Sunday, April 28, 2013

(Tidak) Pulang

Cerpen Yetti A.KA


KAU tidak tahu harus pulang ke mana seolah-olah kautak punya rumah. Tidak punya kamar dengan dua daun jendela yang lebar. Tidak punya halaman belakang tempat kau berdiri lama-lama menatap serumpun bambu hias. Tidak punya seseorang yang mencemaskan dan menunggumu. Apa kau pernah merasa begitu?

Sekarang dia sedang merasakannya. 

Dia tentu saja punya rumah. Punya kamar yang berjendela lebar di mana serangga sering keluar masuk bila sedang terbuka. Punya halaman belakang tempat dia mengamati rumpun bambu yang dia tanam sendiri setahun lalu. Di rumah itu tentu juga ada suami yang sedang menunggu.
Ponselnya terus berbunyi—puluhan panggilan dan pesan pendek—karena lelaki itu pasti cemas, sebelumnya dia tidak pernah pulang terlambat. Atau paling tidak dia selalu mengabari jika ada lembur di kantor atau pergi makan sushi bersama teman-temannya—satu-satunya yang bisa dia perjuangkan dari sekian banyak hal yang ingin dia lakukan selain urusan kerja.

Martin, suaminya, mungkin saja sekarang ini tengah menghubungi semua teman-teman dia lalu bertambah cemas karena tidak satu orangpun yang tahu di mana keberadaannya, tidak satu orang pun mengerti apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Seperti juga dia tidak benar-benar mengerti apa yang membuatnya merasa tidak punya rumah dan tak tahu harus pulang ke mana.

Dia memang punya rumah yang lain lagi, selain rumah yang ia tempati bersama Martin. Rumah orang tuanya. Rumah itu ramai sekali. Bapak, Ibu, Kakak, dan ponakan-ponakan yang lucu. Tapi ia bahkan sulit melangkah ke sana. Hatinya justru hambar membayangkan berada di antara keriuhan suara anak-anak. Di antara kebahagian yang bisa jadi malah menyudutkan dia. Membuat dia merasa berada di tempat yang salah. Terkucil dengan rasa sepi yang membingungkan, lalu mengacaukan kegembiraan orang-orang di sekitarnya karena pasti Ibu orang pertama yang menyadari ada sesuatu yang salah dan tidak biasa.

Ponselnya terus-menerus berbunyi. Dia menduga, selain Martin, sekarang teman-teman turut mencoba menghubungi, juga Bapak atau Ibu atau Kakak. Martin sudah berhasil membuat panik banyak orang. Dia mendengus kecil. Dia bisa mengabaikan Martin atau teman-temannya. Tapi Bapak dan Ibu? Dia kirim pesan pendek pada Bapak, mengabarkan kalau dirinya baik-baik saja, hanya sedang ingin sendiri, dan nanti akan pulang (meski dia sendiri tidak yakin pulang ke mana sebab ia benar-benar merasa tidak punya rumah). Setelah pesan itu terkirim, ponsel dia matikan. 

***

Dia berpikir ingin ke taman kota saja. Ah, tidak, desahnya cepat. Taman itu tempat orang pacaran di malam hari. Dia pasti risih berada di sana seorang diri. Halte? Dia juga mulai tidak menyukai halte yang bau pesing. Malam-malam banyak pemuda tanggung duduk dan mabuk di sana, kemudian kencing sembarangan. Laut? Tempat itu biasanya mampu mengembalikan perasaan gembira, udara asin yang lengket di kulit, bau amis yang khas—menerbangkan dia ke masa kecil yang riang. Dia berlari-lari sepanjang pantai, hanya bermain-main dan tertawa saja (dan seandainya dia pernah menangis, itu adalah tangis anak kecil yang minta perhatian bukan karena penderitaan). Dia bermain pasir, membuat boneka. Dia terkikik ketika air laut menyambar boneka pasirnya. Dan kakaknya berkomentar, Kau aneh sekali, seharusnya kau tidak tertawa tapi sedih.
Dia bertanya-tanya terus: Kenapa aku harus bersedih?

Kakaknya tidak pernah mau membahas lagi dan sering marah-marah atau gusar atau membentaknya. Dan kemudian Ibu yang diam-diam berbisik padanya, Kakak hanya cemburu padamu karena tidak bisa membuat boneka pasir sebagus milikmu. Dia tidak percaya kata-kata Ibu, namun setidaknya dia tidak perlu bertanya lagi.

Dia sudah tidak ingin pergi ke laut. Dia memilih duduk di trotoar di bawah lampu jalan yang dikerubungi sungsulung—jenis serangga yang juga menyukai cahaya tapi memiliki tubuh jauh lebih kecil dari laron—seperti seseorang yang hidup sendirian dalam kota yang ramai; orang-orang lewat. Kendaraan yang bising. Tapi ia benar-benar merasa sendirian. 

***

Dia memang sendirian. Sudah lama sekali dia merasa tidak punya siapa-siapa. Dia hidup dengan pikiran-pikirannya sendiri. Dengan perasaan-perasaan yang berubah-ubah. Dengan kekacauan emosi yang tidak pernah bisa dia bicarakan pada orang lain.

Martin selalu ada untuknya, memang. Lelaki yang menikah dengannya tiga tahun lalu. Lelaki yang sesekali memberinya kejutan kecil. Lelaki yang romantis, meski tidak pernah mengajaknya jalan-jalan lagi setelah setahun menikah. Lelaki itu berkali-kali berkata tidak bisa kehilangan dia.

