Sunday, June 30, 2013

Mayat-Mayat Dari Lubang Gunung

Cerpen Ganda Pekasih


KABUT di kaki gunung itu mulai tersibak, keping keping sawah tercetak indah seperti harapan, sungai jernih mengalir di antara lembah bukit dan pagi menampakkan keindahannya, memacu gairah bagi ratusan Gurandil mulai membuka pintu pintu lubang di perut gunung itu seperti semut semut hutan yang memasuki sarangnya.

Mereka orang orang dari sekitar desa desa di kaki gunung itu, dengan hanya membawa linggis, cangkul, mencari urat emas. Sore hari mereka memanggul karung karung berisi kerikil, memecahkannya menjadi pasir yang lalu dipisahkan lagi dengan mercuri untuk mendapatkan satu atau dua gram emas layaknya memisahkan nasib dari kemiskinan, tapi tak jarang karung karung itu akan berisi mayat dari kawan kawan mereka yang mati tertimpa reruntuhan lubang yang mereka gali sendiri.

Mereka menggali tak memperhitungkan maut yang bersembunyi seperti hantu, lubang dibuat seadanya tanpa pengaman, berbeda dengan perusahaan resmi yang juga mencari keuntungan di perut gunung itu, kadang terowongan bisa menembus areal terlarang, dan itu bisa memicu konflik. Lubang lubang para Gurandil pun harus ditutup, tapi mereka akan membuka lubang yang baru lagi.

Lelaki berperawakan tinggi besar itu termenung di pinggir nyala api dari tumpukan kayu yang dibakar, dia sedang tak bersemangat, sudah beberapa bulan ini dia lebih banyak rugi, tak ada penggali yang beruntung untuk diperdaya oleh kelicikannya. Entah kenapa para penggali lama tak menemukan urat emas yang membuat mereka mendadak untung belasan juta rupiah dalam sehari.

Muncul di kesunyian itu seorang lelaki, Sarban, bayangan tubuh kurusnya tercetak di antara lidah api dan bulan yang bersinar, lelaki tinggi besar itu seperti mendengar suara detak jantung Sarban yang berdegup kencang karena berlari jauh, itu mungkin juga dikarenakan sebuah temuan, pikirnya, tapi rasanya tidak, mungkin dia mau meminjam uang lagi, hutang kelompoknya sudah menumpuk, tiap hari cuma membawa satu dua karung berisi kerikil, butuh proses lama untuk mendapatkan satu gram emas, tagihan tak bisa lunas sementara hutang baru mengejar seperti mimpi buruk. Sudah lama tak ada temuan menyilaukan mata yang menghebohkan, nasib baik jarang memihak mereka, sementara pengolahan resmi mempunyai cara yang hebat untuk menemukan kilauan itu.

“Sarban, ke sini!” pinta lelaki itu.

Sarban mendekat dan berdiri di depan perapian, menghadap lelaki tinggi besar itu yang baginya seorang manusia pencekik leher, dia memodali mereka menggali, tapi semua penghasilan para Gurandil dia yang lebih banyak untung,  seenaknya dia memberi harga untuk segram emas yang sudah terpisah dari pasir yang semula hanya berisi sekarung penuh.

Orang ini tak bisa  lagi membantu disaat genting, pikir Sarban, dia rentenir tak bisa dipercaya dan keji, dia akan menyesal dan aku akan membalas kelakuannya selama ini. Sarban sudah menghitung urat emas yang ditemukannya, paling sedikit lima belas juta rupiah akan dia terima, dan cukup dalam empat karung saja yang akan dia keluarkan dari lubang itu, tapi orang ini pasti menekan harga yang jauh dari pantas jika dia tawarkan sebelumnya, dan sekarang dia cuma akan mendapatkan bagian untuk dibalas.

Sarban akan menipu si Licik ini dengan meminta 50 persen dimuka. Gunung yang kaya ini milik leluhurnya, sebelum emas ditemukan mereka turun temurun hidup damai berladang dan bertani yang hasilnya melimpah, sekarang orang orang datang entah darimana saja, modal deras masuk bersama barang barang hiburan dan nimuman keras. Gunung tak sejuk lagi tapi bopeng bopeng disesaki kejam kehidupan.  Rentenir, buruh angkut, tukang pukul, pembuka lubang bergumul saling sikut, saling injak.

“Hei Gurandil, bicaralah, jangan seperti Anjing Kurap menunggu tulang!”

Sarban geram dipanggil Anjing Kurap, tapi begitulah cukong, mereka penguasa yang punya uang untuk modal menggali, tidak menggali tidak  dapat emas, tak dapat emas akan mati kelaparan. Mereka menghisap kekayaan segram demi segram dari gunung leluhur kami, mereka tahu perut gunung banyak menyimpan emas, caranya dengan menggali, dan Gurandil harus bekerja kesetanan.  Mereka sering berkata, kita berpacu dengan waktu, tak mau semua emas habis diraup perusahaan resmi yang dananya dibantu luar negeri,  membuat Gurandil bersemangat. Sementara cukong menjadikan mereka budak yang kakinya dirantai belitan hutang. 

Sarban menjatuhkan linggisnya, si Tinggi Besar berwajah kejam itu  mendekatinya. Mereka berhadapan dalam cahaya api unggun yang melemah walau ditiup angin karena tak ada kayu yang dosorongkan lagi. Sarban memperhatikan mata lelaki itu, yang biasa mengabarkan kenaikan harga mercuri dengan tiba tiba, segram emas menjadi setengah gram emas dengan culas, Sarban tahu orang didepannya tak akan memberikannya  sepuluh atau lima belas juta rupiah malam ini, tapi dia tak boleh melihat urat emas itu, ini hanya sebagai pancingan bahwa karung karung berisi urat emas yang sudah diraup akan dikirim ke pengolahan miliknya karena lokasinya paling dekat dengan lubang itu.

Tiba tiba lelaki itu tertawa lebar. “Berapa karung?” katanya memancing dan dia memang jagoan dalam permainan ini.

Sarban mencoba tersenyum. “Paling banyak empat.”

Dan lelaki itu tambah kuat tertawa.

“Bawa cepat ke tempatku, aku beri sepuluh  persen sekarang, jarang aku berbaik hati seperti malam ini bukan?”

Tanpa menunggu persetujuan Sarban lelaki itu mengeluarkan uang sejuta lima ratus ribu rupiah dari kantungnya dan menyodorkannya.

“Cepat kau antarkan, sisanya nanti setelah semua urat emas itu kuteliti.”

Sarban merasa akhirnya kemenangan besar berpihak padanya malam ini, dan dia akan dikenang dengan keberanian sekaligus kemampuannya membuat sebuah karya yang akan menjadi legenda di gunung ini.  Dengan uang yang diterimanya itu kemudian dia pun berlari.

Sarban meruntuhkan pengaman lubang yang dipasang pengolahan resmi yang sudah membeli urat emas itu lebih dulu, lalu mulai memanggul karung pertama dari mulut gorong gorong, hanya pengolahan milik lelaki culas itu yang paling dekat. Dia tak ingin meruntuhkan dinding dinding lobang yang memang mudah runtuh karena lubang yang dibuat Gurandil seadanya tanpa alat pengaman.

Di dalam gorong-gorong itu sebelumnya mereka bertarung dengan maut seperti yang sudah sering dia jalani,  dan maut acapkali yang sering memenangkan pertarungan.  Sarban tak ingin rekan rekannya terkubur selamanya di sana. Urat urat emas itu sebenarnya sudah terkumpul dalam 4 karung besar sejak sore tadi, Sarban pun sudah lebih dulu mengangkutnya ke luar dan dibayar dua belas juta rupiah. Isi karung karung itu sudah diteliti oleh perusahaan resmi, mereka pun sudah membayarnya, itu sudah terlalu istimewa karena biasanya mereka malah lebih sering merampok temuan Gurandil dengan mengklaim lubang galian masuk wilayah mereka. Urat emas yang ditemukan Sarban berikut alirannya yang tersisa kini sudah jadi milik mereka,  bayaran untuk teman temannya jadi urusan Sarban karena dia ketua kelompok.

