Sunday, August 26, 2012

Tuhan, Aku Gelas Kosong

Cerpen Tandi Skober


DIKMAS Redaktur Cerpen yang saya sayangi, judul cerpen ini saya petik dari status pisbuk Miranda Risang Ayu Palar. Maklum, saya ini yang mana fan berat Miranda sejak dianya menulis esais resonasi di koran X terbitan Jakarta. Kagumku itu bertambah-tambah manakala Miranda naik pangkat ke strata tertinggi kepenulisan yaitu menjadi sang penyair.

Hal lain, yang juga menginspirasi cerpen ini adalah baliho 2 m x 5 m  bergambar Ahmad Heryawan yang terletak di pengkolan jalan utama kompleks Bumi Panyileukan Bandung. Selama Ramadan 1433 H, gambar itu telah menjadi pelipur lapar puasa saya. Tiap kali haus menggerus, perut gemeruput, langsung saya duduk di bawah baliho itu. Tanganku membuka, wajahku tengadah ke ruang langit tak berbatas. Terus dalam desir angin keriting kering kerontang, saya bicara, "Tuhan, aku gelas kosong."

Miranda tentu beda dengan Heryawan, "Beliau itu gubernur Jabar," ucap sahabat saya.

"Loh, kok bisa jadi gubernur?"

"Hmm, bisa jadi disebabkan Heryawan lahir 19-6-1966," balas Somari, "Kan ada angkatan enam-enam yang menjadi angkutan politik. Ada banyak cerita di pusaran angkatan enam-enam yang terposisikan sebagai wali kota atau gubernur. Hal lain, persis seperti main domino. Yang memiliki kartu balak enam, pastilah bisa menjadi pemenang."

Tuturan Somari saya terima sebagai hal yang patut dihormati dan diapresiasi. Kenapa? Somari itu hobi banget iktikaf di masjid Al Ukhuwwah Panyileukan dan membacakan ayat-ayat suci Alquran. Mengingat saya ini ditakdirkan menjadi gelas kosong, mohon maklum bila saya selalu duduk di samping Somari, memejamkan mata menikmati aliran jernih suaranya. Terus terang, suara lembut Somari selalu membuat saya ketiduran dan baru terjaga njelenggenek bangun ketika ia menepuk kopiahku seraya berkata, "Punya rokok garpit?"

Hmm, tentu itu sudah saya sediakan. Ini membuat Somari senang, "Sebaik-baiknya pengarang adalah sebagian honorarium karangan itu dibelikan sebungkus-dua bungkus rokok," ucapnya sambil klepas-klepus merokok di teras masjid. Fatwa Somari Itu saya amalkan.

Yang tidak saya setujui (baca belum saya mengerti) adalah fatwa dilarang melamun di bawah baliho Heryawan. "Sebaik-baiknya gambar di dalam kalbu adalah lukisan niat amalkan apa yang diperintahkan Gusti Allah dan apa yang dikerjakan Kanjeng Nabi Muhammad saw.," tuturnya sesaat jelang iktikaf di pertengahan Ramadan 1433H. "Sebagai penulis lansia yang sudah bau tanah, sebaiknya mengubur semua gambar dunia."

Hmm, saya mantuk-mantuk. Somari bersandar di dinding teras masjid. "Gambar dunia itu sebagus apa pun yang mana merupakan perilaku tingalira. Perilaku yang memuja harta, kursi dan gua garba kekuasaan. Tinemu wong awing uwung ngantuk anemu kethuk. Malenuk samargi-margi. Marmane  bungah kang nemu. Marga  jroning kethuk  isi. Kencana sesotya ...byor."

"Artinya, Stadz?"

"Akan ditemukan manusia kosong yang melangkah dalam keadaan tak sadar di jalan-jalan labirin. Lantas mereka menemukan kethuk (gong kecil). Sesaat semringah. Padahal isi kethuk itu cuma emas dan kencana. Itu kan dolanan dunia belaka."

