Sunday, February 24, 2013

Sebuah Tikaman

Cerpen Riki Utomi


MATANYA tajam seperti ingin menerkam. Selalu begitu saat-saat dia tidak senang pada sesuatu. Terlebih pada sebuah hal yang menurutnya tidak etis atau kebodohan yang sangat janggal. Dia juga menaruh—boleh juga dibilang dendam. Tapi entah pada siapa. Sempat juga dulu dia mengatakan semua orang di negeri ini goblok. Setelah itu dia juga menertawakan dirinya sendiri, lalu dia sinis kembali sambil berteriak “tidak ada yang becus di negeri ini!”

Orang-orang menduga dia memiliki kelainan jiwa. Tapi memang, tidak semudah itu untuk mengatakannya demikian, karena ada beberapa hal yang kadang dari omongan nyelenehnya itu terkandung maksud tertentu yang harus terlebih dahulu jauh-juah dicerna. Ada sesuatu yang patut disikapi dari sikap-sikapnya. Tapi itu tadi, butuh pendalaman makna, pendalaman kata, yang berujung pada kesimpulan yang lain, yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan. Barangkali sebuah sikap ataupun gagasan yang brilian tentang kehidupan. Ya. Seperti ahli-ahli dalam merumuskan sebuah teori.

Tapi anehnya, matanya itu, tetap menatap tajam pada siapa saja. Termasuk orang-orang terdekatnya yang dia cintai. Ini sungguh meresahkan siapa saja. Namun dia tetap tidak peduli sedikit pun tentang hal itu, baginya hal-hal negatif yang selalu dibicarakan orang tentang dirinya merupakan sebuah fenomena yang—anehnya—selalu disyukurinya, “Bukankah itu sebuah realita, dan saya yakin itu bagus!” tegasnya dengan congkak sambil bertolak pinggang.

Saya tidak begitu kenal dengannya. Tapi dia mengaku telah jauh-jauh hari mengenal saya. Kau tahu? Saya sangat menaruh curiga dari orang seperti dirinya. Tentu saja, karena bisa saja dia benar-banar seorang penjahat atau pedengki yang selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan tanpa ampun dan tanpa tahu malu. Saya juga tak banyak tahu tentang dirinya. Yang saya hanya tahu bahwa dia—seperti kata orang-orang—sedikit memiliki kelainan jiwa. Meski saya tidak begitu jelas, tapi tentu saya tetap berhati-hati. Ini pikiran buruk…

***

YA. Akhir-akhir ini dia ingin mendekati saya. Katanya sebagai teman dekat. Dia mengaku saya adalah orang yang sangat senang dibuat teman dalam berbagi dalam suka dan duka. Tidak semua orang yang selalu sibuk dengan dirinya sendiri dan bangga pada kesalahan. Dia selalu bilang dengan congkak bahwa begitu bangga orang-orang berdasi di negeri ini dalam menghabiskan uang-uang negaranya sendiri tanpa tahu malu. Tanpa takut dosa. Tanpa-tanpa segalanya….

Saya hanya berpikir, dia selalu berteori, seperti kemarin, dia mengatakan untuk tidak mengikuti seleksi penerimaan pegawai negeri sipil sebab percuma, atau dia sempat mengatakan setiap orang berdasi yang dijumpainya dengan sebutan anjing. Lalu dia mamaki dengan lari-lari kecil seperti tak ada kejadian. Untuk itulah dia sangat diincar oleh beberapa orang untuk dipukuli. Tapi dia tidak seujung kukupun menaruh rasa takut di hati. “Katakutan akan membuat bangsa ini menjadi pengecut dan melahirkan generasi yang kandas di tengah lautan!” teriaknya di hadapan orang-orang yang sudah sakit hati akan ulahnya. Kau tahu? Padahal semua orang itu sudah siap dengan pentungan kayu di setiap tangan mereka, siap untuk memecahkan kepalanya.

Tapi dasar manusia setengah waras, dia malah mengentuti semua orang itu sebelum mengambil ancang-ancang untuk berlari. Lalu saya tidak tahu lagi seperti apa keadaan itu, sebab terlalu ngeri untuk saya ikuti. Tapi baiklah, dia akhirya selamat dengan menyeburkan diri di tengah sungai yang berarus deras yang diketahui sungai itu akan menghanyutkan apa saja sampai ke tangah lautan…

Saya merasa ada sesuatu yang ingin diungkapkannya. Seperti orang lain juga, saya menjadi sedikit tahu, bahwa dia juga pernah menempuh kuliah, tapi sayangnya tidak selesai sebab dia terlalu sibuk dengan organisasi. Seperti juga diungkap oleh teman-temannya, bahwa dia sangat suka dengan teori-teori. Menciptakan pemikiran dengan landasan kebenaran yang nyata. Membuat sebuah ketaraturan dalam setiap keputusan yang akan diambil serta menyikapi tindak tanduk dalam melaksanakan apa yang telah menjadi keputusan itu. Sehingga dia selalu mengatakan “pola pikir kita perlu diubah. Bangsa ini akan selamanya menjadi manja dengan keadaan yang membuat semakin semrawut sehingga banyak parodi dan tidak punya rasa malu!” gaungnya. Saya mengerti dari apa-apa yang dia gaungkan dan saya juga mengangguk. Sebab benar apa yang dibicarakannya. Tentang bangsa ini, yang hampir tidak pernah menjunjung harkat dan martabat bangsanya sendiri, begitu yang kadang diucapkannya.

