Sunday, May 29, 2011

Tamu Terhormat

Cerpen Budi Saputra


KAMI hanya bisa mengurut dada, menautkan geraham, dan menahan geram berkepanjangan. Kami tak bisa berbuat banyak. Kami hanya dipandang sebagai anak yang tahunya hanya sekolah dan membantu-bantu pekerjaan rumah. Sejak mereka mendapat cucu perdana dalam waktu berdekatan, wuih, maka mulailah mereka melebarkan sayap pemameran. Mereka tak henti-hentinya berpetualangan dari satu rumah ke rumah yang lain.

Terlebih saat siang dan petang hari. O, tak tanggung-tanggung, rumah orang pun akan dianggap sebagai rumah sendiri. Dengan seorang cucu sebagai senjata andalan, tak salah memang jika pada akhirnya kami menggelari mereka sebagai tamu terhormat. Tamu yang nyelonong saja masuk rumah, tamu yang banyak bahan gosip, tips permasalahan keluarga, dan hal-hal sepele lain yang menurut kami sangat-sangatlah mengganggu untuk diletuskan di rumah kami.

Kami sesungguhnya telah sampaikan pada nenek, ayah, dan ibu tentang keberadaan tamu-tamu terhormat itu. Namun, semuanya menganggap kami tak toleransi, buruk sangka, dan segala macamnya (seperti membelanya). Dan akhir-akhirnya, kami pun hanya pasrah dan melihat saja segala yang terjadi di rumah. Gelak tawa, tangis balita, dan lantai yang basah karena kencing mewarnai rumah kami hampir tiap harinya. Tak jauh beda keadaan yang terjadi di rumah-rumah sebelah. Mereka sering nongkrong dengan ibu-ibu di sana, membanding-bandingkan cucu, dan membuat makanan bersama tentunya. Pernah suatu kali terjadi peristiwa menyedihkan di kelurahan kami ini. Di saat tengah marak-maraknya gelak tawa gosip, sungguh tak disangka, seorang bayi tanpa disadari menghilang begitu saja di hadapan para peserta. Semuanya jadi terdiam dan panik. "Mana Mira, mana Mira?" Dan semuanya berhamburan mencari di seisi rumah dan di luar rumah. Namun setelah lelah mencari sekitar 20 menit, hasilnya pun nihil. Baru empat jam kemudianlah orang dari kelurahan lain menemukan bayi itu dalam keadaan tak bernyawa di kali. Ternyata, bayi itu hanyut dibawa arus kali di depan rumah. Dan One Ilen, bersyukur sekali karena bayi yang hanyut itu bukan cucunya.

***

Kami sangat merasa tak nyaman saat melihat kedatangan Uwo Upik Tea. Saya dan Madi telah sepakat melakukan aksi diam saat itu (seperti sebelum-sebelumnya). "Jika ada nanya-nanya diam saja, Madi," begitulah siasatku seperti biasanya. Bagaimana tidak. Ya, perlu diketahui dulu di sini, bahwa teras rumah kami ukurannya lumayan besar untuk bersantai-santai. Teras tanpa dinding dan dilengkapi kursi-kursi dan meja. Dengan demikian, pantaslah kiranya rumah kami kerap dijadikan ajang kunjungan tak punya etika. Apalagi dengan seringnya nenek duduk-duduk santai di sana. Sudah jelas, bahwa neneklah kerap dijadikan tujuan utama. Uwo Upik Tea akan menyelonong saja masuk dengan cucunya. Kemudian duduk, dan ujung-ujungnya terdengar jualah cakap yang tak menyamankan telinga.

"Kapan menikahnya dia, Tek? Di mana kerja calonnya?"

"Aduh, kenyang benar makan dengan gulai ikan siang tadi."

"Ha, si temben ini telah tahu pula lagu India, Tek. Pintar ini besok. Anak siapakah ini?"

Huhh..., itulah di antara sekian banyak yang kami dengar. Sudahlah tak pernah baca salam, ia juga dengan bebasnya mengajak nenek berkelakar ke mana-mana tanpa memikirkan keadaan rumah sebelum naik seenaknya: sedang ada bertengkarkah, sedang buka auratkah, sedang ada tamu ayahkah, sedang ada urusan keluargakah, sedang ingin tak diganggukah, ia tak akan memperhatikan. Yang penting ia dapat menghibur cucunya itu dan menyebarkan info-info terbaru tentunya.

"Heh, gak ngomong-ngomong makan ya? Apa masakan ibu kau?" Uwo Upik Tea tiba-tiba saja nyelonong ke ruang makan dengan cucunya. Jelas saja saya diam dan cuek. Sungguh tak menyenangkan. Apalagi ia dengan entengnya mengambil gelas untuk minum dan mencocor sedikit kerupuk yang terletak di depan saya. Lebih tak menyenangkan lagi, ia juga melirik-lirik ke kamar kami saat tengah melangkah dari ruang makan.

Ya, selalu begitu. Maka sabarlah. Saya sabar dan Madi sabar. Sungguh tidak sampai di situ saja tingkah nyelonongnya Uwo Upik Tea. Seperti saat Madi tengah menonton sendirian di ruang tengah. Eh, tak tahunya saat hanya sebentar Madi pergi ke WC, Uwo Upiak Tea ternyata telah berada saja di ruang tengah menonton televisi dengan cucu dan ibunya cucu. Membuat kami hanya geleng-geleng kepala saat membahasnya beberapa jam kemudian.

***

"Cuci piring lagi, Rita! Jangan biarkan menumpuk." Ibu menyuruh saya mencuci piring. Oh, saya mau tak mau harus mengerjakan suruhan ibu. Namun yang membuat saya sedikit tak senang tentu dengan piring sisa makannya Uwo Upik Tea dan cucunya. Ceritanya begini, saat itu ibu membuat bubur ketan. Nah, kebetulanlah Uwo Upik Tea menyelonong masuk ke rumah. Kali ini bukan lewat pintu depan, melainkan dari pintu belakang (ke dapur).

"Ndeh, masak bubur ibu kita ya. Hari lembap begini memang enak makan bubur. Bagilah kami sedikit tu!"

"Aman, dimakan bersama-sama nanti," balas ibu.

Oh, itu cerita nyelonong kesekian kalinya. Tak terhitung oleh saya dan Madi. Saya tak habis pikir, kenapa ada ya orang yang bertingkah seperti itu. Seenaknya masuk rumah orang yang alasannya barangkali untuk ngerumpi atau santai-santai. Tidak saja satu orang seperti itu, tapi banyak. Yang tua-tua, anak-anak, dan remaja pun mengikuti apa yang diperbuat yang tua-tua. Kalau tak ngerumpi di rumah sendiri atau rumah orang, maka mereka melakukannya di lepau-lepau.

Lihatlah saat petang harinya. Hampir masing-masing rumah mengirimkan wakilnya duduk-duduk di lepau atau di beranda rumahnya yang terletak di tepi jalan raya. Dengan rambutnya tergerai habis mandi, bau yang harum bukan main, juga tak ketinggalan pakaian minim yang tergantung hanya beberapa senti dari kemaluannya, mereka itu seolah-olah unjuk gigi pada khalayak. Cuaahh…, kami tentu jijik sekali melihatnya. Lelaki yang lewat dengan berbagai kendaraan begitu sering meliriknya dan barangkali mengkhayal panjang tentang keindahan tubuhnya. Oh, di manakah rasa malu itu? Kami tak habis pikir. Kami telah berkali-kali mengalaminya, yaitu tentang ibu-ibu dan anak gadisnya yang berpakaian minim itu seenaknya ngerumpi dengan orang tua kami. Sampai-sampai kami pun berpikir bahwa keluarga kami dianggap enteng saja dengan orang-orang sekitar. Mungkin karena tak ada wibawa oleh nenek, ibu, dan ayah, maka begitulah akibatnya. Orang-orang menjadi seenaknya saja berbuat. Nyelonong dengan pakaian minim, mengambil tanpa izin buah-buah jambu di perkarangan rumah kami (mungkin dengan dalih tetangga), dan sering mencandai nenek, ibu, dan ayah dengan ocehan yang menurut kami sungguh perkataan sia-sia. Anak-anak mereka pun begitu, mudah saja mencandai orang tua kami. Dan parahnya, orang tua kami juga melayaninya.

