Sunday, September 29, 2013

Jangan Biarkan Bulan Tenggelam

Cerpen Tandi Skober


BERMULA dari iseng chatting internet, Aini (17) dan Dading (17) bersua kreatif, akrab, dan nyeleneh. Meski masih SMU, Aini mengaku mahasiswi pascasarjana (S2), sementara Dading yang juga masih SMU berpura-pura sebagai eksekutif muda yang baru saja menggondol gelar magister dari sebuah univeritas negeri.

Kebohongan identitas itu berlanjut hingga saling berkirim SMS  yang sesekali saling bertukar misscall. Bahkan saling menyapa “say hello” melalui radio FM. Untuk meyakinkan true lies itu Aini kerap meminta tolong Asih (27)—mahasiswi pascasarjana—setiap kontak SMS dengan Dading. Demikian juga Dading, agar bisa diyakini bahwa dirinya adalah sosok eksekutif muda bergelar doktor, selalu meminta agar Kana (30)—eksekutif muda—mengajari teks-teks berwacana intelektual. Tak aneh apabila, pada posisi tertentu pada akhirnya interaktif SMS itu dilakukan antara Asih dan Kana.

Waktu bergulir. Interaktif SMS yang semula bernada biasa-biasa saja menjadi ajang curhat. Saat akhir pekan, misalnya, Aini dan Dadang saling meluncurkan imajinasi-imajinasi seperti layaknya remaja sedang “falling in love”. Pada malam-malam tertentu kadang ada pertengkaran SMS meski selalu berakhir untuk saling merindu.

Hingga pada titik didih kasmaran tertentu, ada hasrat yang tak cuma sekadar bertukar SMS, yang cuma memiliki mimpi dan bayang-bayang dalam kemasan imajinasi aneh, keduanya—Aini dan Dadang—bersepakat bersua sosok di sebuah kafe, Sabtu, pukul 20.00.

Di sini timbul masalah. Aini ragu. Saat temu perdana nanti, ia harus berbuat apa untuk meyakinkan Dadang bahwa dirinya bukan anak SMU, tapi seorang mahasiswi pascasarjana. Demikian juga Dadang, ia cari akal untuk meyakinkan bahwa dirinya bukan anak SMU, melainkan sosok eksekutif muda energik dan mapan.

Tak pelak, baik Aini maupun Dadang mencoba mencari trik-trik tertentu, putar otak. Terus? Apa boleh buat, lagi-lagi,  untuk penampilan dan sang keyakinan itu, dua remaja itu meminta bantuan pada seniornya.
Aini, misalnya, didandani Asih. Remaja berusia 17 tahun itu diubahsuai menjadi wanita matang berusia 27. Dan Dadang dipoles Kana agar berpenampilan lebih dewasa seolah-olah berusia 30 tahun.

Aini untuk pertama kalinya mengenakan gaun malam dengan belahan dada sedikit terbuka, rambut ditata terurai dan memakai lipstik. Di depan cermin Asih tersenyum, terkagum-kagum memandangi Aini, “Kamu tidak lagi cewek SMU, Aini! Kamu benar-benar seperti bidadari cantik cerdas dan aku yakin Dadang yang eksekutif muda akan terpesona memandang kamu.”

Akan halnya Dadang berkemaja lengan panjang formal, rambut disisir rapi lurus berminyak licin. Tentu, Dadang mengenakan kacamata. Dan satu lagi, Kanu memberikan kunci mobil pribadi kepada Dadang. "Aku pinjami kamu mobil. Ini agar kamu diyakini Aini sebagai eksekutif muda! Kamu harus calm dan confident! Tatap mata Aini dengan sinar mata lembut tepat di antara dua matanya. Oke?” Dadang mengangguk.

Bersuakah mereka? Ternyata, tidak. Baik Dadang maupun Aini cuma berdiri kebingungan di depan pelataran kafe. Ada keraguan dan debaran jantung yang aneh yang membuat keduanya tidak percaya diri. Terus? Keduanya, secara bersamaan, tepat pukul 20.00, dari pelataran parkir kafe saling mengirim SMS “Sorry, aku nervous. Ragu. Sebaiknya temu kita dibatalkan!”

Hasrat untuk bersua sosok yang selalu berakhir aneh dan urung itu, berlangsung beberapa kali. Hingga sekali tempo Tuhan mempertemukan mereka melalui lomba baca puisi. Aini dari SMU 1 diutus sekolahnya untuk mengikuti lomba baca puisi. Demikian juga Dadang menjadi wakil SMU 2 untuk ikut berpartisipasi mengikuti lomba baca puisi.

Saat lomba berlangsung dan menunggu giliran manggung, Aini dan Dadang duduk berdampingan. Dan tentu saja, tidak saling kenal. Tapi saat saling bertatapan, baik Aini maupun Dadang merasakan getar-getar halus yang merambati jiwanya, agak aneh tapi nyaman. Dan keduanya saling tersenyum.

Aini tampilkan puisi—meski karya Asih—tapi diakui sebagai karya pribadinya Air Mata Mengalir di Jarimu. Sedangkan Dadang tampilkan karya Kana yang  juga diakui sebagai karya dirinya berjudul Jangan Biarkan Bulan Tenggelam.

Tentu saja, puisi dua remaja itu—yang pada hakikatnya ditulis remaja dewasa itu—menjadi puisi terbaik yang memukau para dewan juri. “Puisi kontemplasi yang berlari jauh melampaui batas usia remaja tujuh belasan,” komentar ketua dewan juri.

Hingga pada hari “H” final lomba, keduanya duduk berdampingan  menanti pengumuman dewan juri. Aini harap-harap cemas. Dadang  berkeringat dingin. Seperti biasa, bila begini Aini mengirim SMS untuk Dadang. Demikian Dadang, ia agak gemetar memijiti HP kirim SMS ke Aini. Dan? Secara bersamaan HP Aini dan  Dadang berbunyi tiitttttt! Keduanya saling tukar pandang. Aneh! Sama-sama menerima SMS. Dan lebih aneh lagi ketika kedua remaja itu dinyatakan sebagai juara bersama dalam lomba puisi.