“Bukankah setiap orang yang duduk di atas sana selalu bangga dengan korupsi?” tanyanya santai tapi dengan mulut bengkok kepada saya, seperti mengejek sesuatu, tapi saya yakin bukan kepada saya.

Saya hanya mengangguk.

“Ah, kau mengangguk saja dari tadi, seperti burung pelatuk!” ejeknya.

Saya paham dengan nuansa bualannya yang khas menyindir pemerintah itu. Membuatnya semakin merasa muak pada apa-apa yang ada di negeri ini. Menurutnya, di hari-hari entah kapan, negeri ini hanya tinggal nama. Saya langsung saja menyambarnya dengan hentakan keras di meja. Sebuah tamparan tangan saya, langsung mengejutkannya, dan saya tidak peduli.

“Kau gila! Kau mengejek negerimu sendiri. Untuk apa kau berpikir seperti itu kalau hanya omong yang selalu kau gaungkan!”

“Aku tidak menggaungkan! Ini adalah sebuah kenyataan! Kau tahu bukan? Sangat sulit mengubah pola pikir rakyat bangsa ini yang masih bodoh dalam menyikapi keadaan dimana dia berada.”

Ah… saya merasa sinting lama-lama berada di dekatnya. Tiba-tiba saya sepeti menyesal telah mengenalnya. Kalau tahu sejak dulu saya tidak mau lagi bergaul dengannya. Untuk apa. Menurut saya dia hanya bisa berspekulasi tanpa tahu harus bagaimana, meski benar juga apa yang selalu dibicarakannya.

Untuk itu saya pergi saja darinya. Menjauh sejauh-jauhnya. Meski kadangkala dia menelpon saya untuk sekadar mengajak berbual, tapi selalu saya tidak mengangkatnya atau saya nonaktifkan atau pula saya buang kartu itu dan saya ganti kartu baru. Tapi anehnya, dia selalu melacak dan mengetahui nomor kartu baru saya.

***

UNTUK itulah orang semakin membenci dirinya. Akibat ulahnya yang menjengkelkan. Tapi dalam kurun waktu tertentu dia selalu berbicara lantang di tengah-tengah keramaian orang apakah di pasar, di pelabuhan, di kantor bupati, atau di bandara, di sekolah dan di mana-mana tentang sebuah kebodohan bangsa ini, tentang keterbelakangan mental bangsa ini, dan tentang pola pikir bangsa ini yang masih jauh tertinggal dan semakin terbelakang.

Dari saat-saat seperti itu dia selalu tertawa sambil meludahi tentang kebodohan negeri ini. Orang-orang tidak tinggal diam, langsung mengejarnya juga mungkin untuk dapat membunuhnya. Tapi dia selalau saja berhasil lolos. Saya juga heran.

***

SAYA sudah menduga. Dia pasti mengirimkan sms. Tapi saya malas membalasnya, buang-buang waktu dan pulsa saja. Tapi semakin lama sms-nya bernada mengejek saya dan saya juga tidak enak hati dibuatnya. Sebab dia selalu saja mengatakan bangsa ini bodoh! Termasuk semua orang, juga saya sendiri. Lalu saya balas dia dengan nama-nama binatang, tapi—seperti saya duga—dia tidak jera.

“Apa yang sebenarnya kau mau!” teriak saya di telepon.

“Aku ingin mengajak kau pindah.”

“Bangsat. Apa maksudmu!?” balas saya geram.

“Kau masih saja bodoh seperti orang-orang di negeri ini. Kau tahu, tidak ada gunanya tinggal di negeri yang kacau ini. Di mana segala sisi kehidupan tidak lagi mencerminkan ketenteraman…” balasnya dengan dalil edannya.

“Bangsat!”

“Kau mengapa tidak percaya denganku?”

“Untuk apa aku percaya!?”

“Kau juga masih bodoh! Kau tahu, negari ini hanya mengisahkan aib-aib bangsanya sendiri tanpa ada prestasi-prestasi yang boleh tinggi dibicarakan dan diceritakan. Orang-orang yang duduk di kursi empuk itu begitu bangga memakan uang keringat rakyat tanpa tahu malu kalau mereka sebenarnya lebih rendah dari binatang! Jadi untuk apa kita banggakan negeri ini!”

