Sunday, April 29, 2012

Sebelum St. Andrews, Malam Nanti

Cerpen Sungging Raga


SEBELUM St. Andrews, malam nanti, telah kutaburkan seribu alarm di langit Birmingham yang bersalju untuk memastikan bahwa wajahmu adalah kenyataan, seperti lalu-lalang kenangan di sela pertokoan, seperti ruap aroma makan malam yang terlempar dari sudut-sudut restoran. Dan pastikan gaunmu bisa merancang zona waktu, sebab pertemuan kita adalah estafet perjalanan, etape-etape terpisah dari tempat-tempat yang telah lama diam.

Sebelum St. Andrews, malam nanti, udara akan bersisik di kulit jaketmu, tepat 20 menit setelah kau keluar rumah, menyusuri trotoar penuh percikan lampu yang saling memandang tanpa gerilya. Dan kau mungkin akan bersin ketika tiba di perempatan pertama. "Rasanya ada yang sedang membicarakanku," gumammu, seperti mengingat kembali dongengan orang tua. Kau menengadah pada malam, lalu bintang seakan lari dari sudut-sudut matamu. "Mungkin aku hanya kurang istirahat," pikirmu lagi.

Maka sebelum St. Andrews, kau bisa saja mampir ke sebuah toko bunga, membayangkan simbol-simbol tertentu yang nanti kau tafsirkan sendiri, seikat Gerbera merah mungkin bagus untuk malam ini, bukan? Tapi penjual bunga diam saja, enggan memberimu nasihat, barangkali ia lelah karena hampir setiap pembeli bunga datang dalam keadaan mereka tak tahu filosofi bunga. Jadi, kalau kau tak datang ke toko bunga, berarti kau bisa saja duduk sejenak di toko roti yang kau gemari sebagai tempat untuk melamun dan menulis puisi, dan kau bayangkan dingin menyeretmu ke sudut ruangan itu,  menggigit roti dengan perlahan, seperti tempo yang lambat dan rentan tanda baca. Dari balik kaca, kau lihat orang-orang berpasangan, lelaki dan wanita berjalan beriringan, kaus mereka sama, bergambar sosok yang bisa disatukan. Kau tertawa, tentu ada tahun-tahun semacam itu tersimpan dalam pikiranmu. Tahun yang mengeras, namun tak pernah bisa dimakamkan.

Malam nanti, kita mungkin hanya satu dari setumpuk janji di St. Andrews, seperti kemesraan periodik, kita berjanji untuk bertemu di dekat halte yang dinding sandarannya bergambar Mickey Mouse, gambar yang telah lusuh, hilang sebagian wajahnya. Dan telah kita siapkan acara kecil di situ, "Aku akan tersenyum dan menatap matamu pada jam sekian, detik sekian." Lalu kau merevisinya, "Tidak, tidak. Itu bagianku. Aku akan memandangmu sampai sekian detik sebelum salju turun pertama." Ya, ya. Kita berdebat tentang bagaimana kebahagiaan itu dibagikan sama rata, seperti salju yang di beberapa bulan terakhir seperti menjelma selaput keheningan untuk sekujur Birmingham.

Di saat yang sama, kau bilang ini bukan kencan. Aku setuju. Ini hanya restrukturisasi kenangan, ketika orang berkumpul di St. Andrews, dan mobil berbaris di ambang kota, lanskap kita pun menyempit sampai ke sudut gelap terakhir tempat orang-orang suka berciuman kalau sedang tak sakit kepala. Kau tentu membayangkan kita sepasang kekasih yang konyol, yang kebahagiaannya melebihi pertandingan final Piala Carling antara Arsenal melawan Birmingham City. Tapi sudah berkali-kali kubilang, kita ini tak lebih dari sepasang buta yang jatuh cinta, kita benar-benar hanya mengandalkan cinta dan suara, tanpa wajah, tanpa tahu bagaimana sebuah senyum bermula.

"Bukan, bukan," tiba-tiba kau menyanggah, "sepertinya kau lupa, kita ini hanya sepasang orang asing yang kebetulan menyukai selera musik yang sama, lalu mendramatisasi segalanya."

Oh, benar juga. Aku ingat, hari itu, di Villa Park, kudengar kau melantunkan lagu akustik Tears yang dinyanyikan Kaisa Saari bersama Band Ensiferum, dan yang mengalun di earphone-ku adalah lagu Kaisa Saari yang lain, yang berjudul Finnish Medley.

"Benarkah? Finnish Medley? Tiga lagu adat Finlandia yang dijadikan satu." Begitu kau bertanya waktu itu.

"Ya."

"Ini sebuah kebetulan."

"Hm, beberapa pertemuan memang diawali kebetulan, tapi semua perpisahan adalah kebenaran. Jadi, sebelum kita menemukan kebenaran, boleh aku tahu namamu, Nona?"

Namun, sebelum St. Andrews, malam ini, kau mungkin tak akan mendengar alunan apa pun, hanya suara kendaraan dan ribuan klakson yang enggan bergeming, yang menyebabkan perasaanmu lebih dulu sempurna ketimbang tubuhmu. Aku tak bisa membayangkan kau datang dalam keadaan kosong, di mana semua cerita telah usai di matamu, dan tubuhmu hanya artefak, serupa prasasti yang tinggal menyisakan sebuah lahan tanda tangan.

Di St. Andrews, kita tentu tak bicara harga tentang sebuah pertemuan, sebab kau paham, bahwa bisa saja kita membatalkan semuanya, dan kita biarkan salju turun di penjuru Birmingham, di sepanjang malam, membenamkan semua pertanyaan dan pernyataan. Mungkin lebih baik kita berdiam di rumah masing-masing, duduk menghangatkan tubuh dekat perapian, lalu saling menelepon hanya untuk mengucap selamat malam.

Memang begitulah yang bisa kuperkirakan. Setidaknya kau pun akan memikirkan hal yang sama. Sebelum St. Andrews, malam nanti, kau selalu mengingatkanku tentang janji yang dipanaskan, yang bisa meleleh, menguap, atau menyublim seperti kamper di celah rak toko pakaian. Atau seperti aroma sarden di atas wajan, ketika kau meneleponku sementara tangan kananmu sibuk menggoreng sesuatu,

"Kau cium baunya tidak? Aku sedang membuat menu masakan baru dari majalah."

"Sejak kapan telepon bisa mengirimkan bau masakan?"

"Ah, yang surealis sedikitlah, pikiranmu terlalu eksak."

"Hm, baiklah, aku bisa mencium harumnya, dan sekarang kita bisa saling menyuapi lewat telepon. Sini, berikan sendokmu."

"Haha. Konyol. Mana ada sendok bisa melewati kabel telepon? Sudahlah, sampai nanti malam ya, di halte bergambar Mickey Mouse."

"Lalu, apa kita akan masuk ke dalam St. Andrews?"

"Hm, mungkin saja, kita akan duduk di tribun terdepan, sambil berharap salju tak cepat turun."

Sebenarnya, aku masih sering bertanya, apakah yang bisa kita banggakan di St. Andrews? Jejak pertemuan kita mungkin akan dengan mudah terlindas mobil yang melaju, terhempas angin yang mengirimkan berita tentang pekat salju.

