanggal 14 Februari. Melahirkan di Hari Valentine sungguh diimpikan banyak pasangan, begitulah kurang lebih inti ungkapan mereka yang dilontarkan dengan nada penuh ketakjuban.

Kami hanya tersenyum. Jujur saja, kami tidak peduli tanggal berapa dan bertepatan dengan hari atau perayaan apa bayi kami dilahirkan. Bagi kami setiap hari adalah hari kasih sayang. Bayi kami lahir dalam keadaan sehat, anggota badannya lengkap, dan tinggi serta berat badannya normal, bagi kami sudah lebih dari cukup. 

Ternyata, memiliki bayi mungil itu memang meruahkan kegembiraan. Sepanjang hari kami bermain-main dengan Dinda (begitu akhirnya anak kami dipanggil) dengan penuh keceriaan seolah-olah ia adalah muara semua kebahagiaan kami. Saking asyiknya bermain, kami sering lupa waktu. Kami sering tak menyadari kalau matahari sudah lari, kalau malam sudah tinggi, kalau subuh sudah kembali. Kami berdoa siang dan malam, memohon agar Dinda selalu diberi kesehatan dan kebaikan.

Kalau dipikir-pikir, memiliki anak telah membuat kami seperti orang gila. Ya, seperti, bukan sebenar gila. Kami berbicara kepada Dinda seolah ia sudah mengerti arti semua kata-kata. Kami menganggap semua gerakan badan Dinda sebagai reaksi atas yang kami ucapkan, padahal kami sadar benar kalau bayi belum tahu apa-apa. Dan bagian ini yang kami pikir sangat lucu: ketika Dinda tertidur, kami selalu menggodanya agar kami dapat segera mencumbuinya. Namun, kalau ia terjaga sepanjang hari, kami tak henti meninabobokkannya agar kami dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang lain.

Ah, ternyata kehadiran buah hati bukan hanya menggelombangkan membahagiakan, namun juga melimbungkan pendirian. Kami kerap tertawa menyadari kekonyolan ini. Benar! Dinda benar-benar mampu membuat kami melupakan kedewasaan yang seharusnya sudah melekat pada usia kami. Kami seolah sama dengannya. Ia seolah sama dengan kami. Kami larut dalam dunia yang baru. Dunia baru yang menyenangkan. Dunia baru yang tidak menguar aroma keasingan. Dunia baru yang cepat dikaribi. Dunia baru yang penuh candu. Dunia baru yang benar-benar di luar dugaan. Ya, kami memang sering mendengar bahwa memiliki anak seolah menggenapkan kebahagiaan dalam kehidupan. Kami percaya itu. Namun kami tak pernah menyangka kalau kebahagiaan itu akan menjadi sebegininya. Terlalu sukar digambarkan. Terlalu manis dibayangkan, tetapi sangat sayang bila raib dari ingatan.

*

KALAU Dinda menangis, istri saya akan langsung meraihnya. Hebatnya, istri saya seolah tidak pernah merasa kelelahan walaupun lebih setengah hari Dinda berada dalam buaian tangannya. Saya baru akan membuainya kalau perasaan bersalah membiarkan istri saya seharian bersama Dinda, mengerubungi saya. Ah, saya benar-benar suami yang tidak sensitif, rupanya.

Sekali-kali, kami juga membaringkan Dinda di dalam buaian yang kami buat di dekat dapur. Kami mengayun buaian itu dengan ketukan dan kecepatan tertentu. Kadang agak cepat, kadang sangat pelan. Kami tak pernah mengayunnya dengan cepat atau sangat cepat karena kami tahu Dinda pasti merasa tak nyaman. Kami selalu bahagia kalau mendapatinya tidur dengan lelap. Wajah bayi memang berlumur ketenangan. Kami benar-benar percaya, kalau bayi terlahir tanpa dosa. Termasuk bayi kami, tentunya.

