Sunday, January 30, 2011

Sepasang Wayang

Cerpen Arman A.Z.


ADAKAH yang lebih membahagiakan bagi lelaki uzur macam kalian selain memberi napas pada nostalgi? Kalian seperti menemukan peti harta karun saat menoleh ke belakang. Ah, memang getir menjalani sisa hidup sebagai sampah yang disisakan masa lalu untuk masa kini.

Tjin Siong, tentu kau tahu kotamu tengah bersolek menjelang Imlek, bukan? Mengapa mengurung diri dalam kamar pengap apak ketika orang-orang berwajah bungah? Buka jendela dan tataplah langit cerah di luar sana. Dengar kesiur angin kencang merontokkan daun-daun tua, mewartakan tahun baru sudah di depan mata.

Pergilah ke pusat kota. Di depan mal atau deret pertokoan, barangkali semarak lampion dan kibar spanduk merah nyala bertuliskan selamat tahun baru itu bisa sedikit mengobati dukamu. Lalu kau melenggang pulang sambil membayangkan sang naga berkenan datang menyambangimu. Kala bocah, kau acap terpukau dengan cerita naga yang menyambangi rumah-rumah, memberi berkah pada penghuninya. Itulah yang kau butuhkan saat ini, Tjin Siong.

Petang kemarin kau tak duduk di teras seperti biasa. Sia-sia belaka Narto datang. Selain ingin mengajakmu ngobrol mengiris waktu, dia menjinjing rantang berisi nasi, sayur pare, dan pepes teri untukmu. Tak kau lihat raut mukanya saat berdiri di depan pagar setinggi pinggang yang dikunci rapat. Kehilangan terpancar lewat matanya saat melihat kursi rotan lapuk yang biasa kau duduki kosong melompong. Jakunnya berkedut menelan liur kecut. Dia mendesah panjang sebelum balik kanan, menyeret langkah pulang dengan hati diganduli sedih.

Sesungguhnya telingamu menangkap seret langkah dan batuk Narto, namun kau enggan membuka pintu. Kau berharap dia tak menyadari bahwa kau ada dalam rumah, duduk mengurung diri dalam kamar berlampu remang. Tanpa isak tertahan, kau biarkan air bening itu menetes dari sudut matamu, bergulir perlahan di pipi keriputmu, jatuh ke celana pendek hitam kusam yang nyaris tiap hari kau kenakan. Kau hanya berdesis dalam hati, semoga dia mengerti, ada waktunya kau ingin sendiri.

***

Ayo bertaruh, Tjin Siong. Tentu kau ingin kembali ke masa silam ketimbang sendirian menyulam perca kenangan Imlek masa kecilmu. Dahulu, rumahmu dipenuhi pernak-pernik Imlek. Lampion bundar merah nyala, mercon, kue keranjang, dan kembang kecil merah muda perlambang tahun baru. Bersama adik-adikmu menonton barongsai dan opera kera sakti di lapangan dekat klenteng yang tengah bersolek menyambut Imlek. Kalian berlomba mengumpulkan angpau paling banyak. Tiba di rumah, kau sudah ditunggu makanan yang disiapkan ibumu. Aneka buah berderet di meja: jeruk mandarin, pir, manisan plum, buah naga, atau kiambwee. Tapi kau paling suka puih tao bumbu tauco kiriman popomu. Aroma sedapnya yang meliuk dibawa angin bisa menggeliatkan cacing-cacing dalam perutmu.

Tapi itu masa lalu. Sejak orang tuamu mangkat, rumah warisan dijual, biduk rumah tanggamu karam, hingga terperosok ke liang kemiskinan, kau memutuskan pergi jauh. Menyepi ke kota kecil itu. Bertahun-tahun tinggal di bedeng petak di pinggiran kota.

Tataplah dirimu di cermin. Kini kau hanya lelaki delapan puluhan sebatang kara dengan tubuh ringkih digerus waktu. Helai-helai rambut perakmu kerap berserak di bantal dan lantai.

Apa yang masih bisa kau banggakan untuk Imlek kali ini, Tjin Siong? Tak ada lampion bundar. Tak ada amplop angpau. Tak ada pohon plastik bunga mei hwa. Tak ada hio dan peralatan sembahyang lainnya. Tak ada uang di saku untuk memindahkan semua itu ke dalam rumahmu.

***

Kau lelaki yang pantang menjilat ludah sendiri, Tjin Siong. Tak pernah kau sesali sumpah serapah yang kau muntahkan di muka adik-adikmu sekian tahun silam. Bagimu, mereka burung yang lupa sarang setelah piawai terbang. Setelah orang tua meninggal, sebagai lelaki sulung kau jadi tulang punggung keluarga. Terlampau banyak yang kau perjuangkan demi membesarkan adik-adikmu. Namun, setelah roda hidup membuat mereka sukses dan kau jatuh pailit, mereka membalasmu dengan tuba.

Entah di mana tangan mereka ketika lumpur kemiskinan mengisapmu perlahan-lahan. Entah di mana suara mereka ketika kau dicampakkan istri yang menuduhmu mandul. Entah sesibuk apa mereka hingga tak sempat membesuk kala kau sakit. Entah di mana mereka sembunyikan dompet ketika kau tak punya uang untuk membeli sebungkus nasi.

Kau telah paham, orang lain bisa jadi saudara, sementara saudara sendiri justru mirip orang asing. Dengan suara parau menahan emosi, pernah kau sindir mereka bahwa Narto-lah yang lebih layak jadi saudaramu. Narto, lelaki sebaya mantan pemilik wayang orang yang tinggal tak jauh dari bedengmu, yang bertahan menjalani sisa hidup bersama istri dan anak-anaknya. Perasaan senasib sebagai orang-orang kalah yang menyatukan kalian.

Saat kau disengat stroke, Narto dan anak-anaknya lintang pukang menolongmu. Mencarter becak, membopong tubuh kakumu ke sinse kenalanmu. Istrinya menyeduhkan ramuan tumbuhan, serangga, dan rendaman arak. O, tentu kau kini telah fasih menakar mana lebih pahit; ramuan obat atau nasibmu.

Ketika kerusuhan satu dekade silam, kalian tercekat menyaksikan serigala-serigala berwujud manusia dalam kotak 14 inci itu. Mata rabun kalian seperti melihat sepasang tanduk mencuat di kepala orang-orang yang menjarah apa saja dan bara di mata orang-orang yang membakar apa saja. Glodok dan Mangga Besar, pecinan tertua di Jakarta yang sejak zaman kompeni jadi kawasan pemukiman dan perdagangan, musnah jadi arang.
Keluarga Narto yang cemas kerusuhan menjalar ke kota itu, memaksamu mengungsi ke rumah mereka. Beberapa hari kemudian kau dapat kabar, adik-adik dan familimu telah terbang menyelamatkan diri ke luar negeri, sementara beberapa keponakanmu jadi korban perkosaan. Kau cuma bisa menangis dalam hati kala itu.