Saya terdiam. Berani sekali dia mengatakan demikian. Tapi saya kembali berpikir, memang ada benarnya. Tapi haruskah saya berpikiran seperti dirinya? Ah… lagi-lagi dia mengatakan pola pikir. Ya, kata itu seperti pamungkas dalam setiap ocehannya, membuat saya turut juga mencermati dari setiap ucapannya.

“Ikutlah denganku ke negeri lain, yang lebih damai dan sejahtera,” balasnya lagi dengan tidak tahu diuntung. Saya tentu saja mengatakannya demikian karena memang tidak tahu diuntung, bukankah dia terlahir dan besar di negeri ini.

“Tidak! Kau hanya lintah darat dan tidak punya pendirian,” balas saya dengan tenang tapi pasti.

Dia tak bergeming. Hening sesaat. Dari satu sisi, dia tak ubahnya seperti monster setengah manusia. Saya tak tahu harus berbuat apa di saat-saat seperti ini. Apakah saya harus memukulnya? Atau siap-siap berlari menjauhi meski saya sudah benar-benar geram dengan tangan mengepal erat. Rasanya saya begitu ingin melayangkan tinju ke pipinya, merontokkan seluruh giginya, meremukkan wajahnya yang menjijikkan.

Tapi… kurang ajar! Dia tertawa sinis dan berlanjut lantang menertawakan saya. Tawa menggelegar seperti sebuah keberhasilan dalam sesuatu. Lalu tak habis-habisnya dia mengatakan saya goblok tidak mau ikut dengannya. Sambil terus berkata juga bahwa negeri ini sudah tidak lagi mencerminkan sebagai negeri. Hanya negeri dongeng yang suatu saat akan hilang oleh tangan-tangan manusianya sendiri.

Saya tak tahan lagi. Saya banting handphone, segera menuju ke kost-nya dengan geram yang telah sampai ke ubun-ubun. Saya segera melayangkan tinju ke wajahnya. Perkelahian sengit terjadi. Saya tak habis pikir kenapa menjadi seperti itu. Tapi apa boleh buat, saya tidak terima kalau dia terus berkata semena-mena seperti itu. Biarlah, saya tak peduli apapun yang terjadi dengan diri saya. Dia benar-benar saya libas bertubi-tubi, mungkin juga sampai mati…. n

Selatpanjang, Januari 2013

Sunday, February 17, 2013

Bloody Valentine

Cerpen Tita Tjindarbumi

Aku akan menepikan rasa, lalu membunuhnya perlahan sampai air mataku mengering  dan hati ini tak menyerukan lagi namamu. Akan kubiarkan daun-daun luruh dan terbang dibawa angin, seperti air mata yang jatuh tak mengenal tempat. Setiap  malam kudengar suara angin berbisik dan menyanyikan senandung malam tentang kita, akan kuputar lagu yang menyayat seperti pisaumu yang menyayat-nyayat tubuhku hingga tak kudengar lagi suaramu. Bahkan tak bisa lagi kudengar erangan kesakitanku. Telingaku tuli dan bisikanmu berlalu. Lalu akan kubiarkan angin berhembus kencang membawa seluruh tentangmu. Dan bau tanah itu…

***

Andaru mengepalkan tangannya yang gemetar dengan selembar kertas lusuh yang nyaris hancur digenggamannya. Ia selalu membenci Februari. Tubuhnya selalu mendadak menggigil setiap kali mengingat kejadian itu.

“Jangan ganggu akuu!” teriaknya kencang, menghardik.

Tubuhnya semakin dingin. Gigil itu telah membungkusnya sempurna. Andaru berlari memutari ruang kamarnya yang gelap. Lampu kamarnya padam. Lalu matanya nanar memeriksa setiap sudut kamarnya. Tirai jendela kamarnya sedikit terbuka. Dari celah yang terbuka matanya menangkap cahaya berkelebat di taman yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari kamarnya.

Daru menarik selimut sekuat tenaga. Ia panik. Wajahnya seketika pucat. Sial, kenapa tirai itu terbuka? Bukankah sore tadi ia telah mengunci jendela kamarnya dan menutup tirai?

Jeder!

Tiba-tiba kaca jendela kamarnya retak. Entah siapa dan dari mana datangnya batu  yang dilempar ke kaca jendelanya hingga retak. Membuat kaca itu menjadi buram.

Andaru tak berani beranjak mendekati jendela. Tubuhnya gemetar. Keringat telah membasahi bajunya. Pelipisnya basah oleh keringat dingin.

Prang….!