Aini dan Dadang saling angkat toast HP tanda sukses. Dan keduanya memijiti nomor miss call.  HP sama-sama berdering. Hingga? Agak ragu Aini dan Dadang mengucapkan halo melalui HP masing-masing. Terus? Mereka berpandangan. Dua pasang bola mata berpijaran.

“Kamu?” sapa Dadang dan Aini refleks.

Di posisi inilah, keduanya sadar bahwa keduanya sebenarnya telah lama akrab. Mereka dipertemukan Tuhan lewat jalur lomba baca puisi. Mereka tertawa tak sadar saling berpelukan, melepas rindu yang selama ini cuma ada dalam imajinasi aneh yang selalu memasuki ruang malamnya.

Bermula dari chatting berakhir di arena puisi, cinta remaja itu bergulir linier dan indah. Dan mengalir hingga jauh. Hingga ada keyakinan yang sulit ditepis bahwa keduanya bagaikan sekotak cokelat manis tidak tahu mana manisan gula dan mana pula cokelat! Manunggal!

Hingga, sekali tempo, selintas angin menjadi badai di tepian cinta remaja itu. Sekelompok seniman senior menghujat puisi dua remaja itu.

“Pasti ini bukan karya Aini maupun Dadang! Ini kebohongan publik!” ungkap Afrizal, seorang  penyair yang kerap nongkrong di Taman Budaya,

“Ini puisi plagiat! Saatnya kita adili dua remaja itu!”

Tentu saja, hujatan itu kabar buruk bagi Aini dan Dadang. Di sekolah, keduanya dilecehkan di majalah dinding. Karikatural Aini dan Dadang terpampang di majalah dinding ditimpali teks “Bohong!” Sementara di tabloid remaja hujatan agar Aini dan Dadang diadili lewat peradilan puisi terus-menerus mengalir. Lantas Aini dan Dadang? Cuek-cuek saja. Bahkan mereka bersedia diadili para pakar puisi di republik ini.

Peradilan puisi pun digelar di sebuah ruang disponsori sebuah tabloid remaja. Aini dan Dadang duduk berdampingan menghadapi para pakar puisi yang diketuai Afrizal. Suasana ramai hiruk pikuk dipadati para kawula muda. Dan Tuhan berpihak kepada jalinan kasih sayang yang steril. Ada lintasan-lintasan imajinatif keluar dari bibir dua remaja itu dalam bentuk teks-teks kalimat amat puitis, filosofis, dan mengalir begitu bagus.

Ini membuat Afrizal dan audiens terpukau. Bahkan amat terkagum-kagum manakala Aini dan Dadang secara spontas bisa menciptakan puisi yang rumit dan menyentak kalbu. “Luar biasa!” ucap Afrizal seraya berdiri memberi aplause. Tak cuma Afrizal para remaja di ruang peradilan pun bertepuk tangan.

Afrizal melangkah mendekati kedua remaja itu, memeluk Aini dan Dadang. ”Hands have no tears to flow,” ucap Afrizal. ”Kalian adalah sepasang pengantin puisi di republik yang kering yang tidak memiliki jejak-jejak sajak memukau.”

***

Hmm, sinopsis FTV karyaku itu langsung saya kirim via e-mail ke produser sinema. “Ini cerita paling ok, loh,” tulis saya  mengantar sinopsis via e-mail ke produser X, ”Andai berminat, kirim dong honorarium.“

Hmm, sinopsis yang ditulis di Semarang, Wednesday, June 12, 2002 1:15:32 PM itu, sampai sekarang Tuesday, September 13, 2013 1:00:51 AM, tidak pernah berbalas honor. Apa boleh buat saya kirim ke Lampung Post dengan pengantar surat: ”Dikmas Udo Z. Karzi, buah duren buah kedondong, ini cerpen muat dong..”

Bandung, 3 September 2013


Lampung Post, Minggu, 29 September 2013





Sunday, September 22, 2013

Abnormaphobia

Cerpen Sungging Raga


LELAKI itu baru saja duduk di ruang konsultasinya ketika tampak sosok seorang wanita muda di balik pintu kaca.

“Hm, semoga hari ini aku tidak mendapatkan klien yang aneh, cukup kemarin saja aku bertemu dengan seseorang yang takut dengan bayangannya sendiri,” ucap lelaki itu dalam hati. Ia lantas membuka pintu, mempersilakan si wanita duduk, dan seperti biasa, ia memulai dengan kalimat yang sama:

"Selamat pagi, hari yang indah untuk berbagi perasaan pada orang lain. Jadi, apa keluhan Anda?” Ia bertanya sambil tersenyum, sementara wanita itu masih terlihat mencemaskan.

“Saya benar-benar takut,” jawab wanita itu.

“Takut apa?”

“Saya takut tidak bisa merasakan ketakutan lagi sama sekali.”

Lelaki itu langsung heran, sebenarnya ia ingin menggaruk-garuk kepalanya, tetapi itu bukan hal yang biasa dilakukan oleh seorang psikiater.

“Takut tidak bisa merasakan ketakutan lagi?” tanya lelaki itu.

“Benar. Ini membuat saya cemas, sampai-sampai beberapa hari terakhir ini saya susah tidur.”

“Bisa Anda ceritakan lebih detail contoh-contohnya?”

Maka lelaki itu menyimak baik-baik ketika wanita itu mulai bercerita dengan wajah yang pucat:

Pada suatu pagi, wanita itu bangun tidur dalam keadaan tidak takut kepada hal apa pun. Ia langsung menyadarinya ketika melihat seekor kecoa hinggap di hidungnya, seekor kecoa yang benar-benar kecoa, bukan jelmaan siapa-siapa. Biasanya, setiap melihat kecoa di mana pun dan kapan pun, ia akan langsung melompat, menjerit, dan berlari menyelamatkan diri ke tempat yang steril. Namun, pagi itu berbeda, ketika sepasang matanya melihat kecoa sedang hinggap di hidungnya, ia justru memungut kecoa itu dan langsung mengunyahnya begitu saja, tanpa rasa takut sama sekali.

"Kecoa itu Anda makan?” tanya si lelaki psikiater.

“Iya. Rasanya seperti tempe bacem.”

“Hm. Silakan dilanjutkan.”