Tapi sesekali aku mau mencair, lesap, hilang! Pikiran itu datang berulang kali. Lebih sering datang ketika dia sedang marah. Atau ketika dia begitu tidak tahan berhadapan dengan Martin yang mencintainya dengan amat nyinyir. Berlebihan. Egois. Berkuasa. Memaksanya kembali merasakan kejadian-kejadian ketika dia berhadapan dengan kakaknya yang judes. Kakak yang mengekang, yang tidak memberi kesempatan padanya untuk menjadi diri sendiri, menyukai apa yang dia inginkan. Atau Ibu yang membandingkan-bandingkan dia dan Kakak. Kakak pintar. Kakak suka membantu Ibu. Kakak tidak pernah membuat kecewa Bapak. Kakak yang ketika berumur enam tahun sudah bisa menceritakan cita-citanya dengan rinci dan memikat. Kakak yang dipuji semua orang.

Dia juga pintar, tentu saja, tapi dia tidak sepintar kakak. Ketika ditanya apa cita-citanya, dia menjawab: ingin bisa menggambar sebagus Om Adit. Om Adit itu adik Bapak. Pernah kuliah seni rupa, dan tidak pernah tamat. Bapak melarang dia terlalu dekat dengan Om Adit. Tidak punya masa depan, kata Bapak, nanti kamu ikut-ikutan.

Dia memang jarang membantu Ibu, sebab dia tidak suka lama-lama berada di dekat Ibu yang pemurung. Ibu yang jarang tertawa. Jarang bicara. Jarang menunjukkan seperti apa perasaannya kecuali dengan cara menangis. Dia tidak suka Ibu yang menangis. Dia mau Ibu yang sering tertawa. Ibu yang bisa marah dengan bicara meluap-luap sebagaimana Tante Rosa, pacar Om Adit jika mereka sedang ribut dan kebetulan dia menguping dari balik dinding.

Sungguh, dia ingin tubuh Ibu tidak diam saja sepanjang hidupnya. Dia mau melihat tubuh Ibu berteriak, memberontak. Tubuh Ibu yang berlari-lari, melayang, serupa kapuk randu yang memesona.

Namun kenyataannya dia justru mirip sekali dengan Ibu setelah dia menikah. Perempuan yang tidak berkata-kata, tidak berteriak. Perempuan yang menyimpan semua di hatinya seolah-olah dia takut dengan perasaan dan pikirannya sendiri.

Dia telah melepaskan semua yang diinginkan.

Dia tidak jadi seorang pelukis seperti Om Adit. Itu tentu Bapak yang menggagalkannya. Mungkin juga karena dia tidak terlalu keras berusaha. Dia tidak sekuat yang dia pikirkan. Berbeda sekali dengan Om Adit yang bahkan berani keluar dari rumah saat Kakek tidak suka pilihan hidupnya. Sedangkan dia mudah sekali ditundukkan. Bapak memberinya satu pilihan. Dia menerima.

Ketika menikah dengan Martin, banyak hal lain lagi yang dia lepaskan. Satu demi satu dia kehilangan bagian-bagian yang dia sukai. Martin tidak membiarkan dia pergi liburan sendirian, padahal sesekali dia mau duduk di laut seorang diri. Martin mengatur jam berapa dia mesti di rumah. Minta dia tidak terlalu akrab dengan sejumlah temannya. Dia tidak mau diperlakukan begitu, akan tetapi dia tidak punya suara. Karena itu mungkin saja Martin menganggap semua baik-baik saja dan merasa heran kenapa hari ini dia tidak pulang hingga malam. Semua memang baik-baik saja. Mereka tidak bertengkar. Tadi pagi sebelum berangkat kerja malah mereka masih sempat membicarakan kapan akan pergi ke dokter kandungan untuk konsultasi, mengingat Martin sudah tidak sabar ingin punya momongan. 

***

Dia mendongak ke atas. Melihat sungsulung makin banyak, bergerombol di sekitar bola lampu. Hatinya meriap. Serupa bayi yang menggeliat. Ia terharu. Atau perasaan yang tiba-tiba ingin membuatnya menangis, tapi bukan karena rasa sedih.

Sudah lama sekali dia tidak lagi tergugah oleh sesuatu di sekitarnya. Dia terlalu sibuk mengurus Martin. Memenuhi semua yang diinginkannya. Menjaga perasaannya sebaik mungkin agar dia baik-baik saja. Agar dia tidak merasa sebagai lelaki yang kalah.

Martin itu cuma terlalu mencintaimu, kata Ibu suatu hari.

Dia menakutkan, Ibu, katanya mirip seseorang tengah sekarat. Suaranya pendek-pendek dan gemetar.

Kau membesar-besarkan, Ibu menggenggam tangannya, seolah-olah Ibu ingin memberikan kesabarannya yang besar pada dia.

Berhari-hari dia menatapku, tidak bicara, benar-benar hanya menatapku karena aku pulang sedikit terlambat. Dia menuduhku bertemu mantan pacar di suatu tempat. Dia curiga aku akan meninggalkannya. Matanya melucuti pertahananku. Melumpuhkan syaraf-syarafku, membuatku ketakutan setengah mati.

Ibu mendesah, dan berujar, dia mencintaimu dan cemas dengan apa yang dipikirkannya tentangmu. Semua lelaki begitu.

Semua lelaki. Dia tertawa sumbang mengingat kalimat Ibu.

Sudah hampir pukul sebelas malam. Jalan masih ramai, namun mulai menakutkan. Dia belum tahu juga akan pulang ke mana. Semua jalan di depannya, tertutup. Tidak memberikan padanya kemungkinan-kemungkinan, selain duduk diam di tempat dia sekarang. Padahal, kalau bisa, tentu saja dia ingin berlari lebih jauh. Meninggalkan Martin. Meninggalkan rumah mereka yang mungil dan cantik. Mencari tempat pulang yang benar-benar ia inginkan.

Ah, pernahkah kau tidak tahu harus pulang ke mana seolah-olah kautak punya rumah? n
       
Jalan Enam Mei, 2013
buat Anggun Prameswari

Lampung Post, Minggu, 28 April 2013

Sunday, April 21, 2013

Perempuan Plastik

Cerpen Tita Tjindarbumi


Membayangkanmu menjadi selimut sekaligus  kuda yang memacu kencang ranjang penuh badai para pemuja nikmat dunia, rasanya seperti sedang berada di sebuah lahan yang luas tetapi penuh sampah.