Makin hari, kami makin menyayangi Dinda. Namun kami juga harus menerima keadaan bahwa sejatinya kami tidak bisa menemani Dinda sepanjang hari. Istri saya adalah seorang guru. Sementara saya adalah seolah pengarang. Ketika masa cuti melahirkan istri saya sudah habis, mau tidak mau ia harus kembali pada rutinitas di sebuah SMP di pedalaman kabupaten. Saya pun tak kalah sibuknya. Ya, saya benar-benar tidak mengerti bagaimana saya bisa serta-merta menerima tawaran seorang editor sebuah penerbitan untuk menulis sebuah novel dalam waktu kurang dari satu bulan. Apakah ini yang disebut berkah lahirnya seorang anak? Mungkin saja. Dan saya pikir, patutlah saya mensyukurinya. Namun begitu, tak dapat dinafikan, sebagaimana istri saya, waktu saya untuk mencumbui sang anak pun makin berkurang.

Awalnya ibu saya sering datang ke rumah sehingga kami merasa Dinda tidak akan terlalu merasa kesepian kalau kami tinggalkan. Namun, Ibu pun tidak bisa selama-lamanya begitu. Selain karena ia masih memiliki suami dan dua adik saya yang harus diurus, rumahnya pun tak bisa dibilang dekat dari rumah kami. Apalagi Ibu tidak memiliki pembantu untuk mengurusi rumahnya. Kami pun maklum kalau Ibu tidak bisa selalu menggantikan peran kami.

Maka, kami membayar seorang pengasuh bayi. Karena banyaknya pekerjaan rumah yang terbengkalai, kami meminta pengasuh bayi kami mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Tentu saja, bayarannya kami tambah. Memang, hal itu membuat ia tidak mampu sepenuhnya mengurus Dinda sehingga anak kami lebih banyak berada dalam buaian. Saya sering mendapati Dinda terlelap di sana. Kasihan juga sebenarnya, tapi apa hendak dikata, kesibukan yang kami jabani, bukan hanya untuk kami. Semua untuk Dinda. Untuk memenuhi semua kebutuhannya kelak.

Kami memang tengah mempersiapkan dana yang cukup besar agar Dinda dapat bermain di taman kanak-kanak yang berkelas dan belajar di sekolah yang berkualitas. Ah, senangnya apabila semua itu terwujud nantinya.

Anakku, anak kami, tidurlah nyenyak di buaian, ya. Kami akan selalu mendoakan dan membesarkanmu dengan cinta. Setumpuk pekerjaan dan kesibukan takkan mampu mengurangi perhatian dan kasih sayang kami. Percayalah, Dinda, walaupun orang tuamu jarang lagi mengajakmu bermain, hati dan cinta kami takkan pernah beralih darimu. Termasuk ketika pengasuh bayi mengabarkan kalau kau terjatuh dari buaian pagi tadi. Saat itu, ayahmu ini sedang berada di perpustakaan, mencari data demi sebuah novel yang tenggatnya tinggal menghitung hari. 

Cepat bawa Dinda ke dokter, nanti saya telepon Ibu untuk nyusul ke sana! Seru saya kepada pengasuh bayi itu di ujung telepon. Istri saya yang sedang rapat kurikulum di sekolah juga sepakat begitu. Tak lama kami sudah beroleh kabar kalau Ibu sudah berada di tempat praktik dokter langganan kami. Alhamdulillah. Saya dan istri lega sekali. Saya dapat merampungkan dua bab terakhir novel saya dan istri saya dapat mengikuti rapat dengan tenang.