Kemudian wanita itu bercerita tentang interaksinya dengan anjing tetangga yang bernama Balaidos. Sudah bertahun-tahun Balaidos mengganggu hari-hari wanita itu. Ia tak habis pikir bagaimana tetangganya begitu sabar merawat seekor anjing yang suka menyalak pada siapa pun dalam radius sepuluh meter. Setiap pagi dan sore, wanita itu akan dikecam rasa takut ketika melintas di halaman rumah tetangganya, ia bahkan sering berlari karena tak tahan mendengar suara anjing apalagi melihat bagaimana mulut anjing itu menganga dan menampakkan lidah terjulur. Karena anjing itu pula, wanita itu enggan menyapa tetangganya.

Namun, tidak untuk pagi itu, ketika ia keluar rumah dan melihat anjing itu sedang kencing di pagar, wanita itu langsung mendekatinya, lalu meninju wajah anjing itu sebanyak tiga kali sampai pingsan. Tetangganya ikut pingsan karena tak percaya saat melihat apa yang dilakukannya...
Lelaki itu mulai mencatat beberapa ucapan si wanita. Suasana di ruang konsultasi itu beranjak serius.

“Selain anjing dan kecoa, ada keanehan apa lagi?” tanya si psikiater.

“Hm, apa, ya? Biasanya saya takut mengenang sesuatu, tapi sekarang saya suka mengingat hal-hal yang telah berlalu.”

“Bukan. Maksud saya, selain hal-hal yang melankolis.”

Wanita itu kemudian bercerita bagaimana ia sudah tidak takut ketinggian, tidak takut naik roller coaster, tidak lagi menderita claustrophobia, ia juga tidak takut dimarahi bos tempatnya bekerja kalau datang terlambat, tidak takut ditilang polisi, tidak takut kegemukan, dan tidak takut kesepian.

“Wah, kompleks sekali.” Lelaki itu mengangguk-angguk.

“Jadi, bagaimana? Apa yang harus saya lakukan untuk mengembalikan rasa takut saya. Semua keanehan ini membuat saya takut. Saya benar-benar takut tak bisa merasakan ketakutan selamanya.”

“Sebentar, sebentar, saya juga bingung.”

Wanita itu menghela napas, “Saya datang kemari bukan untuk melihat Anda bingung. Kalau Anda bingung, seharusnya Anda tidak jadi psikiater."

“Lo, satu hal yang harus Nona tahu, sebenarnya saya sendiri bingung kenapa saya jadi psikiater, dulu saya bercita-cita jadi masinis.”

“Sewaktu mendaftar di jurusan psikologi Anda belum merasa bingung?”

“Nah, itulah masalahnya, saya bingung kenapa dulu saya tidak bingung ketika memilih jurusan ini. Lagi pula saya lulus biasa-biasa saja.”

Wanita itu menggelengkan kepalanya. Lelaki itu merasa takjub pada klien wanita yang mungkin cocok jadi istrinya ini.

“Begini saja, Nona... Ah, saya bahkan belum kenal nama Anda?”

“Saya Nalea. Nalea Mendieta.”

“Hm, ya, ya. Nona Nalea. Boleh tahu pekerjaannya?”

“Saya bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan seluler. Kadang juga bekerja sampingan sebagai tokoh cerita pendek.”

“O.. Begitu. Sudah menikah?”

“Belum.”

“Wah kebetulan.”

“Jadi bagaimana solusinya?”

“Em. Begini. Saya rasa, satu-satunya hal yang bisa mengembalikan rasa takut Anda adalah dengan menghadapi ketakutan terbesar.”

“Ketakutan terbesar?”

“Benar.” Lelaki itu tersenyum cerah.

“Apa itu? Jangan bilang itu sesuatu yang sangat rumit seperti istilah-istilah psikologi.”

“O, tentu tidak. Yang saya maksudkan adalah, kematian.”

“Kematian?”

“Ya. Saya sarankan, coba Anda menyeberang di Jalan Kaliurang. Anda tahu jalan itu, kan? Itu jalan yang nyaris mustahil dilalui penyeberang jalan karena semua pengendaranya adalah pembalap. Jadi, coba Anda menyeberang di jalan itu. Kalau Anda takut, berarti Anda sembuh.”

Wanita itu seperti langsung menemukan cahaya harapan yang gemilang.

“Sepertinya menarik. Benar-benar ide brilian. Saya akan melakukannya siang ini juga,” katanya.

Ia berterima kasih sebanyak mungkin, memberikan sebuah amplop, dan mohon pamit.

***

Keesokan harinya, lelaki itu duduk santai di ruang konsultasinya sambil mendengarkan lagu-lagu Ensiferum dari earphone, Mark Toivonen tengah memainkan distorsi maksimal lagu Deathbringer From The Sky ketika wanita itu tampak dari balik pintu kaca. Buru-buru psikiater itu bangkit, melepas earphone yang masih mendengungkan musik, dan membuka pintu.

“Wah, ternyata Nona Nalea. Silakan masuk.”

Wanita itu masuk dan duduk di kursi yang sama seperti kemarin.

“Hari yang indah untuk mendengarkan lagu-lagu kenangan. Ngomong-ngomong, bagaimana menyeberang jalannya? Sukses?”

Wanita itu mengangguk. “Iya. Sekarang saya sudah bisa merasakan ketakutan lagi, ternyata menyeberang jalan Kaliurang itu memang mengerikan sekali.”

“Nah. Saya bilang juga apa, pasti Nona takut menyeberang di jalan itu. Artinya Nona sudah sembuh karena berhasil mengembalikan ketakutan terhadap sesuatu. Selamat atas kesembuhan ini, tapi tak usah terlalu memuji saya, saya hanya membantu sekadarnya, sudah kewajiban saya untuk membantu meringankan masalah setiap orang, termasuk Nona Nalea yang cantik dan kebetulan...”

“Tapi,” Wanita itu memotong, “Ada satu penyakit baru yang menimpa saya, yang saya harap Anda bisa menolong untuk menyembuhkannya sekali lagi.”
“Penyakit baru?”

“Benar. Untuk itulah saya datang kemari.”

“Boleh saja. Apa itu?”

“Begini. Biarpun saya sudah merasa takut ketika hendak menyeberang, tetapi kemarin, saya telanjur melangkah ke tengah jalan Kaliurang yang sangat ramai itu.”

“Hah? Lalu?”