Karung pertama yang berisi mayat salah satu rekannya sudah sampai di pengolahan milik si Culas, dia ada di sana, memperhatikannya dari atas bukit, dan itu sudah diduga Sarban, Sarban kini berpacu dengan waktu, beruntung dia karena lelaki itu tidak segera memeriksa isi karung, dia hanya memperhatikan dari kejauhan. Tapi Sarban tahu, pada karung yang ke empat lelaki itu pasti akan memeriksanya, dan jika dia ketahuan bohong, maka nyawa taruhannya.

Sarban kembali harus mengeluarkan karung karung berisi mayat teman temannya, dia ingin mereka dikubur dengan layak sebagai penghormatan terakhir, mereka tidak boleh membusuk di lubang galian itu. Uang telah di dapat dan dendam mereka semua kepada orang orang seperti si Culas akan tuntas.

Karung yang ke empat Sarban tak menggotongnya ke pengolahan si Culas, dia hanya meletakkannya di depan mulut lubang, lalu dia meruntuhkan jalur tengah lubang agar orang orang mengira ada yang terkubur di ujung galian sehingga  dia punya banyak waktu pergi sejauh mungkin,  orang orang perusahaan resmi pasti tahu Sarban yang melakukannya setelah Mayat mayat itu dikenali, tapi Sarban yakin mereka akan membiarkannya dan menjaga rahasia walau untuk beberapa jam ke depan karena mereka tak suka berurusan dengan aparat yang juga sama sama culas di area ini.

Sebelum subuh nanti dia sudah harus sampai sejauh mungkin dari gunung ini, dengan kereta pertama yang berangkat dari stasiun tua itu dia akan melarikan diri ke kota impiannya.

Si Culas tak sabar menanti karung ke empat yang dibawa Sarban, dia sudah membawa senter untuk memeriksa karung karung itu, dia menyesal telah memberikan Sarban uang muka, walau itu terlalu kecil jika dibandingkan temuan urat emas yang selama ini tak pernah kurang dari limabelas juta rupiah bersih. Reaksi dari keterkejutannya bahwa akhirnya ada Gurandil yang menemukan urat emas yang makin sulit ditemukan akhir akhir ini membuatnya cepat cepat merogoh saku dengan mudah.

Dia cepat membuka karung pertama yang menyadarkannya bahwa karung itu bentuknya terlihat aneh, seperti bukan berisi batu kerikil apalagi pasir. Dan ketika ikatan karung itu terlepas, sesosok kepala berlumuran darah jatuh ke bawah kakinya. Lelaki ini, walau sudah biasa melihat mayat mayat Gurandil yang dikeluarkan dari lubang galian yang runtuh tak bisa menahan keterkejutannya.  Dia segera meradang dan berteriak tereak seakan ingin membangunkan siapa saja yang ada di gunung itu, memuntahkan makian dan cacian cacian keji bahwa ada orang yang telah begitu berani menipunya.

Sarban kini sudah punya cukup uang memulai kehidupan baru, mimpi yang sudah lama ingin diraihnya. Tiga belas juta limaratus ribu rupiah termasuk uang dari si licik itu, bahwa dia tak akan kembali ke gunung yang perutnya mengandung urat urat emas yang baginya adalah kutukan, puluhan bahkan ratusan tetangga tetangga kampungnya telah bercerai berai, mati di tengah reruntuhan, atau mati mabuk minuman keras setelah mendapat urat emas.

Kereta api Sarban melaju, berpacu dengan waktu, keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhnya, tapi dia merasakan sebuah ketenangan luar biasa karena semua rencananya telah berjalan sempurna.
Beberapa rekan Sarban rupanya menyusul dari gerbong belakang,  Sarban terkejut melihat kehadiran mereka, bukankah mereka telah jadi mayat dan ada di dalam karung karung yang terikat itu? Yang telah dia jual ke Cukong Culas yang ternyata begitu mudah tertipu dan akan jadi tertuduh pertama.

Poleng lebih dulu membunuh Jafar tengah malam tadi, dia sendiri bertugas membunuh Woko yang gempal, lalu tanpa setahu Poleng diam diam Sarban menghabisinya. Sarban sengaja mengkhianati Poleng,  merampas rencana pertama mereka yang tadinya akan membagi dua uang itu.

Bersukur mereka masih hidup? Orang yang duduk di sebelah bangku yang diduduki Sarban juga membisu dengan linggis dan pahat di tangannya. Sarban merasa ia menaiki kereta yang salah, ini mungkin kereta yang suka diceritakan orang orang, para penggali pendatang dari daerah lain yang mati di gunung suka kembali ke kampungnya dengan naik  kereta dari stasiun tua.

Tapi mengingat orang orang perusahaan resmi adalah yang paling serakah, bak robot yang dihidupkan untuk menembus perut gunung dengan kekuatan laksana monster, dia tersentak. Mereka juga yang  menyebabkan banyak kematian Gurandil dengan meruntuhkan lubang lubang ilegal, mereka pembunuh culas penghisap isi perut gunung sebanyak mungkin, bahkan sering merampok temuan para Gurandil.  Kengerian menyantakkan Sarban ke dalam kesedihan aneh, impiannya tiba tiba terasa memudar seperti kabut.  Sarban ragu dirinya masih hidup.

Kereta terus melaju seperti menuju lorong kegelapan, wajah wajah mereka semua pucat dan  tergugu dalam gerbong hitam berkarat karat.  Tapi Sarban masih merasa yakin akan tiba di kota impiannya, untuk memulai kehidupan baru, entah kalau kepergiannya kali ini bersama teman temannya adalah sebuah mimpi buruk, bahwa dirinya adalah bagian dari sekumpulan mayat mayat dari lubang lubang gunung yang terkutuk. n
          

Lampung Post, Minggu, 30 Juni 2013

Sunday, June 23, 2013

Di Suatu Hikayat, Aku dan Emak Bercerita

Cerpen Guntur Alam


SEJAK aku dapat mengingat dengan jelas, Emak telah memulai hikayat ini. Sebuah cerita yang saban hari berjejal di lubang cupingku. Berdenging. Lalu, lamat-lamat menjadi doktorin. Dan aku, mau atau pun tidak, duduk khitmat menyimaknya. Menelaah dalam kebingungan tentang apa yang Emak ceritakan.

Dalam hikayatnya, Emak selalu berkisah tentang seorang gadis bertubuh purnama. Hidung bangir. Bibir semerah delima dan ikal mayang yang menjuntai sepinggang. Kisah yang membuat mataku mengerjap penuh binar. Kemudian, kisah itu berubah kelam saat Emak mulai menguak cerita si gadis secara dalam.

Kata Emak, di suatu limas ada seorang gadis yang terbuang. Bukan lantaran ia hidup sebatang kara atau pun tak bersanak-saudara. Gadis itu memiliki orangtua, pun dengan karib-kerabat. Hanya saja, sebuah nasib malang telah membuatnya tersisi ke sudut kelam. Dalam bilik pengap, tak berani menampakkan hidung ke khalayak.

Saat aku diam dengan penuh tanda tanya, Emak menghela napas, lalu melanjutkan ceritanya. Pada bilangan masa yang tak hendak gadis itu ingat, ia berkenalan dengan seorang bujang rupawan. Seketika, rumpun mawar di dadanya menggeliat, merincakkan bulu hidung sang bujang. Demikianlah, masa menyalin-nyalin rupa dengan cepat, menggiring keduanya dalam rajutan basah yang hangat.