Gelas yang terletak di sebelah ranjangnya jatuh. Pecahan beling berhamburan di kamarnya yang terlihat acak-acakan. Salah satu pecahannya nancap ke kaki Daru. Laki-laki itu meringis kesakitan. Wajahnya pucat pasi. Ketakutan membayang di mata dan wajahnya.  Tubuhnya basah kuyub, ia teringat saat itu.

Darah! Darah! Daru melihat kamarnya penuh darah!

“Dalam percintaan semua bisa saja terjadi,” ujar Andaru dengan suara dingin, datar seakan tak peduli pada perasaan Asoka yang diam seribu bahasa.

Perempuan itu seperti dipasung jiwanya, tak berani membantah ucapan  Andaru yang sedang dikuasi alkohol.

Mata perempuan itu berkaca-kaca. Sudah lama ia merasa tertekan atas sikap dan perlakuan laki-laki itu. Bukan hanya perangainya saja yang kasar, mulutnya yang berbau alkohol itu sering kali mengeluarkan sumpah serapah. Semua kata-kata kotor bisa berhamburan dari mulutnya.

Dia bukan siapa-siapa laki-laki itu.  Ia mengenal Daru karena orang tuanya terlanjur menjodohkan dengan Daru dengan alasan klise- orang tuanya yang terbelit hutang pada keluarga Daru.

“Jika dirimu menolak perjodohan itu kenapa tidak bicara pada kedua orang tuamu?” sergah Asoka dengan suara terbata-bata. Ketakutan tak akan pernah menyelesaikan persoalannya. Jelas sikap Daru menggambarkan laki-laki itu tak suka padanya. Ia juga tak suka pada lelaki pemabuk dan suka keluar masuk klub malam.

“Nggak segampang itu, Soka, “ jawab Andaru asal saja. Ia sibuk dengan gelas  berisi minuman beralkohol yang dipegangnya. Lelaki tolol pun tidak akan menolak dijodohkan dengan perempuan semolek Asoka.
Asoka menatap nanar lelaki itu. Dia heran  hari gini masih ada lelaki seperti Daru yang setiap hari hanya malas-malasan dan mabuk-mabukan. Tatapan matanya dingin dan tak pernah bisa bicara lembut pada perempuan.

“Kita bisa bicara pada keluarga. Atau aku yang akan bicara jika dirimu tidak mau!”

“Tidak bisa! Saya akan kehilangan hak waris jika menolak perjodohan ini.”

Sungguh egois. Asoka memalingkan wajahnya. Geram pada sikap Andaru yang tidak peduli pada perasaannya.

Ia hanya memikirkan warisan. Orang tuanya tahu benar  Andaru suka ganti-ganti kekasih. Sialnya, mereka menganggap Daru akan sembuh dari penyakitnya jika ia menikah.

Tiba-tiba saja badan Asoka limbung. Hanya beberapa detik. Detik berikutnya tubuh Asoka telah berdiri di depan Andaru,  menatap laki-laki penuh amarah.

“Saya tidak akan menikah denganmu,” desis  Asoka lalu  meninggalkan Daru yang masih bengong.

Andaru nyaris terjengkang, kaget melihat Asoka yang bersikap aneh!

Asoka tidak sadar bahwa  tubuhnya telah dimasuk arwah sosok lain yang tak dikenalnya. Dan tubuhnya telah dirasuki arah gentayangan.

***

Anjing melolong. Lolongannya panjang seperti suara tangis dari kejauhan. Langit semakin gelap. Tak ada satu pun bintang di malam itu.

Malam itu juga Andaru merasa ada yang tidak beres pada diri Asoka tunangannya. Daru juga merasa Asoka berubah menjadi perempuan berani.  Bahkan matanya seperti memendam dendam. Andaru pun suka mendadak merasa kepanasan bila berdekatan dengan Asoka. Kaang Andaru kesal dan nyaris tidak bisa menahan diri bila Asoka membuatnya marah.

Daru menggelengkan kepalanya. Ia tak ingin kejadian itu terulang. Sungguh ia tak bermaksud melakukannya. Ia hanya kesal dan semua itu terjadi begitu saja. Andai saja ia tidak meronta dan berteriak…
Perempuan itu…

***

Perempuan itu berdiri di pintu masuk kamar Asoka. Memandangnya tak berkedip. Kedua bola matanya menatap kosong lurus ke depan.  Ia hanya berdiri menatap kosong tetapi tak berbicara apa-apa.

“Sedang menunggu seseorang?” tanya Asoka setelah sekian menit terpaku menatap perempuan itu. Ia tidak mengenal perempuan bergaun hitam itu.

 “Saya tidak suka kau dekat-dekat dengan dia,” ujar perempuan bergaun hitam itu singkat dengan matanya yang menyorot tajam. Bibir pucatnya dikatupkan rapat. Membetuk garis lurus. Senada dengan warna wajahnya yang pucat pasi.