Akan tetapi, entah kenapa ujaran Somari itu lagi-lagi tidak bisa saya mengerti. Bahkan, saat Ramadan 1433 H memasuki sepuluh hari terakhir, dipastikan saya suka ngabuburit di bawah baliho balak enam itu. Saat sirine meraung-raung tanda buka puasa tiba, langsung saya makan sebiji kurma dan seteguk air mineral seraya memandangi mata berkacamata Heryawan.

Yang ajib, tindak-tanduk tandi ini ternyata diperhatikan artis Ria Irawan. Tidak jelas kenapa Ria Irawan pun mengikuti jejak pikir saya. Jelang buka puasa ia duduk ngelemprak di bawah baliho balak enam membawa sebiji kurma dan segelas air mineral. Bukan cuma membawa seonggok badan sendiri, juga ditemani anak, suami, tetangga bahkan keponakan  Irawan dari Medan bernama Fasya pun ikut nimbrung ngabuburit di bawah baliho Heryawan.

Kok bisa jadi begini sech? Hmm, ternyata ini baru saya mengerti, saat Ria Irawan berdiri berlatar belakang Baliho dan berkata di depan mic, "Saudara-saudara sekalian di Bumi Panyileukan. Ini ada berita utama yang patut diberi tepuk tangan."

Saya lihat tangan saya. Saya siapkan tepuk tangan.

"Seperti kita ketahui bersama, bahwasanya radio PRFM (29-7) saat wawacarai redaktur surat kabar terbitan Ceribon, Dudung, yang mana diberitakan hal mana Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mampu memegang tiga pusaka Keraton Kasepuhan Ceribon. Terus terang, ini baru kali ini ada yang mampu menyentuh tiga benda pusaka itu. Ajaib! Padahal tidak ada satu presidenpun di dunia ini yang mampu melakukan hal itu," tutur Ria Irawan." Maka mari kita tepuk tangan.

Saya langsung berdiri tepuk tangan seraya memandangi gambar Heryawan. "Jadi, beliau itu terlahir tidak hanya untuk jadi gubernur, juga layak jadi presiden Indonesia."

Saya tepuk tangan.

"Tidak hanya presiden Indonesia, juga presiden Perserikatan Bangsa-Bangsa."

Saya tepuk tangan sekitar tujuh detik pada detik ke delapan mendadak tangan saya dipegang Somari. "Tangan diciptakan bukan untuk tepuk tangan, wahai cerpenis lansia Tandi Skober," ucap Somari. "Tapi untuk dibuka berdoa, berzikir dan meluruskan telunjuk saat duduk tasyahdu saalat. Telunjuk yang diarahkan ke kiblat sebagai konsistensi riligi terhadap keesaan Allah swt. dan pengakuan Muhammad saw. sebagai rasul. Akan tetapi, ketika kamu tepuk tangan dan diarahkan ke media baliho, wahai penuis lansia Tandi Skober, yang terjadilah adalah peri laku perih luka kultural yang mematut diri menjadi master of the power game."

Lagi-lagi saya melihat kedua telapak tangan saya.

"Andai saya ada di Ceribon, tentu para pemimpi(n) itu akan saya bawa ke hutan bukit Plangon," sambung Somari lagi, "Itung-itung ziarah sejarah menengok puluhan anak haram kultural yang memuja gua garba kekuasaan. Maklum, dalam jaringan pikir masyarakat pesisir utara Jawabarat, kera Kalijaga Plangon adalah cermin peradaban tanpa jenis kelamin sekaligus telunjuk arief ke arah mana mimpi diarahkan. Manusia Cerbon memosisikan wisata metafisika Plangon ini sebagai langkah primordial dalam menapaki jalan iluminasi tak terbatas."

Sesaat saya terdiam. Somari menepuk bahuku, menuntunku ke teras masjid. Ia perbaiki letak kopiahku. "Gambar baliho itu tidak memakek kopiah kan?" tanya Somari.