***

Tjin Siong, Narto, betapa getir menjalani sisa umur sebagai bekas dalang. Dalam ingatan kalian tersimpan segunung cerita tentang sudut-sudut kota yang pernah kalian singgahi ketika menggelar pertunjukan wayang potehi dan wayang orang. Pernahkah terlintas di benak kalian, jika sedang bernostalgia, kalian bak sepasang mayat yang bangkit dari kubur? Dengan mata berbinar dan abai pada napas yang tersengal, cerita meluap tak terbendung dari mulut kalian, hingga orang-orang yang jenuh mendengar menyingkir perlahan. Macam tak ada yang lebih menarik dari masa silam; begitu rutuk mereka seraya meninggalkan kalian.

Menyesalkah kau jadi dalang potehi, Tjin Siong? Dulu kau selalu kebanjiran order. Jika ada acara keagamaan di klenteng, kau bisa mentas sebulan penuh. Sering pula kau ditanggap di luar kota. Tapi yang diingat tetangga-tetanggamu kini hanyalah rona wajahmu yang mirip kepiting rebus kala mengutuk masa silam. Kau kehilangan segalanya sejak potehimu dilarang tampil. Kau gulung tikar. Pensiun sebagai dalang.

Dan kau, Narto, apa yang kau raih setelah separuh lebih hidupmu mengurus kelompok wayang orang warisan bapakmu? Zaman berubah, Pak Tua. Seperti Tjin Siong, wayang orangmu pun telah lama mati. Membusung dadamu ketika rombongan wayangmu pentas dari satu daerah ke daerah lain. Pertunjukanmu selalu padat penonton. Senyummu semringah melihat orang-orang berdesakan demi mendapatkan karcis di loket. Tapi semenjak televisi masuk ke rumah-rumah, semenjak wayang dan ketoprak tayang di televisi, penontonmu wayang orangmu kian surut.

Tentulah mereka memilih nonton gratis. Meski tiket kau jual murah, tak lebih dari sebungkus rokok, toh pertunjukanmu tetap sepi. Acap kalian terpaksa iuran menutupi sewa gedung pertunjukan. Kau sempat ngotot bertahan meski wayang orangmu di tubir bangkrut. Cincin, gelang, dan kalung emas simpanan istrimu yang jadi tumbal menutup tekor, tak tergantikan hingga kini.

***

Imlek dua tahun silamlah pentas terakhirmu, Tjin Siong. Kau bagai musafir dahaga menemukan setangkup air di jantung gurun ketika seseorang menanggapmu untuk menggelar wayang potehi di pasar malam. Ada redup nyala lilin dalam hatimu kala itu. Dibantu Narto, kalian rangkai panggung potehi dari tripleks yang di cat merah. Atapnya seng karatan, bagian depan serupa bingkai untuk memainkan wayang, sisi-sisinya dilapisi kain merah, dan di sisi kiri ada pintu kecil untuk kalian keluar masuk.

Dalam kotak itu kau mulai pertunjukan. Narto jadi cantrikmu malam itu. Dialognya bahasa Indonesia, suluknya tetap bahasa China. Kau pilih lakon Sin Jin Kuy, sebuah kisah kepahlawanan. Justru kau yang kalah telak malam itu. Suaramu raib ditelan dentam house music dan dangdut yang disetel keras-keras. Suaramu tak bisa menyaingi teriakan para pedagang kaki lima dadakan. Segelintir penonton yang sempat berhenti untuk menonton kalian, entah berdiri atau duduk di trotoar, bubar satu per satu karena tak mendengar apa yang kau ucapkan. Kepala batu atau mengelak dari rasa malu, kau berkeras melanjutkan pertunjukan sampai usai. Sudah dibayar, jangan sampai ceritanya putus di tengah jalan, dalihmu sengau. Narto menatapmu dengan hati digores sembilu.

Ah, Tjin Siong, Narto, kesetiaan itu menyakitkan. Puluhan tahun jadi dalang wayang potehi, puluhan tahun mengurus wayang orang, kini kalian tak ubah sampah masa lalu yang disisakan untuk masa kini. Jika kalian mati dalam derita dan kesepian, pada siapa kalian wariskan peralatan wayang itu?

***

Tjin Siong, Narto, mengapa kalian masih terpekur di trotoar simpang jalan bekas pasar malam dua tahun silam? Angin malam tak baik untuk kalian yang kerap mengeluhkan rematik. Pulanglah. Malam kian larut. Rebahkan tubuh di ranjang dan tarik selimut. Jangan bermimpi ada sisa tempat buat kalian dalam sejarah kota ini; kota yang telah lama meninggalkan dan melupakan kalian.

Ah, rupanya tak ada yang lebih berharga bagi sepasang lelaki uzur malang macam kalian selain menghidupkan nostalgi yang sudah mati. Lihatlah, di bawah tatap muram tembok-tembok tua penuh lumut, di bawah sorot sinis lampu-lampu kota tanpa cahaya bulan, berdua saja kalian semarakkan panggung kenangan yang telah lama sunyi. Entah siapa menjadi dalang, entah siapa menjelma wayang. n


Lampung Post, Minggu, 30 Januari 2011

Sunday, January 23, 2011

Empat Potong Warahan Batu

Cerpen Muhammad Amin


MARI kukisahkan kembali beberapa potong cerita tentang batu. Cerita-cerita ini tercecer begitu saja di lepau atau kedai tuak Wa Isah sebelum kusampaikan lagi kepadamu. Cerita yang kupunguti satu per satu dari mulut kawan yang menyeracau sambil tersedak. Kebiasaan yang tak pernah kita lupakan: mangkal di kedai tuak sembari menunggu Abdul Manan, si tukang cerita itu menyampaikan warahan yang memikat.

O, si tukang cerita tak akan membuka warahan-nya bila tak disuguhi tuak. Mula-mula ia berlagak mengantuk atau mengempaskan batu gaple ke meja. Itulah pertanda ia ingin dibelikan tuak, kemudian mulai bercerita. Ya, cerita yang seban pagi kita tunggu-tunggu mengalir dari mulutnya yang lincah berkisah.