"Berapa anaknya?" Seorang anak perempuan sepuluh tahun bertanya seenaknya pada ayah.

"Dua orang." Ayah dengan santainya menjawab, ayah tak memperhatikan etika bertanya anak tetangga itu. Sebuah bukti, bahwa saat yang tua-tua membahas tentang pembicaraan mereka, maka yang kecil pun dengan mudahnya menyalin, dan pertumbuhan otaknya tentang dunia orang dewasa begitu cepat berkembang.

***

Kami tentu tak biarkan penganggap-entengan ini berlarut-larut. Ditambah sejak banyaknya ruko berdiri di sekitar rumah kami, membuat kami menjadi tak nyaman dengan keadaan yang demikian. Musik-musik keras yang berdebam dari dalam ruko yang dikontrakkan membuat konsentrasi kami belajar banyak terganggu. "Orang apalah ini. Apa masih punya otak?" Kami sering mengeluh demikian. Ya, ternyata banyak sekali tamu terhormat di kelurahan kami ini. Tidak saja tetangga dekat, pengontrak ruko pun berbuat seenaknya: membunyikan musik keras-keras hingga rumah-rumah di sekelilingnya pun seperti mendengar musik acara pesta yang sangat glamor.

"Ibu, kami tidak terima Uwo Upik Tea seenaknya saja masuk-masuk rumah. Dia tak ada etika dan seolah menganggap rumah orang-orang sini adalah miliknya juga." Suatu hari kami protes pada ibu yang di saat itu juga ada nenek yang mendengar—protes yang tentunya telah berkali-kali. Namun, ibu dan nenek hanya menganggap enteng pernyataan kami. Seolah tak ada yang patut dipermasalahkan. Tidak saja tentang Uwo Upik Tea dengan cucunya, Tek Ros pun juga seperti itu. Mereka ini memang sering menggendong cucunya dan membawa sana-sini. Mereka berdua kadang juga pernah nyelonong ke rumah kami. Tak peduli azan berkumandang. Yang jelas, sesama partai tua akan berkumpul saat itu. Menceritakan cucu, anak, tanggal orang menikah, dan lain sebagainya.

Ya, dengan pemandangan demikian, ingin kami menghardik sekeras-kerasnya dan menumpahkan amarah kami. Tapi kami tak sanggup. Kami hanyalah si anak yang dianggap tak layak mencampuri urusan orang dewasa. Sehingga, hanyalah kekecewaan kami yang kian bertumpuk, dan hanya pernah sekali lurus menyemprot karena saking geramnya. Kejadiannya tak lain dan tak bukan yaitu di teras rumah kami.

"Heh, di mana Rustam? Ada Rustam?" Seorang lelaki yang berusia sangat jauh di bawah usia ayah, bertanya sesaat sampai di rumah kami. Ia tampaknya mencari ayah.

Mendapat perlakuan demikian, tentu saja kami yang saat itu tengah belajar hanya cuek saja. Wajahnya yang sangar sambil mengisap rokok, membuat kami tak simpati padanya. Lagi pula ia bertanya tak sopan.

"Woi tuli. Kalian dengar gak?" Astaga, ia menghardik kami. Ia mungkin kesal setelah lama menunggu jawaban kami.

"Woi tamu terhormat. Bisa gak sopan kepada kami?" Kami serempak menyemprotnya. Kami sama sekali tak takut jika ia menyakiti kami.

Mendengar ucapan demikian, ternyata lelaki itu tak bertindak seperti yang kami pikirkan, yaitu menyakiti dan memaki kami dengan nada keras. Ia hanya diam. Dan sesaat kemudian berlalu sambil mengucapkan nada kekecewaan seperti berbisik.

Huhh..., kami jengkel dan geram sekali dibuatnya. Memang dasar orang-orang tak punya etika! n

Padang, 2011


Lampung Post, Minggu, 29 Mei 2011

Sunday, May 22, 2011

Dialog Kamar Mandi

Cerpen Jauhari Zailani


1

Malam itu dia terbangun oleh berisik orang berdiskusi. Begitu dekat suara orang ngobrol, ada lalu lintas pendapat. Kesadarannya menyangkal, tak masuk akal orang ngobrol di kamar mandi. Ini jelas kamar mandi pribadi, kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidurnya. Tidak ada yang memakai kamar mandi ini selain dia. Tentu untuk mandi dan hajat yang lain. Bukan untuk diskusi. Apalagi tengah malam. Barangkali ada tamu di rumah tetangga, pikirnya. Atau mereka sedang nonton bola. Sudahlah tak mungkin ada orang ngobrol di kamar mandi. Dia berusaha melupakan dan tidur lagi, lelap lagi.

Tapi ketika dia terbangun lagi, dia nikmati saja.

"Sudah berulang kali aku katakan kepada kalian, akulah si Air, yang paling berjasa pada dia. Sejak kecil, siapa yang menyegarkan ketika dia mandi, siapa yang membersihkan usai bertinja, bahkan sekadar mainan air, cuci kaki atau raup muka," kata si Air dengan suara berat.

Menyusul suara lain yang serak, suara Kloset, "Apakah Tuan Air lupa ketika dia tergopoh-gopoh ke sini dan menumpahkan isi perutnya...."

Tetapi sang Air dengan garang memotong Kloset sebelum selesaikan wicara. "Sudah kau dengar, mestinya kau belajar dari kehidupan. Air adalah sumber kehidupan. Tanpa aku, tak ada kehidupan. Bisakah dia hidup tanpa air. Bahkan dalam dirinya pun air. Kau Kloset! Bayangkanlah dirimu tanpa aku, Kloset tanpa air. Huh".

"Interupsi Bapak Air!" terdengar suara Dinding bertanya. "Apakah ruangan ini bisa disebut kamar mandi jika tanpa dinding penyekat? Jadi jelas, akulah yang memberikan rasa nyaman baginya untuk berlama-lama di sini...."

Sang Kaca ikut pula bicara, "Kalian lupakan aku. Padahal dia selalu rindu kepadaku. Tanpa kalian, dia kan datang ke sini. Melihat kerut dan seri wajah, melihat lubang gigi, menata rambut. Melalui aku, dia mengenali diri, mengagumi, dan mencaci dirinya."

Melihat suasana dan suara bersahutan tak jelas arah, ada suara yang mengatasi semuanya. "Oke. Kalian semua memang hebat dan berjasa. Mari kita bergantian bicara. Satu bicara, yang lain mendengar. Oke? Ya ya... aku yang atur. Kesempatan pertama pada yang terhormat Tuan Air."

Sang air langsung saja nyerocos lupa berterima kasih pada moderator. "Siapa di antara kita yang telah jelajahi seluk dan suluk dalam liku tubuhnya. Meski supersibuk, dia akan datang mengunjungi kamar mandi demi air. Dengan air, dia mengguyur tubuhnya sambil bernyanyi, bersiul, atau bersenandung. Kalian ingat itu, dia datang ke sini karena ada aku, air. Karena itu, ruang ini disebut kamar mandi. Adakah kamar mandi tanpa air, tanpa aku tak ada kamar mandi. Pendek kata, aku yang paling berjasa padanya. Kalian hanya omong kosong."

Hening sejenak dalam ketegangan. Lalu suara moderator terdengar, "Silakan Tuan Kloset, Anda akan bicara apa. Ingat yang lain mendengar."

Sejenak Kloset mengangkat wajah. Setelah berdehem sebentar, terdengar bicara. "Kalau Tuan Air bijak dan mau memperhatikan, dia acap begitu tergopoh-gopoh menduduki Kloset yang dina ini, lantas mengeluarkan isi perutnya. Perhatikan betapa dramatis wajahnya yang menegang dan sumringah setiap usai menghajat."

Sang Kloset menarik napas sejenak dan melanjutkan. "Anehnya, meski telah tuntas berhajat, dia tetap saja berlama-lama bersinggasana di atas Kloset. Berkhayal. Ini yang membuatku berbeda dari kalian."

Lama Kloset terdiam menunggu reaksi. Dan ia melanjutkan setelah dipersilakan moderator.