Seperti halnya bermain hujan, tempiasnya pastilah akan memercik dan menciptakan gerimis yang sedikit-sedikit akan membasahi. Pun dengan si gadis dan bujang. Sesekali, keduanya bertaut tangan, bermain mata, membelai rambut, lalu lambat-laun sesekali liur bertemu liur. Dan, pada bilangan gerimis yang kesekian, singkap-menyikap mulai menyeling. Gelombang aneh terasa menggiring, bukit bersalju mengintip, jakun turun-naik, dan seekor ular mendesis. Pada titiknya, bisa ular menyembur, menancapkan taring, dan si gadis terkapar; membiru dalam cemas yang mengkantar. Ular lenyap tak tentu rimba, bersilat lidah dengan dua cabang. Hingga, si gadis dibalur jelanga, terbuang dalam bilik pengap seorang saja.

***

AKU meringkuk dalam baluran cerita Emak yang mengerikan. Alangkah menakutkan. Di pelupukku, sosok gadis malang itu mengantar-kantar. Meringkuk dengan rambut kusut masai dalam bilik pengap. Sementara, tubuh kian kepayahan menahan perut yang terus mengembang. Sedang di luar bilik sana, hanya berjarak setipis dinding papan, bibir-bibir mengurai cerita busuk yang mengelindap jauh ke kedalaman dadanya. Dan kembali, air mata hanyalah kawan yang tak bisa diajak berbagi terlalu dalam.

Hikayat Emak selalu saja membuatku menghirup napas lebih dalam. Lebih-lebih ketika aku merasa ada sesuatu yang tumbuh dan terasa sakit di dada. Dan Emak kian gencar bercerita ketika di pagi buta aku meringis penuh derita, sesuatu memerah di bawah pusar.

Kau sudah jadi gadis sempurna, itulah ucapan Emak yang menenangkanku dalam balutan nyeri yang terasa mengkili. Lalu, kisah itu kembali terurai. Jangan percaya dengan mulut manis seorang bujang, apa pun yang ia katakan. Tersebab kumbang hanyalah ingin singgah sebentar saja, mencicip madu, lalu terbang. Kecuali, jika ia datang hendak bersarang, membentuk rumah dari liurnya, dan beranak-cucu yang banyak. Barulah kau percaya. Itupun bila ia telah bertandang ke limas kita, mengajak Ebak-emaknya, dan bermufakat atas kehendak yang merayap-rayap di palung dada.
Aku diam sejenak. Mencoba meraba-raba cerita Emak di antara rasa yang menyesak di perutku, kadang kala mendesak-desak jauh ke bawah pusar. Nyeri. Dan Emak seolah tak peduli, ia melanjutkan ceritanya kembali.

Ingatlah hikayat gadis yang Emak ceritakan, lantaran tak percaya cerita emaknya, ia bermain basah dengan bujang. Bila kau telah merasakan nyeri di sana dan kedewasaanmu dirayakan dengan keramas di satu pekan berikutnya, itu artinya kau bukan kanak-kanak yang ingusan serupa masa silam. Walau tubuhmu masih belia, tapi isi di dalam telah purna. Jadi, ingatlah selalu kata Emak, jangan sesekali biarkan bujang menitip liur kental di dalamnya, kecuali ia telah berijab-sah di depan Ebak-mu dan khalayak.

Kepalaku berdengung-dengung. Tertatih aku menyeret napas mengikuti ritme cerita Emak. Ini bilangan angka ke empat belas sejak aku mengoek panjang dari perut Emak, nyeri di bawah pusar dan dada sebagai penanda tetapi aku masih saja belum paham akan hikayat Emak yang terasa mengganjal.

Tinggal berapa tatih kau akan sampai ke tangga lebih tinggi, di sana kau akan paham apa yang Emak ceritakan.

Dan aku akan diam, berpura mafhum, lalu berujar dalam hati. Emak pastilah benar, ia telah kenyang asam-garam dunia, tentulah lebih paham akan apa yang ada. Lalu, aku menata napas. Menyibak urai pikiran yang kusut. Setelah itu, kubayangkan kembali sosok gadis malang itu, terserak seperti baju bekas di dalam bilik pengap. Sesekali tangannya meraba bundar perut dengan putaran tapak tangan. Aku bergidik. Kusabit gulma buruk yang tumbuh di pikiranku itu. Sekilas-pintas, kurasa gadis dalam otakku itu menengadah muka, aku berjinjit melihat raut wajahnya. Oh, tidakkah gadis itu mirip denganku?

***

APAKAH aku harus menceritakan ini kepada Emak? Riak kebingungan menghentak-hentak benakku. Sekejap itu, riak kenangan berpusar. Menderas. Dan mengombakkan dadaku. Kembali rasa aneh itu membuat hatiku merona. Lalu, bayangan wajah dengan rahang keras itu mengantar-kantar, sebaris senyum manisnya juga menghujam-hujam. Oi, dag-dig-dug di jantungku kian tak berirama. Alahai, kenapa jua kuingat-ingat rautnya? Menyesal, aku benar-benar menyesal ikut Yuk Maryam membantu hajat di rumah Wak Safar. Bila tidak, tentu mataku tak akan bertaut dengannya, cupingku tak mendengar desau suaranya.

Kau cantik, seperti purnama yang terbit di kelam hatiku. Maukah kau jadi penerangku selamanya?

Kata-katanya itu. Binar matanya. Jemarinya yang terasa besar dan hangat –yang tiba-tiba saja menggenggam tanganku malam itu. Kepalaku semaput. Darahku berdesir-desir. Mendadak saja raut muka Emak terlintas, lalu dengung hikayatnya mulai terdengar. Berdenging-denging. Tumpang-tindih dengan lempengan peristiwa malam itu. Aku terengah. Hikayat Emak dan kenangan hangat malam itu membelukar di kepala. Aaarrrggghhh...! Aku harus menebasnya, harus menggundulinya. Kuulang-ulang cerita Emak, berkejaran dengan ritme yang kacau. Wajah rupawan. Wajah Emak. Hikayat Emak. Sengau suaranya.

Ingatkah hikayat Emak. Jangan percaya dengan mulut manis seorang bujang, apapun yang ia katakan. Tersebab kumbang hanyalah ingin singgah sebentar saja, mencicip madu, lalu terbang. Kecuali, jika ia datang hendak bersarang, membentuk rumah dari liurnya, dan beranak-cucu yang banyak. Barulah kau percaya. Itupun bila ia telah bertandang ke limas kita, mengajak Ebak-emaknya, dan bermufakat atas kehendak yang merayap-rayap di palung dada.

Kata-kata Emak itu seperti aroma tanah basah yang habis dilucumkan hujan. Aku menghirupnya dalam-dalam, melegakan dada. Lalu, kujemput gulita dalam pejam, berniat mengusir simpul senyum sang bujang rupawan. Celakanya, wajah itu telah menghadang di sana. Dan aku tak berkutik. Kuhalau raut wajah dan sengau suara yang menggedor hati, sia-sia. Dengung suara Emak pun tak dapat lagi memercik. Aku pasrah. Kubiarkan saja, wajah itu merajut angan dalam benak.

Itu wajar, kau seorang perawan, Fa. Bila telah tiba masanya, kau akan menikah. Kalau tak berkenalan dengan bujang, dari mana kau dapat calonnya?

Itulah kata-kata Yuk Maryam ketika kubagi galau yang bersarang di dada. Entah, aku kian tak paham. Kian terombang-ambing saja. Seolah berkongsi dengan hati dan raut sang bujang yang kian hari kian rajin saja hadir, terasa semua ini bersitentang dengan Emak. Aku cemas. Bila kulanggar, tentu aku akan terbuang seperti gadis dalam hikayat Emak. Tapi, aku tak kuasa menanggul hati yang menampung air kasmaran, kian berdesak-desak saja.