Saya mengangguk.

"Camkan wahai Tandi, kepala kita juga mirip sebentuk gelas. Agar tidak dikencingi jin setan merkayangan maka perlu pakek kopiah. Maklum, sebagai makhluk yang hinggap di sebutir pasir, manusia diyakini memiliki potensi Ilahiah."

"Loh,  apa hubungannya kopiah, gelas kosong dan kunyuk ical Plangon?"

"Monyet Plangon juga tidak berkopiah. Tapi abaikan itu. Yang perlu dijelaskan bahwa kunyuk Plangon tak hanya berhenti sebatas seonggok tubuh. Baginya, tubuh lebih dari sekadar tanda yang memikul identitas administratif dan demografis. Tubuh menyimpan rahasia tentang dunia makna yang jauh dan tak terjamah, dunia transendental," ujar Somari, "Itulah esensi gua garba kekuasaan. Maka cobalah sekali-kali kamu mampir ke bukit Plangon."

Saran Somari saya amalkan. Usai salat Idulfitri 1433 H saya mudik ke Ceribon naik montor. Tak lupa saya mampir ke perbukitan Plangon. Maka benar kata Somari, ternyata warga Ceribon tiap kali melewati bukit Plangon di mana di sini ada kunyuk ucul clingak-clinguk tinemu ical, selalu membaca Surah An-Nas. "Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan  manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan ke dalam dada manusia. Dari  jin dan manusia."

Redaktur Cerpen yang saya sayangi, sampai di sini saja yah ceritaku ini. Maafin saya kalau ada kata-kata yang salah. Maklum saya ini cuma gelas kosong...

Rabu, 23 Agustus 2012


Lampung Post, Minggu, 26 Agustus 2012

Sunday, August 12, 2012

Hujan Anak Panah

Cerpen Absurditas Malka


PERNAH melihat hujan selain hujan air?

Aku pernah melihat hujan selain air, langit siang itu tidak menggelayutkan awan sesudut pun, tidak juga diterpa angin badai, matahari pun bergelantung di ketinggian bersama sengatnya yang galak.

Hujan itu terjadi ketika orang-orang yang menuntut keadilan dari Kampung Amone tumpah di padang rumput yang membatasi kampung mereka dan Kampung Wamea. Di padang rumput itulah, aku melihat hujan anak panah.

Ratusan orang yang menuntut keadilan berlarian ke tengah padang rumput, mereka membawa tombak, anak panah, dan parang. Memburu musuhnya dengan senjata-senjata itu, ada sebagian dari mereka membawa tameng dari seng atap rumah, ada yang berlindung di balik pohon ada yang berkelit. Ratusan anak panah berjatuhan dari langit. Memburu siapa saja, ingin melesak dan berkait di tubuh siapa saja. Kedua kampung itu berperang dengan alasan yang sama, keadilan.

Mataku semakin menatap layar televisi, menyaksikan hujan anak panah di padang rumput perbatasan. Aku menyeringai miris menyaksikan anak-anak panah yang melesak di tubuh orang-orang.

"Kenapa mereka berperang?" Aku bertanya entah kepada siapa?

"Kami berperang untuk menuntut keadilan." Tiba-tiba seseorang dari dalam televisi menyembulkan kepalanya keluar, wajahnya menatapku geram. Busyet.

"Hah, keadilan?"

"Bukan, maksudku. Kami menuntut pelaku pencurian benda berharga agar segera diadili. Itu sama saja dengan masalah keadilan." Jawabnya tergesa, sesekali orang itu kembali masuk ke dalam layar kaca, mengawasi langit, menghindari tembakan anak panah.

"Hoi, sudah dulu ya. Aku harus kembali berperang, keadilan harus ditegakkan."

Orang berkulit legam dengan rambut keriting itu kembali masuk ke layar, hujan anak panah semakin deras. Beberapa orang sudah jatuh kena tikaman.

"Keadilan?" Aku bergumam, mulutku menyedot habis segelas kopi yang sudah dingin.