“Dia…? Siapa maksudmu?”  Asoka melongo.

Dia siapa? Andaru? Ada urusan apa antara permpuan pucat itu dengan Andaru?

“Daru maksudmu?”

Perempuan yang wajahnya pias itu diam tak menjawab. Ia hanya menggerakan kepalanya pelan, mengangguk.

Siapa dia?

Asoka penasaran bercampur takut.

Perempuan itu mendekati Asoka.  Membiarkan gaun hitamnya yang panjang  menutupi jalan agar Asoka tidak bisa melewatinya. Aroma asing menebar begitu tubuh perempuan itu hanya berjarak sekian jengkal dari tubuh Asoka yang tiba-tiba menggigil kedinginan.

***

Hujan...
Aku sedang membayangkan membunuhmu dan mencari akal bagaimana menyembunyikan mayatmu yang tetap terlihat tampan meski sudah tak bernyawa.
Asoka menyeringai.

Aku tak akan memasukanmu ke dalam karung karena darahmu pasti akan terceder di sepanjang lorong bangunan tua ini. Aku akan membunuhmu tanpa mengeluarkan darah setetes pun.

Asoka tersenyum. Wajahnya yang pucat mulai memerah.

Sungguh aku tak akan tega mendorongmu dari lantai 39 ini. Selain itu pasti tak bisa kupandangi wajahmu sesaat setelah jiwamu lepas dari ragamu, seperti yang kau lakukan saat kau tikam pisau itu tepat di jantungku.
Asoka menelengkan wajahnya.

Aku hanya ingin melihat senyum terakhirmu sebelum keluar dari tubuh calon isterimu. Tetapi aku tak ingin perempuan calon isterimu hidup menderita bersamamu.

Ia perempuan bodoh yang mau saja dipakai untuk membayar hutang keluarganya. Tapi kau jauh lebih bodoh. Tak menaruh curiga ketika Asoka memintanya datang ke apartemen. Lantai 39 mungkin bagi laki-laki perusak perempuan itu adalah sebuah tempat yang penuh sensasi untuk melampiaskan hasrat binatangnya.


Asoka membiarkan Andaru masuk ke kamarnya. Ia, dengan gaun pinknya yang memamerkan ranum dadanya menyambut Andaru dengan senyum. Andaru seperti biasa selalu sibuk dengan dirinya. Ia selalu  berusaha mengendalikan perasaannya setiap melihat Asoka. Ia ingin Asoka menganggapnya lelaki dingin yang tak punya cinta.

“Ada apa memintaku kesini?” tanya Andaru dengan wajah tanpa senyum. Ia melihat ada yang aneh pada diri Asoka. Setahunya Asoka tak pernah memakai gaun dengan warna yang membuat Andaru bergidik. Ia mulai curiga…

Ya..ini bukan kebiasaan Asoka. Asoka tak pernah bersikap manis meski ia termasuk perempuan penurut. Tak pernah pakai gaun apalagi sexy begitu…

“Mau minum apa, Ndaru?” tiba-tiba Asoka telah berada di sisinya. Tersenyum memamerkan bibirnya yang ranum. Matanya menyorot tajam.

Andaru melengos. Badannya mendadak gemetar. Ia melihat mata itu bukan mata milik Asoka. Mata itu milik….

Andaru berpikir keras. Ia merasa pernah melihat mata itu. Siapa? Dimana? Rasanya tak asing..

“Mari kita bersulang…”

Benar, dia bukan Asoka. Kaki Andaru gemetar. Asoka tak pernah minum minumam beralkohol. Tetapi entah mengapa Andaru seperti tak berdaya ketika tangannya dipegang perempuan itu. Andaru juga tak kuasa melepaskan tangan perempuan itu yang terasa dingin.

“Jangan kuatir …aku akan membuatmu senang malam ini,” ujar perempuan itu lalu membelai pipi laki-laki itu. Saat itu Andaru melihat dengan jelas siapa perempuan yang berada di dekatnya. Sangat dekat.

“Ti…..daak! “ Keringat mengucur deras. Padahal suhu udara di ruangan itu seperti di dalam lemari pendingin.

“Kamu mau apa?!” teriak laki-laki itu sambil bergerak menjauh. Tetapi tangan perempuan itu lebih cekatan. Bukannya malah menjauh, Andaru malah kini berada sangat dekat dengan perempuan itu. Perempuan yang sangat dikenalnya.

Kini Andaru berada di alam cengkraman perempuan itu.

“Aku tidak sengaja, Zee…tak bermaksud membunuhmu,” ujar Andaru terbata-bata.

Zee, perempuan itu menatap Andaru dengan sorot tajam.