Ah, Tuhan memang menyayangi kami, kedua orang tua yang tak kenal waktu untuk menghidupi anaknya. Ya, kami tak ingin Dinda tidak bisa minum susu hanya karena kami tak mampu membelinya (walaupun harga BBM batal naik, tapi sepertinya itu hanya untuk sementara—Ah, itu alasan yang tidak penting). Yang paling nyata adalah Tuhan selalu menyayangi orang tua yang begitu peduli pada masa depan anaknya, orang tua yang begitu menyayangi anaknya Ya, tentu Tuhan memaklumi kesibukan kami yang bejibun. Kami melakukan semua ini demi anak kami. Tentu bila tumbuh sehat dan cerdas, Dinda akan menjadi bagian dari generasi penerus yang tidak hanya membanggakan kami, tapi juga bangsa dan negara. Syukur-syukur ia bisa jadi negarawan perempuan yang disegani dan dihormati.
Ya, kami sungguh tidak mengerti, sebagai orang tua yang seharusnya bijak, Ibu justru lebih banyak menyalahkan kami perihal jatuhnya Dinda dari buaian. Kami bekerja, Bu, dalih saya. Kami mohon maaf kalau Ibu merasa direpotkan, timpal istri saya sembari menimang Dinda yang diantar Ibu lepas magrib tadi. Ibu justru mencak-mencak. Ia mengatakan kalau kami tidak bisa memilah mana yang lebih penting.

Jujur, saya tersinggung. Sebenarnya saya berharap Ibu dapat membantu kami sebagaimana ia dahulu dengan telaten mengasuh anak adik ipar saya. Saya merasa Ibu belum cukup tua untuk memberikan perhatian yang serupa. Saya merasa sudah pilih kasih. Saya pun meluapkan unek-unek saya. Saya membandingkan perlakuan yang Ibu berikan kepada anak kami dan anak adik ipar saya. Ibu menganggap saya terlalu perasa dan berlebihan. Tapi saya pikir justru Ibu yang keliru. Saya benar-benar kecewa kepada Ibu. Saya marah besar.

Saya sadar kalau saya sudah termakan amarah. Beberapa kali istri saya mencoba menenangkan dan meminta saya mengontrol diri, tapi saya tidak memedulikannya. Saya pikir saya harus menunjukkan wibawa saya sebagai seorang anak tua, apalagi saya sudah memiliki keluarga sendiri. Istri saya pun tak dapat berbuat banyak. Saya bahkan membentaknya ketika ia hendak merangkul Ibu yang meneteskan air mata. Kini, ia berdiri tidak jauh dari saya sambil menahan tangis.

Malam itu, Ibu pergi tanpa sepatah kata. Saya menyesal, sebenarnya. Tapi saya pikir, apa yang saya lakukan sudah benar. Istri saya lebih banyak diam malam itu. Ia membuatkan kopi jagung kesukaan saya selepas kami salat isya berjamaah. Sungguh, saya tidak suka keadaan seperti ini. Saya merasa istri saya sebenarnya tidak menyukai apa yang baru saja saya lakukan kepada Ibu, tapi dia tidak berani mengutarakannya.

Tiba-tiba, pengasuh bayi kami berlari tergopoh-gopoh dari arah dapur. Badan Dinda panas sekali. Saya tak ingat lagi kata-kata selanjutnya. Kami bergegas menuju dapur. Tak lama, istri saya meraung. Saya gegas menuju garasi sembari melarang pengasuh bayi menelepon Ibu. Kami harus mandiri, pikir saya. Kami segera ke rumah sakit. Saya menyetir dengan tangan yang menggigil. Syukurlah kami sampai di tujuan dengan selamat.

Kami yakin Tuhan sebenarnya sangat sayang kepada kami hingga Ia menurunkan cabaran ini. Kami sangat sayang anak kami. Ia pasti tahu itu! Kami sudah berusaha mempersiapkan semuanya untuk Dinda, terutama persiapan materi yang sangat dibutuhkan di zaman sekarang kami. Ya, kami yakin Tuhan akan menyembuhkan anak kami, sebagaimana Ia sangat menyayangi para orang tua yang begitu menyanyangi buah hatinya.
Seperti kami, termasuk kami, tentu saja. n

Lubuklinggau, 2012—2013


Lampung Post, Minggu, 13 Oktober 2013

Sunday, October 6, 2013

Insiden Sebuah Kaleng

Cerpen Tjak S. Parlan


AKU seperti melupakan sesuatu hari ini. Aku menjelaskan gejalanya sejak seperempat jam lalu dengan gerak gerik ringan seorang yang sedang gelisah. Seingatku, aku pernah menaruhnya di tempat itu. Pasti masih di sana, terlindung dari tangan siapa pun yang akan menjamahnya. Hanya ada aku di tempat ini: dijamin semua rahasia akan terjaga.