Di tanah kami, katanya, banyak batu yang memiliki kisahnya sendiri. Batu, meskipun tak lebih dari benda mati, tetapi tetap saja menyimpan nasibnya sendiri. Terkadang ia dipaksa menjadi terasa hidup dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Sehingga batu tidak benar-benar mati dalam diamnya. Bahkan ia akan tetap hidup bila ada yang menceritakannya. Ia memiliki persepsi, tergantung dari empu atau orang yang kebetulan mengisahkannya. Memiliki versi, sebagaimana cerita-cerita yang disampaikan secara lisan.

Batu, sebagai benda mati, tak pernah menolak menjadi bahan cerita. Dalam diamnya, batu telah menerima nasibnya dengan lapang dada sebagai batu—baik yang memiliki muasal atau cuma benda mati—sama saja.

Dan batu yang ingin kukisahkan di sini sebagian pernah kudengar dari warahan tamong-kajong sembari memijit atau mencari uban ketika masih kanak-kanak dulu.

Batu Kerbau

Puari, aku mendengar, dahulu ketika seorang berjuluk Pahit Lidah mengembara dari negeri ke negeri, dari tanah ke tanah baru, binatang-binatang tak lagi pandai bicara tapi mengerti bahasa manusia. Sebutlah seekor kerbau yang berkhianat pergi dari kandangnya, lepas dari pengawasan sang pengembala.

Kerbau yang mendadak liar itu berlari-lari menyeruduk rumah, dan merusak kebun-kebun. Orang-orang menyerapahinya. Mereka mengejar, tapi sang kerbau kelewat ganas untuk dikendalikan. Akibatnya ada satu dua orang terluka, yang lain keberaniannya menciut. Mereka tak dapat menaklukkan sang kerbau. Kemudian pergi ke rumah si pemilik kerbau, meminta pertanggungjawaban.

"Apakah yang harus aku lakukan, sementara aku sudah kehilangan kerbau kesayanganku?" ucap si pemilik kerbau mengiba.

"Kami tak mau tahu apa-apa mengenai urusanmu. Kami hanya mau kerusakan dan kerugian yang kami alami harus diganti dengan setimpal."

"Aku tak memiliki apa-apa selain kerbau-kerbau itu. Dan jika kalian mengambilnya, aku akan kehilangan hartaku paling berharga. Padahal aku tak memiliki keahlian apa pun selain mengembala. Apa kalian tega mengambil sumber penghasilanku?"

"Kami tak mau peduli. Itu urusanmu. Kami hanya mau kerugian yang kami alami harus terbayar." Kemudian orang-orang itu menyeret kerbau milik si pengembala.

"Kalian telah berbuat aniaya. Padahal aku dan anak istriku hidup dari kerbau-kerbau itu. Kalian sudah mengambil sumber penghidupan kami, berarti kalian sudah membunuh kami," ucap sang pengembala sembari terus mengiba.

Namun, orang-orang itu tak menggubrisnya. Mereka pergi membawa tiga ekor kerbau dan dua ekor yang masih kecil. Si pengembala itu menangis.

"Ah, kerbau kesayanganku. Mengapa kau membuatku susah begini? Padahal aku sudah mengurusmu semenjak kecil, merawat, memandikan, dan memberi makan. Tapi apa yang telah kaulakukan terhadap orang yang telah berjasa kepadamu?"

Si pengembala hanya bisa mengelus dada. Kemudian dengan hati-hati ia menceritakan kejadian itu kepada anak istrinya. Mereka pun menangis tersedu-sedu.

Kerbau itu sudah cukup umur dan dewasa. Tanduknya panjang. Matanya nyalang besar-sebagaimana mata seekor kerbau. Tubuhnya besar kekar. Ia berlari sampai ke tempat yang jauh, mencari betinanya yang beberapa hari lalu dijual oleh si majikan di kampung seberang.

Kerbau itu sudah nekat. Ia mau berenang menyeberang Teluk Semaka yang luas. Di penglihatannya, Teluk Semaka tidaklah luas, seperti sungai kecil. Mula-mula ia merasa ragu. Tetapi tekatnya sudah bulat, ia ingin mencapai seberang secepat mungkin.

Alangkah heran Si Pahit Lidah yang kebetulan sedang beristirahat di bawah pohon yang rindang. Dilihatnya matahari yang terik menyemburkan panasnya yang membakar terpancang di atas kepala.

"Betapa buruk perilaku kerbau itu. Ia mandi padahal sedang tengah hari. Di manakah pengembalanya?" kemudian Si Pahit Lidah berdiri dan memanggil si kerbau.

"Hei kerbau! Sebaiknya kau menepi. Apa yang kau lakukan di situ?"

Si kerbau tak menyahut.

"Hei kerbau! Mengapa kau mandi di saat matahari sedang terik? Di mana penggembalamu?"

Si kerbau seolah tak peduli.

"Hei kerbau! Apa kau tak mendengarku? Sebaiknya kau menepi sekarang dan kembali pada penggembalamu!"

Si kerbau tetap tak menyahut seolah bergeming dari tempatnya.

Pahit Lidah merasa dilecehkan dan marah besar terhadap kerbau bodoh itu. Padahal ia berada jauh di atas bukit dan kerbau berada di bawah sana. Tanpa sengaja, atau dipacu oleh kemarahannya, ia bergumam pada diri sendiri: "Alangkah bodoh dan buruk perilaku kerbau itu. Dan ia tuli dan bisu seperti batu!"

Batu Balai, Sebuah Pengakuan

Dahulu, kakiku berpijak di tanah, dapat berlari ke sana ke mari. Masa kanak-kanak yang menyenangkan bersama ibu. Tak habis-habis kasih sayangnya kepadaku.

Kini, sepanjang waktu tubuhku diempas ombak. Kadang diganyang segerombolan badai. Alam menghukumku sedemikian rupa. Pedih yang tak mungkin dirasakan oleh manusia. Pedih yang tak terkira. Tak ada yang mengenaliku. Tak ada yang tahu bahwa aku demikian tersiksa.

Di tengah laut tempatku terpaku. Setelah kapalku dikaramkan ombak bersama kejayaanku yang runtuh. Porak-poranda. Mengeras jadi beku dan diam sepanjang waktu. Meski aku masih bisa merasakan denyut kehidupan, ini seperti mati. Tetapi bukan mati, hanya sesuatu yang amat menyiksa.

Sesungguhnya aku ingin menangis. Tapi, air mataku telah beku jadi batu. Aku ingin meratap. Tapi, isakku telah pula lenyap. Darahku pun tak lagi mengalir karena sudah lama menjadi beku. Namun, jantungku masih saja berdetak. Aku masih hidup. Sebagai batu. Yang terkutuk. Yang dikutuk ibuku sendiri.