Aku selalu membayangkan hal terburuk di mana kita akan melewati malam nanti secara dramatis, sehingga setelah itu, kita tak selamanya membutuhkan pembuktian. Semisal sebuah badai salju yang tiba-tiba datang mendahului prediksi para pengamat cuaca. Sehingga kita pun terjebak selama berjam-jam. Sebab kau tahu, mungkin bukan kisah Cinderella yang akan merekonstruksi riwayat kita, bukan juga kisah pernikahan Veikko dengan seekor tikus betina dari Finlandia yang telah lebih dulu ada. Aku membayangkan kita seperti sepasang pohon mapel di tengah Craven Cottage, dua pohon keras kepala yang berdiri bersebelahan, yang selalu mengundang kecurigaan bahwa mereka dulunya adalah sepasang kekasih yang membeku dalam bentuk pohon yang menjulang, tapi kita juga tak mungkin selamanya berada di Selhurst Park, terbius oleh senja yang paling sialan, yang paling dilaknat para kekasih karena mereka selalu menangis saat melihat senja yang amis di sana, sehingga setiap pagi harinya, tisu-tisu berserakan.

"Aku tidak ingin menjadi semua itu... Kau tahu? Di pagi yang hijau, aku ingin menjadi sepotong hati, dan di malam yang matang, aku ingin menjadi seekor burung." Begitu katamu, masih saja mengutip puisi milik Federico Garcia Lorca. Sementara kurasakan hawa termometer kian tajam saja di pelupuk kota Birmingham.

Dan sesaat sebelum tiba di St. Andrews, malam nanti, aku mungkin sudah kehabisan kata-kata, kertas-kertas berisi rencana kecil itu kubuang ke tempat sampah. Aku hanya akan memastikan bahwa kita bahagia, aku akan menatapmu, melihat wajahmu, yang seperti mutiara kaca mendekat padaku, tapi kemudian menjauh lagi, malu-malu seperti lampu kota, yang terbungkus jaring salju.

"Helvetia..."

"Ya?"

"Kau percaya padaku?"

"Apa?"

"Kau percaya padaku?"

"Di St. Andrews. Iya."

"Hmm...."

Dan tiba-tiba langit melemparkan dingin ke dalam ingatan kita. Di kota ini, mungkin kita harus belajar untuk saling mencintai dalam keadaan lupa, seperti saat kita tak tahu untuk apa kita duduk di halte Mickey Mouse yang steril ini, memandang salju pertama yang akhirnya tiba dengan selamat di permukaan St. Andrews. Malam nanti. n

(Kedai Senja, 12-02-4040)


Lampung Post, Minggu, 29 April 2012

Sunday, April 22, 2012

Tukang Pijat

Cerpen Tita Tjindarbumi


PEREMPUAN bertubuh semampai itu memang tak seperti perempuan yang berprofesi sama dengannya. Penampilannya agak berbeda. Dilihat dari bodinya, jelas ia bukan tukang pijat biasa. Penampilannya rapi dengan dandanan yang pasti membutuhkan waktu cukup lama, Tatiek diduganya tukang pijat plus-plus.

Tubuhnya yang langsing dan beraroma menyengat itu, membuatnya sempat berpikir lain. Apa Ijah tak salah panggil?

Sudah berganti-ganti tukang pijat datang ke rumah Ong Liana. Mereka tak ada yang serapi ini dalam berpakaian. Mereka juga tak bertubuh langsing. Tukang pijat langganan Ong selama ini semuanya bertubuh subur. Dan keringatnya asam.

Tukang pijat ini, Tatiek, sempat membuat Ong geram. Sebagai tukang pijat plus-plus dia merasa punya saingan baru. Tubuh sintal Tatiek pasti akan mengalahkan penampilannya, meski masih banyak lelaki yang meneteskan air liur melihat kulitnya yang putih dan lekuk tubuh yang sebetulnya tak seindah bertahun-tahun lalu.

Ong tak hanya menjual keahliannya sebagai tukang pijat plus-plus tetapi juga menyiapkan tungsi*, jamu ala Ong berbentuk Kristal. Kristal-kristal itu yang membuat langganannya, cukong-cukong bertambah vitalitasnya dan berasa melayang saat dipijat oleh Ong. Dengan pelayan extraordinary Ong pun bersedia membawa cukong-cukong itu terbang ke surga.

"Pijatnya pakai minyak saya? Atau ibu punya?" Pertanyaan Tatiek membuyarkan lamunan Ong. Tukang pijat baru itu menatapnya tanpa berkedip.

"Sampeyan pake minyak apa?" tanya Ong agak gelagapan. Padahal sudah jelas dia tidak pernah menggunakan minyak lain. Ong biasa menggunakan minyak zaitun yang konon punya khasiat mengencangkan kulit.

"Minyak biasa, Bu," jawab Tatiek melirik minyak zaitun yang sudah disiapkan Ijah di meja rias perempuan keturunan Tionghoa itu.

Tatiek tak berani banyak bicara. Ia hanya berani menebak-nebak seperti apa perempuan yang akan dipijatnya kali ini. Biasanya, setiap kali memijat, Tatiek sesekali mengajak bicara pelanggannya. Tujuannya supaya mencairkan ketegangan di antara ia dan yang dipijat.

"Tubuh Ibu masih kencang," ujar Tatiek setelah begitu ia mulai menyentuh tubuh Ong. Tukang pijat itu berharap Ong merasa senang dengan ucapannya. Bayangkan, di usianya yang sudah kepala lima masih ada yang bilang tubuhnya masih kencang.

"Ya, tentu. Saya selalu menjaga kesintalan tubuh saya," jawab Ong, tetapi hanya dalam hati.

"Masak sih? Sampeyan bisa saja. Umur saya sudah lima puluh lebih!" jawab Ong dengan suara tertahan. Ia dalam posisi tidur tengkurap. Dalam posisi begitu ia dapat menyembunyikan ekspresi wajah riangnya.

Siapa yang tidak suka dipuja? Ia pun memperlakukan hal serupa pada pelanggan-pelanggannya. Apalagi mereka rata-rata cukong-cukong berduit yang memakai jasanya tak sekadar ingin dipijat. Tetapi diperlakukan lebih. Ong tidak segan-segan memuji setiap lelaki yang dipijatnya dengan kalimat-kalimat yang melambung. Ia juga memuji lelaki berperut gendut yang memakainya demi mengeruk duit sebanyak-banyaknya.

"Koko akan jauh lebih seksi jika mau mencoba jamu istimewa ini," ujar Ong sambil mengelus-elus perut lelaki tambun pemilik showroom mobil terkenal.

Lelaki tambun itu dengan cepat menarik tangan Ong yang halus dan pijatannya lembut membangunkan saraf-saraf sahwat. Lalu sambil membelai-belai tangan Ong laki-laki tambun itu menarik turun tangan halus itu bergeser lebih ke bawah.

Ong memamerkan senyumnya yang paling manis. Ia tahu apa yang diinginkan lelaki tambun itu. Dengan sigap pula ia berdiri dan membelai dada lelaki itu.

"Sebentar, Ko," katanya masih dengan senyum penuh arti.

"Saya cuci tangan dulu. Bau minyak," kata Ong dengan suara manja sedikit mendesah.

Lelaki tambun itu tak tahan, jakunnya bergerak-gerak. Perutnya juga seperti ada gempa. Menjalar sampai ke bawah.

"Please sayang... jangan lama-lama," teriak lelaki tambun itu dengan suara tertahan. Kepalanya berdenyut-denyut terimbas dari saraf-saraf di tubuhnya yang sudah telanjur kesetrum tangan Ong.

Di dalam kamar mandi Ong sengaja berlama-lama. Ia harus melakukan sesuatu agar lelaki tambun yang darahnya sudah sampai otak itu semakin penasaran. Ia harus membuat lelaki itu klepek-klepek sampai akhirnya ia dengan leluasa memasarkan tungsi yang selalu ia selipkan di spon bra yang dipakainya. Lelaki mana yang tidak tergiur dengan aroma tubuh perempuan?