"Para pencur itu harus dihukum! Serang!" teriak seseorang, mengomando ratusan kawanannya untuk semakin garang menyerang. Kedua penduduk kampung yang dipisah padang rumput itu semakin liar saling serang.

"Boy! Awas!" Aku berteriak, mengingatkan seorang bocah yang seharusnya tertikam anak panah. Setelah mendengar suaraku, bocah dalam televisi itu melompat berkelit, anak panah amblas di atas tanah.

"Boy, sini. Lu jangan ikutan perang." Aku melambaikan tangan.

"Sebentar..." Bocah itu balas melambaikan tangan.

Dipungutnya anak panah yang menancap di atas tanah. Kemudian tangannya mengais-ngais bingkai televisi, mencari jalan ke luar. Pertama-tama jemarinya berhasil memegangi bingkai layar kaca, kemudian wajahnya diikuti seluruh kepalanya. Ia keluar, kaki kanannya pertama menginjak lantai di rumahku, kemudian seluruh tubuhnya sudah berada di ruangan rumahku. Bocah itu tidak memakai apa pun, kecuali celana dalam yang sudah dekil.

"Duduk sini Boy, kita aman di sini. Eh, lu mau kopi?" Aku menarik lengannya. Bocah itu terduduk di sofa sebelah kanan, ia mengangguk. Matanya tak lepas dari layar kaca.

"Tunggu sebentar." Aku pergi ke dapur, menyeduh kopi panas.

"Jangan pake gula!" teriak bocah itu.

"Hah? Kagak pake gula? Kopi macam apa itu?" Aku bergumam.

Membuat kopi hanya butuh waktu 5 menit, aku sudah menyeduh segelas kopi tanpa gula sesuai pesanan. Bocah itu masih menelisik tayangan berita.

"Nih kopinya Boy, coba aku lihat anak panah itu."

Aku meraih anak panah yang digenggamnya, bocah itu mendelik menatapku.

"Mau mati kau! Anak panah ini beracun, jangan kau sentuh."

"Hah beracun? Orang-orang itu akan mati kalau kena anak panah?" Aku menunjuk orang-orang di dalam layar televisi yang tertembak anak panah.

"Mereka sudah punya penawar, tidak akan mati. Hanya sakit saja."

"Boy, kenapa lu ikutan perang?"

"Keadilan," jawabnya singkat.

Halah, aku bertemu lagi dengan wacana keadilan. Kenapa orang-orang itu begitu mudah menyebut keadilan, apakah karena mereka sangat mengerti tentang keadilan atau karena mereka tidak pernah memiliki keadilan.

"Keadilan atau pencurian?" Aku teringat kata-kata lelaki tadi.

"Pencurian."

"Apa yang mereka curi sampai-sampai kalian harus berperang?"

"Kemerdekaan."

"Boy, gue kagak ngarti."

"Orang-orang Jakarta seperti kau tidak akan mengerti. Kami yang mengerti apa yang terjadi di kampung kami."

"Ya ya ya... Apakah orang-orang Wamea benar-benar mencuri kemerdekaan kalian?"

"Katanya begitu."

"Katanya?"

"Ya, katanya begitu."

"Kata siapa Boy?"

"Seseorang, kata seseorang."

"Seseorang siapa?"

"Orang Jakarta."

"Haduh, orang Jakarta lagi. Kata siapa orang Jakarta?"

"Sudah langganan, kemerdekaan kami hilang karena memang orang-orang dari Jakarta yang mencurinya. Siapa lagi yang paling suka mencuri di negara ini? Jakarta kan?"

"Oke, oke... Gue ngarti. Tapi, kenapa kalian berperang dengan mereka? Penduduk Wamea kan bukan orang Jakarta?"

"Nah itu dia, orang-orang Jakarta itu pengecut. Mereka tidak berani bertempur melawan kami, mereka menyusup, menghasut, mencipatakan kekacauan, merekayasa apa saja. Semua ini perbuatan orang Jakarta."