***

Doan bergidik setiap kali teringat ucapan Lani  yang setajam silet. Ia tak pernah mendengar perempuan itu berucap kasar. Lani selalu berperan sebagai perempuan yang memposisikan dirinya di titik yang objektif.
Seharusnya Magi tetap menjadi perempuan yang punya arti baginya, meski tetap saja Doan tak bisa melawan kemauan iblis penggoda. Ia mencampakkan Magi di saat Magi telah benar-benar jatuh cinta padanya.

Dan gilanya  ia berpindah perhatian pada perempuan lain. Perempuan yang di mata Lani, sahabatnya, adalah perempuan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai impiannya. Menjadi perempuan metropolis yang hedonis.

Perempuan itu bernama Diza. Ia  bunga desa yang selalu dikerumuni kumbang-kumbang yang berebut ingin menyentuhnya. Bukan karena wajahnya yang cantik, kemolekan tubuhnya membuat liur para kumbang tumpah ruah karena birahi gelisah. Dan Diza tak menyia-nyiakan peluang itu.

Tak sulit melumpuhkan para kumbang, ia cukup menarik sudut bibirnya,mengerlingkan mata dan memberi sinyal lewat bahasa tubuh, maka segala impian bisa diraihnya. Para kumbang tak merasa keberatan memenuhi permintaan Diza, asalkan…

Betul kata Lani, suatu ketika ia akan kena batunya. Mencampakan perempuan baik demi perempuan yang membuat hatinya tak pernah tenang. Perempuan desa yang mengejar mimpinya, hidup gemerlap sebagaimana layaknya perempuan kota yang menari dalam riuhnya kaum hedonis.

“Ketika kau sedang di mabuk asrama, seperti halnya laki-laki lain, hanya melihat perempuan itu dari sisi baik. Sisi yang mungkin saja tidak bisa kau rasakan ketika kau bersama perempuan baik-baik!” ujar Lani dengan suaranya yang selalu tenang. Ia selalu saja pandai menyembunyikan gejolak jiwanya.

Doan tak ingin mengomentari ucapan Lani yang menohok dan subjektif. Meski jika direnungkan, ucapan Lani banyak benarnya. Ia tak bisa pergi bersama Magi seenaknya. Magi tak punya banyak waktu untuknya. Dia pekerja keras, mandiri dan tak suka orang lain mencampuri urusannya, meski Doan adalah kekasihnya.

“Bukan tak mau menerima uluran tanganmu, Do… beri aku kesempatan untuk menyelesaikan persoalanku sendiri,“ kata Magi, selalu, setiap kali Doan ingin membantunya.

Beda sekali dengan Diza yang selalu saja membutuhkan dirinya. Doan tak menampik, ia suka pada hampir seluruh yang ada pada diri Diza. Tubuhnya yang selalu beraroma tajam, eksotik, membangkitkan erotisme yang menggila membuat syaraf-syaraf di tubuhnya mengejang. Sementara Magi? Ia terlalu lembut untuk memakai parfum yang menggoda iman laki-laki. Bersama Magi, Doan serasa seperti laki-laki yang baru saja lari dari padepokan. Kelembutan perempuan itu membuat Doan merasa seperti ada jarak yang membuat Doan harus berpikir panjang untuk mengekspresikan rasa sayangnya pada Magi.

Bersama Magi harus diakui, Doan merasa tenang. Tetapi sungguh membosankan. Tak ada tantangan sama sekali. Beda dengan Diza yang selalu saja membuat dada Doan sering terbakar rasa cemburu. Terlalu banyak laki-laki yang mengejar perempuan itu. Dan Doan melihat bahasa tubuh Diza jelas membuka peluang bagi siapa saja. Diza butuh duit banyak untuk pergi ke salon setiap minggu. Tas branded, kaca mata, sepatu, gaun sampai parfum bermerek.

Doan mencurigai banyak laki-laki yang berada di belakang punggungnya. Laki-laki yang mendapat fasilitas sama asalkan bisa memenuhi tuntutan Diza yang tak ada habisnya. Dan…Doan mulai muak. Merasa telah salah memilih perempuan. Perempuan yang tak pernah bisa jauh dari salon dan klinik kecantikan untuk memermak dirinya agar selalu bisa tampil cantik di mata laki-laki yang diburunya untuk menjadi penyandang dana demi kepuasannya. Demi untuk mencapai mimpinya menjadi perempuan kota yang kaya raya, meski untuk semua itu ia harus pasrah membiarkan para lelaki menyusuri setiap jengkal tubuhnya yang memang aduhai karena canggihnya dunia bedah plastik.

***

Doan mengepalkan tangannya. Lani telah menyumpahinya! Omongan Lani tak hanya menyiletnya tetapi mengutuknya!

Egois memang jika menganggap ucapan Lani sebagai kutukan atau sejenisnya yang pada kenyataan memang benar terjadi.

“Tidak ada yang aneh jika tiba-tiba kamu berpaling dari Magi ke perempuan yang keluar masuk salon kecantikan itu,” kata Lani, nadanya penuh cemooh. “Lagi pula kamu memang tidak pantas untuk perempuan sebaik Magi!” lanjutnya lagi, pandangan matanya lurus menatap Doan, seperti menyambar.

“Tega sekali nyumpahin aku?!” Doan menghisap rokoknya dalam-dalam.

Jika tak malu mengakui, sebenarnya ia tak benar-benar telah mencampakan Magi begitu saja. Doan  mencintai Magi. Tetapi ia laki-laki normal yang tak selalu bisa menahan gejolak.