Malam itu Ong berhasil membuat lelaki tambun itu terpesona dengan dirinya. Setelah yakin situasinya aman, Ong memeriksa pintu kamar hotel dengan fasilitas lux yang di-book lelaki tambun itu.

"Koko mau minum apa?" tanya Ong dengan suara manja. Meski usia lelaki tambun itu sudah tak muda lagi, panggilan "Koko" akan jauh lebih mesra dibandingkan "Engkong" atau panggilan lainnya.

Tanpa menunggu jawaban Ong sudah mengeluarkan sebotol air mineral dan membuka gelas yang masih dibungkus rapi dengan kertas bertulis nama hotel. Lelaki tambun itu tidak protes saat Ong menyiapkan peralatan yang akan dia pergunakan untuk mengisap tungsi. Dalam hitungan detik asap sudah memenuhi ruangan kamar hotel. Aromanya harum.

Lalu dengan manja Ong membimbing lelaki tambun itu mengikuti gerakannya memegang alat-alat tersebut. Dalam hitungan menit lelaki tambun itu merasa badannya lebih segar. Imajinasinya melayang terbang membayangkan tubuh molek Ong yang hanya menggunakan celana pendek dan kaus tali satu tanpa lengan. Sengaja Ong membiarkan tali kutangnya balapan dengan tali kaus. Lelaki tambun itu dengan leluasa dapat melihat kedua bukitnya yang membusung.

Ia sudah tak tahan. Sementara Ong masih mengulur waktu. Menunggu saatnya yang tepat untuk menyebutkan apa yang dia mau dari lelaki itu. Menunggu lelaki itu tak kuat menahan gelisah syahwatnya. Menunggu lelaki itu mengeluarkan buku cek dan tanpa diminta menuliskan sejumlah angka yang dahsyat dan bisa ia cairkan dengan segera. Setelah itu baru memberikan servis istimewa pada lelaki tambun yang sudah di ambang batas klimaks.

Ong tahu pasti dengan tungsi hampir semua lelaki tak tahan menahan libidonya yang membuat seluruh sendinya bergetar. Membuat saraf-saraf otaknya memicu imajinasi semakin meliar. Sementara Ong juga tahu, tak banyak lelaki yang bisa bertahan lama di atas ranjang jika dalam pengaruh jamu gila itu. Ia sangat tahu dan berpengalaman dalam soal yang satu ini.

Jika tidak....

"Maaf...," tiba-tiba suara Tatiek membuyarkan lamunan Ong. Tangan perempuan tukang pijat itu sudah sampai di bagian pantatnya. Di titik di mana banyak lelaki yang tergila-gila pada miliknya itu. Ong selalu menjaga agar pantatnya tetap berisi dan kenyal. Sehingga setiap lelaki yang memakai jasa pijat plus-plusnya akan gemas saat tangan mereka berada di bagian itu berlama-lama.

"Saya selalu pingin punya bodi seperti ibu," ujar Tatiek kalem. Tangannya tidak memijat, tetapi mengelus. Ong ingin marah tetapi cepat diturunkan emosinya.

"Harus rajin fitness, Mbak."

"Gak nututi duitnya, Bu," jawab Tatiek tanpa sadar menekan pantat Ong dengan tenaga kudanya. Ong kaget karena kesakitan.

"Maaf Bu... kekerasan ya?" Tatiek nyengir. Ia iri melihat pantat milik perempuan setengah tua itu masih kencang. Pantat dia enggak ada apa-apanya.

"Saya dulu memijat dari hotel ke hotel. Ngeladeni siapa saja yang memanggil," ujar Tatiek tanpa ditanya. Perempuan pemijat itu lalu bercerita. Ia kawin cerai sudah tiga kali. Suaminya yang pertama cemburu berat jika ia menerima pijat panggilan ke hotel-hotel. Tatiek tak bisa menolak tawaran itu karena hanya dengan memijat ia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu pun pas-pasan. Suaminya sejak di-PHK dari mandor bangunan, sampai mereka punya anak belum juga mendapat pekerjaan. Tepatnya tidak mau mencari kerja. Malas.

Ia hanya mengantar Tatiek ke hotel tempat di mana sudah menunggu pejabat yang sedang dinas luar kota. Tatiek bisa menarik hati pejabat itu. Setiap bulan sekali pejabat itu entah urusan apa selalu menghubunginya dan memintanya datang ke kamarnya.

"Saya enggak tahan dengan sikap suami. Lalu saya minta cerai dan menikah lagi."

Ong membiarkan Tatiek bercerita tanpa menyela.

Lalu Tatiek bilang, suami keduanya tidak cemburuan. Cenderung mendukung pekerjaannya. Semakin banyak yang memanggilnya ke hotel semakin banyak juga uang yang dibawa pulang. Semakin banyak juga jatah yang ia minta dari Tatiek. Kerjanya mabuk-mabukan.

"Saya enggak tahan. Setiap pulang dalam keadaan mabuk. Bikin rusuh kalo keinginannya begituan tidak diladeni. Saya malu dengan tetangga yang suka ngupingin keributan kami."

"Lalu?"

"Ya dengan terpaksa saya ladeni meski rasanya mau muntah setiap mulutnya mencium bibir saya. Bau minuman! Saya juga sudah capek, Bu... kan baru ngeladeni tamu saya yang pejabat itu. Dari pejabat itu saya dikasih tips lumayan banyak. Pulang bisa naik taksi, enggak ngojek atau naik angkot!"

Ong batuk-batuk. Tidak ada bedanya denganku, pikirnya. Tukang pijat rumahan ini pun menerima panggilan dan melakukan hal sama seperti yang Ong kerjakan. Perbedaannya, jika Tatiek mendapatkan uang tambahan dari jasa pijat plus-plus awalnya karena terpaksa dan memang hanya itu cara dia mencari uang untuk hidup, sementara Ong—dia harus memasarkan barang dagangannya yang hasilnya jauh lebih besar dari sekadar menjual desah dan lekuk tubuhnya.

Sebagai bandar narkoba ia tak bisa melakukan transaksi bisnisnya secara terang-terangan. Perjalanan hidup rumah tangganya berantakan. Keluarga suaminya tak pernah menghargai keberadaannya sebagai istri anak mereka. Bahkan karena ia berasal dari keluarga miskin, setiap hari hanya hinaan dan hujatan saja yang ia terima. Suaminya pun tak pernah membelanya. Ia terlalu takut tak mendapat warisan keluarga. Sementara dalam perkawainannya Ong sudah telanjur punya anak. Ia tak punya pilihan lain kecuali membesarkan hatinya dan melakukan sesuatu yang dapat mengangkat harga dirinya.

Dunia narkoba menjanjikan itu. Dengan daya tarik wajahnya yang cantik dan postur tubuhnya yang proporsional ia melaju pesat di komunitas pemakai hingga ke pucuk perbisnisan barang haram itu. Sampai ia menjadi perempuan simpanan seorang bos besar yang menjadi pohon uang baginya. Ia mengubah penampilan. Untuk mengelabui petugas, ia rela menjadi tukang pijat panggilan. Dengan profesi itu ia lebih leluasa memasarkan barang-barang haram itu.

Pijatan Tatiek sebenarnya tak enak. Badannya malah sakit dan memar karena tangannya menekan sekuat tenaga kuda. Ia ingin menghentikan pijatan perempuan itu. Tetapi Ong membatalkan. Sebagai sesama tukang pijat tidak boleh saling menyinggung perasaan. Ia  membayangkan bagaimana rasanya jika saat memijat tiba-tiba disuruh berhenti dan marah-marah. Meskipun hal tersebut tak akan pernah terjadi. Cara memijatnya berbeda.