Akhirnya aku menyerah. Kata-kata Yuk Maryam menyudahi kemarau. Walau diam-diam tanpa sepengetahuan Emak, kusambut tangan besar yang hangat itu. Dan semua terurai dengan indah. Degup-degup di jantung masak sempurna. Tak ada apa-apa, kami bertukar cerita, bertukar tawa, bertukar rindu, bertukar cinta, sesekali bertukar hangat di telapak tangan.

***

HANYA Risma yang tahu dan tentu saja bujang keparat itu. Oi, haruskah aku mengurai cerita legam ini kepada Emak? Tapi, aku tak akan mampu. Aku tak bisa. Tentu Emak akan murka, bukan lagi beliung serapah atau repetan yang tak usai walau malam telah matang sempurna sekali pun, bila Emak tahu ini. Pastilah Emak akan merajam dan melemparku ke dalam bilik pengap serupa gadis yang ada dalam hikayatnya. Tetapi, aku tak akan mampu menyimpan bangkai ini berlama-lama.

Lagi, rasa pedas dalam dada membuat merah dan menggigilkan kedua mataku. Lalu, rasa itu menghimpun bulir-bulir hangat yang asin untuk bergulir. Dadaku sesak. Napasku tersengal. Peritiwa-peristiwa yang bersinggungan mengail-ngail airmata. Dengung hikayat Emak yang membuatku muak –tetapi kali ini begitu hendak kudengar. Desau suara bujang yang terasa membuai hingga aku lupa bumi berpijak. Keheningan membawa peristiwa-peristiwa itu kian kentara dalam batok kepala. Dan air bening itu kembali mengalir. Aku tak ingin menangis. Tapi, air mata telah menciptakan telaga di mukaku yang kusut masai.

Aku berusaha menyabit belukar galau yang tumbuh di hati. Entah, aku pun kian tak paham dengan apa yang tumbuh di batok kepalaku. Marah. Sesal. Takut. Semua berbaur. Lalu mengelindap. Silih berganti wajah Emak dan Ebak. Aku gemetar melihat raut mereka dalam pelupuk mata. Tentu, ini adalah hujan darah bagi mereka, akan berkalung malu hingga ajal menjelang. Kupejam mata, serasa Emak tengah meratap-lolong di kelam raya, menyesali nasib malang yang menimpahnya, beranak gadis bengal, mengusal-ngusalkan kotoran di mukanya. Membayangkan itu, airmataku kian beranak-pinak.

Kuraba perut yang lamat-lamat terasa lebih besar dari biasa. Ada detak halus di dalam sana, detak yang membuat perasaanku luluh seketika. Apa aku tega? Hatiku berdesir karenanya. Lamat pula, segandeng mataku menangkap sepiring nanas muda yang terserak, segelas minuman pahit yang kata Risma mujarab. Emak... Oh, betapa aku hendak mendengar Emak berhikayat sekarang. Kembali, kabut mengapung di mata. n

C59, 2011-2013


Lampung Post, Minggu, 23 Juni 2013

Sunday, June 16, 2013

Anak Ibu (4)

Cerpen Benny Arnas

DI RUMAH mentereng tiga lantai tersebut, mereka berkumpul. Tentu saja bukan untuk mengagumi susunan ubin mengilap yang diimpor dari Turki, bukan juga untuk mengagumi lampu gantung kristal dari Ceko yang meliuk sepanjang dua meter dengan seratus lilin yang menyertai, bukan juga untuk melihat-melihat koleksi BMW limited edition di garasi seluas lapangan voli, dan yang pastinya juga bukan untuk menjaga tali silaturahim mereka: lima saudara yang kesemuanya laki-laki dengan pekerjaan mapan dan bisnis menjanjikan, dengan istri yang cantik dan pandai bergaya, dengan anak yang diatur pergaulannya …. Lima laki-laki itu, kesemuanya, sudah lebih dua puluh lima tahun tidak pulang ke kampung halaman.

Bukan lantaran laki-laki itu paling kaya hingga saudara-saudaranya berkumpul di sana, bukan! Ya, keempat adiknya tak kalah jaya darinya (Ah, tak usah diceritakan sebanyak apa harta mereka—baik yang tampak ataupun tidak). Namun lantaran ia anak sulung. Itu saja. Mereka, mau tidak mau, harus segera berkumpul pagi itu demi membicarakan bagaimana menanggapi kematian Sang Ibu. Mereka pun menetapkan berapa malam pembacaan yaasin akan dilangsungkan, berapa banyak perkumpulan pengajian yang perlu diundang untuk membacanya, berapa isi amplop yang akan dibagikan kepada mereka …. Mereka pun bersepakat untuk meninggalkan pekerjaan dan anak-istri selama sepekan (Bahkan sebelum Sang Ibu ditanam, mereka tidak menyilakan anak-istri melihatnya seolah hal itu akan menodai kejayaan yang mereka). 

“Setelah ini, kita mungkin hanya menjenguk pusaranya bila Hari Raya akan tiba,” ujar Si Sulung, dan diiyakan saudara-saudaranya yang lain.

Mereka terbang ke kampung halaman menggunakan pesawat dari maskapai lokal. Setiba di sana, mereka memutuskan menyewa mobil. Setiap mereka menyewa satu mobil. Bukan untuk satu, tapi tujuh hari. Mereka ingin semua orang kampung tahu kalau anak-anak Sang Ibu telah sukses.

“Jadi, sudah sepakat ya, kita mengundang semua perkumpulan pengajian yang ada di sini?” tanya Si Bungsu ketika mereka menuruni tangga pesawat.

“Paling lima ratus orang. Sampai seribu pun tak masalah. Tinggal sewa tenda,” ujar Si Nomor Dua dengan pongah.

“Isi amplopnya lima puluh ribu. Selama tujuh hari,” celetuk Si Nomor Empat memastikan.

“Khusus hari ketiga dan ketujuh, kita kasih seratus ribu. Menunya pun harus lebih beragam, lebih mahal, dan lebih enak.” Kali ini Si Sulung tak mau kalah.

“Orang kampung pasti akan datang berbondong-bondong karena dapat amplop dan makan enak. Bahkan di hari ketujuh, aku sudah mengontak manager ustaz yang sering tampil di TV untuk ceramah!” ujar Si Nomor Tiga penuh semangat sembari menyebutkan nama ustaz yang dimaksud.

Lalu tawa pun pecah, berhamburan, dan terbang berserakan di langit yang berlapis-lapis.

*

SEPULANG salat subuh di masjid, perempuan tua yang lebih dikenal dengan panggilan Ummi itu (bahkan, anak-anaknya pun tidak memanggilnya “Ummi”) kembali ke kamarnya yang sunyi. Biasanya, ia langsung mencangking Quran di lemari depan lalu membacanya dengan suara yang lirih di kursi rotan tak jauh dari jendela. Ia membacanya hingga matahari bulat sempurna di batas pagi. Namun subuh itu ia bahkan tidak meraih kitab itu, tapi langsung rebahan di kasurnya yang kempes dan usang. Kedua tangannya bersedekap. Seolah sudah melatih otot bibirnya sejak lama, sembari memejamkan mata ia menyunggingkan senyum paling indah. Ia memang akan menyambut Izrail dengan cara yang berbeda; dengan sukacita.