Sebagai laki-laki yang tak mau dianggap blangsak Doan harus ekstra hati-hati setiap kali berhadapan dengan Magi.

“Bukan nyumpahin, tetapi sebagai teman aku hanya ingin menyampaikan yang sebenarnya. Apa kau tidak curiga dengan embel-embel yang melekat pada perempuan plastikmu itu?” lagi-lagi Lani bersuara tegas.
Doan meletakan rokoknya yang baru dihisapnya setengah batang.

“Maksudmu?”

Lani memandangnya tanpa kedip.

“Jangan pura-pura blo’on, Doan! Kamu pasti tahu apa yang kumaksud!”
Doan menatap Lani dengan otak yang berputar-putar mencari makna kalimat Lani yang menudingnya pura-pura.

“Bagaimana bisa kau jatuh cinta pada perempuan yang kelaur masuk klinik kecantikan untuk memermak tubuhnya agar bisa selalu kelihatan molek? Memermak wajahnya agar kelihatan cantik? Apakah kau tidak sadari kau telah menjelahi tubuh perempuan yang kau pikir itulah keindahan, padahal kau sedang bercinta dengan silikon?!”

Sepertinya Lani belum puas, ia lalu beranjak dan berjalan mendekati Doan yang sedang terpekur, tak siap dengan serangan Lani yang membuatnya terhenyak. Tak pernah menyadari bahwa kecantikan Diza hanya semu. Boleh jadi dibilang kecantikan palsu.

Dan yang paling membuat Doan tak bisa menerima kenyataan adalah darimana Diza mendapatkan semua kemewahan yang dia punya sementara ia tak bekerja, kesehariannya hanya hura-hura dan bermalas-malasan di apartemen mewahnya. Meski ia selalu bangga dengan kartu nama yang dia berikan pada orang piulihannya. Direktur perusahaan batubara, jabatannya di kartu nama itu.

“Aku tak pernah sungguh-sungguh jatuh cinta padanya,“ kata Doan.

“Lalu kau tertarik pada apanya? Labelnya yang direktur?”

Tawa Lani pecah. Memecah keriuhan sumpah serapah di dada Doan.         

“Siapa yang peduli dia siapa? Yang jelas lelaki juga tak bodoh. Bukankah setiap lelaki siap menjadi pembeli?”

Buset. Tawa Lani semakin mengguncang dada Doan. Doan tahu, Lani sedang mentertawakan dirinya. Mentertawakan kebodohannya, melepas perempuan yang mandiri, memperjuangkan harga diri demi menjaga kehormatannya sebagai perempuan, bekerja keras untuk mengangkat martabat keluarga dengan menyekolahkan adik-adiknya agar bisa menjadi anak bangsa yang berpendidikan, nanum ia malah meninggalkan dan menjatuhkan pilihan pada Diza yang hanya tahu kehidupan mewah, laki-laki necis berkantong tebal, shopping, jalan-jalan ke luar negeri bersama laki-laki kaya dengan gaya elegan seakan sekretaris yang profesional. Padahal yang sebenarnya ia tak lebih hanya seorang lady escort hight class.

Diza hanya butuh limpahan materi demi eksistensi dirinya untuk tetap bisa masuk di kalangan  kaum jet set. Baginya membiarkan laki-laki menelusuri tiap jengkal tubuhnya adalah salah satu rekreasi yang menghasilkan banyak duit. Bahkan dengan begitu ia bisa dengan mudah mendapatkan jabatan direktur di banyak perusahan milik para lelaki hidung belang yang tak bisa mendapatkan fantasi sex dari isteri mereka yang di ranjang hanya menyuguhkan gaya yang itu-itu saja. Membosankan.

“Coba sesekali kau survey ke pasar tradisional atau super market, tanya pada mereka, barang seperti apa yang mereka beli? Semua orang waras akan menjawab, mereka membeli barang bagus dan murah harganya,” kata Lani semakin bersemangat.

“Apa maksudmu? Masak kau samakan Diza dengan barang?”

“So…lalu apa yang ada di kepalamu? Kau masih menganggap dia bunga yang harum? Yang cantik bak pualam yang bila kesenggol kuatir jatuh atau retak?”

“Tidak segitu-gitunya juga-lah, Lan!”

“Lalu apa?!” Wajah Lani semakin serius.”Coba kau katakana, aku siap mendengarkan.”

Doan diam. Berpikir keras mencari kalimat yang tepat untuk menjawab tiap pertanyaan Lani yang membuatnya mati langkah.

“Aku tuh sedih dan prihatin jika masih ada perempuan yang salah memaknai arti kata emansipasi. Mereka menganggap untuk menjadi perempuan hebat bisa dilakukan dengan jalan pintas. Mengelabuhi laki-laki, memanfaatkan kemolekan tubuh demi memperoleh saham di berbagai perusahan. Mereka nggak sadar telah menggadaikan harga dirinya.”

“Diza belum minta saham di perusahaanku,” Doan berkilah.

“Belum… sebab kau juga ingin mengelabuhinya. Sempat terpikir olehmu untuk memanfaatkan dia untuk kepentingan usahamu juga kan?” Jawab Lani, menudingnya.

“Jangan berdalih, Do…aku tahu kau juga buaya. Itu sebabnya kau tak betah punya kekasih seperti Magi yang menolak free sex, tak membiarkanmu masuk terlalu dalam di semua urusannya. Kau merasa tak bisa menjadi pahlawan di depan Magi, kan?”