"Kalian pasti tahu, ketika dia membayangkan dirinya menjadi guru. Baginya, setiap diri adalah guru. Diri mestinya menjadi guru yang menghangatkan jiwa yang beku. Guru yang mencerahkan jiwa-jiwa muram. Guru yang memelihara cahaya kesucian nurani. Guru adalah guru kehidupan yang hidup dan menghidupkan jiwa-jiwa yang telah mati. Bukan sekadar guru kelas, melainkan guru kehidupan yang bisa membangun peradaban dengan perpustakaan yang menampung artefak kuno yang berserak dan langka. Perpustakaan adalah jawaban bagi suku bangsa yang gelisah-khawatirkan aksara dan bahasanya yang akan punah."

Sang Kloset berhenti sejenak dan lanjutnya, "Perpustakaan tak hanya gedung dan deretan rak buku. Tetapi menjadi pusat budaya dan peradaban. Yang menyediakan jawaban bagi diri yang gelisah, ketika penguasa memobilisasi simbol-simbol yang remeh-temeh. Tanpa sadar tindakanya mereduksi makna budaya adiluhung yang dimilikinya. Toko dan pagar, televisi, dan radio menjadi propaganda simbol, bahasa, adat, dan seni masa lalu. Mengubur impian, ide, nilai, jiwa raga masyarakatnya. Bagi rujukan kini dan mendatang dalam mengatasi lemah diri dan kuatnya kehidupan di luar dirinya. Akan arif jika jiwa-jiwa bebas dari ruda paksa. Di sana penguasa akan panen kebahagiaan warganya. Jika budaya dipelihara dan dibangun atas nama dan dari kekuasaan acap serampangan dan tak bermakna. Karena sistem kekuasaan adalah produk budaya masyarakatnya yang lentur dalam ruang dan waktu. Apalagi jika kekuasaan dipakai untuk membesarkan yang satu dan mengecilkan lian."

Suara Kloset meski lembut, yang lain tertunduk saja. Seolah menunggu fatwa Kloset. Disusul Sang Kaca bicara pelan seolah pada diri sendiri.

"Memang manusia harus membaca. Begitulah titah Tuhan. Karena itu, perpustakaan tidak sekadar kumpulan buku, tetapi wadah pengetahuan dan memori kolektif warga masyarakatnya. Dari perpustakaanya itu, dia mengajak manusia menjadi pembaca diri setiap diri dan masyarakatnya. Menurut dia, diri dan lian adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Masyarakat adalah jalinan diri dan diri yang berinteraksi. Nilai, norma, adat, dan peradaban menjadi ada karena ada diri yang tunggal dan diri yang jamak. Masyarakat adalah kaca benggala bagi diri yang tunggal. Nah, ingat kaca...."

Sang Kaca berhenti ketika sang Kloset kembali berujar, "Penguasa yang hanya memikirkan panggung bagi kehidupan diri dan keluarganya, adalah petaka bagi diri-diri yang lain. Karena manusia menjadi lalai pada jati dirinya dan abaikan lian-lian. Karena itu ia bisa alpa pada batas dirinya. Meski sadar akan ajal, bukan untuk tawadu, tetapi untuk menyiapkan anak dan keluarganya dalam memperpanjang asa. Anehnya cerita ini muncul dari setiap episode kehidupan suatu kaum. Tetapi manusia mengabaikan hukum alam ini, dan ingin tetap berkuasa. Laku seperti ini yang membuat dunia ini tak lagi normal. Jungkir balik norma dan nilai."

Terdengar suara batuk dan menguap. Lalu senyap.


2

Dia lelah menunggu lanjutan. Tapi, malam tetap sunyi. Tangannya memeluk guling. Badan bergolek ke arah istrinya yang lelap di sisinya, tanpa dosa. Hidungnya mencium bau khas sang istri. Dia pandangi istrinya yang mendengkur lirih, napasnya teratur, wajahnya teduh dan damai. Memang mulai menua, tetapi menentramkan. Malam hening. Kamar lima kali tujuh meter terasa lapang. Perabotan kamar yang padan dengan warna horden dan cat dinding, kian nyaman dengan temaram cahaya lampu tidur. Detak detik suara jarum jam dinding. Suara berdesis dari mesin pendingin kamar. Tak tik tuk bunyi tetes air bersahutan. Tetesan air di kamar mandi, gemericik air di kolam. Angin menggoyang daun, serentak ikan pun berkecipak. Melengkapi malam terdengar penjaga malam memukul tiang listrik. Lolongan anjing menambah lekatnya malam.

Dalam hening malam, suara-suara itu menjadi jelas dan bermakna. Suara buntut cicak menggebah nyamuk pun terdengar begitu gemuruh. Semua tampak jelas malam ini. Dia menikmati ritme alam malam ini, membius, dan mengusik jiwa. Ada kesadaran, kehidupan disusun dari hal-hal yang kecil, rutin, kadang terabaikan. Sunyi senyap adalah kehidupan lain dari hiruk pikuk. Terpujilah yang melengkapi diri raga dan jiwa ini sistem ngantuk dari terjaga, sistem terjaga dari tidur. Betapa lelahnya bila siang tetap siang. Betapa muramnya bila malam tetap malam, dan dia lelap dalam damai di samping istrinya.


3

Dia takjub pada sistem diskusi yang beradab. Ketika air bicara, yang lain diam. Ketika Kloset hendak interupsi, dimulai dengan deheman. Mendengar celoteh si Kloset, sang air yang jumawa pun diam. Sang Kloset meneruskan lagi.

"Tahukah kalian, dalam lamunannya, dia menginginkan mobil buku sebagai ujung tombak perpustakaannya. Dengan mobil buku, dia berkeliling melayani anak-anak dari SD ke SD, dari SMP ke SMP, dari RT ke RT, dari gang ke gang, dari kampung ke kampung. Cukup sepuluh armada bagi kehidupan, yang menampung, melayani, dan memfasilitasi gairah manusia membaca kehidupan. Kehidupan dari arah angin, sumber, hari, dan masa yang berbeda. Perpustakaan kehidupan yang aktif, menerangi, dan mencerahkan warga kota.

Dari perpustakaanya dia mengajak manusia bercerita. Setiap diri ilmuwan sejati. Ilmu tak harus lahir dari menara gading, bisa juga atau semestinya lahir dari menara air yang menghisap air dari bumi, dan menampungnya di menara air, lantas mengalirkanya bagi kehidupan sang bumi dan yang ada diatasnya. Di samping itu, menulis dan berkarya bisa dipastikan untuk kebanggaan dan kebahagiaan dirinya. Untuk menularkanya kepada murid-murid kehidupan. Karena setiap diri adalah guru dan sekaligus murid."

Sang Kloset pun menutup ceritanya dengan menggebu, "Dalam benaknya, perpustakaan adalah peradaban dan sumber peradaban bagi masyarakatnya di masa lalu, kini, dan mendatang. Jangan lupakan itu. Di sana manusia pamerkan jiwa dan pembangkit jiwa-jiwa yang kering dan layu membeku. Betapa pun cerdasnya dan bahagianya, hanya bisa lamunkan hadirnya perpustakaan yang prestisius di kota ini, dan dia melamunkanya hanya di Kloset. Karena Kloset tak pernah mencibir."


4

Dari tempat tidurnya, dia mendengar suara-suara mendesah, suara-suara merendah. Tak ada makian, tak ada yang mangaku paling hebat dan paling berjasa bagi hidup dan kehidupan. Entah suara siapa yang menyeruak dari kamar mandi, "Janganlah salahkan aku, dirimu dan diri yang lain. Gagal memahami kehidupan mestinya musibah. Memang dunia ini hanya pentas, ritual bagi kehidupan manusia. Kita adalah sisi-sisi dari koin-koin kehidupan sekaligus menjadi ikon kehidupan. Keduanya saling mengisi dan melengkapi. Tidak ada Aku, tanpa Daku. Kita seperti ikan dan air. Kamar mandi adalah air, kloset, dinding, dan kaca benggala. Bukankah memahami diri berarti memahami lain? Dengan menyelamatkan diri aku dan daku, selamat puisi dunia. Dunia kecil, dunia mikro-mikro menjadi makro. Dunia kita, kehidupan kita."