Batu Tangkup

Tuah, pernahkah kalian mendengar cerita batu tangkup, batu yang dapat menelan manusia hidup-hidup? Membayangkannya saja kalian akan merinding dibuatnya.

Baiklah. Aku akan mulai bercerita. Dahulu ada sebongkah batu besar teronggok di tepi sebuah kampung. Batu itu tidaklah istimewa, sama seperti sebagaimana batu biasanya. Namun kemudian batu itu berubah menjadi seolah-olah hidup lantaran perilaku orang-orang di kampung itu yang kelewat batas. Mereka suka minum arak, berjudi dan menyabung manusia. Anak-anak kecil sudah pandai melawan orang tua. Mereka tak pernah mengira bahwa batu di tepi kampung itu yang kemudian menghukum mereka satu per satu. Mereka menghilang ditelan sebongkah batu.

Seorang laki-laki yang sangat menyayangi anak perempuannya merasa waswas ketika anaknya tak pulang hingga larut malam. Ia meminta tolong kepada tetangga untuk mencari anaknya. Mereka berkeliling kampung membawa lampu petromak. Masuk ke hutan karet dan damar, mencari sampai ke tepi ngarai, namun anaknya tetap tak ditemukan. Ketika mereka berada di tepi kampung, di mana batu itu teronggok, terdengar suara isak tangis gadis kecil yang ketakutan sembari memanggil bapaknya.

"Aku mendengar suara anakku, ia ada di sekitar sini!"

Setelah beberapa lama mencari, mereka tetap tak menemukannya. Hanya suaranya saja. Tak tampak sosoknya. Kemudian malah ada seseorang di antara mereka tiba-tiba ikut menghilang seolah tertelan malam.

Penduduk di kampung itu semakin sedikit. Setiap hari selalu ada yang menghilang. Setiap kali mereka mencari orang hilang, selalu ada pula yang tak kembali. Hingga penduduk itu benar-benar berkurang, hanya menyisakan beberapa orang. Akhirnya mereka yang masih tersisa memutuskan untuk pindah ke kampung lain yang lebih aman. Kebun-kebun dan rumah ditelantarkan begitu saja.

Setiap kali ada orang yang lewat di sekitar batu Tangkup, selalu mendengar suara-suara. Terkadang suara orang menangis ketakutan. Terkadang suara orang memaki-maki. Ada pula suara orang menjerit-jerit kesakitan. Tetapi lebih banyak suara orang menangis dan tak pernah tampak sosoknya. Hanya suara-suara saja.

(Anak-anak lebih cepat tertidur setelah mendengar cerita batu tangkup)

Batu Penyabung

"Puari, pernahkah kalian mendengar cerita batu penyabung?"

"Ceritakan apa yang kauketahui," sahut yang lain.

Baiklah. Menurut cerita yang kudengar, dahulu di keramat Pekon Balak terdapat sebuah batu besar berbentuk perahu dijadikan arena sabung ayam. Setiap hari selalu ada yang menyabung ayam, berjudi. Sepanjang hari selalu ramai oleh orang-orang yang bertaruh.

Selesai menyabung, yang menang berteriak-teriak gaduh dan yang kalah menyumpahi ayamnya. Kadang ada yang sengaja mengumpat dengan kata-kata kotor. Bersiul dan segala macam yang seharusnya tak layak dilakukan di tempat keramat. Karena terlalu sering orang menyabung ayam, marahlah penunggu keramat Pekon Balak. Mereka disumpah menjadi batu.

Bentuk batu itu bermacam-macam. Jika dilihat dari dekat bentuknya seperti ayam beruga sedang bersabung. Ada pula bentuk orang yang sedang menggendong ayam jagoannya. Bentuk ayam terbang. Juga bentuk orang yang dikeroyok ayam.

Dari sanalah dinamai batu penyabung. Banyak orang yang datang ke sana untuk maksud tertentu. Orang yang senang berjudi memohon agar menang judi terus-menerus. Orang yang berniaga meminta agar dagangannya selalu laris. Orang yang mencalonkan diri jadi bupati atau kepala daerah meminta agar menang dalam pemilihan. Pemuda-pemudi yang sudah lapuk meminta agar cepat mendapat jodoh. Suami-istri yang tak punya anak meminta agar diberi keturunan.

Mereka tak lupa meletakkan sesaji di atas batu penyabung. Berupa bunga atau koin atau sesaji lain. Kadang anak-anak sekolah ke sana mengambil sesaji itu.

Tapi, benarlah terjadi terhadap orang yang memohonkan sesuatu di batu penyabung. Setiap orang yang pernah ke sana sudahlah tertunai keinginannya.

Batu penyabung ini ada di Ajan, Pekon Ngarip. Taklah terlalu jauh dari kampung kita. Hanya perlu naik bus ke Sukaraja atau sekalian membawa sepeda motor. Juga perlu sedikit ongkos, uang makan, dan terutama sesaji. Bila kalian mau ke sana, bisa sekalian mengajakku. Aku ini bujang lapuk yang tak laku-laku. Miskin pula. Tentu kalian tahu maksudku?

Abdul Manan terkekeh, sembari menenggak tuak, menutup warahannya kali ini. Jika kami bersedia menambah tuaknya, tentu kisahnya akan tersambung lagi.

Kotaagung, 2010


Catatan:

Warahan : Tradisi penuturan lisan masyarakat Lampung, diantaranya berupa dongeng, hikayat, epos dan mitos.

Tamong-kajjong : kakek nenek.

Puari : panggilan terhadap kawan sebaya atau saudara.

Tuah : panggilan nenek/kakek terhadap cucu.

Batu Penyabung : sumber cerita dari cerpen bahasa Lampung berjudul Cerita-cerita jak Bandar negeri Semuong karya Asarpin Aslami yang mendapat Hadiah Sastra Rancage 2010


Lampung Post, Minggu, 23 Januari 2011

Sunday, January 16, 2011

Turun Malam

Cerpen Asaroeddin Malik Zulqornain


DI jelang pagi manis bangkit dari baringnya nun dari balik perbukitan hijau yang menelikung kota: Bukit Wan Abdurrahman; sepasang merpati tua, Tamong Mandok dan Minan Itun turun dari rumah panggungnya di Pekon Lempasing yang berpantai pada ceruk teluk laut penuh plankton yang bila malam tiba seakan bintang gemintang turun dari langit malam, menaburi kawasan Teluk Lampung bagai kunang-kunang, itulah geliat para pencalang laut sejati yang tengah asyik memperdaya ikan-ikan dengan menebar jala, mata kail, lampu petromaks, dan doa-doa. Sebagai pencalang laut sejati, seperti halnya Mandok; di laut mereka berjaya tapi di darat mereka senantiasa diperdaya oleh para tengkulak. Sungguh pun demikian, mereka tetap setia menarikan tarian hidupnya sebagai kunang-kunang Teluk Lampung!