Sompret! Doan diam. Tak mau ribut sebab berdebat sampai pagi pun tak kan bisa membuat Magi kembali padanya. n


Lampung Post, Minggu, 21 April 2013


Sunday, April 14, 2013

Jalan Pulang

Cerpen Aris Kurniawan


DIA berjalan tergesa. Sebelah tangannya menjinjing sepatu hak tinggi. Sementara tangan satunya sibuk menyeka airmata yang tampaknya mengucur deras membasahi pipinya yang disaput bedak tipis. Dalam beberapa detik dia menatapku. Ada debaran lembut di dadaku kala mata kami bersirobok. Aku tertegun beberapa saat, melihat langkahnya yang makin cepat dan hampir berlari. Kakinya yang putih lentik tampak tersaruk menapaki permukaan jalan berkerikil. Aku langsung berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah, lantas memanggil adikku yang tampaknya baru bangun dan tengah berancang-ancang berangkat ke sekolah.

“Pardi! Pardi!” seruku, nyaring.

Pardi terlonjak keheranan, menatapku, lantas tanpa menyahut tergopoh mengampiriku dengan wajah bersungut-sungut.

“Bukankah itu Marto?” kataku mengarahkan pandangan mata kepada orang yang berjalan terburu yang kini makin menjauh dan hanya terlihat punggungnya.

“Ya, Mba Marti. Pasti dia menangis. Biasa, paling habis bertengkar lagi dengan pacarnya,” sahut Pardi tanpa memperhatikan ekspresi wajahku.

“Marti?”

“Ya, Marto teman kakak dulu. Sekarang jadi Mba Marti. Rumahnya yang besar di ujung jalan sana,” kata Pardi seraya ngeloyor, meneruskan kesibukan memasukkan buku ke dalam tas, mengenakan sepatu, lantas bergegas menghidupkan mesin motor. Tahun depan Pardi lulus SMA.

Sepeninggal Pardi rumah kembali sepi. Ibu setengah jam sebelumnya pamit ke pasar untuk belanja menyiapkan masakan kesukaanku seperti ia janjikan semalam.

Hanya mereka berdua yang tinggal rumah ini sejak ayah meninggal dan dua orang kakak perempuanku menikah dan pergi mengikuti suami mereka, masing-masing di Semarang dan Pekalongan. Minggu depan baru mau pada datang. Aku melangkah kembali ke teras menuju pekarangan depan, meneruskan rencana semula menjenguk tetangga kiri kanan lantas menjorok jambu air dan mangga manalagi tapi dengan pikiran tertuju pada rumah besar di ujung jalan yang dikatakan Pardi sebagai rumah Marto.

Dua hari yang lalu aku melihat rumah besar itu dari dalam taksi yang mengantarku pulang. Rumah itu memang tampak besar dan megah di antara rumah-rumah lainnya di kampung ini. Terdiri dari dua lantai, dengan bagian bawah dijadikan toko dan salon di masing-masing sayapnya. Halaman samping kanan terdapat taman yang dibangun dengan selera cukup berkelas. Ada kolam kecil yang di tengah-tengahnya berdiri patung anak kecil yang tengah kencing.

Banyak sekali perubahan di kampung ini setelah hampir delapan tahun kutinggalkan. Tapi keberadaan rumah besar itu sangat mencolok. Waktu aku meninggalkan kampung ini untuk melanjutkan kuliah di Bandung, lahan di atas rumah besar itu masih berupa kebun pisang dengan sebuah gardu pos kamling di pojok sebelah kanan. Itulah gardu tempat anak-anak muda yang kebanyakan pengangguran nongkrong, main gaple atau gitar-gitaran sampai jauh malam. Aku lupa siapa pemilik kebun pisang itu. Tapi yang jelas bukan milik orang tua Marto.   

Marto, gumamku. Ada yang menggeliat di ruang benakku. Lantas ingatanku terjajar ke belakang. Menemukan sorot mata yang sekilas tadi. Sorot mata yang pernah begitu akrab lantaran kami pernah satu bangku waktu di sekolah dasar, SMP, bahkan sampai SMA. Tubuh Marto yang kurus dan lemah dengan gerak geriknya yang lembut membuatnya sering diledek teman-teman di sekolah maupun di lingkungan rumah.

“Marto wandu*, Marto wandu,” begitu mereka mengolok-olok Marto.

Hanya linangan air mata membasahi pipi Marto menerima olok-olokan yang menyakitkan itu. Aku tak mampu membela Marto meskipun ingin. Pernah sekali ketika aku mencoba membelanya, mereka makin jadi mengolok-olok dan mengejekku sebagai pacar Marto. Aku hanya bisa menahan kejengkelan sekaligus iba di dada kecilku, melihat Marto makin selalu terlihat murung, pendiam, dan menarik diri dari pergaulan teman-teman sebaya. Kondisi ini bahkan pernah membuat Marto berkeinginan keluar dari sekolah. Hampir seminggu Marto absen. Setelah kubujuk dan berjanji menemaninya Marto akhirnya mau kembali sekolah. Terus terang, aku beruntung juga dekat dengan Marto. Otaknya yang lebih encer dari otakku kerap memberiku contekan.

“Kamu naksir Marto ya Kris? Hahhahah Krisno pacarnya Marto wandu hahahha...” olok-olokan itu mengiang begitu jelas di gendang kuping seperti aku baru mendengarnya kemarin.

Lulus SMP kami diterima melanjutkan ke SMA favorit di kota kecamatan. Gerak gerik Marto yang gemulai memang tak berubah, malah makin terlihat lembut. Sehingga Marto tetap menerima olok-olokan meski tidak sekerap di sekolah dasar dan SMP. Tapi aku mulai berani terang-terangan membelanya. Sikapku menyebabkan Marto selalu ingin dekat denganku. Tak jarang aku main dan nginap di rumah Marto yang kecil dan berdinding gebyok. Ibunya, seorang janda, membuka warung kecil-kecilan untuk menghidupi mereka. Ia tampak senang Marto punya teman sebaya. Setiap aku datang ia menyuguhiku bermacam jajanan pasar.

“Mereka semua jahat, Kris,” gumam Marto lirih, setiap menerima olok-olok, bikin trenyuh. 