Ong menunggu tekanan tangannya melemah. Tatiek sudah berhenti bercerita. Dia sudah lelah. Ong menunggu sampai Tatiek benar-benar menghentikan gerakan tangannya. Di benaknya sudah ada rencana akan memberikan bayaran lebih banyak dari tarif biasa. Setidaknya setelah mendengar cerita Tatiek tadi Ong merasa lega. Ternyata tak hanya dia yang menjadi tukang pijat gadungan. Ia merasa punya teman. n


Lampung Post, Minggu, 22 April 2012

Sunday, April 15, 2012

Hari Tenggelamnya van der Decken

Cerpen Guntur Alam


BANYAK cerita yang beredar tentang tenggelamnya kapal yang dikomandoi Kapten Hendrik van der Decken di Tanjung Harapan, 1641. Kapal dagang VOC yang bertolak dari Batavia dengan membawa rempah-rempah menuju Holland. Dari sekian banyak cerita yang ada, semua seolah sepakat kalau peristiwa naas itu akibat ulah Kapten Hendrik van der Decken yang bersekutu dengan iblis. Menentang kehendak langit dan bertingkah sombong akan dapat menaklukan badai hebat yang menghadang di mukanya, hingga ia menerima kutukan dan menjadikan kapalnya sebagai kapal hantu legendaris: Flying Dutchman.

Ah, seandainya mereka tahu. Ya, seandainya mereka tahu kalau bukanlah itu penyebab utama tenggelamnya kapal Var der Decken. Ooh, apa kisah yang telah melegenda itu akan hilang bila aku menceritakannya? Entahlah, pastinya mereka akan tetap beranggapan, kemampuan Kapten Hendrik van der Decken yang bisa mengarungi lautan lebih cepat dari jadwal yang ada antara Batavia dan Holloand akibat persekutuannya dengan makhluk gaib akan tetap ada di benak mereka. Namun, itu tak akan mengurungkan niatku untuk menceritakan kisah tenggelamnya kapal Van der Decken ini sesuai versi seorang awaknya yang selamat.

Awak yang selamat? Ahai, tentu kau tak akan menduga ini. Ya, aku dapat menerkanya. Kau pasti terperanjat bila mengetahui kalau ada seorang awak kapal Van der Decken yang selamat dari petaka itu. Tersebab, cerita telah tersiar ratusan tahun lampau, kalau kapal itu hilang beserta seluruh isinya. Lalu, darimana aku tahu ada awak yang selamat dan mendapat cerita tentang kejadian naas itu? Nanti, nanti aku kisahkan bagian itu. Pertama-tama, marilah kita simak cerita yang diuraikan awak itu kepadaku.

***

SAAT bertolak dari Batavia, para awak kapal sudah mendapat firasat tak baik. Bukan. Bukan karena mereka sudah menduga akan mengalami nasib naas. Bukan itu. Perihal badai, mereka kerap kali menemukannya. Telah puluhan kali mereka bertempur dengan badai, terlebih di Semenanjung Harapan itu. Firasat buruk yang menghantui seluruh awak kapal adalah percekcokan antara kapten mereka dengan istrinya, Mevrouw Bernard. Ya, nama asli Kapten Hendrik van der Decken adalah Bernard Fokke.

Sebenarnya, perang dingin antara sang kapten dan istrinya telah dimulai sejak kapal hendak berlayar dari Holland menuju Batavia. Telah berkali-kali perempuan itu memaksa Kapten Hendrik van der Decken untuk mengizinkannya mengikuti pelayaran dari Holland menuju Batavia. Ah, tentu tak ada satu pun kapten kapal di muka bumi ini yang hendak meluluskan permintaan seperti itu. Pasti sangat merepotkan. Terlebih Kapten Van der Decken tahu, keinginan istrinya hanyalah sebuah ambisi yang hendak dipuaskan. Perempuan itu hanya ingin menghabiskan ratusan gulden untuk berburu barang mewah yang kerap dipamerkan kawan-kawannya. Namun, entah apa yang terjadi, tak seorang awak pun yang tahu, tiba-tiba saja pada pelayaran kali ini Kapten Van der Decken meluluskan permintaan istrinya itu, walau semua diawali percekcokan seperti biasa. Dan para awak kapal hanya terngangah melihat perempuan itu ada di kapal.

Inilah petaka yang ditakutkan seluruh awak kapal: mereka takut, Mevrouw Bernard akan mengendus rahasia terbesar kapten mereka. Ah, tak ada yang berani membayangkan itu semua. Bagaimana rupa bila perempuan mandul itu tahu kalau di Batavia, Kapten Hendrik van der Decken memiliki seorang istri dan putri? Ah, betapa itu sangat mengerikan. Tentu Mevrouw Bernard akan mengamuk. Lebih-lebih bila perempuan itu tahu jika madunya seorang perempuan pribumi!

Mungkin. Mungkin memang sudah tercatat dalam garis semesta, ketakutan para awak kapal itu terwujud. Tapi, tidak ada yang menduga kalau kenyataan yang ada jauh lebih mengerikan dari yang mereka bayangkan.

Beberapa hari sebelum kapal mereka bertolak dari Batavia menuju Holland, petaka itu datang. Perempuan pribumi yang menjadi istri kedua Kapten Hendrik van der Decken meninggal dunia. Saat itu memang tengah terjadi wabah malaria di Batavia. Telah puluhan orang yang meninggal dunia, salah satunya istri kedua Kapten Hendrik van der Decken. Dan masalah dimulai, tak ada yang mengurus putri sang kapten. Gadis belia yang baru menginjak usia empat belas tahun itu tak memiliki sesiapa di Batavia. Ah, sebuah pilihan yang berat. Akan lain soal bila Mevrouw Bernard tak ikut pelayaran ini. Tentu Kapten Hendrik van der Decken akan mudah menyusupkan putrinya itu dan menyerahkan pada ibunya di Holland. Andai, andai saja kondisinya seperti itu, tentu cerita ini akan berbeda.

Sialnya, Mevrouw Bernard mengendus semuanya. Tentulah dapat ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Perang itu meletus seketika. Mevrouw Bernard seperti singa terluka, ia mengamuk dan mengeluarkan sumpah serapah. Kapten Hendrik van der Decken berusaha tak terlalu menggubris. Itu bisa dipahami dari sikapnya yang menenggak alkohol lebih banyak. Sementara itu, Mevrouw Bernard mengancam akan mengakhiri ikatan mereka sesampai di Holland nanti.

***

TAK ada yang menduga. Sungguh, tak ada yang menduga kalau Mevrouw Bernard begitu terluka dengan pengkhianatan yang dilakukan Kapten Hendrik van der Decken, hingga perempuan itu menyusun siasat yang demikian keji.

Kapal Van der Decken berlayar seperti biasa, sesuai jadwal yang telah ditetapkan syahbandar di Pelabuhan Batavia. Pada mulanya, tak ada yang terjadi. Perang dingin itu seolah redam. Para awak beranggapan telah terjadi gencatan senjata. Hal itu membuat para awak menghela napas lega. Hingga petaka itu terkuak.

Entah, iblis mana yang menyusup di hati Mevrouw Bernard hingga pikiran keji itu terlintas di benaknya. Tak ada yang menduga; para awak, apalagi Kapten Hendrik van der Decken. Benar-benar suatu siasat keji yang membuat orang akan menganggap ini adalah mimpi buruk yang teramat nyata.