Wanita itu sedikit memajukan tubuhnya mendekati sang psikiater, lalu ia berbisik: “Jadi, bisakah Anda menyembuhkan kematian saya?” n

Yogyakarta, 2013


Lampung Post, Minggu, 22 September 2013

Sunday, September 15, 2013

Penyeret Gerobak dan Seekor Anjing

Cerpen Aris Kurniawan


SABAN pulang kerja, pukul 11 malam, aku melihat perempuan itu menyeret gerobak dari arah utara. Begitu aku keluar dari gerbang kantor, perempuan itu tiba di hadapanku. Tentu saja dia muncul sambil terus menyeret gerobaknya tanpa mengacuhkanku. Gerobak yang diseret perempuan itu panjangnya sekitar dua sampai tiga meter dengan beban buntalan-buntalan plastik hitam entah apa isinya, bertumpuk-tumpuk memenuhi gerobak. Dan, lihatlah, di sela-sela buntalan plastik hitam—terselip seperti sisa makanan di antara gigi—seekor anjing berbulu putih kusam nyaris luput dari perhatian.

Dari gerakannya menyeret-nyeret gerobak roda dua itu tentu bebannya sangat berat. Jika lebih cermat lagi akan tampak sepasang betisnya membengkak dan ditumbuhi varises. Kadang secara refleks aku ingin membantu mendorong gerobak itu supaya mengurangi bebannya. Namun, segera saja kubatalkan niat itu. Aku khawatir tindakanku justru membuatnya curiga, kemudian menghajarku. Bukankah ia terlihat kurang waras? 

Wajahnya sekilas kutangkap mengingatkanku pada seseorang yang pernah begitu dekat, entah siapa aku lupa. Wajah yang acap menunduk saat menyeret gerobak itu tidak terlihat menderita. Tidak pula bahagia. Ekspresi wajah perempuan itu seakan mengatasi kedua emosi itu. Kurasa wajah itu menyiratkan semacam ketegangan, agak sedikit menyerupai kemarahan.

Sesekali ia bersiul, mengomel. Kalau terdengar suara klakson atau teriakan orang yang meledeknya, ia akan bersiul atau memekik-mekik menirukan suara orang yang meledeknya—yang di telingaku terdengar seperti lolongan suara anjing—kemudian tertawa. Tapi, sekali lagi, bukan tawa dari ekspresi kebahagiaan atau kesedihan. Entahlah, aku sulit merumuskan ekspresi jenis apa.

Ia akan berhenti jika melihat sampah yang mungkin dianggapnya berharga, teronggok atau berserak di tepi jalan dan trotoar. Dipungutnya, lalu dimasukkan ke buntalan-buntalan plastik hitam. Begitu hitam. Itulah sebabnya beban yang diangkutnya semakin hari semakin menggunung.
Ia seret gerobaknya melewati kolong jembatan rel kereta api, berbelok ke kanan melintasi lorong antara stasiun dan permukiman padat. Tepat di tikungan perempuan itu kembali berhenti sejenak, memeriksa tong sampah depan rumah makan padang. Ia lanjutkan menyeret gerobak, naik ke trotoar depan sebuah kantor bank seberang masjid raya. Ia ikat gerobaknya dengan tambang yang ujung lainnya dililitkan ke tiang listrik. Lalu menggelar tikar plastik dan tidur. Anjing yang terselip di sela buntalan hitam meloncat turun dan menemaninya tidur. Di sanalah rupanya perempuan itu beristirahat.

***

Sebenarnya tidak selalu pukul 11 malam aku mengakhiri pekerjaan untuk kemudian pulang. Kadang pukul sembilan, sepuluh, malah tak jarang tepat tengah malam. Pekerjaanku memang tidak dibatasi jadwal tertentu. Namun biasanya pukul delapan sudah kelar. Hanya saja aku enggan pulang cepat-cepat. Sebagai lajang—yang pernah patah hati parah—toh tak ada yang kutemui di kamar sewaan selain kesenyapan. Aku tetap di kantor menghabiskan waktu dengan main games, atau sekadar berselancar di dunia maya.

Sekalipun begitu, saban pulang aku mesti berpapasan dengan perempuan penyeret gerobak. Seakan ia menunggu aku pulang pukul berapa pun untuk memperlihatkan gerobak dan ekspresi wajahnya yang tak dapat kurumuskan itu.

Aku berpikir mungkin ini sebuah kebetulan belaka yang sudah sepantasnya diabaikan. Namun, pikiranku yang lain menyergah bahwa ini kesengajaan. Kalau sebuah kesengajaan, lalu apa maksudnya? Pertanyaan ini yang membuatku penasaran. Maka suatu kesempatan, sejak sore sampai menjelang subuh, aku nongkrong di warung kopi depan kantor. Menunggu perempuan penyeret gerobak itu lewat. Sampai beberapa kali melakukan pekerjaan menggelikan ini, yang kudapat adalah kesia-siaan. Perempuan penyeret gerobak itu tak juga muncul batang hidungnya. Tentu saja hal ini membuatku makin penasaran. Apalagi setelah mendengar keterangan beberapa orang yang biasa nongkrong di depan kantor. Mereka bilang tak pernah lagi melihat orang yang kumaksud.

Apakah perempuan penyeret gerobak itu ilusiku belaka. Atau ia memang luput dari perhatian mereka. Rasanya tidak mungkin. Karena jauh sebelum kusadari kejadian rutin ini, setiap aku melewati trotoar depan kantor bank sepulang menonton film atau minum-minum di pub sekadar mengusir kesepian, aku melihat perempuan penyeret gerobak itu ada di sana. Pernah kulihat ia tengah memberi makan, mengelus-ngelus leher anjing kesayangan, sambil berbicara dalam intonasi seorang ibu yang memberi nasihat kepada anaknya. Sekarang aku ingat, wajah itu mirip sekali dengan Anindita. Calon istriku yang minggat semalam menjelang pernikahan. Tujuh tahun silam. Mungkinkah ia Anindita?

“Banyak sekali orang yang menarik gerobak lewat sini. Mereka adalah pemulung dari kampung. Yang mana yang kamu maksud?” kata ibu penjual rokok dengan nada mencurigaiku. Jawaban hampir serupa kudapatkan dari satpam yang bertugas jaga di pos depan kantor. 