Saban pagi Marto selalu nyamper ke rumahku untuk berangkat bareng ke sekolah. Aku menggonceng Marto. Sambil duduk terguncang guncang di goncengan Marto sesekali bicara mengungkapkan perasaannya yang sedih. Kadang Marto memegang pinggangku dari belakang.

“Untunglah ada teman seperti kamu, Kris. Kamu baik, beda dengan mereka,” kata Marto.

“Kamu harus berani melawan mereka. Jangan diam saja kalo mereka mengolok-olok,” kataku.

“Mana mungkin aku berani, Kris, tubuhku kurus. Lagi pula mereka banyakan, bisa-bisa aku dikeroyok,” keluh Marto sedikit manja seperti anak kecil yang mengadu pada ibunya.

“Kamu nggak malu berteman denganku, Kris?”

“Kenapa malu?”

“Nanti kamu diolok-olok.”

“Berani mengolok-olok aku tonjok,” kataku, heroik.

Marto tertawa riang. Tangannya makin erat mencengkeran pinggangku. Aku gembira mendengarnya tertawa seperti itu. Kami kerap berkeliling-keliling kebun jati sepulang sekolah. Aku yang lebih sering mengayuh sepeda. Kalau haus kami istirahat duduk di bawah pohon jati yang paling besar dan kukuh sambil minum es kelapa. Kadang sampai maghrib baru kami pulang. Selain di kebun jati tempat favorit kami adalah bantaran sungai Cisanggarung yang membelah propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kami duduk di tembok beton yang dibangun untuk menahan arus sungai supaya tidak menggerus daratan. Kami ngobrol sambil memandang orang-orang mencuci dan mandi telanjang di bawah sana. Tampak pula orang mendayung sampan.

“Kamu punya pacar, Kris?” suara Marto hampir lenyap tertelan hembusan angin.

Di sini anginnya sangat kencang, menerbangkan uap air dan aroma segar tanaman perdu yang khas. Kawanan capung mencari perlindungan di batang batang pohon waluh.
Aku menggeleng.

“Kamu nggak naksir Liana?”

Nama yang disebut Marto adalah idola di sekolah kami. Selain berkulit putih dan berhidung mancung, anak kepala sekolah kami itu merupakan saingan kuat Marto dalam pelajaran matematika dan bahasa Inggris.

“Siapa yang tidak naksir Liana? Semua anak lelaki pasti menjadikan Liana bahan khalayan mereka saat tidur. Berkhayal mencium bibir Liana,” kataku sambil membayangkan bibir ranum Liana. Aku tak punya nyali menyatakan perasaan suka pada Liana lantaran rangkingku tiga tingkat di bawah Liana. 
“Pasti dia mau sama kamu, Kris, kalau kamu berani menyatakan. Kamu kan ganteng.”

Aku tertawa. Marto terus menatapku. “Kamu makin kelihatan ganteng kalau ketawa seperti itu, Kris.”

Aku agak tersipu dipuji serupa itu. Entah mengapa aku kemudian jadi selalu ingin terlihat rapi di depan Marto.

Aku melanjutkan kuliah berkat beasiswa. Marto pun mendapat beasiswa, namun aku tak tahu kabarnya melanjutkan ke mana. Sejak itu kami kehilangan kontak. Selama kuliah di Bandung aku hanya pulang dua kali. Ayah dan ibu yang kerap menjenguk ke kosanku di Bandung. Aku tak pernah bertanya tentang Marto kepada mereka. Begitu lulus aku langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta. Beberapa kali pindah kerja sebelum akhirnya dikirim ke kantor pusat di Denhag, Belanda. Aku makin jarang pulang. Hampir tujuh tahun aku tak menginjak kampung halaman.

Bahkan aku tak menghadiri pemakaman ayah.

Denhag, meski tak seramai New York atau London, adalah kota kosmopolitan. Di sana aku bertemu dengan banyak teman dari berbagai bangsa. Salah satu yang paling dekat adalah Jim. Kami tinggal sekamar di apartemen. Pria peranakan China ini mengingatkanku pada Marto. Raut mukanya, gerak geriknya. Hanya kulitnya jauh lebih putih dan bersih. Sebelum aku terbang ke tanah air, Jim berkali-kali mengingatkan aku segera kembali dua hari sebelum masa cutiku habis, tepat sehari setelah Natal. Kamu sedang dipromosikan naik level, kata Jim. Jadi, tidak boleh telat.    

Bunyi pintu pagar dibuka menyadarkanku. Ibu pulang dari pasar dengan belanjaan banyak sekali seperti mau menggelar hajatan atawa mau buka toko. Meski sudah tua ibu masih terlihat gesit membawa barang belanjaan. Aku segera menghambur membantu membawakan belanjaan ibu.

“Banyak sekali belanjanya bu.”

“Sekalian, Kris. Supaya tidak bolak balik ke pasar lagi sebulan,” ujar ibu sambil menyeka keringat di pelipisnya.

“Tadi waktu mau berangkat  ibu ketemu Marti, eh Marto. Masih ingat kan? Teman kamu dulu,” kata ibu tanpa menghentikan kesibukan memasukkan sayur, buah, dan bermacam makanan kaleng ke dalam lemari es.

Aku pura-pura mengabaikan kata-kata perempuan yang melahirkanku itu, tapi mengharapkan melanjutkan cerita pertemuannya dengan Marto. Aku begitu digelayuti keingin tahuan yang besar tentang kabar Marto. Ibu bilang Marto makin cantik. Bahkan lebih canti dari Lilis, perempuan paling cantik di kampung ini yang kata ibu sering menanyakan kepulanganku.

Ibu bercerita, ketika aku berangkat ke Bandung. Beberapa hari kemudian Marto juga berangkat ke Surabaya. Dia tidak melanjutkan kuliah. Entah kerja apa di sana. Mungkin kerja di salon,  kata ibu. Apa lagi? Selain memasak dan menjahit baju, Marto dulu memang gemar memotong rambut. Seperti diriku, Marto jarang pulang. Meski begitu ia tak pernah telat mengirimi ibunya uang saban bulan. Dari uang kiriman itu ibunya bisa membangun rumah dan membeli tanah di ujung jalan itu.