Siasat keji apa?

Ah, aku tak kuasa mengisahkan bagian ini. Bagian yang sesungguhnya menjadi awal petaka itu. Bagian yang menjadi pangkal tenggelamnya kapal Van der Decken. Baiklah, akan aku ceritakan bagian itu dengan sangat pelan, tersebab bila mengingat bagian ini, aku masih kerap didera ngeri.

Subuh itu, ketika langit di atas laut masih temaram. Tiba-tiba saja putri Kapten Hendrik van der Decken berjalan tertatih-tatih ke tempat sang kapten. Wajahnya pucat, lutut gemetar, dan pakaian yang kusut masai. Tentulah sang kapten mengeryitkan kening begitu melihat penampilan anak gadisnya. Apa yang terjadi? Pasti itu yang terbersit di benaknya kala itu. Lalu, kisah keji itu teurai dari bibir gadis belia itu.

Katanya, semalam ia baru saja dijual ibu tirinya kepada beberapa saudagar Belanda yang jadi penumpang di kapal ini. Dan para saudagar itu telah menggumuli tubuhnya semalaman.

Ah, dapat kau terka. Merah padam wajah sang kapten. Serta-merta ia berteriak seperti kesetanan mencari istrinya. Seperti yang dapat ditebak, Kapten Hendrik van der Decken mengamuk hebat. Mevrouw Bernard menjadi bulan-bulanan dalam amukan itu. Puncaknya, ia menembak mati istrinya itu dan beberapa saudagar Belanda yang telah menggumuli anaknya, lalu membuang mayat mereka ke laut.

Pemandangan mengerikan itu membuat kapal mencekam. Seluruh awak dan penumpang senyap. Tak ada yang berani membuka suara. Kapten Hendrik van der Decken membaluri dirinya dengan alkohol. Suasana kapal makin tegang ketika seorang awak mengatakan kalau anak gadis sang kapten jatuh sakit. Gadis itu tak sadarkan diri dan darah masih terus mengalir dari selangkangannya. Tentu saja, berita itu kian membuat Kapten Hendrik van der Decken kacau. Ia menyeru seluruh awaknya bekerja keras agar kapal dapat melaju lebih cepat, menggapai Semenanjung Harapan dan mendarat di pelabuhan yang ada di sana untuk menemukan dokter bagi putrinya.

Ketika kapal Van der Decken mendekati perairan Tanjung Harapan, mendadak cuaca yang tadi cerah berubah. Seolah ada tangan-tangan gaib yang berusaha menjegal keinginan sang kapten. Langit mendadak gelap, angin kencang tiba-tiba saja bergulung dari arah Tenggara. Sekejap saja badai hebat telah mengamuk. Kapal Van der Decken terjebak dalam badai dahsyat.

Awak kapal panik. Badai ini terlalu hebat untuk ditaklukan. Tapi, Kapten Hendrik van der Decken tak perduli. Ia tetap tak memerintahkan para awak untuk menggulung layar. Ia masih saja berusaha menyisir laut, menaklukan terjangan angin dan ombak yang kian menggila. Dan tiba-tiba saja, terjangan angin yang keras merobek kain layar. Kapal Van der Decken kian terombang-ambing di tengah badai. Para awak dan penumpang menyeru kepada sang kapten untuk menurunkan perintah menggulung layar dan membiarkan kapal terombang-ambing sampai badai reda. Tapi, Kapten Hendrik van der Decken tak menggubrisnya. Di pelupuk matanya, terbentang wajah putrinya yang tengah sekarat. Ah, gadis itu adalah jantung hatinya. Seorang anak yang bertahun-tahun ia dambakan. Ia tak ingin kalah dari badai.

"Aku akan menaklukan badai dan melewati semenanjung ini walaupun hari kiamat yang menghadang!"

Teriakan Kapten Hendrik van der Decken itu tentu saja meremangkan bulu kuduk seluruh awak kapal. Lepas ia melontarkan kemarahan itu, angin kian mengganas, ombak menggila dan tiba-tiba saja ombak besar menghantam kapal itu. Semua awak terpelanting di geladak, lambung Kapal Van der Decken robek! Penumpang histeris, berebutan menuju sekoci. Sekali lagi, ombak besar datang bergulung-gulung. Orang-orang panik hendak menyelamatkan diri. Kapten Hendrik van der Decken tak peduli, seolah menyosong maut, ia menerjang ombak besar itu. Dan Kapal Van der Decken lenyap ditelan ombak.

***

AKU tahu, mungkin tak akan banyak yang percaya akan ceritaku ini. Dalam benak mereka, tentu telah terpatri cerita tentang kapal Van der Decken yang menjelma menjadi kapal hantu paling misterius itu. Ah, itu tak akan mengurungkan niatku untuk menceritakan versi awak Van der Decken yang selamat. Karena awak kapal yang selamat itu adalah leluhurku, satu-satunya pribumi yang bekerja di kapal Van der Decken, yang bertugas membersihkan seluruh geladak.

Saat badai itu, ia terlempar dan terampung di atas papan serpihan Van der Decken. Lalu, beberapa nelayan menemukannya di perairan Tanjung Harapan. Ia tak pernah sanggup untuk menceritakan kejadian mengerikan itu, bertahun kemudian ia bisa kembali ke Batavia dengan menumpang kapal dari Holland. Kisah ini hanya ia ceritakan kepada keturunannya, menjadi kisah temurun yang diuraikan. Dan hanya keturunannya pulalah yang tahu, kalau dewi laut yang disebut-sebut orang dalam mitos Van der Decken bernama Calypso sesungguhnya hanyalah bohong belaka, sebab Calypso adalah nama putri semata wayang Kapten Hendrik Van der Decken.

C59, 16-17 Oktober 2011.


Lampung Post, Minggu, 15 April 2012


 

Sunday, April 8, 2012

Bulan Bulat

Cerpen Tandi Skober


DIPERMAKLUM dengan hormat bahwa saya ini orang terhormat, terpandang dan terdengar. Kehormatanku ini disebabkan saya memiliki kemaluan—abstraksi dari /malu/ diberi awal /ke/ dan akhiran /an/—yang mana amat sangat luar biasa. Menjadi tanda citra yang kerap dijadikan cerita penduduk negeri. Bahkan seorang penyair istana tak segan mengulum kemaluanku untuk lahirkan syair bersperma tanah air:

Kaki ketiak kehilangan sayap sayap angin

dan tandi mencat langit,

buaya biru berburu bulan bulat.


Saya tepuk tangan. Penyair itu saya kasih proyek Wisma Kemaluan senilai Rp100 miliar. Sementara sang esais yang mengangkut angka-angka matrik sebagai pertanda Tandi itu piawai hamengku Indonesia langsung saya kasih kursi putar berselaput emas monas, bergerigi gigitan cinta ratu kecantikan. Hmm, sang esais menangis terharu di ujung batang kemaluanku. Terus? Ia bertutur di media televisi, "Kelak, Tandi layak menjadi Sekjen PBB. Sebab dari tiap butir keringatnya mengalir kecerdasan budaya Nusantara."

Itulah saya! Selama delapan tahun, kemaluanku menjadi bulan-bulan bulat kemaluan Indonesia. Tapi, ini jadi aneh. Ada isyarat langitan mencuat dari meja marmer di ruang Istana saat penandatanganan naskah berita acara pelantikan pejabat negeri. Marmer dari abad ke-16 itu pecah! Saya terkesiap kamitenggeng.  Kemaluanku mengeret dan ritual kenegaraan berjalan tak elok.