Dipenuhi semangat memecahkan teka-teki, suatu sore menjelang magrib aku menyusuri jalan ke utara, arah dari mana perempuan penyeret gerobak itu muncul. Sampai satu kiloan berjalan, aku tak menemukan perempuan dengan gerobak dan anjingnya. Mengurai sedikit kelelahan aku duduk di kursi depan minimarket sambil menyesap minuman dingin. Mengorek informasi dari orang-orang yang ada di sana. Jawaban mereka tak ada yang memuaskanku. Barangkali ini memang ilusiku belaka.

Lalu aku meyakin-yakinkan diri bahwa ia betul-betul ilusi. Namun, makin aku meyakin-yakinkan diri, semakin aku tidak yakin. Bagaimana mungkin ia ilusi jika setiap malam aku dapat melihatnya begitu nyata melintas di depanku, menyeret-nyeret gerobak yang itu-itu juga. Aku menyesal mengapa tidak terpikir untuk memotretnya. Padahal kamera poket selalu ada di tasku.

Di kota ini memang makin banyak gerobak berseliweran di jalan-jalan, berbaur dengan sepeda motor, mobil, dan kendaraan-kendaraan lain. Lalu lintas jadi macet dan semrawut. Kadang di dalam gerobak tidak hanya berisi sampah, melainkan juga manusia. Mereka adalah anak dan istri penyeret gerobak. Tapi mengapa sekarang aku tidak menemukan satu pun mereka? Apakah sengaja mereka ngumpet karena tahu aku sedang mencari mereka untuk bertanya siapa perempuan penyeret gerobak bersama seekor anjingnya itu? Bahkan tak kutemukan pula di trotoar depan kantor bank seberang masjid tempat ia biasanya beristirahat.

Kini kegiatanku hanya melamun. Wajah Anindita dan kejadian menyedihkan yang ingin kukubur dalam-dalam, terus berkelebatan. Aku bertekat menemukan perempuan penyeret gerobak itu. Hari-hari berikutnya tak ada yang kukerjakan selain berupaya mencari dan terus mencari untuk menemukan perempuan penyeret gerobak dan anjingnya itu. Aku tak menggubris nasihat beberapa kawan yang memintaku melupakan perempuan penyeret gerobak itu.

“Jangan korbankan masa depanmu. Perempuan penyeret gerobak tak pernah ada. Ia hanya ilusi, Kawan. Kasihanilah dirimu, kamu dibutuhkan dirimu sendiri.”

“Ayolah, Kawan. Sebelum semua terlambat, sudahi kegiatan bodohmu. Habis nanti waktumu untuk mengurusi ilusi yang tidak jelas. Lagi pula apa sih menariknya perempuan penyeret gerobak dan anjingnya itu? Bukankah gajimu cukup untuk menyewa perempuan kapan pun?”
       
***

Berbilang hari sampai berbulan-bulan kemudian aku terus mencari dan menunggu perempuan penyeret gerobak itu. Aku meninggalkan pekerjaanku, bahkan aku tak peduli lagi dengan keadaanku sendiri. Kemeja putihku tampak kekuningan oleh debu dan asap knalpot. Sedikit pun tak kuhiraukan keadaan wajah dan seluruh tubuhku. Mungkin amat dekil lantaran tidak pernah tersentuh air, rambut awut-awutan, dan gigiku pun kuning mirip jagung rebus.

Aku berjalan memasuki gang-gang sempit sambil mengawasi setiap penyeret gerobak yang berpapasan. Aku selalu menanyakan hal yang sama setiap bertemu mereka. Namun, mereka kini mulai tidak mengacuhkan pertanyaanku. Karena kesal aku pernah menggampar mereka. Mereka pun berlari menjauh sambil menyeret-nyeret gerobaknya. Ada pula yang balas menggampar sehingga terjadilah gampar-gamparan. Ketika terjadi gampar-gamparan, teman-teman penyeret gerobak yang kugampar berdatangan dan mengeroyokku sampai tubuhku babak belur. Mereka baru meninggalkanku yang jatuh terkapar dengan tubuh penuh bekas pukulan.

Tetapi kejadian semacam itu tidak membuatku kapok. Aku terus bertanya dan menggampar mereka yang tak mengacuhkan pertanyaanku sehingga orang-orang segera menyingkir apabila melihat aku lewat. Aku terus berjalan sambil memunguti barang-barang yang mengonggok di jalan. Mengorek-ngorek tong sampah. Memasukannya ke plastik hitam. Aku menggendong palstik hitam yang makin lama makin penuh dan bertambah berat. Maka aku pun mencuri gerobak entah milik siapa yang terparkir di dekat tong sampah.

Saban hari aku terus berkeliling dengan beban yang makin berat. Meski bebanku terus memberat, tapi aku terus memasukan barang-barang yang kutemukan di jalan atau tong sampah. Kadang aku harus berebut dengan para penyeret gerobak lain. Bahkan dengan seekor anjing. Aku kemudian berdamai dengan anjing berbulu putih kusam yang kutemukan mengorek-ngorek tulang di tong sampah depan rumah makan padang. Aku berkawan dengan anjing itu yang kemudian mengikutiku ke mana pun aku berjalan. Ia meringkuk di sela-sela buntalan plastik hitam di dalam gerobakku.
Suatu malam ketika aku berjalan melintasi sebuah kantor, aku melihat seorang perempuan muncul dari gerbang kantor. Mungkin karyawan kantor itu yang mau pulang. Ia memandangku dengan wajah iba. Namun, tentu saja aku tak memedulikannya. Saban malam aku melintasi kantor itu dan melihat ia keluar dari gerbang kantor seakan ia sengaja menungguku melintas di gerang kantor itu pukul berapa pun lewat di sana. Setiap melihatku menyeret-nyeret gerobak kulihat ia secara refleks ingin mendorong gerobakku supaya bebanku berkurang. Namun, itu tak pernah jadi ia lakukan. Entah mengapa. Mungkin ia takut aku mencurigainya dan kemudian menghajarnya.