Sungguh, ia tidak pernah diminta dipanggil Ummi. Namun orang-orang kampung dan sekitarnya seperti merasa lebih nyaman dengan memanggilnya seperti itu, seolah sebutan itu begitu mulia, seolah kemuliaan itu sangat tepat tersemat padanya. Bersama seorang khadimah (pembantu) perempuan yang sudah ia anggap keluarga, Ummi selalu shalat di masjid. Saban petang, ia rajin membagikan apa pun yang dimasak kepada para tetangga. Tidak banyak memang. Namun orang-orang bagai bersicepat menyambutnya seolah-olah apa-apa yang datang darinya adalah keberkahan. Ummi juga selalu membawa penganan bila masjid mengadakan mauludan, tadarusan, pengajian bulanan, atau buka puasa Pesantren Ramadhan.

Setiap pagi Ahad, Ummi seolah punya agenda sendiri; bertandang ke rumah-rumah penduduk hingga zuhur tiba. Bayangkan, di usia delapan puluh tahun, ia mampu mengunjungi hingga tiga puluh rumah setiap pekan. Maka, saban orang-orang menanyakan rahasia kebugarannya, ia menyebutkan apa yang ia lakukan itu sebagai jawabannya.

Silaturahim bukan hanya memanjangkan usia, tapi memberi berkah pada usia yang panjang itu, begitu ujarnya seraya memamerkan gigi-giginya yang jarang.

Tanpa selebaran, pengumuman, dan iklan di suratkabar, keelokan tabiat Ummi menyebar ke mana-mana. Awalnya hanya seantero kampung. Lalu dari mulut ke mulut, dari kerumunan ke kerumunan, dari persinggahan demi persinggahan, Ummi dikenal hingga ke kampung-kampung tetangga, kota-kota terdekat. Ummi bagai menjelma permata dengan rambahan kilau tak terbatas. Orang-orang pun kerap bertandang ke rumahnya. Bukan untuk meminta nasihat karena ia pasti takkan melayani, tapi hanya ingin menjumpainya. Awalnya, orang-orang—baik penduduk sekitar maupun datangan—kerap bertanya keberadaan anak-anaknya. Namun karena Ummi selalu menjawab dengan airmata menggenang, maka mereka tak pernah mengungkit-ungkitnya. Ya, membuat sedih seorang berhati malaikat adalah sebuah kesalahan, dan kesalahan selalu menjadi cikal-bakal dosa.

Ah, tak ada yang tahu betapa hati Ummi retak setiap mengingat kelima anaknya. Ummi membesarkan mereka dengan hasil ladang yang waktu demi waktu tergadaikan bahkan melayang ke tangan orang lain. Untunglah beberapa dari mereka tak tega mengambil alih ladang-ladang itu, hingga akhirnya Ummi bisa hidup darinya, dari kejujuran orang-orang upahan yang menggarapnya. Ah, siapa pula yang sudi mengakali seorang yang wajahnya selalu ruah oleh cahaya?

*

TIGA ratus meter menjelang rumah duka, mobil kelima laki-laki itu tidak bisa melaju. Mereka menyaksikan lautan manusia membanjiri jalan. Ratusan kendaraan parkir di setiap tempat yang lowong. Tak lama setelah mobil menepi, mereka berkumpul di bawah pohon yang paling besar di sana.

“Ternyata demonstrasi pun sudah terjadi di kampung-kampung,” ujar Si Sulung sambil nyengir.

“Benarkah?” tanya Si Bungsu. “Jangan-jangan ada kecelakaan hebat? Truk lawan truk mungkin? Atau jembatan rubuh?”

“Ah, tak ada jembatan di sini! Masak sudah lupa!” sanggah Si Nomor Tiga. “Jangan-jangan ada orang kaya dekat sini yang sedang bagi-bagi sembako!” Lalu ia terkekeh-kekeh.

“Sudah, sudah!” sergah Si Nomor Dua sambil mengibaskan tangan. “Coba kautanyakan ke salah seorang dari mereka,” perintahnya pada Si Bungsu sambil menunjuk kerumunan yang paling dekat dari mereka.

O o, cukup lama terpekur Si Bungsu usai mendengar jawaban salah seorang dari kerumunan. Untung saja panggilan dari saudara-saudaranya menyadarkannya.

“Sebelum meninggal Ibu berpesan, kalau ia meninggal di subuh hari dan sampai zuhur anak-anaknya belum tiba, ia minta segera dikuburkan saja!” lapornya dengan wajah yang tiba-tiba memias.

“Lalu apa hubungannya dengan kerumunan itu?” tanya Si Sulung.

“Mereka semua adalah pelayat, Bang!” jawabnya.

“Pelayat?!” Seru keempat kakaknya seolah tak percaya.

“Ya. Sekarang mayat Ibu sedang berada di masjid terbesar kampung. Usai zuhur barusan, mayat Ibu langsung dishalatkan. Jamaahnya melebihi shalat idul fitri. Dan lautan manusia itu sekarang ingin mengantar jenazah Ibu ke permakaman.”

Lalu mereka terdiam. Tentu, bukan memikirkan berapa banyak rupiah yang harus dibayarkan kepada pelayat karena mereka semua memang takkan mau dibayar, bukan memikirkan menu perayaan kematian karena sumbangan dari orang-orang yang ratusan mobilnya terparkir di sepanjang tepian jalan sudah lebih dari cukup, dan bukan juga memikirkan sampai hari keberapa pembacaan yaasin akan dihelat karena sepertinya hingga hari yang keempatpuluh pun rumah duka belum akan sepi pelayat. Mereka terdiam karena aliran darah bagai ditotok tiba-tiba, jantung yang kehilangan ritme degupnya, keringat mengucur dari sekujur tubuh, dan bibir yang menggigil tak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun.

Mereka naik ke mobil. Memutar balik setir. Tak ada yang bersuara, termasuk tawa yang sudah dipersiapkan sedari tadi untuk menyala. Dalam hati, masing-masing berharap masih tersisa tiket penerbangan terakhir hari itu. Mereka benar-benar tak habir pikir, bagaimana mungkin Sang Ibu menjelma sehebat itu, bagaimana mungkin Sang Ibu, dalam sekejap, menyihir mereka dan kejayaan yang yang susah payah diraih menjadi debu, tak ada harganya. n

Berendo, 28 Juli 2012


Lampung Post, Minggu, 16 Juni 2013

Sunday, June 9, 2013

Ujian Prabasiwi

Cerpen Tarpin A. Nasri


NJANUR gunung! Edan! Seperti disambar geledek di siang hari bolong! Itulah kata yang paling tepat ketika istriku—Prabasiwi Dyah Wahyuning  Kinasih—menyuruhku menikah lagi. Jangankan dipoligami, mendengar—apalagi sampai  tahu—suami punya pacar, punya selingkuhan atau punya wanita idaman lain saja, biasanya istri sudah mecucu alias cemberut, makanan dibuat tidak enak dan disajikan tidak menarik, bicara ketus,  di tempat tidur tubuh sebeku es,  badan disentuh tangan ditepis,  tidur dipunggungi, ketika hasrat batin membuncah istri meradang: stop pelayanan!  Bahkan tidak sedikit istri yang pundung  sampai dengan yang paling sangar dan tragis: bratayudha. 

"Lha ini aku koq disuruh menikah lagi? Ada apa gerangan denganmu, Siwi?"

Oleh karena itu, ketika ada waktu yang pas untuk bicara, aku mendekati istriku yang sudah memberiku si Ganteng—Galih Galindra Prabu Wisesa,  dan si Cantik—Gendhis Cantika Puspitaningtyas.

“Jadi tidak saat liburan sekolah anak-anak nanti, kita bulan madu ke Kaliurang, Cinta?” tanyaku kepada Siwi, yang lagi asyik membaca majalah wanita ternama terbitan Ibu Kota.

Honeymoon itu ya cocoknya dengan istri baru atau istri muda,”  jawab istriku mulai nyleneh lagi. “Bulan madu koq karo bojo sing wis tuwo, ya tidak serulah, Mas. Tidak romantis gitu lho," lanjutnya.