Akan halnya sang istri, Minan Itun akan berpisah dengan sang suami, bergabung dengan ayunan puluhan pasang kaki telanjang lainnya menerabas jalan setapak yang masih berembun dengan menating pelita bambu sambil punggung menggendong atau bahu memikul hasil huma masing-masing untuk melakoni peran Turun Malam. Kelak di pasar-pasar tradisional para petani dan pencalang itu akan bersinergi "menyuapi" warga sekota yang masih lelap dibuai mimpi. Sungguh suatu kota yang menjanjikan berjuta pesona!

Pesona kota itulah yang barangkali membius tiga orang putra mereka: Pipin, Pitut, dan Pido untuk merantau ke negeri impian, sungkan mengikuti jejak mereka, sungguh pun di kota besar, mereka cuma hidup sebagai karyawan kecil bergaji pas-pasan, dan hal inilah yang membuat sepasang merpati tua itu merasa kesepian di hari tuanya.

"Mereka sudah mulai melupakan kita, Bang...," cetus Minan Itun Lirih di jelang Minggu petang lalu ketika dipastikan salah seorang dari putranya itu tidak ada yang datang mengunjungi mereka.

"Ya sudah...," sambut Tamong Mandok sambil mengembuskan asap rokoknya, "Mungkin mereka sibuk dengan urusan keluarga masing-masing."

"Tapi mereka kan anak kita?" sambut istrinya cepat. "Tidak bisakah mereka menyenangkan kita? Meluangkan waktunya untuk menjenguk kita? Sebagai tanda bakti seorang anak? Kan kita tidak minta apa-apa dari mereka, kita cuma minta mereka dengan anak dan istrinya datang, itu saja kok tidak bisa?" lanjut Minan Itun kelu. Tamong Mandok enggan menjawab, karena beduk magrib telah bergema, turun dari rumah panggung untuk salat berjamaah di masjid.

Pipin, Pitut, dan Pido dipastikan akan pulang kampung jika mereka membutuhkan tambahan biaya hidup di kota. Sebagai orang tua, sudah barang tentu tidak ingin hidup anaknya susah. Beragam alasan yang harus mereka telan. Mulai dari sewa rumah, biaya mantu melahirkan, sampai ke biaya cucu sekolah sepertinya sudah menjadi garis tangan kehidupan sang pencalang dan istrinya untuk terus berpendar sebagai matahari yang hanya wajib memberi tapi tak patut menerima. Sungguh pun sebagian harta dan tenaga mereka sudah habis terjual untuk biaya sekolah dan pernikahan ketiga putranya.

Untuk itu mereka harus terus hidup berhemat, karena yang kini tersisa cuma rumah panggung, perahu kecil, sebidang huma, dan empat pasang tangan keriput dimakan usia. Yang penting bagi keduanya setia dan ikhlas menjalani peran sebagai sang pencalang laut dan bidadari turun malam sampai maut menjelang!

Membesarkan titipan Tuhan dengan rezeki halal dari air bergaram dan kehijauan, sepatutnya hari tua mereka menjanjikan, atau setidaknya menikmati buah yang telah mereka semai dari kerja keras berpuluh tahun lewat bakti dari ketiga putranya, seperti yang sering mereka saksikan dari beberapa tetangga di Pekon Lempasing. Sayang garis tangan keduanya beda dengan beberapa tetangganya, mereka berdua tetap abadi sebagai sang pencalang tua dan bidadari tua turun malam. Sisa sisa tenaga tua mereka terus memintal hari esok dengan terengah-engah dan sama sekali tak terpikirkan untuk purnabakti dari dinginnya gelinjang gulita berembun dan cekaman air bergaram!

Semula pernah keduanya berangan, bahwa ketiga putranya itu setelah indekos bertahun-tahun untuk menuntut ilmu di kota. Setelah tamat, bisa kerja sebagai pe-en-es atau polisi, beristri cantik, punya mobil, tiap minggu datang menjenguk, syukur-syukur dinaikkan haji. Sayang hal seperti itu cuma igau. Ketiganya memang telah berhasil tamat sekolah, kerja swasta, beristri, tetapi cuma hidup pas-pasan, rumah pun masih ngontrak nun di kota besar sana! Angannya jauh panggang dari api.

"Kita berdua tak sekolah, nyatanya bisa menghidupi anak kita ya Bang?" cetus Minan suatu waktu.

"Karena kita kerja keras sebagai nelayan dan petani," sambut suaminya.

"Coba kalau mereka bertiga pulang kampung saja, kerja seperti kita, tentu mereka tak perlu susah mikir biaya kontrak rumah, dan pasti mereka bisa hidup, karena kita masih punya laut dan gunung kan Bang?"

Tamong Mandok tersenyum.

"Tapi mereka sungkan hidup sebagai orang kampung. Maunya jadi orang kota terus. Mau apa lagi?" sambutnya dengan nada getir.

Sang bidadari renta itu tetap turun malam, menggendong hasil humanya dan terkadang bersua dengan sang suami: si pencalang laut renta di pasar tradisional guna menyuapi warga kota dengan ikan dan sayuran justru ketika warga kota masih lelap di buai mimpi, hasilnya sebagian ditabung untuk menyuapi ketiga putranya suatu waktu. Lagu hidup ini terus mengalun merdu dalam daur ulang hidup dan kehidupan sepasang merpati tua itu.

Tampaknya sang waktu tak selalu seirama dengan ayunan langkah sepasang merpati tua itu. Salah satunya harus digerus waktu dan Izrail lebih suka memilih sang pencalang laut sejati: Tamong Mandok! Peristiwa itu terjadi sebulan lalu, kini sang bidadari renta harus menjalani takdirnya sendiri di medan waktu entah sampai kapan!

Minan Itun bertekad tetap turun malam sebagai bidadari renta yang menyuapi warga kota, seperti halnya di malam ke empat puluh berpulangnya sang pencalang, sungguh pun ketiga anaknya bermalam di rumah panggungnya guna membahas hari tuanya.