Lalu, malam ini, dia harus tidur. Matanya terpejam. Zikirnya mengiringi desis napas sang istri. Bibir mengiringi hati berzikir tak terhitung, dan memang tak dihitung. Ingat kehidupan dan kematian adalah zikir. Sadar bangun dan tidur tidak otomatis adalah zikir kehidupan. Menghitung nikmat yang terbawa ke mana pun dirinya berada. Bisakah manusia menghitung, bisakah membalas. Untung tak harus menghitung, untung tak harus membalas.

Tapi berapa orang yang menghitung nikmatnya tidur. Tapi, malam ini Dia belum tidur juga. Nyeri dada memaksanya miringkan badannya membelakangi istrinya. Malam ini, kalau istrinya masih terjaga pasti akan menggamitnya, mulutnya seraya mengeluarkan rengekan dan omelan. Tetapi malam ini, dia terlelap tanpa mendengar omelan kekasihnya.


5

Pagi ini dia bangun lunglai. Lelah mendengarkan diskusi kamar mandi yang menggoncangkan jiwa. Suara yang bersahutan itu memang berlainan, tapi dari kerongkongan yang sama. Seperti menceritakan lain, sesungguhnya menelanjangi dirinya sendiri. Bukan dialog tapi monolog. Tapi tunggu dulu. Dalam picing dan pejam mata bangun pagi, dia teringat setiap di depan cermin dan berceloteh, "Wahai kau yang di balik cermin. Kau memang pecundang. Dasar manusia cengeng. Penggerutu pula. Hehhhh, sebel! Baru bisa begitu, sudah merasa berjasa. Dasar!"

Suara braakk membawanya ke kamar mandi. Setengah pejam mata, ia melangkah. Kaca retak membentuk rumah serangga. Ditelusurinya satu demi satu ruas kaca, dirangkainya keping demi keping, membentuk wajah yang tak asing baginya. Wajah yang setiap hari dilihatnya di cermin. Ya, itulah wajahnya, wajah yang retak.

Bandung, akhir April 2011


Lampung Post, Minggu, 22 Mei 2011

Sunday, May 15, 2011

Tuhan Memang Lucu dan Maha Berkehendak

Cerpen Bamby Cahyadi


SUDAH lama kami mendambakan seorang keturunan. Ya, seorang anak. Aku dan istriku ingin sekali punya bayi lucu sebagaimana layaknya orang tua yang suka pamer foto anaknya di profil Facebook dan BlackBerry. Dalam kehidupan berumah tangga, mungkin itu saja tujuan kami masih bertahan sebagai pasangan suami-istri. Punya anak.

Hingga kini buah-hati yang kami tunggu-tunggu belum juga dilepas-lepas dari genggaman Tuhan ke rahim istriku.

Sebenarnya Tuhan pernah melepas calon anak kepada kami, akan tetapi Tuhan hanya menyimpan di rahim istriku sangat sebentar. Sebelum roh anak kami dihembuskan oleh-Nya ke rahim istriku, Tuhan kembali merenggut roh anak kami itu. Enam tahun yang lalu istriku keguguran. Sakit hati kami. Menangis kami setiap hari.

"Oh, buah hati yang pernah singgah dalam rahim istriku, kau pergi tanpa permisi, Nak," ratapku kala itu. Kami hanya bisa termangu-mangu penuh kesedihan di subuh yang kering dan asing.

Saat itu seonggok daging merah kehitaman keluar dari vagina istriku. Istriku menahan rasa sakit sambil meraung-raung. Ketika dokter mengambil tindakan medis untuk membersihkan isi rahimnya. "Tuhan Maha Berkehendak," begitu kata dokter yang membersihkan rahim istriku. Dan, kami pasrah apa adanya tak berdaya. Mau apa lagi, coba? Kalau itu kemauan Tuhan.

***

Aku adalah pribadi dengan perilaku yang ganjil. Lebih tepat unik, aneh. Aku sering melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Aku seperti menjelma menjadi amuba. Bisa membelah diri. Saat aku sedang membaca di ruang tamu, maka diriku yang lain sedang menonton televisi. Atau pada saat aku mandi, maka diriku yang lain sedang menerima telepon dari seorang klien.

Ya, bahkan aku bisa menerabas lorong-lorong waktu. Bermain-main di dimensi waktu. Sesekali aku ke masa lampau dan lebih sering melesat ke masa depan. Karena, menyenangkan melihat masa depan. Di masa depan, sungguh suasananya sangat menakjubkan. Tapi, hal itu tak boleh kubeberkan di sini. Karena kalau kuceritakan di sini situasi dan kondisi di masa depan, kalian bisa ikut-ikutan gila. Lagi pula, kami–para penjelajah waktu–dilarang keras membocorkan rahasia.

Terkadang teman-temanku suka tertawa geli melihat tingkah-polahku. Bahkan ada yang sampai terkikik-kikik berguling-guling di atas trotoar jalan. Dalam pandangan mereka, aku adalah orang gila yang lucu, orang gila yang menghibur. Tetapi pada akhirnya mereka akan bungkam sendiri, saat ada kejadian yang membuat mereka takjub dan terkagum-kagum tentang ceracauku jadi kenyataan.

Sebagian dari teman-teman percaya bahwa aku bisa meramal. Menerawang masa depan atau bisa melihat hal-hal gaib. Aku memang bisa. Maka tidak sedikit yang berkonsultasi denganku masalah-masalah supranatural yang aku sendiri tidak tahu wujudnya seperti apa.

Ramalanku selalu tepat tentang sesuatu peristiwa atau perihal seseorang. Misalnya tentang bencana gempa atau gunung meletus. Atau tentang sakit dan kematian orang-orang yang kukenal atau tak kukenal. Aku sangat yakin diriku yang lain telah melompat ke masa depan, lalu ia kembali lagi menyeruak ke masa kini, kemudian ia membisikkan padaku tentang informasi masa depan itu yang dibutuhkan olehku. Tapi terkadang ia sangat pelit. Ia, memberiku informasi sedikit-sedikit dan terpotong-potong. Hingga aku harus menyusunnya sendiri, seperti potongan puzzle yang berantakan. Biasanya aku menyusun informasi gaib itu lewat energi yang kurasa dari aura seseorang atau aliran energi alam tertentu yang menjalari sekujur tubuhku.

Baiklah, lupakan dulu omong-kosongku tadi. Begini, saat ini aku sangat suka makan rujak. Istriku saja sampai terheran-heran, karena setiap hari aku makan rujak. Pagi, siang, sore, malam, dini hari bahkan subuh pun, rujak selalu kusantap. Betapa nikmatnya buah-buahan asam-manis itu kukunyah dengan bumbu terasi pedas. Ah, tak terbayangkan. Akibatnya, karena harus selalu ada persediaan rujak aku sering berburu rujak dari warung ke warung, dari penjual rujak gerobak ke penjual rujak gerobak yang lain hingga mencari rujak yang dijual di mal-mal.

Aku seperti perempuan yang sedang ngidam. Istriku terkikik-kikik, ketika suatu hari, aku sampai linglung karena ingin makan rujak tak kesampaian. "Kamu seperti orang ngidam saja Mas," kata istriku, saat aku uring-uringan mencari penjual rujak di sekitar kompleks rumah. Tetapi tak satu pun penjual rujak yang kutemui, hingga akhirnya aku putuskan mencari rujak di sebuah mal. Karena di areal food court mal tersebut tersedia counter penganan rujak.

Keadaan akan menjadi tak terkendali apabila aku tak makan rujak sehari saja. Aku akan uring-uringan sepanjang hari, dari bangun hingga kembali tidur. Emosiku akan sangat labil, aku menjadi seorang pemarah yang menjengkelkan. Kalau sudah begitu, istriku buru-buru memberiku obat penenang hingga aku tertidur lelap. Anehnya, dalam tidur pun aku bermimpi sedang mencari-cari rujak, tapi tidak ketemu. Sehingga aku mengigau tak karuan.

Melihat kondisiku ini, istriku menjadi prihatin. Aku pun menyetujui usulan istriku untuk berkonsultasi dengan dokter ahli jiwa atau semacam psikiater. Setelah beberapa kali pertemuan dengan dokter ahli jiwa itu. Akhirnya aku direkomendasi untuk menemui dokter spesialis kandungan oleh dokter ahli jiwa itu. Lho kok?