“Tidak ada guna semua omonganmu. Kau tak hanya membunuhku, tetapi juga janin yang ada di perutku!” teriak perempuan itu lalu dengan cepat tangannya menarik tubuh Andaru yang masih menggigil kedinginan sekaligus ketakutan.

“Kau harus membayar semua itu sekarang!” guman Zee lalu melepaskan cekalannya. Membiarkan Andaru berlari mengelilingi kamar. Zee tak mengejarnya, ia hanya mengikuti arah langkah laki-laki itu. Sampai akhirnya berhenti di jendela kamar yang tertutup tirai tetapi dalam keadaan terbuka lebar.

“Maafkan aku, Zee. Aku mencintaimu. Sumpah…aku tak sengaja…”

Zee menyeringai. Siapa yang percaya padamu, laki-laki biadab?  Ia tetap meneruskan langkahnya. Mendekati Andaru yang posisinya semakin mepet ke jendela yang terbuka.

“Aku sudah memaafkanmu. Aku rindu pada kebersamaan kita. Aku ingin memelukmu…” Zee semakin mendekat dan  tangannya berusaha menggapai tubuh laki-laki yang dulu membuainya dengan janji-janji kosong sampai ia menyerahkan seluruh dirinya untuk laki-laki itu.

Belum sampai tangan perempuan itu menyentuhnya, laki-laki itu telah bergerak lebih cepat. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan panjang, lalu BUKK.

Perempuan itu sempat menengok ke bawah. Ia melihat kerumunan orang. Kemudian perlahan ia membalikan tubuhnya dan menghilang.

***

Keesokan harinya  semua surat kabar mengabari berita kematian Andaru. Lelaki muda diduga bunuh diri setelah mengkonsumsi minuman beralkohol. Dan di atas jenazah laki-laki itu ada setangkai bunga mawar yang tangkainya berdarah. n


Lampung Post, Minggu, 17 Februari 2013
               

Sunday, February 3, 2013

Waktu Matahari Sepenggalahan Naik

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


Malam itu Abi membaca Ad-Dhuha, berulang-ulang, seolah berharap aku akan mengingat dan menghafal kata per kata. Ia membaca surah perlahan dengan suara lembut, membuatku merasa damai dan lama-kelamaan, aku pun tertidur di pangkuannya.
--------------------
Lampung, 7 Februari 1989

SUARA rentetan tembakan memecah keheningan fajar. Umi dan aku terbangun dalam keadaan ketakutan. Aku mendengar orang-orang berlarian di luar, mereka berteriak dan menangis. Dari bawah rumah kami, aku mendengar ayam ribut berkotek.

Umi melompat dari tempat tidur, gegas berpakaian dan mengenakan kerudung. Kemudian ia memelukku erat, mengusap-usap punggung, menciumi dahi dan menyeka air mataku.

"Jangan menangis," bisik Umi. "Jangan takut."

Dari jendela kayu, kami melihat rumah-rumah panggung terbakar. Langit berwarna merah. Di antara orang-orang yang berlari dan berteriak, aku melihat teman-temanku. Mereka menangis keras. Abu hitam terbang di sekitar kepala mereka.

"Tentara ...," gumam Umi, pandangannya nanar.

"Siapa mereka, Umi?" tanyaku.

Umi tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke beberapa pemuda berseragam hijau. Mereka mengenakan sepatu bot hitam dan membawa senjata. Mereka berteriak, mendorong dan menendang beberapa tetangga kami.

?Abi belum pulang dari masjid ...? gumam Umi lagi, seperti mengigau.

Saat itu, kami melihat Abi berlari, memasuki halaman rumah. Umi gegas membawaku dari kamar ke pintu depan, menyambut Abi. Abi terengah-engah dan berkeringat, pucat dan menggigil ketakutan. Wajahnya kotor oleh abu.

Ia memeluk kami dan berkata dengan suara gemetar, "Lari ke masjid, berlindung di sana. Kalian akan baik-baik saja. "

"Ke mana kau akan pergi?" tanya Umi, mulai menangis.

"Saya harus membantu tetangga kita. Mereka memerangi tentara."

"Jangan tinggalkan kami," pinta Umi.

"Kau tahu saya harus pergi," kata Abi, "Maafkan."

Aku melihat riak telaga di mata Abi, memberati pelupuk, air jernih yang tak terbendung. Ia memeluk kami erat. Hangat air matanya terasa di pundakku.

Sebelum pergi, ia berkata, "Jaga diri. Saya segera kembali."

Abi melambaikan tangan, menuju fajar merah. Ia tak pernah kembali, tidak pernah bisa kembali. Kami melihat Abi berlari ke arah pasar kampung, tepat di saat kami mendengar gemuruh dari atas. Ada dua helikopter berwarna hijau gelap dengan tentara yang menumpang. Mereka menembaki kampung, membabi-buta. Kami mendengar Abi menjerit, sosoknya yang tinggi dan kurus rebah ke tanah. Aku melihat darah di punggungnya, mengubah putih kemeja menjadi merah. Aku menangis. Usiaku masih tujuh tahun dan apa yang terjadi saat itu tampak tak nyata. Aku tidak pernah melihat orang saling membunuh. Jantungku berdebar keras.