Ketika pulang tiga tahun kemudian, Marto membuat orang sekampung terperangah. Marto bukan hanya berubah wujud menjadi Marti yang cantik sekali tapi dia juga pulang membawa pacarnya, seorang pria bule. Selain menjenguk ibunya, kepulangan Marto adalah untuk membangun rumah.

“Terus pacar bulenya itu?” kejarku begitu bersemangat, seperti mendapat kejutan.

“Katanya sih mati kecelakaan. Marto mendapatkan uang asuransi kematiannya,” kata ibu mengakhiri ceritanya.

Dibantu tetangga sebelah ibu mulai sibuk mengiris bawang, dan meracik bumbu lainnya. Padahal aku masih penasaran siapa pacar Marto yang membuat dia pagi-pagi menangis. Entah mengapa aku enggan bertanya lagi. Mungkin aku harus mencari sendiri informasi ini. Tapi kepada siapa? Yang jelas Pardi bukan orang yang tepat kujadikan sumber informasi yang kubutuhkan.

Tengah malam ketika sebagian orang sudah tertidur, didorong rasa penasaran dan disertai sedikit semangat menjadi detektif aku mengintai rumah itu dari jarak beberapa meter. Aku menghentikan gerobak bakso yang lewat dan memesan semangkuk. Sambil pura-pura makan bakso aku mengawasi rumah Marto, sepi. Seseorang baru saja menutup rolling door toko, sementara lampu di ruangan salon masih menyala terang. Marti tampak sedang duduk di meja kasir, bercakap-cakap dengan seseorang entah siapa. Mungkin pegawai salon. Tak lama kemudian pegawai salon keluar, pulang. Marto kulihat bangkit dari duduk dan bersiap menutup salon.

Sambil menahan debaran aneh, pelan-pelan aku berjalan ke arah Marti. Rupanya dia melihat kedatanganku. Tangannya yang hendak menutup gorden, terhenti. Dia memandangku yang makin mendekat. Marto memang telah sempurna menjelma jadi perempuan. Di bawah lampu seratus watt ia tampak begitu anggun, lebih cantik dibanding waktu kulihat pagi tadi. Dia mengenakan gaun terusan motif batik mega mendung dari jenis bahan lembut dan jatuh ke kulit memperlihatkan bentuk tubuhnya ramping molek. 

“Marto,” panggilku, lirih.

“Krisno?” dia tertegun memandangku agak nanar. Aku ingat, terakhir kali sebelum pulang dari tembok beton sungai Cisanggarung menjelang lulus sekolah, dia menangis. Dalam gerimis aku mendengar suaranya lirih mengatakan betapa ia selau ingin bersama-sama denganku.

“Kapan pulang dari Belanda, Kris?” suara Marto tertahan. Dia menghambur hendak memelukku, tapi aku tahan. Kami berpandangan dalam jarak beberapa senti. Entah berapa lama kami berpandangan ketika sekonyong konyong Pardi muncul dari ruangan sebelah salon. n

Relung malam Pondok Pinang, Februari 2013.

catatan
* wandu = banci   


Lampung Post, Minggu, 14 April 2013

Sunday, April 7, 2013

Ampun, Njaluk Urip

Cerpen Tandi Skober


SEKOBER, Indramayu, Oktober 1965. Bulan sabit memanjat langit. Tak jua Mardi menutup mata. Bocah bersarung motip penganjang itu gelisah di atas amben. Sejak magrib, tak satupun lampu sentir dinyalakan. Tentara ada di mana-mana. Ketakutan bertebaran. Wong Sekober lebih banyak masuk kandang, membuka telinga lebar-lebar.

Memang, beberapa bulan terakhir susah sekali mencari minyak tanah. Dua hingga tiga kali, Mardi pernah ikut antri membeli minyak tanah di alun-alun depan pendopo kabupaten. Sambil memegangi karcis minyak tanah, Mardi melihat ayahnya membersihkan drum band di alun-alun kabupaten. Itu drum band milik Babah Krupuk. Itu pula yang membuat ayahnya kelak membawa pulang beberapa kilogram beras bulgur, gula, kopi dan teh.

“Babah Krupuk itu seperti malaikat penyelamat penderita ya ayah?”tanya Mardi.

“Wah ya memang begitu,” ucap ayahnya bernama Cacam seraya mengisap rokok klepas-klepus, “Babah itu kaya. Kaya raya.”

“Seperti lagu Indonesia Raya ya ayah?”

“Bisa dibilang begitu itu. Sewaktu kamu disunat, Babah Krupuk nyumbang uang untuk nanggap wayang klitik.”

Hmm, Mardi tersenyum. Ia ingat, usai dikhitan, dituntun ayahnya menuju rumah Babah Krupuk. Ia berjalan tertatih-tatih sambil membawa sapu. Kata emaknya, selama kemaluannya masih belum sembuh dilarang melangkahi cabe, lidi, bawang atau paku. Itu agar luka khitanan cepet sembuh. Makanya sambil jalan ngegang Mardi menyapu terlebih dahulu jalan yang akan dilewatinya. Kemaluan Mardi yang diperban itu disanggah dengan batok kelapa yang masih bersabut. Itu perlu. Bila tidak maka kemaluannya yang diperban itu akan nempel di paha. Bila sudah begitu, maka rasa sakitnya jadi nyut-nyutan.

Ternyata Babah Krupuk tidak mau menerima tamu. “Jangan sekarang, Mang. Ada tamu hebat. Tamu politik. Politik hebat,” sergah centeng itu.

“Aku hanya mau mengucapkan terima kasih. Berkat Babah Krupuk anakku bisa disunat.”