“Maksudmu gimana sih, Sayang?” tanyaku iseng. Aku tak mau terpancing.

“Kalau Mas mau menikah lagi, silahkan, dan kuikhlaskan lho, Mas,” jawabnya dengan tegas. “Punya istri lebih dari satu dibolehkan koq oleh agama kita, bahkan bisa sampai empat orang istri….”  lanjutnya dengan antusias,  yang langsung kusambar,

“Asalkan sang Suami bisa bersifat adil kan? Dan Mas terkasihnya Siwi ini, terus terang wae, belum tentu bisa bersifat adil. Dari pada tidak sanggup bersifat adil, lebih baik cukup beristri satu! Ingat itu! Jadi tidak asal poligami!”

“Nabi Ibrahim AS, Nabi Dawud AS, dan Nabi Sulaeman AS beristri lebih dari satu, demikian pula dengan Junjungan Kita Nabi Besar Muhammad SAW beristri empat, kenapa kita umat yang mengimani ajaran-Nya tidak mau mengikuti sunnah-Nya?”  ujar istriku, yang membuat aku jadi tambah penasaran.

“Iya waktu itu kan poligami terjadi untuk kepentingan penyebaran agama, karenanya semua mendapat ridhoi Allah SWT, karena Para Beliau itu terbukti bisa bersikap adil. Lha untuk  tujuan apa aku sampai harus berpoligami?”

“Kan untuk menghindari selingkuh, menjaga punya wanita idaman lain, atau menghindari zina,” sambar istriku.

“Apa selama ini aku selingkuh? Apa selama ini aku punya wanita idaman lain? Apa aku telah berbuat zina, sehingga Siwi—istri dunia-akhiratku, sampai menyuruhku harus menikah lagi?”

“Siapa tahu Mas mau melaksanakan syariat agama, menjalankan sunnah rosul, atau punya keinginan untuk lebih menyebarkan syiar agama?” tantang istriku.

“Apa melaksanakan syariat agama dengan baik dan benar itu harus dengan poligami? Apa bukti menjalankan sunnah rosul itu harus dengan beristri lebih dari satu? Apa untuk menyiarkan agama harus dengan beristri dua, tiga atau sampai empat?!”  jawabku setengah meradang.

Istriku santai saja dengan jawabanku.

“Dikasih enak, dikasih nikmat dan dikasih izin sama istri koq  tak mau sih, Mas?” tanyanya sambil senyum. “Padahal laki-laki di luar rumah ini, diam-diam banyak yang punya pacar,  diam-diam banyak yang punya selingkuhan, diam-diam banyak yang punya wanita idaman lain, bahkan banyak yang diam-diam menikah lagi!”

“Aku tidak termasuk yang engkau sebutkan tadi kan, Kasih?” tanyaku.
Istriku tersenyum manis sekali.

“Makanya aku tawari, makanya aku persilahkan, makanya aku izinkan, Mas. Tidakkah kau tertarik dan terpikat untuk melakukannya, Arjunaku?”

“Jawaban suamimu jelas dan tegas: tidak! Ti-dak! T-i-d-a-k!” jawabku.

“Karena, sekali lagi, aku belum tentu bisa bersikap adil. Lebih baik dan lebih aman cukup satu istri,” lanjutku.

“Beristrikan Siwi saja belum tentu aku bisa membahagiakannya lahir-batin, belum tentu aku bisa mencukupi  sandangnya, pangannya, dan papannya,  belum lagi kemungkinan terjadinya perceraian yang menyebabkan anak-anak jadi korban.”

“Aku bahagia koq dengan menjadi istrimu, Romeoku,” jawab Siwi.

“Sandang, pangan, papan dan masa depanku sudah Mas siapkan  semuanya,  anak-anak sudah disiapkan beasiswa pendidikannya, bahkan mereka sudah punya deposito sendiri-sendiri,” lanjutnya.

“Makanya aku ingin menghormati dan berterimakasih untuk semua kebaikkan dan jaminan hidup yang Mas berikan dengan mempersilahkan, membolehkan dan mengizinkan Mas untuk menikah lagi. Di luar sana banyak wanita dan janda yang siap dinikahi lho, Mas. Kasihan jika sampai mereka jadi perawan tua dan telantar!”

“Lho lho lho….” jawabku.

“Koq  bicaranya semakin lama semakin ngaco sih?” lanjutku mulai cemas. 

“Kamu masih sadar kan, My Soulmate?”

“Insya Allah aku sadar, Ramaku,” jawabnya.

“Aku hanya takut tak mampu dan tak sanggup menjadi  istri yang baik dan sempurna dalam melayani dan membaktikan diri kepada suami yang telah membuat aku tak cuma bahagia, akan tetapi telah membuat  hidupku tenang, nyaman, damai, tentram dan sejahtera, Imamku.”

“Tidak ada yang kurang dari pelayanan dan baktimu kepada suamimu, Julietku,” ujarku. “Makanya tak terlintas sedikitpun di hati dan di pikiranku, untuk memiliki lebih dari satu, apalagi sampai punya empat istri!” lanjutku. “Bagiku satu istri cukup untuk selamanya, Dinda.”

Ketika istriku mangap mau bicara aku langsung mengatupkan mulutnya dengan kalimat yang membuatnya mingkem terkunci.

“Soal datangnya  mentruasi, atau sakit, atau sibuk ngurusi anak-anak, terus Siti Khadijahku  merasa terganggu melayani kebutuhan rohaniku, aku bisa menerimanya dengan tulus dan ikhlas, diantaranya bisa kuisi dengan menyibukkan diri dengan pekerjaanku,  atau dengan melukis yang menjadi hobiku, atau dengan meningkatkan ibadah melalui pengajian-pengajian. Jadi tidak ada masalah kan?!” ujarku membaca jalan pikiran dan isi hati garwo-ku.

“Ah yang benar….”  godanya.

“Jangan-jangan di laur sana….” lanjutnya tak tuntas, karena  langsung kupotong.

“Dijamin 100% di mataku, di pikiranku, di darahku, di napasku, di jantungku  dan di hatiku, hanya ada Prabasiwi Dyah Wahyuning Kinasih! Dan untuk semua itu aku berani bersumpah: demi  Tuhan! Demi Allah!” teriakku.

Istriku tersenyum, dan sikapnya santai saja.

“Tenang, Mas.  Tenang!  Te-nang! T-e-n-a-n-g! Tak usah teriak-teriak begitu. Santai saja. Dikasih kenikmatan koq malah marah-marah. Di luar sana banyak istri dan anak-anak yang jadi korban kekerasan, jadi korban penganiayaan, jadi korban penelantaran dan jadi korban perceraian oleh suaminya yang diam-diam punya pacar, punya selingkuhan, punya wanita idaman lain,  punya istri simpanan, atau karena poligami!”

“Makanya Mas-mu ini tidak mau begitu,” jawabku.

“Takut dirimu dan anak-anak yang jadi korban,” lanjutku. 

“Mas nanti yang malu sama tetangga, malu sama orang tua, malu sama masyarakat, malu sama agama, dan malu sama Tuhan! Lha wong belum bisa bersikap adil koq malah pecicilan dan bersemangat 45 untuk punya istri lebih dari satu! Apa pula nanti kata dunia?!”

“Kenapa harus malu, Mas?” tantangnya .“Kan aku setuju, mempersilahkan dan mengizinkan untuk itu?” lanjutnya. “Jadi harusnya tak ada masalah toh?”

“Tidak!” jawabku.

“Itu masalah buatku. Jangan-jangan aku malah terjebak, yakni niatnya mau melaksanakan syariat agama, demi menjalankan sunnah rosul atau untuk menghindari perzinahan, akan tetapi prakteknya malah menganiaya istri dan menyakiti anak-anak.  Jatuhnya nanti malah jadi fitnah!”