"Boy, lu tau dari siapa semua itu perbuatan orang Jakarta?" Aku mengambil gelas kopi, tinggal ampas. Bocah itu melirik ke arah gelas kopi miliknya.

"Minumlah." Aku menunjuk ke arah gelas kopi miliknya.

"Kau kasih racun?" Bocah itu menunjuk gelas kopi dengan anak panah.

"Tidak." Aku mengangkat bahu.

"Awas kau!" Gluguk, bocah itu menenggak habis gelas kopi pahit dengan tangan kiri, tangan kanannya menggenggam anak panah beracun, menodongkannya ke wajahku.

"Mantap!" Bocah itu mengusap bibirnya, kemudian mengacung jempol.

"Boy, lu mau tinggal di sini?"

"Tidaklah, ngapain aku tinggal di Jakarta. Tidak ada guna."

"Kalau begitu buruan balik, nanti beritanya keburu udahan."

Bocah itu terperanjat. Anak panah yang sedari tadi digenggamnya disimpan di atas meja, kemudian ia melompat memburu layar kaca. Kepalanya sudah berhasil masuk ke layar, diikuti kaki kanan, kaki kiri dan seluruh tubuhnya sudah sempurna kembali dalam layar.

"Hoi! Selamat tinggal Jakarta!" Bocah itu berteriak.

Aku melambaikan tangan ke arahnya. Hujan anak panah belum juga mereda. Semakin banyak orang menjadi korban. Layar kaca berganti tampilan, bocah itu kembali terlipat dalam berita.

"Anak panah beracun."

Aku bergumam, tanganku meraih anak panah di atas meja.

Betapa beracun Kota Jakarta.

Bandung, 20 Juni 2012


Lampung Post, Minggu, 12 Agustus 2012

Sunday, August 5, 2012

Satu Senja dan Hujan yang Pecah

Cerpen Yetti A.KA

DARI kemarin hujan turun lebat. Ah, tidak. Sejak berbulan-bulan lalu hujan sering turun di pagi, siang, juga malam hari. Itu yang paling mendekati kebenaran, kata Bi Tah, pembantu rumah ini, seorang janda lima puluh tahun yang senang menemaniku di meja makan sambil bercerita macam-macam. Dari dua puluh empat jam waktu dalam sehari, setengahnya milik hujan, ujarnya lagi bernada serius. Aku maklum. Ia sedang kesal karena rumput gajah di halaman cepat sekali tinggi dalam cuaca yang selalu lembab begini dan itu membuat ia mesti memanggil tukang potong rumput dua kali dalam sebulan.

Kedatanganku ke rumah ini atas tawaran seorang sahabat yang kebetulan bepergian ke Brighton untuk melanjutkan studi doktoral, dan ia ‘memberikan’ rumah mungil bercat purple kesayangannya untuk beberapa waktu. Kau bisa menulis novel dengan tenang di rumah, bujuk temanku itu sebulan sebelum keberangkatannya. Tidak akan ada yang mengganggumu. Kau bahkan bisa mengurung diri di kamar, berminggu-minggu, tanpa harus merasa cemas dianggap asosial.

Sekarang aku paham. Sejak kemarin, aku tak menemukan satu orang pun yang sengaja keluar rumah untuk sekadar menyapa tetangga. Oh, bukan. Bukan. Sudah sejak lima tahun lalu, saat pertama kali perumahan orang-orang kaya ini dibangun, lalu dihuni satu demi satu, mereka tak pernah saling berkenalan. Mereka orang sibuk. Berangkat pagi, pulang sore atau malam. Tidak ada waktu untuk hal-hal di luar itu, sanggah Bi Tah.

Aku menghabiskan sisa teh melati di cangkir, memandang Bi Tah sekilas, tersenyum canggung.