Umi menjerit, "Ya Allah! Ya Allah!"

Mendengar lengking suara Umi, seorang prajurit menoleh. Dia berlari ke arah kami, dekat dan semakin mendekat. Matanya merah, dan ia tersenyum jahat. Umi meraih tanganku cepat. Tangannya yang lain memegang perut besarnya, seolah menggendong bayi di dalamnya. Kami berlari ke pintu belakang, terus ke halaman belakang.

***

Ada ilalang melambai tertiup angin, di halaman belakang. Tak jauh dari tangga kayu, tumbuh baris pokok pisang, pohon kelapa, semak nanas berduri, dan kaleng-kaleng berisi tanaman lidah buaya. Umi sering memintaku duduk di tangga, memunggunginya. Ia telah menyiapkan sepanci penuh irisan tanaman lidah buaya, yang kemudian ia gosokkan di kulit kepalaku.

"Rambutmu akan menjadi kuat, tebal, panjang, dan mengilap hitam," Umi berkata.

Ada ruang teduh di bawah rumah panggung, cukup tinggi sehingga orang dewasa bisa berdiri tegak tanpa kesulitan. Tanah di bawah rumah itu mengeras oleh pijakan langkah kaki. Di sudut ruang, ada kandang ayam. Abi membangun kandang itu dari papan dan kawat guna menjaga ayam di malam hari agar aman dari serangan musang. Di siang hari, ayam-ayam bebas berlari dan mematuk di sekitar rumah.

Kami memelihara sepuluh ayam. Setiap hari mereka memberi kami sembilan telur. Pagi hari, sebelum sekolah, aku kerap membantu Umi mengumpulkan telur. Umi menjual enam telur di warung kecil milik tetangga, sedang sisanya kami konsumsi sendiri. Karena ayam kami adalah ayam kampung, Umi mendapat harga yang lebih baik dibanding dengan telur ayam buras.

Aku punya ayam sendiri. Ayam yang besar, berbulu warna-warni: oranye, cokelat, dan kekuningan, sayapnya hijau gelap mengilap dan ekornya hitam, jenggernya merah cerah. Aku memanggilnya Jago.

***

"Terus berlari," Umi menarik tanganku.

Kakiku terasa berat dan sakit. Tapi, aku tahu aku harus berlari. Dari halaman belakang, kami berbelok ke kanan, menuju ke tepi desa, di mana masjid berdiri. Kami tersandung mayat-mayat yang bergelimpangan di sepanjang jalan. Setiap kali tersungkur, Umi membantuku bangun. Darah di mana-mana, merendam tanah, membasahi tanganku, pakaian. Darah kental merah dan gelap pada wajah mayat, wajah keriput yang akrab bagiku: kakek pembuat gula merah. Api berkobar, menghanguskan rumah-rumah. Deru helikopter dan letus senapan memekakan telinga. Sebuah horor tak terlukiskan, bahkan dengan kata. Aku terus menangis.

Setiba di masjid, ramai orang berkumpul: orang tua, wanita hamil, anak-anak?termasuk beberapa temanku, dan bayi. Mereka tampak ketakutan. Masjid dipenuhi doa dan isak-tangis. Kami semua memohon Tuhan akan perlindungan-Nya. Kami pikir kami berhasil melarikan diri dari tentara. Bagaimanapun, kami berlindung di masjid, sebrutal apa pun tentara tentu mereka tidak akan berani menghancurkan rumah Tuhan. Tapi, dari jendela masjid, kami melihat beberapa tentara datang mendekat. Umi mendorongku pergi, memintaku meninggalkan masjid.

"Lari ke hutan," katanya, "Lari secepat kau bisa. Lari!"

***

Ada sebuah masjid dicat hijau dengan kubah perak berkilauan, di tepi kampung. Lima kali sehari, panggilan salat bergema dari pengeras suara masjid. Selain untuk salat, masjid itu tempat aku dan teman-teman belajar mengaji, lalu bermain sesudahnya: petak-umpet dan orang-orangan kertas, gobak sodor di pekarangannya.

Ada hutan di bukit dekat kampung, tempat pohon-pohon kelapa, pohon kakao, dan tanaman kopi robusta tumbuh. Aku senang pergi ke hutan. Setiap musim kakao tiba, aku memungut buah kakao yang jatuh, terserak di antara tumpukan daun dan rerumput. Buah kakao bergaris hijau, dan ketika matang berubah warna menjadi marun gelap. Aku harus membuka kulit tebal sebelum menemukan buah putih dan manis di dalamnya.