“Ya sudah. Nanti tak kasih tahu sama Babah Krupuk.”

“Tapi babah pernah janji mau kasih kopiah dan sarung untuk Mardi,” kembali Cacam berkata.

Matanya merayapi ruang kantor Babah Krupuk yang luas itu. Ia melihat asbak dipenuhi puntungan rokok. Ia juga saksikan Babah Krupuk terlihat terlibat pembicaraan serius dengan orang-orang politik Jakarta itu. Cacam tahu orang politik Jakartaan itu orang-orang penting. Kenapa? Mobil Jeep yang diparkir di halaman rumah Babah Krupuk sangat mengkilap.

Demikian juga, Mardi. Dilihatnya kipas angin di atas ruangan kantor berputar pelan. Tampak Babah Krupuk berdiri menuju papan tulis. Terlihat kesal. Tapi ditulisnya banyak huruf China yang tidak dimengerti Mardi. Tapi Mardi lebih suka melihat apa yang terhidang di meja tamu. Kenapa? Di atas meja makan terhidang dodol Kweh Ci Ho. Itu dodol mahal. Hanya orang-orang penting dan kaya raya saja yang diberi hidangan  dodol Kweh Ci Ho. Sekali tempo, bertepatan dengan Hari Raya China, Mardi pernah merasakan secuil dodol Kweh Ci Ho. “Wahhh, enaknya ngga ketulungan. Edan tenan! Enak tenan,” ucap Mardi saat itu sambil menjilati sisa dodol di jemarinya.

Tapi itulah, itu! Malam ini, ada banyak pertanyaan berseliweran di kepala Mardi.  Kenapa babah Krupuk jadi mayat. Kenapa  mayat Babah Krupuk itu tersangkut di besi kaki jembatan welanda. Kenapa babah yang punya mesin diesel listrik itu, mayatnya hanya bercahayakan rembulan kuning yang bergerak memanjat langit. Kenapa kepala Babah Krupuk itu nyaris putus, padahal punya banyak centeng dan pengawal. Ke manapun Babah pergi dipastikan selalu dikawal  dua hingga lima centeng. Mardi juga tidak mengeri, kenapa kematian Babah Krupuk nyaris seperti kematian seekor ayam. Padahal dia itu baik sekali. Semua anak-anak Sekober yang dikhitan pasti disumbang Babah berupa panggang bekakak ayam.

“Ndak usah dipikirkan. Sudah kamu cepat tidur. Besok kamu ndak usah main-main di sungai lagi. Jaman lagi mangmung,” ucap kakek Mardi bernama Wanda.

Jaman mangmung? Ini juga hal yang tidak dimengerti Mardi. Juga sulit dicerna otak Mardi, ketika ayahnya saling berbisik dengan kakeknya.

“Tidak mungkin mayat itu dibiarkan begitu saja. Harus dikubur.”bisik Cacam, “Saya sudah membuat lubang kuburan di pemakaman Sindang.”

“Kamu tidak takut tentara?” tanya Kek Wanda,” Bisa saja mereka mengira kamu ini baperki simpatisan pki.”

Cacam diam.

“Sudah aku bilang jangan ikut-ikutan politik drum band Babah Krupuk. Lah malah kamu koq paling suka main drum band. Lah, malah kamu mau kuburkan mayat Babah Krupuk.”

“Babah Krupuk itu baik.”

“Siapa bilang Babah Krupuk itu buruk?”

“Hal itulah yang membuat Babah Krupuk akan aku kubur di tempat yang baik. Manusia mati yah di dalam tanah bukan nyangkut di atas jembatan Welanda.”

Kek Wanda diam. Melalui kisi-kisi jendela ia melihat bulan sabit memanjat langit. Tapi pada detik yang ke sekian, Kek Wanda terkesiap. Ia melihat cahaya bulan sabit itu berwarna merah. Asap putih mengepul diiringi histeria amarah yang muncrat-mucrat. Mereka membawa golok, pedang, pisau dan menyeret pria berdarah-darah dengan tali tambang. Tidak jelas apakah pria berkalung tambang itu sudah tewas atau belum. Yang jelas, amarah massa itu kini bergerak mendekati rumah Kek Wanda. Yang lebih jelas lagi, ada banyak tentara mengikuti gerakan massa itu.
Kek Wanda sadar! Massa itu mencari ayah Mardi bernama Cacam. Massa itu akan mengikat Cacam dengan tali tambang dan menyeretnya hingga ke tanggul sungai Cimanuk. Usai itu, nasib anaknya tidak mustahil bernasib sama dengan Babah Krupuk. Satu ayunan pedang akan  memenggal kepala Cacam.

Kek Wanda pucat.

Tubuh Cacam gemetar. Keringat dingin mengucur. Demam. Dan? Perut Cacam melilit-lilit menahan ketakutan yang tidak bisa ia taklukan. Massa beraroma asap obor terus bergerak mengepung rumah Kek Wanda. Memang rumah Kek Wanda sudah terkepung.

Dari kisi jendela Mardi melihat semua itu. Ia saksikan ayahnya diseret keluar. Ia lihat rambut ayahnya dijambak. Ia lihat ayahnya duduk ngelemprak menghadapi kerumuman massa. Ia dengar ratapan ayahnya, “Ampun njaluk urip. Aku sudah sunat. Aku Islam. Aku bukan pki.”

Tapi? Ratapan itu tertelan hingar bingar histeria amarah massa. Mardi memejamkan mata saat  ayahnya diikat, diseret, dipukuli! Tapi Mardi tidak bisa menutup telinganya. Ia dengar ratapan sang ayah yang terus menerus, terus-terusan, makin lama, makin jauh “Ampun njaluk urip. Aku sudah sunat. Aku Islam. Aku bukan pki.”

Bandung, Wednesday, March 27, 2013


Lampung Post, Minggu, 7 April 2013