***

DI kamar lantai dua, aku banyak membaca buku, selain tentu saja menulis. Benar kata Bi Tah, kota ini selalu diguyur hujan, berhari-hari, yang membuatku lebih sering menutup jendela kamar rapat-rapat. Dan setelah dua minggu di sini, aku belum keluar rumah sama sekali. Semua sudah diurus Bi Tah. Kalau ada kebutuhan lain, aku tinggal bilang Bi Tah dan ia dengan senang membantu.

Hanya saja, ada yang terlupa oleh Bi Tah saat bercerita padaku di meja makan. Bisa jadi ini tidak terlalu penting, selain, mungkin saja, Bi Tah memang tidak tahu-menahu soal itu. Namun, bagiku ini rasanya seperti menonton pentas tari atau teater atau melihat pameran lukisan yang luar biasa. Aku terdiam lama. Lama sekali. Bibirku sedikit kugigit untuk memastikan kalau semua yang kulihat itu bukan halusinasi. Hari ini memang pertama kalinya aku membiarkan jendela terbuka sampai senja. Tanpa disangka aku menemukan karya yang indah di balik butiran hujan. Dan aku telah terhisap di dalamnya. Mirip sobekan kertas yang tak sengaja tersedot penghisap debu.

***

PAGI-PAGI Bi Tah sudah mengetuk pintu kamar. Aku membuka pintu dengan malas. Kenapa tidak turun untuk sarapan? tanya Bi Tah. Aku bilang semalaman nyaris tidak tidur dan masih mengantuk. "Kau terlalu banyak baca buku," Bi Tah berkomentar. Aku dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Bi Tah. Ia pasti mengira betapa tololnya seorang gadis usia tiga puluhan tahun yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku dan mengabaikan kesempatan bertemu seseorang yang siapa tahu bisa menjadi pacar atau bahkan melaju pada tingkat yang lebih serius. Sebenarnya aku ingin bilang pada Bi Tah: “Sekarang ini banyak gadis merasa nyaman dengan usia di atas tiga puluh, malah ada yang malas menikah seumur hidup. Ah, aku tidak tega melihat mata Bi Tah terbelalak, kebingungan.

Bi Tah meletakkan nampan berisi secangkir teh melati dan sepiring kecil singkong goreng yang sengaja kupesan—mengingat menu itu cocok sekali untuk mengusir rasa dingin—di atas meja Oshin yang hampir sesak oleh buku-buku, majalah, koran, laptop, juga kertas yang kucoret-coret dengan tinta berwarna-warni. Saat makan siang kau harus turun, ujar Bi Tah sambil berlalu. Itu seakan perintah yang mesti aku turuti dari seorang ibu. Aku tersenyum, memandangi punggung Bi Tah yang kubayangkan betapa hangat jika aku menempelkan tubuh di sana. Aku tahu ia mulai kesepian. Bisa jadi Bi Tah pelan-pelan terbiasa dengan kehadiranku di meja makan yang akhirnya membuat ia tidak tahan jika aku absen sekali saja.  Atau ia punya cerita baru yang mesti kudengar untuk melengkapi cerita-cerita darinya sebelum ini.

Kemarin Bi Tah sudah bercerita soal arisan para pembantu yang mereka lakukan sebulan sekali, juga mengikutsertakan tukang sayur dan tukang potong rumput yang biasa datang ke kompleks. Setengah menyesal Bi Tah menyayangkan para majikan, terutama kaum ibu-ibu, tidak melakukan hal yang sama; berusaha menghidupkan suasana kompleks dengan mengadakan acara kumpul-kumpul juga, semisal arisan, senam bersama satu hari dalam seminggu, pengajian atau yang paling sederhana ngobrol di pinggir jalan depan rumah pada sore hari di saat cuaca bagus.

"Apa orang yang kerja kantor itu benar-benar sibuk?" tanya Bi Tah bersungut.