Gondangdia, 12 Juli 2013  

   
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 September 2013

Sunday, September 8, 2013

Dan Burung-Burung pun Pulang ke Sarangnya

Cerpen Mashdar Zainal

SEBELUM kau menembakkan matamu ke arah langit yang hampir matang di sebelah barat, sekawanan burung telah terlebih dahulu terbang melintas dan menghilang di kejauhan. Langit begitu tenang, hingga kita mengira bahwa pada saat-saat tertentu langit pun dapat mengheningkan cipta untuk kesedihan yang mengendap di bumi. Dan warna jingga—senja itu, mungkin mengingatkan kita pada langit-langit di atas perkampungan kita beberapa malam lalu.

Kita semua tahu, senja begini, burung-burung pun pulang ke sarang mereka. Jika di waktu yang sama manusia tak bisa pulang ke rumah mereka, apakah berarti burung-burung yang tak pernah kita lihat senyumnya itu lebih bahagia? Sepertinya, iya, burung-burung itu tak pernah merasa punya beban meski bisa saja tiba-tiba sebuah senapan telah terbidik dan sebuah peluru siap bersarang di kepalanya.

Ketika baru saja kita membayangkan kebahagiaan burung-burung, lekas-lekas kau berkata, “Aku ingin terbang ke langit seperti mereka.”

Sementara langit semakin merah, dan kita mulai bertanya-tanya, apakah sekarang sudah masuk waktu maghrib? Jika melihat ke arah matahari yang terbenam, mungkin sebentar lagi akan magrib. Dan mulai beberapa hari lalu, kita telah menandai waktu sembahyang hanya lewat tinggi matahari, karena beberapa malam silam, masjid-masjid beserta musala di kampung kita telah hangus oleh api orang-orang suci. Rumah-rumah dan fasilitas umum juga ditanami api yang menari-nari.

Beberapa orang, jika mereka tak berhasil melarikan diri, mungkin juga akan hangus seperti dikremasi.

“Burung-burung terbang hanya dengan kawanan mereka, seperti juga ikan-ikan yang berenang hanya dengan jenis mereka sendiri. Apakah manusia juga begitu?” kau seperti bertanya pada langit. Dan suatu saat—yang tak akan kita ketahui, mungkin langit akan menjawab dengan caranya sendiri.

“Manusia tentu tidak sama dengan binatang, mereka punya akal dan punya hati,” kata-kata itu terdengar seperti ceramah agama, dan aku tahu, beberapa malam lalu—ketika orang-orang suci itu menanam api di perkampungan kita, ceramah itu tidak berlaku.

“Tapi beberapa malam lalu, kita melihat, orang-orang suci itu seperti kawanan harimau yang menyerang kawanan rusa, dan seolah-olah mereka melakukannya karena telah mendapat restu paling kudus.”

Matamu masih tertembak ke arah langit yang telah matang di sebelah barat. Kerudungmu yang hitam berkibar-kibar, seakan-akan kau akan berbela sungkawa untuk selamanya, seumur hidupmu.

“Kehilangan tempat tinggal dan keluarga mungkin adalah sesuatu yang sulit, tapi seharusnya kita masih bersyukur karena kita tidak kehilangan moral kita sebagai manusia. Katakan, manusia macam apakah yang tega menyeret nenek-nenek lumpuh keluar dari rumah mereka sendiri, atau melempar anak-anak kecil dari pangkuan ibunya. Benarkan Tuhan merestui mereka, seperti sembohyan yang mereka dengung-dengungkan, bahwa darah kita telah menjadi halal lantaran kita berdoa dengan cara yang mereka anggap salah.”

Suaramu masih saja berlompatan seperti rancauan bayi tak tak pernah tahu cara terbaik untuk tidak menyukai sesuatu. Kita kehilangan tempat tinggal. Dan kau kehilangan keluargamu. Setelah beberapa malam lalu, kampung kita tinggalah puing-puing yang mengepulkan asap. Beberapa dari kita terpisah dengan sanak saudara. Kita begitu panik dan tak sempat memikirkan apapun selain nyawa kita yang sudah seperti danging cincang yang tercerai berai dan siap ditusuk dan dibakar matang seperti satai. Barangkali keluargamu terdampar di pengungsian entah, seperti kita yang juga terdampar di pengungsian entah. Dan kita mendengar, bahwa para aparat yang orang-orang yang peduli itu telah berjanji akan mengembalikan kita kepada keluarga kita masing-masing.

“Mengapa mobil jemputannya belum datang?” langit sudah mulai gelap, hingga pandanganmu ke ketinggian terhalang oleh warna hitam.

Mungkin saja mobil-mobil yang akan menjeput kita dan membawa kita ke tempat pengungsian yang baru juga telah dibakar di tengah jalan. Bukankah mereka juga telah memblokir mobil sukarelawan yang membawa bahan makanan untuk kita?

“Sepertinya sudah magrib, sebaiknya kita sembahyang, dan mungkin mobil itu akan datang usai kita sembahyang.”

Langit sudah sempurna gelap. Kau tak perlu memandangnya berlama-lama. Karena, tanpa memandangnya pun kegelapan akan kita temui di mana-mana. Lepas sudah. Di tempat pengungsian ini, kita sembahyang tanpa sajadah. Orang-orang sembahyang tanpa sajadah. Dan malam yang dingin pun segera turun setelah isya menggeliatkan tubuh-tubuh yang kepayahan.

“Mobil jemputan itu tak akan datang, dan kita semua akan membeku di ruangan tanpa dinding ini,” mukena putih yang kau kenakan kau lipat kembali. Seperti melipat kedamaian yang hanya sejenak dan mengembalikannya pada kerudung hitam yang abadi.

Kukatakan padamu, bahwa ruangan tanpa dinding ini bisa saja menjadi lebih buruk, jika kita tak bisa mengendalikan pikiran-pikiran buruk yang terus membayang setelah kejadian mengerikan beberapa malam lalu itu. Dan kau pun terdiam, memilih merebahkan tubuh di atas lantai-lantai yang tiba-tiba menjelma menjadi balok es paling dingin.

Malam belum lagi sampai puncaknya. Dan kemah pengungsian ini telah menjadi sepi. Akan senantiasa sepi. Selepas sembahyang isya, orang-orang lebih memilih berzikir dalam tidur mereka yang berimpit-impit seperti mayat yang dijajarkan karena kematian massal. Mereka, kita, memang sudah serupa mayat yang tak terurus, bergelimpangan dan tenggelam dalam pikiran kita masing-masing.