Adakah ini sinyal kewibawaan negara terpuruk di ruang tak berbentuk. Tidak! Ini hanya ilusi. Tapi oh tidak, ini bukan ilusi. Saya lari ke kloset. Telanjang! Astaga, kemaluanku bagai seekor cacing yang melingkari hutan hantu negarabatin. Sementara kaki angin dari kisi-kisi jendela kabarkan suara purba yang pedih, "Yen wis tibo titiwancine, niki sing disebat nagari pager doyong apa jare gebrage bae." Pada titik tertentu, ketika pilar rapuh maka yang tersisa adalah negara gagal.

"Nagari Pager Doyong itu bernama Indonesia, Yang Mulia,” ungkap esais berwajah cakep bernama Skober, ”Dengan indeks kumulatif 83,1 yang diposisikan Majalah Foreign Policy dan Yayasan Fund for Peace maka nagarabatin yang mulia layak disebut sebagai negara gagal (failed states)."

"Bah! Pukimak kamu Skober!"

"Yang mulia, ini ditandai dengan adanya banyak hal tentang luka kultural yang diciptakan para penguasa bergincu culas," kembali Skober bersuara risau, "Suara bruk saat marmer pecah itu isyaratkan suara risau yang tuturkan tentang ilalang kering. Ketika kemarau tiba, dengan sedikit percikan api, Indonesia hanya tinggal  asap, abu, dan debu di ruang peradaban tanpa jenis kelamin. Simak di sudut-sudut ruang yang muram selalu saja ada amarah yang tumbuh dari akar perseteruan antarelite (factionalized elites). Yang malang, tiap kali ada perseteruan antarelite, maka yang terkalahkan selalu saja anak-anak akar rumput. Rakyat tiarap, megap-megap!"

Dada saya terasa sesak. Saya panggil Mak Erot! Saya tahu semua akan kembali menjadi normal saat kemaluanku berereksi bagai naga raksasa yang memutari Nusantara. Telanjangku di atas brandkar di bawah cahaya matahari membuat Mak Erot meyakini semua akan kembali pulih. “Kemaluan yang mulia akan saya kembalikan pada kemuliaan sang kemaluan,” ucap Mak Erot.

Hmm, saya tersenyum. Bulan bulat kemaluan menapaki takdir yang ia ciptakan sendiri. Tapi lagi-lagi yang saya dengar suara tentara lapar! Mak Erot lari! Lampu padam! Dan pukimak! Skober lagi-lagi bercerita tentang negara gagal, "Telah sirna tanpa karena nilai, etika dan tata krama demokrasi. Padahal hal yang tiga itu, itulah hakikat dari kedaulatan rakyat. Nilai bisa dimaknai sebagai piranti akal. Etika bergerak di ruang nurani. Nafsu menari di pusaran tata krama. Sinergisitas nan tiga itu, holistisme nan tiga itu, masih jauh panggang dari api."

***

31 April 2012, pukul 06.21 WIB,  gerimis tipis jatuh satu-satu. Dan di sebuah surau di tepi pantai Juntinyat, Indramayu, saya pahat sisa sunyi hari kemarin. Saya ditemani Skober. Ia telah menyelamatkan saya dari amuk anarki ketika Jakarta ditenggelamkan unjuk kemaluan. Kami berdua baru saja salat istikharah.

Skober sodorkan teh tubruk bergula batu. Saya tersenyum. Saya seruput teh tubruk, "Jiwa manusia Jawa cenderung kosmologia," tuturku, "Itulah jiwa saya. Saya kudu mampu merekonstruksi keserasian jagad gede dan jagad cilik sebagai konsep dasar dalam memangku kekuasaan, sekaligus dalam mendaur-ulang tata-atur hukum di republik ini. Tapi saya...."

"Maaf, Paduka Presiden, apakah jiwa kosmologia ini juga mengindentifikasi rakyat laksana cangkul dan rerumputannya, keris dengan sarungnya, dan lulur sekar taji dengan kulit kuning langsat para selirnya?" potong Skober.

"Bisa jadi ke arah itu, Skober. Menjadi presiden berarti memasuki areal pengembaraan metafisika sekaligus kegelisahan kreatif manunggaling dialektika rakyat-presiden! Presiden dan rakyatnya nyaris tak miliki batas pemisah. Inilah yang disebut sinergi kosmologia kodrat alam, yaitu maruta (angin), bumi, angkasa, surya, kartika (bintang), dan dahana (api)," tuturku. Sesaat saya memandang lurus kaki langit malam. Ada kedip bintang menembusi rintik hujan. "Kamu suka gamelan Jawa, Skober?"

"Sendika, Paduka..."

"Presiden dan rakyat adalah bagian dari orkestra gamelan Jawa. Presiden sebagai Pamurba, yaitu rebab dan gendang, sementara rakyat adalah Pamangku, yaitu saron dan gender. Di dataran ini kemanunggalan Pamangku dan Pamurba akan alirkan suara keserasian dan keselarasan sebuah kekuasaan. Saat di luar istana, begitu banyak suara rakyat antikenaikan harga BBM, saat itulah diperlukan keserasian orkestra gamelan kekuasaan. Saya harus masuk roh keserasian itu. Mustahil saya membentuk alur alun bunyi yang lain."

"Tapi yang mulia gagal..."

Saya mengangguk. Hujan kini mulai deras. Saya tersenyum. "Kamu lihat rintik hujan itu, Skober?"

"Siap sendika yang mulia..."

"Bagi manusia Jawa, itu adalah sejatining pertanda restu keberpihakan jagad gede dan jagad cilik dalam memanunggalkan presiden dan rakyat," tutur lirih Paduka Presiden. "Hujan itu akan alirkan air hingga ke samudera luas. Di posisi inilah seharunya saya berada. Saya harus berimam pada samudera yang menampung multikonflik tanpa alirkan ombak dan riak. Tapi itu tidak saya lakukan pada detik-detik menentukan 31 April 2012."

"Agh, andai paduka tidak becermin pada Deng Xiaoping? Deng menempatkan semua hal dalam satu tangan. Negara Integralistik. Artinya, kedaulatan rakyat itu nonsens. Tak ada itu, yang ada adalah sejatining kedaulatan negara yang terpusat pada satu tangan, yaitu raja. Mengutip pikiran pencetus Demokrasi Asia, Chan Heng Chee, bahwa penerapan demokrasi liberal ke dalam praktek-praktek negara-negara Asia adalah pekerjaan sia-sia belaka."

"Chan Heng Cee tak selamanya benar, Skober. Meski demokrasi liberal sebagai anak nakal sejarah pada awal pertumbuhannya, akan tetapi perenung demokrasi memosisikannya sebagai kebenaran hakiki. Meski demikian, kebenaran tidak selamanya bulat dan utuh. Simak, tiap kali kesulitan ekonomi menelikung rakyat akar rumput, selalu saja mereka merindukan hadirnya “hari kemarin”. Di sini, ada tangan tersembunyi. Ada partikel aneh yang tidak bisa tercemar dan mengkristal dalam keabadian. Ada perawat-perawat demokrasi yang tak pernah letih mensterilkan periuk akar rumput dari deret derita kemiskinan yang tak terukur," ucap saya, "Kamu ngerti apa yang saya katakan?”

Terlihat Skober agak ragu. Tapi pada saat lain ia berkata,” Inikah yang membuat yang mulia undur diri?"