Aku tidak menjawab, tapi mengangguk-angguk sembari menahan tawa. Aku ingat sahabatku, pemilik rumah ini, yang mungkin saja sedang disindir Bi Tah. Kukira, jika saja aku salah seorang pemilik rumah di kompleks ini, walaupun aku tidak kerja di kantor, aku akan sama saja dengan sahabatku itu atau orang-orang yang tinggal di sini. Kami sedang ingin melaju, itu alasannya. Kami mesti menyelesaikan pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk, berkejar-kejaran dengan waktu. Waktu tidak pernah menunggu orang yang lambat, Bi Tah, kataku dalam hati.

"Apa menurutmu kami tidak kalah sibuk dari mereka?" Bi Tah merasa belum puas. Dalam kalimat Bi Tah itu aku seolah mendengar suara lain: Sama saja, kami juga sedang ingin melaju, tapi kami masih bisa menyempatkan diri agar tetap menjadi manusia.

Aku nyaris menumpahkan teh di dalam cangkir ketika itu. Mendadak bayangan orang-orang serupa patung kayu berseliweran di depan mataku. Pagi-pagi, sepasang anak berpakaian seragam sekolah dengan cepat melompat ke dalam mobil, membuatku tidak benar-benar tahu jenis seragam sekolah tingkat apa yang mereka kenakan, apalagi pandanganku juga dihalangi hujan. Begitu juga ayah dan ibu mereka, dengan ketergesaan yang sama menutup pintu mobil. Mereka pun segera menghilang dari halaman rumah itu, untuk seharian. Tanpa meninggalkan bekas yang bisa diingat, kecuali betapa mereka benar-benar tergesa, sehingga sama sekali tidak ada satu alasan saja yang membuat orang berpikir kalau mereka keluarga yang hangat.

Hampir semua penghuni perumahan ini sama saja. Aku tidak pernah melihat mereka tersenyum satu sama lain saat secara kebetulan mereka keluar dari pintu rumah. Kalau saja aku bisa melihat tubuh kaku mereka dari dekat, aku pasti dapat mengenali serat-serat halus serupa serat kayu di wajah, kulit tangan atau kaki mereka yang membuat mereka benar-benar mirip dengan patung kayu koleksi kakekku. Bagaimana bisa orang hidup sedingin itu? Demikian yang dirisaukan Bi Tah. Dan entah karena terbawa suasana hati Bi Tah, aku ikut-ikutan gelisah pagi itu.

"Tapi tenang saja. Jangan khawatir. Keadaan di sini tidak seburuk yang kaulihat. Seperti kataku, kami—para pembantu di sini—selalu menyempatkan diri untuk saling bertemu di tengah kesibukan kami mengurus rumah." Bi Tah sudah tersenyum meskipun aku tahu hatinya belum lega. Sampai kapan pun, menurut perhitunganku, Bi Tah tidak akan pernah lega lagi karena kehidupan sudah melemparkannya ke tempat dan waktu sudah berbeda dari yang ia pikirkan mengenai seharusnya orang-orang yang hidup berdampingan.

Tentang para pembantu yang dimaksudkan Bi Tah itu, tentu aku sudah mengetahuinya sejak hari pertama kedatanganku. Setelah majikan berangkat kerja, anak-anak pergi sekolah dan hujan perlahan berhenti turun, mereka akan berkumpul ramai-ramai mengelilingi gerobak tukang sayur. Tidak jarang kikik mereka terdengar olehku yang duduk di ruang tengah, yang diam-diam memerhatikan semua situasi di lingkungan baru ini. Aku seorang novelis, terbiasa ‘membaca’ apa-apa yang ada di sekelilingku, itu yang tidak Bi Tah tahu. Seandainya pun kukatakan, ia tidak akan sepenuhnya mengerti pekerjaan macam apa itu. Yang Bi Tah tahu aku teman baik majikannya yang akan tinggal di sini selama temanku itu pergi ke luar negeri. Atau paling tidak sampai aku merasa harus pergi lagi.