Dan tawaran untuk beristri lebih dari satu terus didengung-dengungkan oleh Siwi dalam setiap kesempatan, akan tetapi anehnya setelah  tawaran itu disampaikan, Siwi selalu mengakhirinya dengan sikap lemah lembut yang indah, penerapan kasih sayang yang mengguncangkan dan kemesraan di tempat tidur tanpa tanding, apalagi bila aku sudah sampai abang rai, gosong  kuping, gigi sudah gemeletuk dan tangan sudah terkepal.  Dengan sikap Siwi  yang seperti itu, ujung-ujungnya aku dibuat  terkapar dalam kepuasan tak terkisahkan, karena Siwi menerbangkan aku ke sorga dengan tuntas dan sangat sempurna.

“Jika sudah begini indah, nikmat, dan puasnya…” ujarku pada persetubuhan di akhir pertengkaran yang kesekian kalinya dengan tema poligami.

“Buat apa lagi aku harus punya istri lebih dari satu, Shintaku?” lanjutku sambil mencium kening dan kedua pipinya yang mandi keringat.

“Kan bisa lebih nikmat lagi dengan istri muda, Sayangku?”  jawabnya.

“Apalagi dia lebih cantik, bisa lebih hot dan digaransi lebih menggairahkan.”

“Itu berarti poligaminya untuk syahwat!” elakku. “Dan aku tidak mau munafik dengan berlindung di balik pembenaran itu!”

“Jadi gimana dengan tawaran Mama untuk  Papa berpoligami?”  tanyanya  dengan supermesra.

“Persetan dengan tawaran Mama itu!” jawabku. “Buat laki-laki lain silahkan saja melakukan poligami dengan beristri dua, tiga atau empat, biarlah pahala dan dosanya  ditanggung sendiri! Buatku— Jaka Sulaksana Tedjaningrat— cukup satu istri, yakni Siwi. Sekali lagi: Si-wi. S-i-w-i"

“Hanya Si-wi  ya, Pap?” tantang istriku sambil senyum.

“Ya! Ha-nya S-i-w-i, Mam!” tegasku mantap.

Selidik punya selidik, kenapa Siwi ngotot  menyuruhku untuk punya istri lebih dari satu, dikarenakan ketakutan.  Adik kandungnya punya istri lebih dari satu dan keluarganya berantakan, bahkan kini anak-anaknya ikut mBah-nya di Yogyakarta.  Dengan demikian aku telah lolos ujian kesetiaan Prabasiwi, yang memanfaatkan isu poligami yang kebetulan kini tengah menjadi trend.

Fakta yang kemudian kulihat di masyarakat, kebanyakkan praktek poligami tidak semata-mata demi melaksanakan syariat agama,  demi menjalankan sunnah rosul, atau demi menghindari perzinahan sebagaimana yang terjadi di zamannya Nabi Agung Muhammad SAW ataupun nabi-nabi sebelumnya, akan tetapi masih berkutat untuk memanjakan seekor belut agar bisa bladhas-bludhus  pada sepetak sawah sempit, sehingga menodai nawaitu atau semangat  mereka-mereka yang berpoligami murni untuk  melaksanakan syariat agama, untuk menjalankan sunnah rosul atau untuk menghindari perzinahan.

Braja Mulia-Braja Selebah-Lamtim, September 2012-April 2013.


Lampung Post, Minggu, 9 Juni 2013


Sunday, June 2, 2013

Rosa

Cerpen Alexander GB

APA yang membuat banyak orang bunuh diri? Rosa menjawab kebebasan. Mengapa kebebasan, bukankah itu yang didambakan setiap orang? Kita tak ingin terikat oleh apapun. Secara kasar barangkali aku akan mengatakan demikian. Tetapi selama berpikir, bernafas berarti tetap terikat. Begitu selamanya. Namun secara konyol kita terus mencoba untuk bebas, dan pada akhirnya akan menemui jalan buntu, hingga terpaksa menantikan kematian sebagai satu-satunya solusi bagi kehendak meneguk kebebasan tanpa syarat. Namun bagiku, seluruh penyangkalan itu adalah usaha untuk menolak peran yang mesti kita tunaikan.

Mengapa kematian?

“Karena kematian akan membuat jiwa kita bebas, lepas,” jawab Rosa selanjutnya.

Ia ingin menjadi Rosa yang lain dari Rosa yang selama ini ia lihat di cermin itu. Sebatang pohon ranggas, satu persatu dahannya berjatuhan ke tanah.

“Kematian membuat kita tak perlu risau dengan detak jam dinding di ruang tamu, lepas dari ancaman kelaparan, segala penyakit, prasangka, dan tak lagi terombang-ambing antara kenangan dan harapan. Sudah terlalu lama kita akan berubah dari mahluk bumi yang menyedihkan menjadi mahluk astral yang bebas berkelana kemana saja, bebas melakukan apa saja,”  lanjutnya. 

“Jadi itu alasanmu hendak bunuh diri?” tanyaku.

Rosa diam saja.

Mungkin sedang memilih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku.

“Aku bukan Veronika, ia tak suka aku memelihara seekor kucing,” ujar Rosa.

Aku tak begitu mengerti dengan jawaban yang baru keluar dari bibir pucatnya. Jadi hanya karena ia tak setuju memelihara seekor kucing. Ah,  mengapa begitu sepele, seekor kucing?

“Ya, ia tak menyukai seekor kucing. Jika aku kembali memelihara seekor kucing maka aku tak perlu sendiri seperti ini, tapi ia tak membutuhkan kehadiran kucing di rumah ini. Memelihara kucing adalah simbol orang yang kesepian, yang hanya nyaman di kamar dan ruang tamu. Mestinya kamu lebih terbuka kepadaku. Aku ini psikolog, aku tahu setiap laku ada alasannya, aku telah mempelajari ratusan bahkan mungkin ribuan ekspresi bahwa sadar. Begitu katanya. Lalu ia menatapku penuh kecurigaan. Aku benci dengan tatapan semacam itu. Aku benci mata itu. Matanya, ya matanya menjelma pisau yang teracung ke jantungku,” ujar Rosa geram.

Tiba-tiba Rosa seperti hendak meluapkan amarah. 

“Mata siapa?” tanyaku.

“Mata lelaki itu, dan semua orang. Ya semua orang,”  ujar Rosa selanjutnya.

“Jadi alasan utama kamu memilih bunuh diri adalah karena dilarang memelihara kucing atau karena mata-mata yang kamu anggap menghakimi atau mengancam kenyamanan hidupmu?”  tanyaku.

“Sudahlah. Aku lelah,” ujar Rosa sambil mengalihkan pandangan ke jendela.

Seekor kupu-kupu menabrak dinding kamar kemudian jatuh. Rosa tersenyum melihat kekonyolan kupu-kupu itu.  Sepertinya aku gagal mengorek keterangan apa yang telah membuat Rosa nekat menelan pil tidur dalam jumlah yang tidak semestinya. Ia tidak ingat, tahu-tahu sudah terdampar di ruang putih ini. Ia menceracau.

Sulit memahami kata-kata Rosa yang berhamburan seperti  peluru yang ditembakkan membabi buta. Ia menjelma pasien di rumah sakit yang enggan pulih dan lekas pulang. Sementara lelaki itu duduk di ruang tamu, menonton televisi. Sudah dua hari telepon genggam dan telepon rumah ia matikan. Ia menolak setiap klien yang hendak konsultasi. Kepalanya dipenuhi Rosa yang nyaris mati.