Ketika gulita menggigil di selimuti embun, sang bidadari bersijingkat turun dari rumah panggungnya, menuai laku turun malam, melewati ketiga tubuh putranya yang pulas dibuai mimpi, dia tidak berjalan tapi terbang dengan jung milik sang pencalang. Perahu itu dipenuhi beragam hasil huma yang serbahijau. Terbang membelah langit malam dengan setia. Di bawahnya berpendar perahu nelayan bermandikan cahaya petromaks guna memperdaya ikan-ikan Teluk Lampung,

"Bang...," gumamnya kelu, "Izinkan aku tetap menyuplai warga kota dengan sayuran dari huma kita. Aku ingin tetap berhuma, ingin tetap berbagi kehijauan dengan warga kota, sungguh pun ketiga putramu sepertinya akan menghalangiku dengan segala cara. Tapi aku tetap ingin berumah panggung, tetap berhuma, tetap ada di dekatmu..."

Perahu itu kini terbang memasuki kawasan perkotaan. Satu per satu rumah tinggal anaknya disinggahi. Dilihat mantu dan cucunya berdesakan dalam tiga rumah kontrakan di tiga sudut kota yang kumuh dan sempit.

"Bagaimana mungkin aku akan hidup di kota, Bang? Ketiga putramu pun hidup berdesakan di perumahan kumuh. Aku disuruh tinggal di rumah mereka. Berhenti menyuapi warga kota, dan cuma menyuapi cucu-cucuku saja. Sepertinya tak mungkin, Bang...," rintihnya sambil terus berputar-putar di kawasan perkotaan sambil membagi-bagikan sayuran hijau ke segenap warga kota dengan gratis.

"Aku takkan mungkin mau menuruti permintaan ketiga putramu itu, Bang...," rintihnya sambil kembali ke pekonnya di Lempasing. "Aku bagaimanapun juga tak ingin berpisah dari engkau dan rumah kita, Bang!"

Dan ketika pagi manis bangkit dari balik laut Teluk Lampung, saat ketiga putranya meminta kepastian Minan Itun untuk memenuhi permintaan mereka. Dengan nada pasti, sang bidadari renta turun malam itu bertutur, "Bunda tetap turun malam dan berhuma."

"Bunda sudah tua, sudah saatnya beristirahat," ujar Pipin.

"Bunda mesti hidup di kota," tambah Pido.

"Bunda sekarang sakit-sakitan dan tak ada yang memperhatikan," timpal Pitut.

"Terima kasih, putra-putraku. Jadilah anak yang berbakti. Biarkanlah jung, huma, dan rumah panggung ini tetap jadi milik Bunda. Toh tak lama lagi Bunda akan menyusul Bapak kalian. Setelah itu baru kalian bebas untuk berbuat apa pun termasuk menjualnya, tapi tidak sekarang."

"Bunda...?"

Sukamaju, 101210


Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Januari 2011

Sunday, January 9, 2011

Karena Sesuatu yang Satu itu

Cerpen F. Moses


APAKAH sekarang dia masih mencintaiku? Firasatku dia mencintai yang lain. Sepengamatanku dia masih sangat mencintaiku, terlebih sesuatu yang tergenggam ini. Luar biasa dan selalu bikin terpesona, katanya. Wah, semakin teringatnya.

Zaman pacaran, tak hanya dia yang terpesona oleh sesuatu yang satu itu, tapi juga kedua orang tuanya. Pernah, ketika diperkenalkannya bahwa aku pujaan dan pilihan dari hatinya dalam sehidup-semati, kedua orang tuanya langsung menyetujui tanpa ba-bi-bu. Tanpa pikir panjang, mereka langsung menyuruhku diperkenalkan oleh pihak keluarga kapan aku mau. Kami siap, kata mereka. Betapa bahagia kedua orang tuaku saat kusampaikan pesan itu. Lalu saling bertemulah mereka, mengatur segalanya untuk pernikahan kami.

Meski sudah lima tahun tanpa anak yang, kami tetap bahagia. Rahasia kebahagian kami sederhana saja; lantaran ada paling disukainya. Diam-diam juga, memang lebih mencintainya ketimbang diriku.

Kecintaannya dengan sesuatu sudah bukan rahasia lagi. Teman-temannya sampai heran, mengapa dia—seorang wanita cantik rupawan nan menawan—lebih mencintai sesuatu milik suaminya. Tak ada dicintainya selain sesuatu yang satu itu.

***

Sebagai aparat yang kerap bertugas di daerah pedalaman terpencil, komandan dari kesatuan yang membawahi 51 prajurit, aku memang ditugaskan untuk meredam pemberontak yang akhir-akhir ini semakin brutal. Belum terjadi satu prajurit gugur dalam meredam pertikaian, pokoknya selalu sukses dan beres. Makanya, selama konflik masih berlangsung hingga kini, bertahun-tahun pula masih dipercaya sebagai kepala kesatuan. Namun apa daya, aku tetap lelaki biasa, apalagi sudah beristri. Mengangeninya adalah kedahsyatan.

"Iya Sayang, awal bulan kita pasti berjumpa. Hmm, iya, aku kangen kamu juga," kataku. Dia sangat mengangeni aku. Dia selalu menunggu aku supaya cepat pulang dari tempat ini.

Setiap aku pulang, permintaannya satu, agar membawakan sesuatu yang agak panjang itu. Ah, apa susahnya membawa yang satu itu. Sebagai komandan sepertiku, apalagi permintaan istri sendiri.

***

Satu hingga empat bulan adalah hal biasa dia menyukainya. Tapi setiap bulan berikutnya, aku mulai tak habis pikir, mengapa hanya menginginkan itu. Untuk oleh-oleh mertuaku juga tak jauh beda, yakni sesuatu yang satu itu.

"Cukup kamu tunjukan saja sesuatu itu, dan biarkan mereka untuk sekadar melihat dan memegangnya. Mereka sangat menyukainya, Mas."

Aku masih tak habis pikir mengapa mereka hanya menginginkan sesuatu itu. Terlebih dia, istriku. Sering aku memergokinya, mendengar dia berbicara seorang diri dengan sesuatu yang satu itu. Aku tercekat, dia lebih mencintainya. Gila.

Setiap malam dia kerap memainkan sesuatu itu. Bahkan berbicara dengannya. Sambil diremas-remas dan dielusnya. Seringkali aku marah karena itu. Keterlaluan, dia lebih mesra saat memperlakukannya. Diam-diam aku tenggelam cemburu.

Hingga suatu saat aku mesti kembali bertugas, ini kali pertama pula dia memaksa agar kutinggalkan sesuatu itu di rumah. Sebagai ingatan, katanya. Tentu saja tak kuberi, bagaimana mungkin aku dipisahkan dari milikku yang satu itu.