Tapi ada Joan. Ah, betapa aku nyaris melupakannya. Hanya saja jika kemungkinan itu ada, pastilah sangat tipis. Apa mungkin Joan yang melakukannya? Menurutku Joan bukanlah tipe seperti itu. Bahkan pemalas itu kadang begitu lamban memenuhi aktivitas di rumah ini.

Memang, sekali waktu saat aku mulai kurang memberi perhatian padanya, Joan akan berjingkat-jingkat menyusulku ke dalam kamar. Sebentar saja biasanya. Hanya sebatas mengelus-elus kepalanya yang hangat, seolah-olah aku ingin mengatakan padanya bahwa aku begitu sibuk beberapa hari itu sehingga aku tak sempat menyapanya. Sesudahnya, Joan akan pergi dengan tatapan mata bahagia, meringkuk di kehangatan sofa ruang tamu, melanjutkan mimpinya bersantap senampan dengan Macarena.

Jangan-jangan Macarena. Siapa tahu, ketika aku sedang tidak di sini, Macarena bersijingkat menuju kamarku dan langsung membuka brankas yang tak pernah terkunci itu. Ini tidak dilakukannya sendiri. Mungkin Macarena bersekongkol dengan Joan. Bukankah mereka sudah begitu dekat? Jika itu benar adanya, Macarena pasti telah menebarkan rencana busuk itu melalui pesona ekor belangnya yang menawan. Bukankah itu membuat Joan cukup tergoda menuruti kemauannya? Apalagi, bersamaku Joan belum bisa sepenuhnya memenuhi hasratnya.

Menurutku, satu-satunya yang membuatnya betah tinggal di tempat ini hanya karena aku membebaskannya melakukan apa saja. Aku juga kerap menduga, mungkin saja karena ia bisa sering-sering bertemu Macarena. Ah, Macarena memang menggoda. Ia bersih dan sintal. Liuk ekornya ketika berjalan, menerbitkan keinginan setiap orang untuk memilikinya. Aku sendiri bahkan pernah mengurungnya selama berhari-hari di loteng dengan harapan ia cepat melupakan rumahnya.

Kalau itu yang terjadi, kesimpulanku sangat sederhana: Joan sudah tak setia lagi padaku. Ini bisa terlihat dari sifat main belakangnya. Diam-diam Joan telah berani menelikungku di tengah-tengah kondisi terpuruk yang belakangan menyerangku. Kalau tahu begitu, aku tak akan pernah merelakan sekaleng makanan ringan pada sebuah malam dengan hujan membabi buta yang membuat cacing-cacing liar dalam perutku menggeliat-geliat. Waktu itu, saat tepergok tatap matanya yang suram berlendir itu, aku merasa harus berbagi setengah kaleng dengannya.

Sejak kejadian itulah, matanya terus-terusan mengusikku. Di kemudian hari, aku mulai sering berbagi apa saja dengannya. Berbagi tempat tidur, berbagi makan sekaleng berdua, berbagi tongkol, berbagi ikan asin. Kehadiaran Joan juga sering membuatku terbangun oleh suara-suara ribut di ruang tamu: suara sepasang itu, Joan dan Macarena, tengah merayakan musim kawin yang dingin. Selanjutnya aku sering melihat mereka jalan-jalan berdua.

Mengingat kejadian-kejadian kecil yang menghubungkan Joan dengan aktivitasnya, membuatku semakin curiga saja. Kondisiku secara mental dan fisik, dengan rumah terbengkalai ini, membuatku cenderung menyalahkan secara serampangan. Hanya ada dua pihak yang bertanggung jawab di rumah tua ini. Pihak pertama tentunya aku.

Pihak kedua, siapa lagi kalau bukan Joan? Artinya, jika terjadi apa-apa dengan salah satu di antara kami, harus ada yang bertanggung jawab. Selama kejadian-kejadian itu terjadi di areal ini, aku akan melibatkan yang paling dekat. Sekali lagi, dalam kondisiku yang serba menurun belakangan ini, Joan adalah pihak paling dekat yang memiliki peluang besar untuk disalahkan!