"Bisa jadi, benar. Saya ingin menjadi seorang sinatria yang jatmika, hormat, rukun yang edipeni, serta adiluhung, pada hakikatnya meyakini bahwa keindahan dan kemuliaan adalah refleksi kekuasaan. Sejenis aksesori yang memperindah pernik-pernik singgasana. Juga luncuran suara moral bahwa pada hakikatnya raja berwatak sinatria tak suka bertualang dengan konflik. Kenapa? Sebab konflik itu tidak edipeni, tidak indah. Terlebih lagi, Istana Negara sebagai pusat keindahan, dihayati sang raja sebagai mozaik gemerlap penenteram batin rakyat. Hal inilah yang mendasari kenapa saya turun panggung."

Agak samar terdengar alunan azan subuh. Saya melihat arloji. Berdiri. Saya mau kumandangkan azan.

"Saya yang azan, Yang Mulia," potong Skober, "Dan yang mulia akan menjadi imam salat subuh."

"Hmm, saya gagal menjadi imam nusantara, Skober," tuturku, "Subuh ini tidak ingin mengulangi kegagalan itu meski hanya untuk menjadi imam seorang makmun bernama Skober."

Bandung, Selasa, 6 Maret 2012


Lampung Post, Minggu, 8 April 2012

Sunday, April 1, 2012

Senin, Guguran Daun-Daun

Se Cerpen Mahwi Air Tawar TIGA helai daun kering melayang-layang di atas gundukan tanah kuburan. Patek!, umpatnya. Gemetar. Segurat wajah legam suaminya membayang. Burung memintas dari sela dahan pohon kamboja. Ia berpaling ke belakang, lengang. "Pasti ulahnya," gumamnya. Terbetik pikiran aneh perihal suaminya, Suhmiyati calon istri kedua. Ah. Berseraklah titik fokus tujuannya mendatangi kuburan lewat sepertiga malam dengan tubuh hanya dibaluti sarung setengah badan. "Aku tak bisa. Tak bisa." Ragu. Tiga helai daun kering itu melayang-layang mengitari kepalanya, tiga kali. Ia diam, berdiri. Ia ingat pesan Nyai Makelar, dukun yang dimintai tolong, bahwa, bila ada sesuatu yang mendadak membuyarkan konsentrasi, hentakkan kakimu, tiga kali, dan ucapkan: nyingla ba'na, ondhur.... Tak jauh dari area kuburan ada bangunan rumah panggung dengan pancang tiang dari bilah-bilah bambu, langgar, begitu orang kampung menyebutnya. Angin mendesirkan semerbak melati, kembang kuburan, seakan menjelma tangan-tangan gaib, menjentikkan serajut ingatan-ingatan akan dirinya, sebagai istri, ibu dari anak-anak yang belajar mengaji: Ia sadar bahwa, kehendak suaminya untuk menikah lagi adalah sesuatu yang wajar, apalagi suaminya tak hanya dikenal guru mengaji—pengganti almarhum mertuanya—tapi suaminya juga dikenal sebagai mantan dan guru para bajing karena ilmu kanoragan dan ketangkasan, baik ketika mencuri maupun melakukan tarung. Bukan, bukan. Bukannya ia tak mau diduakan, sebagai keluarga seorang Kiaji, lebih-lebih suaminya mantan bajing tak pantas menolak, bagi bajing, Kiaji beristri dari satu akan menaikkan martabat, gengsi, lebih-lebih di mata masyarakat. Tak mengapa. Ya, sebenarnya ia tak apa, Kiaji Subang menikah lagi, tetapi jangan Sumiyati, pesinden itu. Ia tak sanggup membayangkan omelan orang-orang perihal suaminya lantaran menikahi seorang pesinden. Ia juga takut kewibawaan suaminya dimata masyarakat lebih-lebih di mata santrinya akan dipandang miring. "Ada yang lebih pantas dari Sumiyati, Kiaji," pintanya. "Lebih tua banyak," ketus Kiaji Subang. "Lha, tujuan panjenengan menikahi Sumiyati?" "Ibadah." "Kalau begitu biar Nyai yang carikan istri kedua Kiaji." "Lebih tua? Apa kata anggota remoh nanti. Kiaji tak teruji kesaktiannya," Kiaji Subang beranjak. "Nyai rela harga diri Kiaji hancur di mata anggota remoh?" "Demi surga atau harga diri?" timpalnya, kesal. "Nyai pintar bersilat kata sekarang." "Semua ini demi harga diri Kiaji, demi martabat Kiaji di mata orang tua santri, masyarakat." "Karena saya mengawini seorang pesinden?" ketus. "Dia tak pantas untuk Kiaji." Plak. Pyar. Plak.... Naluri kebajingan Kiaji Subang seketika tak tertahankan. Istrinya jatuh tersungkur ke kolong ranjang. Tak puas guru mengaji itu menampar, diraihnya rotan, rotan yang biasa ia gunakan memecut santri yang tak bisa mengaji dan melanggar peraturan. "Dasar tak tahu ilmu tata krama, beraninya melawan suami," bentak Kiaji Subang. *** HARI pertama dari ritual yang mesti ia jalani gagal sudah. Konsentrasinya pecah, dan pasti, keberadaannya akan diketahui lebih-lebih oleh lelaki yag tengah telungkup di tepi kuburan. Lalu. Lalu. Lalu apa yang mesti dilakukan? Sial, umpatnya. Ingin rasanya ia menangis. Ia benci. Tidak. Tidak, saat ini ia tidak benci terhadap suaminya yang ingin beristri lagi dengan seorang pesinden, tetapi ia benci dengan keputusannya sendiri yang ingin menggagalkan rencana suaminya. Ia ingat ketika dukun letrek, Nyai Makelar, mendukung penuh ikhtiarnya. "Hm. Tenang, Mar. Serahkan saja sama saya," bujuk Nyai Makeler, tenang. "Kamu tinggal milih. Mau dibuat benci, atau...," dukun itu berbisik, "atau Kiaji Subang dibuat mandul? Hehehe. Bagaimana?" Ia tersentak. Mengeluh. Sebenarnya ia sendiri tak benar-benar mengerti atas keputusannya. Ia hanya ingin menjaga karisma suaminya yang selama ini dikenal Kiaji, meski mantan bajing. "Kamu bingung, Mar?" Ia tergeragap. Ada titik-titik bening menggenang di kelopak matanya. Ah, keluhnya. "Hehehe. Kamu guru dari anak-anak, tak boleh bimbang," kata Nyai Makelar. "Saya sendiri benci dengan pesinden itu. Tak tahu diri, kenapa ia mau dipinang suamimu dan jadi istri kedua. Mestinya ia tahu diri. Suamimu Kiaji, ia pesinden. Uhuh... atau bagaimana kalau pesinden itu saya buat gila? Dengan begitu orang-orang hanya mengira persaingan antara pesinden agar ia tak mendapat tanggapan dari orang yang akan menghelat hajat?" sambil mengunyah pinang dukun itu mengulum senyum. "Lagi, semua orang tau bahwa suamimu memang bukan laki-laki sembarangan. Tapi laki-laki pilihan, yang diamanati oleh Gusti Allah untuk mengajari anak-anak mengaji," puji dukun itu. "Ya," lanjutnya. "Ya, meskipun semua orang tahu kalau suamimu mantan pencuri, bajing. Nah, nah?" batuk, "Ya, siapa tahu ia memang mendapat mukjizat? Bukankah kamu ingin menjaga kewibawaan suamimu?" Ia hanya mengangguk. "Baiklah. Sekarang begini saja. Kamu pulang dulu, pertimbangkan ulang," perintah Nyai Makelar. "Datang Jumat depan. Atau kalau tak bisa Minggu siang. Kalau sudah srek Minggu malam menjelang pagi, atau lebih tepatnya