Tentu saja aku marah. Aku tersinggung pada dokter ahli jiwa itu. Masak aku disuruh menemui dokter kandungan! Namun dengan sabar dokter itu berkata, "Bapak dan Ibu, saya persilakan untuk tes kesuburan di sana. Nah, dokter spesialis kandunganlah ahlinya."

Lantas dokter jiwa itu melanjutkan ucapannya. "Mungkin, Bapak sangat berharap mempunyai seorang anak, sehingga Bapak merasa perlu makan rujak terus-menerus sehingga seolah-olah sedang ngidam."

Tanpa menunggu lebih lama aku dan istriku menuju poliklinik kandungan. Singkat cerita, dokter kandungan meminta kami untuk tes urin. Bukan tes kesuburan. Air kencing kami ditampung dalam tabung botol kecil. Lalu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kami menunggu dengan sabar hasil tes urin tersebut.

Setelah menunggu sedikit lama, kami dipanggil kembali untuk menemui dokter kandungan tersebut. Dokter itu tidak bercakap sedikit pun. Ia memandangi kami silih berganti. Ke aku, lalu ke istriku. Aku lagi, istriku lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya ia berhenti sendiri kecapaian atau bisa jadi karena kepalanya menjadi pusing.

"Ada apa Dok?" tanyaku tak sabar.

"Begini Pak, hasil pemeriksaan urin yang kami lakukan, Bapak positif hamil!" kata dokter itu tercengang sendiri dengan suara bergetar hebat. Ia seolah tak percaya dengan hasil tes medis laboratorium rumah sakit ini. Ia tampak tak percaya dengan ucapannnya sendiri.

"Saya hamil, Dok? Betul saya hamil?" seruku kegirangan.

Istriku sampai bertepuk tangan mendengar kabar baik dari dokter itu dan mengepalkan tangannya, diacungkan tinjunya ke langit, lalu ditariknya ke bawah lagi di atas perutnya. "Yes!" sorak istriku histeris.

Beberapa saat kemudian, dokter kandungan itu terkulai pingsan di kursi duduknya.

Kami lalu mengabari tentang kehamilanku kepada semua orang. Kepada tetangga, kepada teman-teman, kepada keluarga dan kerabat lainnya. Mereka sangat takjub dan tercengang, bahkan ada yang sampai kena serangan jantung.

Aku dan istriku tentu sangat paham dan tak heran dengan kehamilanku. Karena aku pernah sedikit membocorkan rahasia padanya perihal masa depan kami. Tentu saja, tanpa sepengetahuan para penjelajah waktu yang lain.

Akhirnya setelah menjalani sembilan bulan masa hamil, aku melahirkan seorang bayi mungil yang lucu. Aku menjadi sangat terkenal, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Aku adalah laki-laki yang hamil dan kini telah melahirkan seorang anak. Bukan seperti Thomas Beatie, laki-laki yang melahirkan seorang anak, tapi ia melalui proses transgender terlebih dahulu. Aku berbeda, aku lelaki tulen.

Ah, sekarang kami sudah mempunyai seorang momongan yang terlahir dari rahimku. "Oh, Tuhan terima kasih ya," ujarku menimang bayi yang lahir dari rahimku.

Istriku tersenyum bahagia di sampingku, sambil mengusap-usap rambutku.

***

Anakku hilang. Entah mengapa ia bisa hilang. Aku takut ia diculik. Aku ngeri sekali sampai jantungku berdebar-debar hebat seakan mengedor-gedor rongga dadaku. Saking kencang debaran jantungku, aku sangat takut tulang rusukku akan patah akibat debaran yang bergemuruh. Aku memegang dadaku untuk meredam suara debar yang mengerikan itu. Keringatku mengucur deras. Istriku membangunkan aku dari tidur, ia duduk di tepian tempat tidur yang seprainya telah kusut dan basah.

"Anak kita mana, Ma?" tanyaku pada istriku saat aku terbangun dari tidur.

"Anak...? Anak kita yang mana?" balas istriku balik bertanya sambil melongo.

"Ya, anak yang lahir dari rahimku tentunya!" kataku kesal.

"Mas...Mas, kamu kok suka mimpi yang aneh-aneh," ujar istriku tertawa menahan geli melihatku bermandikan keringat.

"Kok mimpi yang aneh-aneh?" balasku.

"Makanya jangan tidur sore-sore. Pamali!" lanjutnya sembari terus terkekeh sambil berurai air mata.

Entah air mata geli atau sedih. Aku menelan ludah. Cuma mimpi rupanya. Mungkin aku yang terlalu serius memikirkan soal keturunan yang belum turun-turun. Tuhan memang lucu dan maha berkehendak.

Jakarta, 25 Desember 2010


Lampung Post, Minggu, 15 Mei 2011

Sunday, May 8, 2011

Kertas akan Selalu Kosong

Cerpen Ika Nurliana


Satu bulan kemudian,

Selembar kertas kosong itu masih utuh di tempatnya. Bersanding dengan sebuah pena yang posisinya masih menindih meterai. Ketiganya siap digunakan. Secara tak sengaja posisi demikian, namun masing-masing memiliki makna. Meterai itu karena ditindih sebatang pena bertinta warna hitam, diharapkan tidak akan terbang diterpa angin ketika jendela kamar ini dibuka.

Hari ini aku membuka pintu kamar, menguaknya dengan lebar, masih berdiri di ambangnya, memandang ketiga benda itu dengan hati jeri. Betapa tidak, tiga benda itu bermakna besar bagi kehidupan kami sebulan lalu, dan mungkin hari-hari kami berikutnya.

***

Tiga benda itu bukan sebatas benda mati yang dapat digunakan sewaktu waktu saat kami mau menggunakannya, saat kami mantap memakainya atau dengan balutan emosi yang menggerakkan hati, tangan, dan seluruh raga. Hanya akan perlu waktu lima menit untuk menggunakannya dan mengubah segalanya dengan ketiga benda itu. Mengubah langkah kaki kami, mengubah status kami, mengubah hati dan kehidupan berikutnya.

Ketiga benda itu sangat bermakna. Melihatnya akan melemparkanku pada peristiwa satu bualan lalu. Pertengkaran hebat itu telah memutuskan kami untuk berteriak, memanggil Bibi Empi agar menyediakan sehelai kertas, sebatang pena tinta hitam, dan teriakan kami berikutnya adalah memanggil Mul, sopir kami, untuk mencari secuil materai yang selanjutnya akan kami gunakan untuk menuntaskan masalah ini, secepatnya, jam itu juga. Materai itu memang harus kami beli. Karena stok di ruang kerja telah habis untuk perjanjian jual-beli.

Masih teringat bagaimana Bibi Empi tergopoh-gopoh mendatangi kami, terkejut dengan semua yang tengah dilihatnya. Lalu mendengarkan suara tuannya berbicara cepat dengan nada datar, Bibi Empi mengangguk sebentar sebelum berlalu sambil menggendong si bungsu kami, berlari ke ruang kerja dan mungkin yang dilakukannya adalah mencabut sehelai kertas di atas printer Canon di atas meja. Kubayangkan wajah gugupnya tengah celingukan mencari sebatang pena, kembali berlari ke kamar kami, lalu dengan wajah pucat, takut, dan prihatin, ia sempatkan dan beranikan diri untuk memandang sesaat saja ke arah kami.

Pasti ditemukannya wajahku yang sembab, bahkan air itu masih menggantung di kelopak, mencairkan sebagian eyeliner dan maskara, semakin menghitamkan sekitar kelopak mata. Lalu, ditemukannya juga sesosok manusia yang diam, sedang berusaha menyabarkan hati, mengepalkan kedua tangan hingga sekujur tubuhnya bergetar.

Bibi Empi yang bijak, ia lekas berlalu setelah meletakkan dua benda itu. Menutup wajah Si Bungsu dengan kain gendongan agar tak melihat pemandangan itu. Tak melihat kami, dua orang tuanya yang sedang berjuang melawan emosi, meredam kata kasar, menggigit bibir agar tak keluar sepatah pun kalimat sumpah serapah yang akan didengar oleh Si Bungsu.