Aku akan minta maaf, jika nyatanya Joan tak memiliki andil dalam kasusku ini. Tapi melihat keakrabannya dengan Macarena, itu membuatku terinspirasi untuk menjadikan dua nama ini sebagai penyebabnya. (Ingat saudara-saudara, ini sebuah persekongkolan, dan aku memiliki peluang melibatkan kedua-duanya!)

Kunci utama ada pada Joan. Tapi sekarang Joan ada di mana? Mengapa justru ketika aku mengalami kondisi seburuk ini, ia tidak bersamaku? Pasti ia sedang berpesta kepala-kepala tongkol itu bersama Macarena di rumah Tante Laura. Aku tahu, Joan sebenarnya paling suka makanan yang diawetkan. Mungkin karena ia mampu mengendus sugesti yang dihembuskan oleh aroma kaleng itu sepertiku. Atau bisa saja: Joan bersamaku menang kenangan.

Ingat, dari sekaleng ikan itulah, kami pernah dipertemukan. Itu menjadi kenangan terus menerus. Artinya, aku sebenarnya tidak perlu kawatir betapa pun Tante Laura—majikan Macarena itu—telah memanjakannya dengan berlusin-lusin jenis makanan lain. Joan akan tetap memiliki insting kegemarannya. Ia akan kembali bergairah saat kusisakan aroma yang menggoda itu di hadapannya.

Joan belum juga datang. Beberapa asumsi positif yang kubangun tentang dirinya, perlahan-lahan mulai berguguran. Berangsur-angsur lenyap bersama daya tahan fisik dan psikologisku yang terus melemah. Tapi aku belum menyerah. Aku yakin pernah menaruhnya-bahkan menyimpannya di tempat yang aman. Di dalam sana, di sebuah lemari kayu yang tak pernah terkunci.
           
***
               
Empat buah tas usang itu selalu berada di sana. Di dalamnya adalah helai-helai kertas berisi catatan harian, nota tagihan, kartu perpustakaan, kartu kesehatan, kuitansi, sobekan halaman majalah adventure, kaus kaki kotor, sarung tangan, foto kawan lama dengan  pose menggelikan, foto masa gemilang dengan potongan rambut yang memaksa siapa pun yang melihatnya hari ini akan menggelandangku ke tukang cukur, bungkus makanan ringan yang ketinggalan dan lain-lain. Beberapa yang bisa dibawa ke mana-mana adalah penghuni utama, tak lain sekadar buku, sepotong dua baju pengganti, sikat gigi, odol, sabun dan pencukur kumis. Maklum, nyatanya aku pernah lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Sekali waktu, jika aku kembali ke rumah ini, aku merasa tak perlu memindahkan semua isi di dalam tas ke dalam bagian lain di sebuah lemari tua itu. Aku sengaja membiarkannya, betapa pun dan bagaimanapun isinya.

Jari-jariku terus menyisir sampah-sampah peninggalan masa lalu itu. Mengembara, dari tas satu ke tas lainnya. Di saat aku mulai menjamah punggungnya, aroma gunung tercium. Segar kulit kayu pinus membuatku merasakan penetrasi hutan perawan. Daun-daun cemara, pucuk-pucuknya menjulang mengingatkanku pada kenangan. Selalu dengan cokelat susu, mi rebus, kretek yang meledakkan jantung dan gumpalan protein dalam kemasan kaleng kesukaanku. Aku terus menyusuri dari satu ceruk ke ceruk lainnya. Jari-jariku menangkap apa saja dari sisa-sisa yang tertinggal yang terus menggiringku ke arah nostalgia tertentu—yang hari ini terasa seperti perihnya luka bertabur garam.

Tapi aku belum menyerah juga, bahkan ketika jari-jariku tuntas merogoh seluruh isi perut tas itu. Justru tiba-tiba aku semakin yakin bahwa hari ini aku hanya melupakan sesuatu. ”Sebentar lagi, setelah aku berhasil menguasai keadaan aku akan cepat-cepat mampu mengingatnya. Mungkin aku perlu sedikit ketenangan. Aku kira, tempat dan ruang yang berbeda akan bisa membantuku,” batinku.