Dan ketika malam berjalan dengan sangat lambat, seperti gelapnya, seperti juga dinginnya, aku melihatmu bangkit di antara puluhan mayat yang lelap itu. Kau pergi menuju pancuran air dan sembahyang tengah malam dengan tubuh gemetar, dengan pundak berguncang. Mungkin karena dingin. Selepas itu lampu penerangan yang redup di barak pengungsian tiba-tiba mati. Di langit yang serba kelam itu aku seperti melihat tubuhmu melayang-layang, gamis dan kerudung hitammu berkibar-kibar, mengecil di ketinggian, serupa kawanan burung yang terlambat pulang ke sarangnya. n

Malang, 2013


Lampung Post, Minggu, 8 September 2013

Sunday, September 1, 2013

Orang-Orang Tanjungkarang

Cerpen Alex R. Nainggolan


SIMAKLAH orang-orang Tanjungkarang, yang kerap gundah, menelusuri jalan-jalannya. Sepanjang lorong kota yang ramai, tapi terasa asing. Orang-orang yang selalu singgah, untuk merapikan bayang-bayang dirinya. Barangkali, kau akan menemukan riwayat dirimu sendiri, yang gemar memainkan masa lalu. Mengingat kenangan tak berbatas. Di jalan-jalan protokol yang akhir-akhir ini sering macet, mereka selalu di sana, berjalan, entah untuk apa. Mungkin ingin memotret berbagai realitas yang terasa panas. Barangkali ingin menghayutkan impian yang terus berbinar.

Aku mengenal mereka, sebagian pernah kutemui wajah-wajahnya di suatu tempat. Sebagian lagi kujumpai sebagai orang yang asing, baru pertama kali bertemu. Tetapi orang-orang Tanjungkarang, bukan pelamun yang parah. Mereka memang selalu terkesiap dengan sesuatu yang baru, tetapi tidak lama. Dengan cepat mereka menyadari bahwa mereka harus menemukan tempat yang baru lagi, yang lebih memukau. Demikian seterusnya. Dan di malam hari, mereka senantiasa mabuk dan takjub pada pijar lampu yang melulu berbinar. Di sini, cuma ada gedung-gedung yang terkurung. Sisa sejarah, di mana bangunannya beranjak dari tataran masa lalu yang datar. Sisa gundah, di mana kau akan memaku kenangan-kenangan lalu.
Dan, Tanjungkarang terus saja berbuah. Orang-orang ingin memetiknya, ingin membelahnya, seperti ketika kau dapati buah apel yang ranum di tanganmu. Kelak akan ada mata pisau yang membagi sama rata. Di Tanjungkarang, kau akan beranjak, mengikuti rutinitas yang makin koyak. Di sebuah kota, yang semestinya bisa kau tafsirkan sebagai semangat untuk perjalanan langkahmu ke depan.

Lihatlah orang-orang Tanjungkarang, yang gemar mengulum diri mereka sendiri. Perempuan-perempuan muda yang terus berjalan, mengikuti rel nasib, seperti menghidupkan tungku api, mencatat pengembaraan jauh yang makin tak bertepi. Maka kau akan mudah terhipnosis ketika melalui ruas-ruas jalannya. Sebagian orang yang begitu kau kenal, seperti dirimu di masa silam. Setiap sudut kelokan seperti menawarkan keajaiban, yang bagi sebagian orang, mampu melerai kesedihan. Sehabis ini kita akan menempuh setiap depa kota, sendirian, berusaha untuk memahami takdir yang sebagian terasa getir. Sebagaimana sinar matahari yang berkali-kali jatuh, memasuki ruas jalan. Di mana kau temui para pedagang, senyum perempuan menawarkan pakaian, para gelandangan yang menyemai harapan. Kau dapat melihat dari sinar mata mereka, yang tak bisa disembunyikan ke dalam ceruk yang jauh.

Seperti juga, ketika kau berkenalan dengan perempuan, pada saat kau sedang berjalan sendirian di kota ini. Kau mengingat, ia begitu gemar menuturkan dirinya sendiri, mengguratkan alamat, serta biografi diri yang tak mampu kau bantah. Lalu kau seperti menemukan keasingan yang datang dengan tiba-tiba, menyergap, tanpa bisa kau usir jauh-jauh. Kau melihat di tubuh perempuan yang baru saja kau kenal, tumbuh sayap. Katanya, perempuan itu ingin pergi jauh. Ke suatu tempat.
Di Tanjungkarang, kau seperti tersentak dengan berbagai rupa, warna-warni pandangan yang melebihi kilau sihir. Mendadak kau menjadi melankolis, seperti para pejalan kaki itu, yang menuju sebuah tempat, yang tak pernah direncanakan sebelumnya. Di Tanjungkarang, orang-orang melipat seluruh karat. Orang-orang yang merenangi dirinya masing-masing, tak sempat berbagi. Tetapi kau selalu merasakan keriangan setiap bertemu orang-orang Tanjungkarang.

Kemudian, kau menggoyangkan badanmu, mencoba mengguncangkan tubuhmu bahwa kau sedang tidak bermimpi. Bahwa kau tengah berada di sebuah kota. Kau seakan terlecut pada sebuah kenyataan, betapa kota ini menawarkan mantra yang berupa. Kemilau sihir yang hadir dari rerapat gedung, wajah orang-orang, atau lalu-lalang kendaraan.

*

Bagimu, terkadang, sebuah kota memang menyebalkan. Kau merasa kota selalu menawarkan ruang baru, yang menelisipkan rongga, seperti kau rasakan pembuluh dirimu yang patah. Tetapi di Tanjungkarang, segalanya jadi berbeda. Ya, meskipun sekali-dua kali kau menemukan cucupan kebencian baru. Kau dapat menebak, menerka, bagaimana mata orang-orang berubah jadi pisau yang berkilat. Kau dapat merasakan dengan seluruh impuls getar saraf, jika di antara orang-orang akan menusuk tubuhmu, hingga kau berlumur darah. Tetapi kehidupan acap menawarkan dua sisi mata uang, kau tak bisa dengan segera menebak tentang seseorang, apakah dia bajingan, atau orang biasa. Kau tak bisa menerka seseorang lewat tabiatnya, apakah ia baik hati, atau jahat.