Barangkali bertahun-tahun Rosa terjebak pada dunia yang diciptakannya sendiri. Dunia yang dibangun dari dari sekumpulan hati yang patah,  kebosanan menjalani rutinitas, sebagai perempuan yang terpaksa tak berdaya, atau oleh  banyaknya kekecewaan yang harus diterima. Rosa seperti sebuah kota dengan langit yang disesaki awan hitam, yang berkarib dengan hujan dan air selokan yang selalu meluap ke jalanan. 
Ketika tanpa sengaja kutanya siapa yang paling ia benci, Rosa lekas  menjawab lelaki yang kini sedang menonton televisi. 

Dan Rosa tidak nyaman sering diperlakukan berlebihan. Setiap ada yang melenceng dari kebiasaan dianggap tidak wajar, ekspresi bawah sadar yang tak bisa dikendalikan, atau gamblangnya lelaki itu iangin mengatakan ia gila.  Puncaknya ketika Rosa berkeras hendak memelihara kucing di rumah, lelaki itu tampak tersinggung dan tak menegurnya selama satu minggu, bahkan pernah mengancam menceraikan. Pada titik ini Rosa menduga sesungguhnya lelaki itulah yang gila.

Secara detail aku tentu tidak tahu apa yang dialami Rosa, yang aku tahu dua matanya kerap dihuni butir air serupa embun, menjalar ke pipi lalu jatuh ke lantai.

Rosa merasa bahwa hidup hanyalah menuntaskan  satu kisah sedih ke kisah sedih lainnya. Kesepian adalah masalah terbesar manusia yang hingga mati tak dapat terpecahkan misterinya. Rosa tersenyum getir ketika beberapa larik sinar pagi menerobos jendela, ruang putih itu benderang. Ia menatap takzim suasana di balik jendela,  melihat sekumpulan awan yang bergerak menutupi kota. Ia membenci pagi, seperti ia juga membenci segala yang berwarna merah atau biru.

                ***       
           
Bagi Billy, Rosa adalah mimpi buruk, wanita bermata api yang berhasrat membakar apa saja.

Andai saja membunuh dan bunuh diri itu dihalalkan, barangkali ia akan membunuh Rosa. Atau paling tidak ia akan membunuh dirinya sendiri. Tapi ia tak cukup memiliki keberanian untuk melakukan hal ini. Namun pikiran untuk mengakhiri hidup juga kembali berlintasan.

“Daripada bertahun-tahun tersiksa,” ujar Billy pada sahabatnya Daniel ketika bertemu warung kopi pinggir kota.

Billy mengeluhkan banyaknya pertengkaran yang harus terjadi di rumahnya akhir-akhir ini.

“Aku tak terkejut jika sikapmu berubah Billy. Jangan katakan aku penyebabnya. Seperti aku yang tak membawamu dalam masalah yang kini sedang kuhadapi,”  ujar Rosa.

“Faktanya kita telah bersama bertahun-tahun.” ujar Billy.

“Bersama? Apakah kamu tak salah omong?” ujar Rosa, nada bicaranya lebih mirip ejekan daripada pertanyaan.

“Bagaimana kamu bisa bertanya demikian?”

“Apa guna deretan buku di rak dan meja belajarmu, benda-benda yang kerap membuatmu lupa dengan kehadiranku. Sesekali memang tubuh kita berdekatan, bahkan begitu rapat, tangan kita pun pernah saling genggam. Namun yang kurasakan tidak demikian adanya. Pada akhirnya kita tetap sendiri, dengan prasangka dan fiksi atas hidup yang kita jalani. Ini bukan soal banyaknya hal yang kita rahasiakan, namun begitulah adanya. Kita tetap kesepian, tetap merasa sendiri. Dan sebuah pelukan, sebuah ciuman, atau tangan yang saling genggam akan sia-sia pada akhirnya.”

“Jadi benar dugaanku, meski telah bertahun-tahun tetap kamu tak bisa menerima kebersamaan kita?”

“Bukan soal menerima atau tidak menerima. Aku hanya menyampaikan sebuah fakta, bahwa kita tetap sendiri, itu saja.”

“Lalu tentang hubungan kita?”

“Hanya soal regenerasi, harus ada penerus yang tinggal di bumi, dan permainan tetap bisa dilanjutkan.”

“Selalu begitu?”

“Mungkin.”

Percakapan terhenti, ketika ada sebuah ketukan di pintu. Tak lama kemudian Billy meninggalkan rumah.

***

Hujan turun, seekor anak kucing menggigil di dekat pintu rumah yang tak berpenghuni. Rosa mengamati dari jendela dengan dagu berbantal dua tangan. Butir-butir hujan mengaburkan pandangan sehingga ia tidak bisa menangkap hal-hal yang lebih detail, misalnya bagaimana tubuh anak kucing itu menggigil hebat ketika bulu-bulunya basah.

“Sayang sekali aku tak bisa membawamu kemari. Billy tak akan pernah suka. Meski aku sangat menginginkannya,” ujar Rosa lirih.

Keterikatan Rosa dengan seekor kucing bukan hal baru. Tapi, sejak dokter Yadi yang gendut dan berkumis lebat itu mengatakan salah satu penyebab Rosa tak kunjung hamil anak adalah bulu kucing -- dan tentu ditambah semacam mitos lain-- maka Rosa pun mengalah dan terpaksa berpisah dengan candu psikologis masa kecilnya itu.

Rosa sempat memprotes, namun Dokter Yadi tentu tak mau disanggah. Ia mengurai panjang lebar unsur apa saja yang terkandung pada bulu kucing ( agar tampak ilmiah), lalu didukung beberapa fakta banyak pasien lain yang terlambat punya keturunan gara-gara memelihara kucing di rumahnya. Maka lengkaplah penderitaan Rosa. Sepulang kosultasi dengan Dokter Yadi, Billy tertawa penuh kemenangan. Dan Rosa diam, lalu terbaring. Tak lama kemudian terlelap.

***

Setelah kusampaikan beberapa hal kuharap kamu bisa memaklumi, kenapa Rosa merasa sendiri, lalu hendak bunuh diri. Rosa atau kamu juga kerap merasa sendiri bukan. Bahkan saat kita berpelukan, kamu tetap saja merasa kesepian. Kita adalah mahluk yang paling munafik. Begitu yang dikatakan Rosa di sebuah malam.

Ini semacam kegilaan. Dan kita tak berdaya. Kita tak kuasa untuk merubahnya. Barangkali saja sesekali kamu sungguh-sungguh lupa dengan kesedihanmu? Tapi berapa lama kamu sanggup bertahan dalam kenyamanan semacam itu. Semua segera berganti, dan jika kita kalkulasi, lebih banyak kisah sedih yang kita alami bukan? Meski selalu disembunyikan, lalu kita akan mengatakan baik-baik saja, sehat  kepada setiap teman dan kolega.

Mari kita lupakan kerumitan yang melanda hidup Rosa. Dan aku hanya berniat membantu, memenuhi harapan terakhirnya. Sudahlah, mari kita tengok hidup kita. Sejenak saja.  Dan kupastikan, kamu juga sedang mengalami beberapa hal yang mungkin mirip dengan apa yang dialami Rosa.

Oke, baiklah. Biarkan saja. Mungkin itu tidak penting. Sekarang jalani saja hidupmu. Dengan caramu. Lupakan semua ceritaku. Berbuat baiklah. Karena berbuat baik, betapapun pura-puranya akan tetap ada manfaatnya daripada kamu berkeluhkesah. Jangan takut. Kamu boleh juga berbuat sebaliknya. Maaf, sebenarnya Rosa tak mati karena bunuh diri. Namun kupastikan ia telah menemukan Rosa lain, Rosa yang selalu ia rindukan, yang tak pelu takut atau malu-malu.

Bandar Lampung, Februari 2013


Lampung Post, Minggu, 2 Juni 2013