Ada sungai kecil, yang dipenuhi batu besar bulat abu-abu, di mana ternak, kambing dan sapi, sering minum, membelah hutan. Di satu sisi sungai, terdapat hutan bambu kecil dan mata air. Kami menyebutnya belik.

Ada sebuah gubuk-geribik yang terbuat dari daun kelapa, di belik. Seorang lelaki tua tinggal di sana. Teman-teman dan aku tak pernah tahu namanya, tapi kami memanggilnya ?kakek pembuat gula merah?. Ia memiliki wajan besar, di mana ia, secara ajaib, mengubah nira, yang ia dikumpulkan dari pohon kelapa dalam tabung bambu, menjadi gula merah, dengan merebus dan mengaduk terus-menerus. Ia kemudian menuang rebusan nira ke dalam belahan batok-batok kelapa, dan membiarkan nira kental itu mengeras. Ia selalu membolehkan kami mencelupkan jari-jari ke dalam wajan untuk kemudian kami jilati.

*** ?Lari!? Umi berteriak, mendorongku, sebelah tangannya memeluk perut. Ia mengernyit kesakitan. Ia tahu ia tidak akan mampu lari dari tentara.

Aku berlari secepat aku bisa ke belakang masjid, melintasi ladang singkong dan jagung, dan terus berlari ke perkebunan tebu terdekat. Aku bisa merasakan basah embun pagi dari dedaun tebu, permukaannya yang kasar membuat tangan dan kakiku terluka. Tapi aku tidak peduli. Aku harus terus berlari.

Pada akhir perkebunan, aku terengah-engah mendaki bukit. Aku mendengar ledakan keras, berhenti dan berbalik, melihat ke arah kampung, berpikir untuk kembali. Tapi, dari puncak bukit, aku melihat masjid dibakar, asap hitam membubung ke langit, api merah keemasan menjilat-jilat pagi, suara berderak dan berdentum, berulang-ulang.

***

Petang kemarin, aku sedang bermain orang-orangan kertas dengan teman-teman, ketika Umi memanggil dari beranda rumah. Mendengar panggilannya, aku gegas berhenti bermain, berlari pulang, dan memanjat tangga kayu.

"Saatnya mandi. Ini hampir magrib. Sudah waktunya pergi ke masjid."

Aku mengangguk patuh. Umi sedang hamil delapan bulan. Abi memintaku untuk tidak membuatnya marah, bahkan sekadar membuat alisnya bertaut, karena itu tidak baik bagi Umi dan bayinya. Aku pergi ke kamarku, melepas pakaian, membungkus diri dengan kain panjang, dan mengambil handuk.

Aku pergi ke halaman belakang, melintasi sekelompok tanaman pisang, nanas dan kaleng-kaleng berisi lidah buaya, menuju kamar mandi. Dalam hitungan ketiga, aku mengguyur air ke kepala, cepat-cepat. Angin bertiup samar-samar dan air terasa sejuk dan segar. Sementara mencuci rambut dan tubuh, aku bernyanyi ceria, ditingkahi gemeresik daun kelapa.

Aku kembali ke kamarku dan memakai pakaian bersih, kemudian mukena putih, siap untuk pergi ke masjid bersama Umi. Setiap kami meninggalkan rumah, kami tidak perlu repot mengunci pintu. Di desa kami, tidak ada pencuri. Desa kami adalah desa yang aman dan damai.

***

Gumpalan asap dari masjid bergulung-gulung, pekat. Aku bisa mencium bau kayu terbakar, daging terbakar. Daging manusia. Umi dan bayi di dalam kandungan Umi. Tetangga dan teman-teman. "Umi!" aku ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Rasanya seperti ada batu besar menyesaki tenggorokan. Aku menangis dalam diam. Burung-burung berserakkan di langit, menjauhi api, menuju cahaya matahari terbit. Langit di sisi lain bukit biru cerah dengan cercah cahaya keemasan. Angin bertiup lembut, bermain gelombang pada gemeresik ilalang. Aku melihat embun pagi di ujung reranting pohon jati, mencerminkan sekitar dalam warna pelangi.

Aku menyeka pipi yang kuyup oleh air mata, menyadari bahwa aku telah menjadi yatim, di pagi yang damai, di waktu matahari sepenggalahan naik.

----------------------
Abi mengelus rambutku, tak henti membaca Surah Ad-Dhuha dari sebuah Alquran tebal, yang ia letakkan pada penyangga buku kayu berukir tanaman jalar. Suara Abi, yang mengalun perlahan dan lembut, adalah nyanyian pengantar tidur terindah yang pernah aku dengar.

Lancaster, 22 Januari 2013


Lampung Post, Minggu, 3 Februari 2013