"Kenapa tak kau belikan saja dia mainan yang persis dengan sesuatu itu?" kata temanku lewat SMS. Segera kutelusuri banyak toko mainan. Aku mendapatinya dan mirip. Lumayan mahal. Hampir sejumlah gaji sebulan. Semoga dia cukup terhibur dan mengingatku.

***

"Maaf, Pak, Ibu lagi tak bisa diganggu karena sedang sibuk di kamar."

"Iya.... Tapi, coba paksa bilang aku mau bicara."

"Ehm... hmm, katanya lagi sibuk dengan, maaf, ya, sesuatu itu, Pak," katanya terdengar cengengesan.

Saban malam menghubunginya, selalu begitu kata pembantu di rumah. Aneh. Sungguh aneh. Mengapa dia malah sibuk dengan mainan yang mirip sesuatu itu. Biarlah, semoga dia tetap selalu bahagia karena sesuatu yang satu itu.

***

Tak terasa sudah kembali pada kepulangan bulan berikutnya.

Katanya, nyonya selalu menyibukkan diri di kamar, Pak. Ah, paling juga sibuk dengan mainan sesuatu itu lagi. Pasti akan lebih senang kalau tiba saja aku mengejutkannya dengan sesuatu yang asli ini. Sambil melangkah pelan menuju kamar. Kulihat dia tengah bersila di atas ranjang menghadap foto dinding pernikahan kami. Perlahan aku menghampirinya.

Aku kecup bibirnya. Aku kecup hidungnya. Aku kecup matanya yang terpejam. Aku kecup hidungnya. Lalu aku kecup keningnya. Dan pada kecupan selanjutnya, dia menolak. Lagi-lagi dia justru memilih sesuatu itu. Begitu pandainya dia membelai-belai sesuatu yang satu itu. Dimanjanya. Berkali-kali pula diciumnya. Berakhir dipeluknya erat-erat.

"Kau boleh kembali pergi lagi, Mas. Asal sesuatu yang satu ini tetap dalam genggamanku," katanya memohon. Sontak kularang keinginannya itu. Karena dengan memberikannya sesuatu mainan seharga hampir sejumlah gajiku itu sudah lebih dari cukup.

"Kita sudah hidup tanpa anak, sekarang kau tak memperbolehkan aku dengan sesuatu milikmu, Mas!"

"Kau jangan gila...!"

"Kau yang jangan gila, Mas. Ini permintaan terakhirku. Pokoknya kau boleh pergi untuk selebihnya kembali pada bulan berikutnya asalkan sesuatu itu kau tinggal. Pokoknya aku ingin sesuatu itu, Mas. Titik!" tukas istriku.

Aku tak mengerti. Aku malu dengan pertengkaran macam begini setiap pulang. Bahkan tetangga di luar pun mungkin sampai bosan mendengarkan pertengkaran kami. Dari pertengkaran yang hanya karena masalah sesuatu yang itu-itu juga. Tak bisa kubiarkan seorang istri hanya mencintai sesuatu yang satu itu.

Aku bilang masalah ini kepada mertua. Namun, mereka malah selalu membela alasan istriku.

Solusi terbaik, mungkin, kalau segera kurundingkan dengan atasanku.

"Goblok, masalah begitu kau ceritakan kepadaku!" seru atasanku lewat telepon.

"Maaf, Pak. Ini bukan masalah sesuatu yang lain. Tapi masalah sesuatu yang kebetulan milikku yang selalu aku pergunakan."

"Hah!"

"Iya, Pak. Betul. Benar, Pak. Istriku itu sangat tergila-gila dengan sesuatu itu. Coba mohon dengar sekali lagi Pak, masak aku diperbolehkannya pergi asalkan sesuatu yang satu itu ditinggal. Mohon maklum, Pak, istriku itu cinta betul dengan sesuatu itu. Kalau Bapak berkenan, izinkan aku kembali berdinas tanpa membawa sesuatu yang satu itu. Aku tak ingin dia menjadi perempuan yang iseng sendirian, Pak."

Setelah berunding cukup lama. Akhirnya diperbolehkan.

***

Seperti biasa setiap Minggu, kedua orang tuanya, yang kebetulan juga menyukai sesuatu yang satu, itu berkunjung ke rumah menantunya. Mereka memang tahu betul kalau setiap bulan selalu berkumpul.

Inilah awal bulan yang dipastikan dapat menemui mereka semua. Di samping harapan bercakap-cakap saling tukar cerita nantinya. Tentang rencana ke depan dalam berumah-tangga. Mulai dari kapan memiliki momongan hingga memiliki rumah tetap. Dan paling seru, mereka bisa melihat sesuatu milik menantunya itu. Karena bagi mereka itulah keberhasilan mempunyai menantu seorang anggota berpangkat komandan. Berdinas di luar kota pula. Lengkap dengan seragam yang tampak jumawa. Bagi mereka itulah keberhasilan luar biasa.

***

Meski mendung di langit tampak menggantung hebat, pintu pagar tetap dibuka dengan tenangnya. Keanehan tak mampu menembus perasaan mereka. Melepas sepatu dan sandal di muka pintu. Membiarkannya di luar tanpa takut terpercik hujan.

O, pintu tak terkunci. Mungkin mereka sedang berduaan di kamar, pikirnya.

Kedua orang tua itu memilih bersantai sejenak di ruangan tamu. Membuka penganan yang sedari rumah dibungkus rapi satu per satu. Sambil memandang tenang ke arah jendela. Di luar hujan perlahan menderas.

Mereka belum melangkah ke belakang, tepatnya dapur. Mungkin sebentar lagi, untuk seperti biasanya mengambil es batu dari baki dalam kulkas.

Dan tepat di muka kulkas, sepasang suami-istri tertelungkup, bersimbah—entah karena bunuh diri atau pertengkaran, menggunakan sesuatu yang satu itu: pistol.

Telukbetung, Juni-Oktober 2010



---------
F. Moses, kelahiran Jakarta, 8 Februari. Menulis puisi dan cerpen. Tinggal dan bekerja di Telukbetung, Bandar Lampung.


Lampung Post, Minggu, 9 Januari 2011

Sunday, January 2, 2011

Kidung Rebung

Cerpen S.W. Teofani


MENGAPA tak sekarang saja kita tebang rumpun rebung itu, Ibu? Apa lagi yang kita tunggu. Bukankah semak laknat itu menyisakan mimpi buruk pada malammu, juga siangku. Kita telah kehilangan nakhoda biduk pada ganasnya gelombang hidup. Laki-laki yang sangat mencintai bambu, mungkin melebihi cintanya padamu, juga padaku. Tapi kau tak pernah cemburu pada bambu-bambu itu. Bahkan saat akhirnya dengan sadis pohon kesumat itu menjadi sebab kematian laki-lakimu, ayahku.