Tidak, dalam amarah apa pun, kami tidak akan membiarkan para buah hati kami tahu apa yang tengah terjadi dengan kedua orang tuanya. Ia tak boleh merasa bahwa saat ini rumah yang dihuninya nyaris sepanas neraka.

Tidak, mereka juga tak boleh tahu arti perang mulut, percekcokan dan pertengkaran. Bibi Empi tahu apa yang sedang terjadi. Ia cepat membawa lari tiga pangeran dan putri kami. Terbang bersama sayapnya, ke rumah tetangga.

Sepeninggalnya Bibi Empi dan buah hati, kami diam, saling mengunci mulut, hanya isak tangis dan helaan napas berat yang berirama, menghuni ruangan ini.

"Ma, tulislah, apa yang kau mau," suaranya rendah, bergetar. Tengah mengumpulkan sisa sabar.

Aku diam. Tak berminat melihatnya. Lebih tepatnya, ngeri.

Aku yang bodoh ini mengerti maksud kalimatnya tadi. Tidak. Kalaupun harus terjadi, biarlah ia yang menulisnya, menandatangani, dan mengurus semuanya, bukan aku. Dan, aku pun tak tahu kalimat apa yang harus ditulis, himpunan huruf, sederet kata, makna seperti apa yang akan digoreskan di atas kertas putih polos situ.

Ada yang mengetuk pintu kamar besar kami. Suara serak Mul mengucap salam.

Laki-laki di seberangku bangkit, diam-diam kuperhatikan ia sempatkan untuk mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Diraihnya gagang pintu, dibiarkannya terbuka sedikit. Tangannya terjulur. Tanpa kata. Suara pintu kembali menutup.

Kembali hening. Tangannya mengangsurkan kertas kecil itu. Materai. Secuil kertas yang dapat mengubah kehidupan kami berikutnya. Perjanjian di atas kertas, bertanda tangan dengan materai senilai enam ribu rupiah. Entah apa yang akan kami tulis di situ. Di antara kami tak ada yang mau mendahului. Hanya bersedia untuk menandatangani. Sebab kami sama sekali tak tahu apa yang kami maui dari semua ini.

Sampai akhirnya waktu membuat kami sama-sama letih. Aku tertidur dalam duduk. Suamiku memilih meninggalkan kamar besar ini. Ia seorang laki-laki. Siang ini ada janji dengan relasinya. Apalah arti pertengkaran, baginya pekerjaan harus terus berjalan. Itulah laki-laki.

***

Perpisahan sementara karena tuntutan kerja adalah hal biasa bagi kami. Juga bagi buah hati kami. Jarang bertemu adalah bumbu mujarab untuk memupuk rindu. Dan kami seolah lupa dengan pertengkaran itu. Minggu pertama setelah hari itu, kami lalui tanpa komunikasi. Ia yang mendahului, namun rasa sakit hati masih belum kutemukan obatnya. Saat itu ia pamit untuk perjalanan dinas ke luar kota. Anak-anak menjadi tanggung jawabku mutlak. Aku bisa melupakan masalah dengan bercengkerama riang dengan mereka. Aku tak pernah masuk kamar tidur besar kami. Aku tidur bersama dua putriku. Dua pangeranku tidur di kamar sebelah.

Aku kembali terbang dan menghabiskan malam di rumah dinas saat suamiku pulang. Tanpa komunikasi berarti. Hanya tatap tanpa tukar kalimat. Minggu kedua ketiga, hanya bersedia berbalas kata. Seperlunya. Aku masih mahal untuk menggerakkan lidah, memperdengarkan suara untuknya.

Aku ingat ketiga pangeran kecil dan putri kami. Cinta kami untuk mereka sepenuhnya. Kami tak memikirkan diri sendiri. Tapi ada mereka pengikat hati dan penyubur rindu. Muara untuk bertemu, bercengkerama, bersandiwara dengan hebatnya. Kami, tanpa sepakat kata, rela meluluhlantakkan hati demi buah cinta. Mencabik ego dan mematikannya. Menahan diri tak peduli hati nyeri.

Ah, perpisahan selalu memaksaku untuk berpikir tentang aku, dia, dan anak-anak. Apa yang menjadi musabab pertengkaran hebat kami? Dia laki-laki baik, sabar, pengertian, arif. Apa kurangnya? Apakah artinya sifatku adalah sebaliknya? Aku memang emosional, tegas, dan cenderung mandiri, tapi bukan berarti tak butuh suami. Lalu apa yang salah dengan hubungan ini? Toh di antara kami tidak ada orang ketiga. Tak pernah ada masalah ekonomi. Minimal itu.

***

"Kapan kita bisa kumpul? Renang, makan, ya liburan gitu deh...," suara si nomor dua membuatku mengukir senyum. Pagi hari yang cerah. Aku masih di rumah dinas.

"Mama sibuk banget. Papa sudah carikan sekolah untukku lho, Ma. Mama tahu tidak? Syaratnya aku harus hapal sepuluh surat pendek. Untung selama ini Abang yang ngajarin aku, dan aku mau belajar dari abang jelekku ini, hehehe," ini suara si nomor tiga, putriku yang ceriwis. Ah, padahal yang benar adalah, kami mengikutkannya untuk privat mengaji bersama abangnya. Bukan abangnya yang ngajarin.

"Tapi ada wawancara orang tua juga. Ya Mama-Papa harus kompak dateng. Jangan dianter Om Mul terus," protes si sulung.

Aku yakin handphone itu akan terus berpindah tangan.

"Di mana Kiki?" tinggal si bungsu yang belum berceloteh. Kupastikan benda itu tengah berada di depan mulutnya hingga kudengar suaranya yang lucu.

"Kakih ibu kepada betang kak kekika kepandang maka, hanya mengbeki tak hakap kembaki."

"Ki, es gitu... es, es, es," si sulung menganggu konsentrasi bungsuku dalam menyanyi. Ah, si kecil ini masih belum bisa mengucapkan es. Tapi untuk ukuran usia dua tahun, ia sudah hapal lebih dari dua puluh lagu. Siapa yang mengajarkan? Tentu bukan seluruhnya aku. Kuusap mataku.

Ah, para pangeran dan putri-putri kecilku. Harus bagaimana aku berterima kasih pada kalian?

"Mama akan pulang. Mama akan ambil cuti kantor. Oke?" putusku cepat.

"Papa juga Ma. Jadi kita liburan ya," alangkah girangnya si nomor dua itu.

"Oke," aku mengangguk. Air mataku meleleh. Entah oleh apa.

"Ke Bali ya, Ma?" rengek si putri.

"Tidak. Mama tidak mau, tempat lain saja," ucapku tegas.

"Kenapa Ma?" aku belum mau mengatakan alasan yang sesungguhnya pada mereka. Sebab alasan itu justru akan membuat mereka penasaran. Bali, apa bagusnya pulau indah itu untuk anak-anak seusia mereka? Turis tergeletak di sembarang tempat. Pemandangan tanpa pakaian. Ah.

"Kita ke Semarang aja." Semarang, tempat sepupu suamiku yang hingga sepuluh tahun pernikahan belum dikaruniai anak. Mereka selalu minta kami main ke sana. Kini kudengar suara keempat buah hatiku itu menceracau, memenuhi gendang telingaku.

***

"Sayang," suara itu seolah membuat tubuhku membatu. Mataku masih menatap ke arah tiga benda itu. Sehelai kertas, sepotong pena tinta hitam, dan materai di bawah pena itu. Kini pandanganku mulai kabur.

Aku mengerti makna semua ini. Membiarkannya tetap ada di sana. Bukan berarti sewaktu-waktu kami dengan mudah bisa menggunakannya. Bukan berarti ruangan ini tak pernah dibersihkan. Tapi Bibi Empi dan Yum tentu tak berani memindahkan barang apa pun di kamar ini.

"Besok kita ke Semarang. Anak-anak telah menyiapkan diri, Putri diterima di sekolah itu. Nilai tes akademiknya oke. Nilai wawancara kita," suara di belakangku berhenti.

Aku menunggu kelanjutan kalimat itu.