Senin dini hari, ritual motos paniser sudah harus kau jalankan. Beres. Bagaimana?" Ia hanya mengangguk. Dukun itu beranjak, masuk meninggalkannya seorang diri. "Kiaji Subang, calon bininya Sumiyati, kan?" teriaknya dari balik kelambu. Ia bergetar, merinding seakan kedatangannya dibuntuti seseorang dari belakang. Namun, ketika ketika ia menoleh ke belakang, tak ada orang hanya bayangan pohon memanjang di samping pintu. Ditatapnya tiga helai daun itu. Kali ini ia sangat lama menatap, lekat: sesuatu menggeliat di antara urat-urat helai daun itu. Pastilah ada sesuatu, ia mendesis bengis. Ia lupa dan seketika mengumpat benci terhadap dirinya yang tiba-tiba saja menoleh. Oh, tidak. Tidak. Bukan lantaran daun itu dihempas angin hingga tangkainya patah, tapi ia merasa suaminya sengaja mengirimkan sesuatu untuk memecah konstrasi dan akhirnya mengurungkan niat melakukan ritual khusus untuk memutuskan tresna suaminya kepada Sumiyati. Kini yang harus ia lakukan adalah menghindar dari penjaga kuburan agar keberadaannya tak diketahui orang. *** ANGIN berhembus pelan. Bulan menerpa punggung penjaga makam yang masih telungkup di tepi kuburan. Sejenak ia beranjak, berjalan diam-diam menuju langgar. Ia pun sudah tak yakin dapat menjalankan apa yang disarankan oleh Nyai Makelar. Padahal untuk melakukan ritual motos paniser kehadirannya tak boleh diketahuai oleh siapa-siapa, harus benar-benar sepi, sendirian. Ketika ia sudah di atas langgar segera diraihnya mukena yang tergantung di bilik. Ia bernapas lega. Baginya, sekarang tak mengapa niatnya tak berjalan lancar sebagaimana diharapkan asal keberadaannya dengan tubuh setengah telanjang tak diketahui penjaga kuburan yang tak lain adalah santrinya sendiri. Ia tak mau malu, hancur di mata santrinya. Tak mengapa hatinya remuk-redam atas perlakuan kasar suaminya, keinginan suaminya untuk menikahi seorang pesinden. Kini ia sudah benar-benar pasrah, bahkan tak ambil peduli kelak pernikahan suaminya menjadi buah bibir kecut di mata orang tua santri, masyarakat. *** "TIGA helai daun itu pasti kirimannya," ketus Nyai Makelar saat dilapori perihal tiga helai daun. "Kok bisa, Nyai?" tanyanya penasaran. "Suamimu mantan bajing. Untuk menjadi bajing tak cukup hanya mengandalkan ketangkasan dan kekebalan tubuh. Lebih dari itu, seorang bajing sejati harus menguasai ilmu kebatinan," tutur Nyai Makelar dengan mata menyala-nyala. "Tapi tenang. Nyai tak akan mencecap air liurku sendiri yang sudah jatuh ke tanah." "Maksud Nyai?" memotong. "Janji Nyai untuk membantumu, memutus hubungan suamimu dengan calon bininya." "Bagaimana, Nyai?" tanyanya. "Asal kamu siap." "Siap Nyai," Nyai Makelar tersenyum bangga kemudian langsung masuk ke dalam ruangan. Ia menunggu gelisah. Sesekali ia melirik ke dalam ruangan. Dari dalam ruangan yang hanya ditutupi tirai putih transparan, lampu sumbu berkedip-kedip melatari sesosok tubuh Nyai Makelar, yang sedang duduk, kadang meringkuk, bersila. Bau kemenyan menyeruak dari dalam. Tak lama berselang, Nyai Makelar keluar membawa tiga helai daun kering, jarum, tiga iris daun pandan dan kembang melati yang sudah layu. "Mendekatlah," perintahnya. Ia masih tak percaya ketika melihat tiga helai daun itu, ia ingat dan belum menceritakannya perihal tiga helai daun yang berputar-putat mengitari kepalanya sebelum memasuki area kuburan. “Persis, Nyai,” bisiknya, lirih. "Maksudmu?" tanya Nyai Makelar. "Tiga helai daun, mengitari kepala saya sebelum masuk kuburan." "Itulah, tak lain, suamimu mengirim sesuatu lewat daun." "Saya tak mengerti, Nyai." Nyai Makelar malas menjelaskan perihal daun, ia tahu istri Kiaji Subang itu tak akan pernah mengerti. "Kamu percaya saja. Lakukan apa yang saya perintahkan, itu kalau kamu mau berhasil menghalangi keinginan suamimu untuk menikah lagi," tegasnya. "Di sini tertulis nama dan hari dan tanggal kelahiran suamimu, hari Senin kan?" tanya Nyai Makelar, meyakinkan. "Namamu sendiri, dan yang ini nama Sumiyati," kata Nyai Makelar sambil menyerahkan tiga helai daun. "Pada malam akan dihelatnya pernikahan, kamu harus keluar, pergi ke kuburan, dua helai daun yang ada tulisan namamu dan suamimu kubur. Ingat, dua-duanya jangan dipisah kecuali satu helai daun yang ada tulisan nama Sumiyati. Mengerti?" "Oh iya, jarum ini, lihat," kata Nyai Makelar, "lihat, jarum ini ditusukkan ke dalam cawat milik suamimu dan milikmu hingga kedua-dua lengket, kemudian kubur jadikan satu dengan dua helai daun. Ingat? Nah ini, ini, tigi iris daun, kembang melati busuk ini, lihat-lihat." Ia mengangguk. "Ingat-ingat, kamu harus mencari cawat milik Sumiyati, lalu kubur jadikan satu dengan kembang melati dan satu helai daun ini. Ingat! Dan aku dari sini akan menghalau mantra Kiaji Subang, dan akan membuat penjaga makam itu tertidur." Ia pulang dengan perasaan puas sekaligus cemas. Tidak, kali ini ia tidak takut lagi akan diketahui sesiapa, tapi yang membuatnya berat adalah mencuri cawat milik Sumiyati. *** KINI ia tinggal menunggu waktu perhelatan pernikahan yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Ia tak lagi takut suaminya akan mengetahui apa yang akan dilakukannya, Nyai Makelar telah menjamin dan memastikan Kiaji Subang akan dibuat tidur. Tepat pada hari kelahiran Kiaji Subang: hari Senin, ia bersiap-siap. Sebagaimana disarankan oleh Nyai Makelar, ia keluar tanpa merasa takut. Ia tahu suaminya tengah bercakap dengan beberapa tamu laki-laki di atas langgar. Kuburan itu sunyi sekali, di atas langgar penjaga makam sedang menunaikan salat tengah malam. Tapi ia sendiri tak perlu khawatir, ia percaya kali ini tidak akan gagal. Tiba di tepi kubur, ia segera melepaskan bajunya, kemudian berputar-putar tiga kali dengan tubuh telanjang. Yang pertama, dua helai daun, cawat miliknya dan milik Kiaji Subang sudah dikubur, dan terakhir, ketika ia mulai menggali tanah untuk mengubur cawat milik Sumiyati mendadak ia dikagetkan oleh suara penjaga makam. "Hei," sontak ia menoleh, lama keduanya saling bersitatap, "Nyai?" penjaga makam itu kaget dan segera berpaling saat melihat istri Kiaji Subang dalam keadaan telanjang. Kedu, 2011 Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 April 2012