Maka kau menerima segalanya dengan hati yang lapang. Mengingat wajah orang-orang Tanjungkarang, yang pernah dikenal atau belum. Kau seperti dihadapi dengan beribu sengat perasaan, hal-hal yang gampang buat dirimu jadi periang, pemuram, perenung. Kau seperti menyematkan alamat, suatu tempat yang pernah kau ingat, tentang orang-orang itu. Ah, berapa banyak wajah yang sebenarnya kau kenal, untuk kemudian menghilang?
Kemudian, kau akan bergegas dengan cepat. Melangkahkan kaki tergesa. Bukan karena hujan akan turun, bukan karena sinar matahari teramat terik. Namun, kau ingin melampaui orang-orang Tanjungkarang, kau ingin melewati mereka. Kau ingin mengamati dengan sekilas dan cepat wajah-wajah yang melahirkan muara pertanyaan baru bagi dirimu. Sekejap, kau ingat Freud, yang sering menghubungkan pribadi seseorang dengan raut wajahnya. Meskipun kau disentakkan berbagai kenyataan yang tunas, bahwa wajah seseorang kerap menipu. Melulu kau tertipu, ketika kau mengenal seseorang yang ternyata seorang bajingan. Walaupun berkali-kali kau menyelidiki seseorang yang kau kenal, meneliti asal-usul serta riwayatnya. Tetapi kau selalu saja tertipu.

                *

Lihatlah orang-orang Tanjungkarang, yang begitu gaduh. Menempuh semua keluh. Di sini, kau akan mendapati kota yang menjentikkan berbagai harapan. Kau merasakan masa lalu dengan segera hidup, untuk kemudian tercincang kembali. Orang-orang Tanjungkarang, sebagaimana sebuah waktu akan terus berputar. Melewati jalan-jalan protokol, stasiun kereta yang demam kenangan, pusat-pusat keramaian yang menjelma jadi lingkaran.

“Jadi kita akan ke kota lagi?” tanya seseorang.

“Ya, kenapa? Apakah itu merupakan kejanggalan bagi dirimu?”

“Apa yang akan kau cari di kota?”

Pertanyaan itu mengapung, seperti pelampung. Kau seperti terjebak di tengah lautan yang penuh ombak. Mengambang di tengah pengembaraanmu. Sesekali kau ingin mencari tempat berlabuh, di mana kau bisa mendaratkan tubuh lelahmu dari pengembaraan itu. Barangkali sebuah rumah dengan kamar yang rapi, tempat tidur yang hangat, di mana kau bisa membaringkan penatmu barang sejenak. Lalu, kau membayangkan kota ini sebelumnya. Hutan-hutan yang rapat. Pohon-pohon yang besar, dengan dedaunan yang menutupi setiap jengkal. Kegelapan. Kau membayangkan bagaimana pohon-pohon itu tumbuh.

“Kita sudah tiba di kota. Ayo, turun! Sekarang kita akan berjalan,” seru seseorang.

Lalu mereka pun berjalan. Mereka, para pendatang baru di kota ini, mulai melangkahkan kaki. Seakan kepingin menetaskan kerinduan pada kota. Mengintip di tempat-tempat keramaian. Mencumbui wajah orang-orang. Tetapi mereka tersengat dalam kenyataan, bahwa mereka juga berbaur dengan orang-orang itu. Mereka harus mengakui kenyataan, jika diri mereka telah menjadi orang-orang Tanjungkarang. Kelak, mereka akan memberitahukan segalanya. Menuliskannya menjadi sebuah cerita yang akan dibaca anak-cucu. Mereka terus berjalan, sebagaimana dirimu. Terus melalui genang jalan, mengurai kegundahan yang beranak-pinak di dalam dada.

Dan lusinan kabar baru hinggap lagi. Kabar-kabar yang tak pernah ditebak sebelumnya. Seperti juga mereka lalui jalanan sepanjang Tanjungkarang, dengan penuh kehati-hatian. Seperti juga dirimu yang mencoba menempuh jalan kota ini. Sendirian, penuh kehati-hatian, memahami dirimu sendiri. Mungkin, mereka juga dirimu ingin menyusun semua belulang ingatan. Pijakan-pijakan dalam dirimu yang tertahan, merapatkan sejumlah kesangsian yang lama berlalu.

Begitulah, kau mengenang Tanjungkarang. Kau mencoba mengingat-ingat sejumlah kota lainnya. Kota yang selalu tumbuh dari pusat peradaban dunia. Kau ingat Kota Roma yang didirikan dua saudara kembar: Romus dan Romulus. Tetapi di antara keduanya malah saling membunuh. Tinggal Romus sendiri. Roma yang bermula dari kota para perampok. Apakah seperti juga Tanjungkarang? Kau tak tahu. Atau ketika kau melintasi jalan Tanjungkarang sembari mengingat salah seorang kaisar Roma, Nero, yang membakar kota jadi terang-benderang hanya untuk mencipta sebuah puisi.
Bayangan kota lainnya hadir dalam ingatanmu, tentang Jakarta yang porak-poranda jadi lautan api di bulan Mei 1998, yang mengunyah dirimu pada sebuah lagu Bandung Lautan Api. Ah, betapa segalanya layak dikenang. Lidah-lidah api yang terus menjilat, seperti mencipta gambar datar, tentang tipografi sebuah kota.

Dan kau ibaratkan Tanjungkarang seperti seorang perempuan. Yang terus saja tersenyum, untuk meredakan kebimbanganmu. Perempuan yang menculik seluruh ingatanmu pada sebuah cinta yang makin tersia-sia. Seperti juga mereka, para pendatang baru, yang menguliti sudut Tanjungkarang. Mungkin, dirimu dan mereka akan bertemu di sebuah tempat. Sembari bersama-sama memandang Tanjungkarang dari kejauhan.

*

Simaklah orang-orang Tanjungkarang, yang selalu merawat impiannya. Di setiap kelok jalan, melangkahkan kaki seperti meraba kemurungan. Semacam sedih yang diawetkan di dalam toples kaca. Dan, aku, barangkali juga kamu memandangnya dari luar. n

Bandar Lampung, Tupai 40, 2004
Poris Plawad, Edelweis, 2013


Lampung Post, Minggu, 1 September 2013