"Memuaskan," oh, kami semakin mahir bermain peran. Bagi orang di luar sana, kami adalah pasangan yang harmonis, romantis, sukses.

***

Hari ini, tepat sepuluh tahun pernikahan kami. Tak ada acara berarti. Aku tahu kami tak akan pernah lupa dengan tanggal dan bulan ini. Kertas itu masih kosong di tempatnya, di atas sebuah meja. Kertas, pena, dan materai yang sama. Hanya saja sekarang ruangan itu bukan lagi kamar utama. Kami biarkan berisikan buku pelajaran dan buku bacaan. Kami isi penuh dengan rak dan mainan anak. Tapi anehnya, tak satu pun dari anak kami menyentuh atau memindahkan tiga barang itu. Mereka tetap utuh di sana. Posisi yang sama.

Tak akan ada perpisaahan oleh kata. Tak akan ada perpisahan karena gerak kasar tangan. Tak akan ada perpisahan disebabkan rasa bosan. Tak akan ada kesepakatan untuk mengakhiri ikatan. Kami akan biarkan rasa itu datang dan pergi dengan sendirinya. Biarkan mengalir apa adanya. Tak ada salah satu dia ntara kami akan menuliskan sesuatu di kertas putih itu. Sampai puluhan tahun kemudian warnanya memudar. Berubah cokelat karena waktu.

Kami masih akan terus saling mencintai di antara kerak masalah. Hati kami masih akan selalu bertemu meski di tengah kemelut cemburu. Pikiran kami masih akan selalu jernih. Ada sepakat. Tak akan ada pengganti bagi yang lain. Tertutup pintu bagi orang ketiga. Masalah utama kami adalah emosi yang selalu meletup. Kami sadar. Saat itu terjadi, fungsi yang lain adalah menyiramkan salju. Kami pernah bertengkar hebat. Tapi hati kami terpatri pada rasa cinta yang kuat. Semoga, selamanya. Kertas itu akan selalu kosong.

Biarkan kertas itu tetap di sana. Tanpa bertuliskan kata. Biarkan ia berubah warna dengan sendirinya. n


Lampung Post
, Minggu, 8 Mei 2011

Sunday, May 1, 2011

Surat dari Malaikat

Cerpen Suhairi Rachmad


SUPARTO terkejut ketika membaca surat kaleng yang tergeletak di depan pintu rumahnya. Isinya cukup singkat: Bersiap-siaplah menjemput maut. Umurmu tinggal 30 hari lagi. Ttd. Malaikat. Surat kaleng itu ditulis menggunakan spidol. Jadi, Suparto tak membutuhkan bantuan kacamata agar bisa membaca pesan dalam surat itu.

Suparto tahu, surat kaleng yang masih segar tersebut ditujukan kepada dirinya. Di rumah itu, ia tinggal seorang diri. Istrinya meninggal dunia setahun yang lalu akibat serangan jantung. Kedua anaknya kini bekerja di Jakarta dan Surabaya. Di rumah itu tak ada pembantu. Suparto mengerjakan semuanya dengan tangannya sendiri. Maka ia faham, jika surat itu ditujukan kepada dirinya. Tetapi siapa yang telah berani meletakkan surat kaleng di depan pintu rumahnya?

Bulu roma Suparto sempat merinding ketika membaca surat kaleng itu. Tatapan matanya seperti menatap aroma kematian. Ia bangkit dan seperti menahan perasaan terkejut. Sumpah serapah kini berhamburan keluar dari kedua belah bibirnya yang hitam legam. Ia berusaha menghilangkan perasaan itu dengan mengerjakan sesuatu; mencuci piring dan cangkir, lalu membuat secangkir kopi manis. Setelah itu, ia kembali duduk di kursi di teras depan.

Semasa muda, Suparto terkenal sebagai perampok kelas kakap. Bersama empat kawannya, beberapa kali ia merampok bank di siang bolong. Mereka menggunakan senjata api yang ditodongkan kepada karyawan dan nasabah bank. Dengan lihai Suparto membuka setiap laci milik karyawan yang diduga berisi tumpukan uang. Pada hari itu juga mereka berhasil menggondol uang ratusan juta rupiah.

Suparto tak merasa gentar. Bahkan ia tahu, aksinya di siang bolong itu direkam CCTV yang terpasang di pojok atas bank. Bisa dipastikan, aksi tersebut tak tercium aparat. Ia selalu lolos dalam setiap pengejaran pihak aparat keamanan. Dari hasil merampok, ia gunakan mabuk-mabukan, main judi, dan tentu saja dengan pendamping seorang perempuan berdandan seksi. Sedangkan istri dan kedua anaknya di rumah, ditinggal pergi hingga beberapa hari.

Ketika uangnya tinggal uang ribuan beberapa puluh lembar, Suparto baru mau pulang ke rumah. Pakaiannya yang kumal, rambutnya yang panjang dan ikal, serta mulutnya yang bau alkohol, membuat istrinya tak menyukai kedatangannya pada saat itu. Namun apa boleh buat, rumah itu adalah rumah Suparto. Yang dibangun dari hasil jerih payahnya sendiri. Ketika istrinya berusaha memberikan nasihat agar tak melakukan sesuatu yang melanggar agama, bisa dipastikan tangan Suparto yang kasar akan mendarat di pipi istrinya. Lalu istrinya akan lari ke kamar dan menangis sesenggukan.

***

Malam ini Suparto ingin secepatnya memejamkan matanya. Di usianya yang hampir uzur, ia tinggal seorang diri. Jika perasaannya sedang dirundung rasa kalut, tak seorang pun yang bisa memberikan nasihat, apalagi menghiburnya. Begitu juga setelah kedatangan surat kaleng tadi pagi. Rasa berani ketika masih muda kini menghilang lenyap. Bahkan sudah tiga jam ia berusaha memejamkan mata. Sekarang hampir tengah malam. Suara kendaraan di luar sana mulai menurun. Sesekali ia mendengar tetes embun menyentuh daun kering di samping rumahnya. Suara burung hantu membangkitkan kembali bulu kuduknya. Sesekali terdengar jeritan panjang. Mungkin anak-anak yang baru pulang begadang. Tetapi, suasana malam itu seperti mengajak Suparto menuju alam kematian.

Suparto terbangun setelah beberapa sinar matahari menerpa bagian punggungnya. Wah, aku kesiangan, desis Suparto pada dirinya sendiri. Ia bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Namun, di pagi yang segar itu, kedua belah matanya kembali menatap selembar kertas tergeletak di depan pintu rumahnya: Bersiap-siaplah menjemput maut. Umurmu tinggal 29 hari lagi. Ttd. Malaikat.

Tidaakk! Suparto berteriak keras dan meremas-meremas surat kaleng yang baru ia baca. Sobekan-sobekan kertas kemudian dilempar ke tempat sampah yang terletak di pojok teras depan.

Suparto berusaha menelepon anaknya yang bekerja di Jakarta. Ia membujuknya agar mau menemani dirinya di rumah. Anaknya menolak. Sebab, jika semua ada di rumah, siapa yang akan mencarikan duit untuk kebutuhan hidup Suparto. Anaknya juga mewanti-wanti agar Suparto tak banyak bekerja. Tetapi, bagaimana agar umurnya yang tinggal sedikit digunakan untuk bertobat.

"Apa? Anakku bilang aku harus banyak bertobat karena umurku tinggal sebentar lagi," wajah Suparto memerah. Tatapannya kosong melompong. Ponsel di genggamannya nyaris terlepas. Apakah surat kaleng itu dikirim oleh anaknya yang bekerja di Jakarta? Tak mungkin. Sebab, surat kaleng itu tak dikirim melalui pos.

Matahari tak terlalu siang. Ia berusaha menghubungi anaknya yang bekerja di Surabaya. Barangkali ia tak sibuk dan mau menyisihkan sedikit waktunya untuk menerima telepon dari ayah kandungnya.

"Nak, kamu harus pulang ke rumah! Ayah sendirian," pinta Suparto memelas.

Sang anak malah menjawab dengan sedikit membentak.

"Apa tak keliru, Yah. Bukankah ayah dulu yang mengusir saya dari rumah. Saya dikejar-kejar seperti anjing kudisan," jawabnya dari seberang sana.