Tapi, sekali lagi, ada yang terlewat dari perhatianku selama ini. Sebab itu, sungguh, aku tidak sabar menunggu senja datang, sembari berharap hujan terus turun. Aku ingin kembali merasakan bagai duduk di bangku penonton atau berdiri di hadapan lukisan yang besar, lalu aku terhisap ke dalamnya.

***

INILAH senja yang kutunggu itu. Hujan masih turun, cukup deras. Aku duduk menghadap jendela kaca yang kubiarkan terbuka dari pagi tadi. Dadaku cukup berdebar. Debar yang sama persis saat aku menunggu-nunggu cahaya lampu muncul di atas panggung, tanda pertunjukan siap dimulai.

Kemudian lampu itu pun menyala bersamaan dengan terbukanya jendela besar di lantai dua rumah seberang sana. Tiga orang anggota keluarga segera berdiri sejajar di depan jendela itu. Salah seorang dari mereka, seorang anak laki-laki, melongokkan kepala sedikit keluar dari kusen jendela, sementara dengan antusias tangannya berusaha menangkap butir-butir hujan seolah itu baru pertama dilakukannya. Aku mengusap mata. Aku bergumam tak jelas, berkali-kali.

Dengan cepat lampu-lampu lain ikut menyala. Aku kian berdebar. Sungguh. Ini sempurna sekali. Sekarang aku bisa melihat di kanan-kiri rumah, juga di barisan depan—barisan yang demikian panjang—semua jendela sudah terbuka, dan orang-orang dengan sukacita menikmati hujan. Mereka tertawa, sesekali tangan mereka saling melambai pada tetangga.  Juga ada yang saling bicara dengan orang di rumah sebelah, sedikit berteriak, mengingat suara hujan cukup keras. Wajah mereka, yang kutangkap samar-samar, memancarkan kegembiaraan dan kehangatan yang masih sedikit kuragukan bahwa semua ini nyata (sebab bukankah mereka itu patung kayu?). Ya. Orang-orang menikmati hujan dari jendela. Bukan tiga atau empat orang, melainkan puluhan atau mungkin saja ratusan. Semua ini bagai sebuah dunia dalam fiksi. Bagai tak benar-benar ada, tapi semuanya sedang terjadi tepat di depan mataku. Dan... oh! Sekarang orang-orang itu tidak saja duduk atau berdiri di dekat jendela seperti kulihat senja kemarin, melainkan satu demi satu keluar dari jendela itu seakan tubuh mereka seringan kapas. Mereka terus melangkah, saling menuju secara terburu. Setelah bertemu dengan cepat mereka menabrakkan diri satu sama lain (bayangkan saja adegan laron yang menabrak cahaya, begitulah cara mereka melakukannya). Tubuh-tubuh yang bertabrakan itu segera menjadi pecahan-pecahan hujan yang sangat tipis dan hilang perlahan—menyisakan malam yang makin hitam.

Aku tidak tahan. Cepat kuambil handphone. Kucari nomor sahabatku secara terburu.

"Hello, Tita...," sambut Mauri terdengar gembira.

"Senja ini aku sedang menghadap jendela, Mau, dan aku melihat...."

Mauri tertawa renyah. Tawa yang lama-lama membuatku merinding, ngeri. Membuatku tak kuasa berkata apa-apa lagi, bahkan saat kudengar ia mengatakan sesuatu, lalu memanggil namaku dua kali dengan nada seru.

Setengah berlari aku turun ke lantai bawah. Bi Tah kutemukan menonton televisi di ruang keluarga, tengah tertawa-tawa sendirian, tidak menoleh saat kupanggil berulang-ulang. Perasaanku makin tidak keruan. Dengan cepat aku menuju pintu utama yang terbuka, dan—di halaman  rumah barisan depan—mataku segera membentur mata merah senja—mata para pembantu yang menatap amat licik.

Tidak menunggu lama, tubuhku sudah menjadi patung kayu. n

Sumatera, 11-12


Lampung Post, Minggu, 5 Agustus 2012