Di sofa  tempat biasa Joan bermalasan, aku berusaha tenang memikirkan sesuatu. Mengingat kembali setiap kejadian yang akan menuntunku menemukan apa yang kucari.

”Duh,” gumamku. Aku tidak bangun pagi hari ini. Tidak seperti kemarin-kemarin ketika aku masih punya semangat untuk mengetuk setiap pintu, menawarkan sedikit keahlianku. Tapi sayang, pintu-pintu yang senantiasa terbuka itu ternyata tidak membutuhkan orang sepertiku. Aku hanya menerima kata permakluman dengan lebih banyak bumbu-bumbu halus permintaan maaf. Kalimat-kalimat yang berbeda-beda tapi intinya tetap bermuara pada satu kesimpulan: mereka tak pernah menginginkanku.”

Aku mengingat semua itu hingga hari ini tiba. Hari di mana aku telah benar-benar kehabisan amunisi di seluruh tubuh dan pikiranku. Ah, sudahlah. Rumah ini bahkan terlalu besar untuk orang yang didera persoalan perut sepertiku. Lapar, sebelumnya hanya masalah waktu bagiku. Tapi saat ini sudah menjadi persoalan rumit. Membayangkan sepiring nasi, sebatang rokok, secangkir kopi,  telah membuatku  tak bisa mengingat di mana pernah kutaruh kaleng terakhir yang akan membuatku sedikit memiliki tenaga untuk menemui seseorang yang bisa membantuku di luar sana.

Aku sudah mencarinya di seluruh isi rumah ini dan tak kutemukan apa-apa. Padahal, aku pernah terbiasa membukanya tiap pagi, menghangatkannya dan menghibur perutku dengan beberapa potong yang mengandung protein itu bersama Joan. Bagaimanapun Joan telah menjadikan rumah ini memiliki tanda-tanda kehidupan, jadi aku tak punya alasan untuk tidak berbagi dengannya.

Dari sofa itu, sudah sampai di mana jarak yang ditempuh pikiranku? Jam berlalu, aku makin terasa lebih ringan dan mengapung. Cacing-cacing liar bermain akrobat dalam perutku. Bahkan, kini perih gigitannya menebar ke seluruh anggota tubuh, menjadi getar di lututku, menjadi ribuan kunang-kunang di mataku. Menjadi peluh dingin di kening, menjadi warna pucat tisu pada wajahku. Menjadi langkah-langkah  kecil yang terseret ke arah pintu. Menjadi kesadaran samar-samar ketika aku mulai menangkap suara-suara mendekat. Aku tahu, pengaruh rasa lapar ini masih tak bisa membuatku lupa terhadap suara-suara yang kukenal. Suara nyaring yang mengiris-iris perutku itu adalah suara kaleng yang terseret sembarangan.

Dan benar, Joan si pembawa suara itu kini tepat di depanku. Wajahnya tersentak sewaktu mata itu tepergok mataku. Seolah ingin melindungi hasil buruannya, Joan tak bisa menutupi sifat rakusnya. Ia menyantap apa saja yang muntah dari dalam kaleng itu sambil sekali-kali menatapku. Sayatan-sayatan giginya telah mengubah gumpalan-gumpalan daging itu menjadi karut-marut kecil yang menyedihkan. Sayatan-sayatan giginya dalam sekejap telah menyayati nasibku juga. Ketika semua itu terjadi aku benar-benar mencium aroma yang amat kukenal: aroma segar gairah yang dihembuskan dari meja makan siang. Aku tahu, meja makan itu kini sedang terhampar luas di depanku. Ada lantai ubin berdebu, seekor kucing yang pergi dari tuannya dan kembali memamerkan hasil buruannya.

”Bangsat kau, Jo... makin lapar saja aku,” geramku sambil berlalu. n


Lampung Post, Minggu, 6 Oktober 2013