"Maafkan ayah, Nak! Ayah khilaf!"

"Ketika saya menikah di Surabaya, ayah juga tak sudi menghadiri akad nikah. Bukankah ayah adalah wali saya?"

Tiba-tiba ponselnya ditutup. Suparto kini kembali meratapi nasibnya. Duduk di sebuah kursi yang tertata di teras depan. Pagi ini ia tak memiliki gairah memasak atau membuat secangkir kopi hangat. Pikirannya kacau. Apalagi, ia melihat burung gagak di depan rumahnya terbang dan hinggap di atas pohon. Lalu bertengger di sebuah ranting. Jelas terlihat dari tempat duduk Suparto. Burung gagak itu berkaok-kaok, seperti memanggil-manggil Suparto. Ajal baginya sudah nyata di ambang pintu.

Pagi hari Suparto kembali menemukan surat kaleng tergeletak di depan pintu. Bersiap-siaplah menjemput maut. Umurmu tinggal 28 hari lagi. Ttd. Malaikat.

Ah, ini pasti kerjaan orang iseng dan tak senang melihat kehidupanku aman dan tenteram. Tidak mungkin malaikat sibuk-sibuk setiap pagi mengantarkan surat kaleng ini kepadaku. Apalagi malaikat tak pernah memberikan pengumuman terkait kematian seseorang.

Suparto berusaha mengusir rasa gelisah yang menggenang pada sisi hatinya. Kali ini ia bertamu ke rumah tetangga dekatnya. Berbicara tentang bonsai. Kemudian, ia belajar cara merawat bonsai dengan baik. Untung saja di sebelah rumahnya terdapat tetangga yang suka mengoleksi dan merawat bonsai. Otomatis ia tak sering keluar rumah. Namanya Udin. Umurnya tak jauh berbeda dengan Suparto. Udin bekerja sebagai tukang bonsai sejak tiga puluh tahun silam. Inilah yang dijadikan kegiatan sebagai penopang hidup untuk keluarganya.

"Din, aku dapat surat kaleng," Suparto mengadukannya kepada Udin.

"Surat kaleng apa?" tanya Udin, seraya membengkokkan tangkai bonsai pohon asam.

"Ancaman."

"Ancaman apa?"

"Ancaman kematian."

"Hah!" Udin terkejut. Kawat sepanjang sepuluh sentimeter di tangan kanannya terlepas setelah mendengar ancaman kematian. Ia menatap wajah Suparto yang tampak ketakutan. Tiga surat kaleng yang disodorkan Suparto malah membuat Udin tertawa sekeras-kerasnya.

"Ha ha ha ha...!" Udin ngakak di depan Suparto. Gigi-geriginya yang tak utuh, terlihat jelas. "Ini bukan ancaman dari malaikat. Ini kerjaan orang iseng!"

"Ah, kau jangan bercanda, Udin!"

"Aku tak sedang bercanda."

Suparto sedikit lega. Wajahnya berbinar. Kini ia seperti memiliki semangat baru. Sesampainya di rumah, ia kembali menyeduh secangkir kopi hangat. Lalu duduk di sebuah kursi yang tertata di teras depan.

Malam ini terasa sangat pekat. Di luar suasana sudah sepi. Biasa, jika gerimis turun sejak menjelang magrib dan baru berhenti setelah salat isya, orang-orang enggan keluar rumah. Mereka lebih suka nonton televisi atau mendengkur di balik selimut tidur. Malam ini Suparto bisa memejamkan matanya secepat mungkin. Jauh sebelum Subuh, ia terbangun dari tidurnya. Rasa dingin yang menusuk-nusuk tulang dan sumsumnya tak dihiraukannya. Ia ingin mengetahui siapa yang telah iseng meletakkan surat kaleng di depan pintu rumahnya.

Sambil menahan rasa dingin dan sepi, Suparto duduk di dekat jendela kamar. Sebuah lubang kecil, dirasa cukup untuk melihat seseorang yang akan datang dan mengantarkan surat kaleng. Kadang-kadang bulu romanya terasa merinding. Seperti ada makhluk halus yang datang. Jangan-jangan malaikat maut kini berseleweran di rumah ini? Ah, tak mungkin!

Jarum jam berdenting tiga kali, empat kali, lalu lima kali. Berarti ia telah melewati tiga jam duduk menghadap pintu masuk ke kamar depan. Pagi ini tak ada yang datang. Sayup terdengar kicau burung dari reranting pohon di belakang rumahnya. Suparto bangkit dan ingin memastikan apakah pagi ini tak ada surat kaleng di depan pintu rumahnya?

Seraya menahan kantuk, dibukanya pintu kamar depan. Ternyata, sebuah surat kaleng tergeletak seperti menahan rasa takut. Lalu siapa yang meletakkan surat itu? Manusiakah? Tak mungkin. Semalam tak ada seorang pun yang memasuki halaman rumahnya lalu mendekat ke pintu depan. Malaikatkah? Ah, tak mungkin juga. Malaikat tak pernah main-main dengan kematian.

Pagi itu juga Suparto membawa surat-surat itu ke kiai atau orang pintar. Ia ingin mengetahui pengirim surat misterius itu. Seandainya bisa, ia juga ingin mengetahui sidik jari yang menempel pada bagian kertas. Namun, ini terlalu njlimet dan memakan waktu.

"Aku tak bisa menentukan siapa yang telah meletakkan surat kaleng di depan rumahmu. Saranku, kau harus bertobat agar bisa mengakhiri hidupmu dengan khusnul khotimah. Dan sejak saat ini kau tak perlu mempermasalahkan setiap surat kaleng yang kau terima," saran Kiai Samsul, yang tinggal sedesa dengan Suparto.

"Saya selalu merasa takut menghadapi maut, Kiai," ujar Suparto.

"Kau akan berani berhadapan dengan maut jika kau memiliki bekal banyak."

"Apakah ajal saya memang sudah dekat, Kiai?"

"Siapa pun tak mengetahui ajal seseorang. Itu urusan Allah," Kiai Samsul berusaha membujuk Suparto agar tak terlena dengan ancaman kematian. Ia menasihati Suparto agar mau mendekatkan diri dan bertobat atas perbuatannya yang selama ini telah melenceng dari aturan agama.

Setiap pagi ia masih menerima surat kaleng yang berisi ancaman kematian: Bersiap-siaplah menjemput maut. Umurmu tinggal 10 hari lagi. Ttd Malaikat.

Suparto merasakan panas-dingin. Napasnya terasa semakin sesak. Kepalanya terasa pening. Sambil menahan keseimbangan tubuhnya, ia mondar-mandir di ruang tamu. Kemudian keluar ruangan. Berdiri di tengah halaman. Mengambil sabit untuk membersihkan rumput-rumput liar di halaman rumahnya. Namun, itu semua tak membuat dirinya tenang. Apalagi ketentuan umur yang tercantum dalam surat kaleng itu semakin mengancam dirinya: tinggal lima hari lagi; tinggal empat hari lagi; tinggal tiga hari lagi, tinggal dua hari lagi; dan surat terakhir tertulis umurmu tinggal satu hari lagi.

Kini tubuhnya semakin gemetar. Wajah anaknya yang bekerja di Jakarta berkelebat seraya melambaikan tangannya. Sesaat kemudian, wajah anaknya yang tinggal di Surabaya seperti melambaikan salam perpisahan. Yang terakhir, giliran mendiang istrinya yang terbayang di pelupuk matanya. Ketika semuanya pergi, suasana menjadi sepi. Sunyi. Kini Suparto merasakan sepi yang mendera.

Beberapa hari berikutnya, sebelum berangkat kerja, orang-orang menikmati secangkir kopi dan sepotong pisang goreng hangat di warung Bu Minah. Ketika melewati jalan raya di depan rumah Suparto, mereka menutup hidung dengan tangannya. Sebagian terlihat mual-mual menahan bau tak sedap. Inilah yang menjadi perbincangan orang-orang di warung Bu Minah, bahwa mereka mencium bau mayat menyeruak memenuhi angkasa di pagi hari.

Sumenep, 23 Agustus 2010


Lampung Post
, 1 Mei 2011