Aku ingin segera meleyapkan rumpun aur itu, Ibu. Biar usai pedih ini. Agar lenyap bayang senyap pada tetumbuhan yang merenggut seluruh suluh hidupku: cengkerama dengan ayah di rembang petang, di antara betung dan aur, menyisahkan kenang yang mengguncang. Memelantingkan seluruh siksa ditinggalkan, mengundang ruang raung yang hilang.

Benar hutan bambu itu sesak kenangan, tapi nganga luka pun ia suguhkan. Aku memilih melenyapkan semua, Ibu. Agar tunai seluruh kenang, juga dendam.

Ayah pasti marah padaku, jika kuleburkan pohon hidupnya. Tapi, bukankah akhirnya pohon-pohon itu jua yang merenggut nyawanya? Karena cinta selalu menagih pembuktian, ayah menyatakan cintanya. Cinta pada rerimbun bambu, sejak bertunas hingga meranggas. Bahkan hingga bambu-bambu itu menghendaki cinta yang tandas. Lalu ke mana kehilangan ini aku sangsangkan, bila tiap bilah bambu adalah keriut lara lukaku.

Engkau diam Ibu, tak mengiyakan, pun menolak hasratku. Ingin yang kusampaikan dengan ungkap dusta, agar tak tercipta pedih bagimu, juga lara untukku. Kau hanya tersenyum dengan sungging yang mendamaikan, sekaligus meresahkan. Seperti rimbun bambu yang teduh, juga membuntal gatal. Tersebab bulu halusnya yang terselip pada setiap pelepah dan batang.

Maafkan aku Ibu. Aku mencintamu, tapi kali ini aku ingin mencintai diriku sendiri.

Di hatimu telalu banyak bilik. Aku tak sempat memasukinya satu per satu. Sebanyak bilik rumah bambu yang ditatah ayah, dibawa ke kota-kota yang jauh, dikagumi indahnya, dipuji pesonanya. Tanah kita pun masyhur karena tangan terampil ayah. Dari rakyat biasa hingga pejabat terpesona karyanya. Engkau turut tersenyum bangga, pada laki-lakimu, yang tetap kau cintai, bahkan hingga tinggal tilas yang mengenangkanmu.

**

Kan kupelihara hutan bambu itu, Suamiku. Sebagaimana dirimu menjagaku, juga anak kita. Kau merawat bambu-bambu itu sepenuh waktu, tapi aku percaya, kau jaga kami dengan seluruh hatimu. Sepeninggalmu, bambu-bambu ini yang menemaniku. Kesiurnya mengingatkan pada bisikmu tentang ketabahan. Deritnya mengenangkan pada suaramu saat memanggilku, dengan pelan,...dalam, pada sepenarikan napas yang membuat kita sadar pada amanah kemaslahatan. Lalu muncul pucuk-pucuk rebung yang menjanjikan hari esok nan panjang. Rebung itu bertumbuh menjadi aur baru yang menggantikan. Hingga siap ditinggalkan batang induknya yang kita tebang.

Tapi tidak diriku, Suamiku. Kau tinggalkan aku saat rebung kita begitu belia. Ia belum siap menanggung derita. Tapi aku berbaik sangka, kau yakin kumampu menjaganya. Selain ketundukkan kita pada keharusan semesta yang mengajari lega lila pada ingin-Nya. Meski ada lembar hatiku mengeja hal lain yang kita amini dengan kedipan mata. Lalu kita tertunduk karena kesalahan yang tak kita kehendaki.

Kau ajari aku menyayangi bambu seperti menjaga kehidupan. Kau tak akan menebang betung jika tumbuhan itu tak menginginkan. Bahkan kau tahu, mana batang yang berkenan kau tebang, dan mana yang enggan kau pinang. Tak akan kau tebang batang betung yang menyusui rebung. Kau rawat dia hingga tunai sang betung mengasuh rebung. Jika pada titimangsa tua, ketika bulan tak lagi purnama, kusaksikan batang-batang betung rebah dengan indah. Pada pangkuanmu, pada tanganmu yang begitu piawai menjadikannya lebih berharga. Akan kusaksikan betapa mesranya kau menyambut batang betung itu. Dan betapa cemburunya aku pada kemanjaan rumpun rumput istimewamu. Batang-batang itu seperti tahu, kaulah yang akan menatah titah mengada; memberi manfaat bagi semesta. Jika sampai waktunya, bambu itu pasrah pada tanganmu mencipta. Batang betung dan aur itu percaya, kau mampu mendandaninya menjadi permata yang disanjung puja. Bukan sekadar kayu bakar yang tersia.

Di hari nahas itu, aur dan betung mengutukmu. Rumpun itu merasa dikhianati, sebagaimana kau tersiksa atas pengingkaran pada anak jiwamu, juga seluruh hidupmu. Aku tahu, Suamiku, betapa sulitnya debat hatimu saat itu.

Seluruhmu tergadai antara titah dan tembang manah. Kau sanggupi wisma angsana di taman kota praja. Yang Mulia meminta mahakaryamu tercipta dari bambu terbaik yang dipilihnya. Dia tunjuk serumpun betung nan memesona; setiap jiwa terkagum pada pikatnya. Dengan santun kau katakan pada Yang Mulia, betung itu belum sampai titimangsa. Kau tawarkan batang lain yang tak kalah jelita. Telah kau siapkan pada musim tebang sebelumnya.

Tapi siapakah engkau, Suamiku. Engkau tak punya daya untuk menawarkan kebenaran di hadapan penguasa. Apalah arti pengetahuanmu di hadapan kemauan raja. Dengan senyum getir, kau iyakan mata murkanya. Dia puas dalam tawa. Tak ada yang lebih tahu dari nafsunya. Tak ada yang sanggup menentang maunya. Apalah arti seorang perajin bambu di hadapan kuasanya. Sebentar lagi istana bambu yang diidamkannya tercipta, meski menumbalkan kemaslahatan muasalnya.

Aku tahu, Suamiku, untukmu yang begitu takzim pada gerak mayapada, memangkas betung dengan tergesa adalah perbuatan sia-sia. Bagimu, ini langkah zalim pada semesta. Satu betung kau bawa, berdasa rebung binasa. Tapi bisakah penguasa berlapang dada pada kearifan alam raya?

Suamiku, di belakangmu aku terdiam. Mengikuti langkahmu yang gamang. Tak kulihat lagi semringahmu menyambut rebahnya lurus batang. Kau begitu bimbang. Akan kau tebang betung yang tengah menyusui rebung. Akan kau pangkas hatimu untuk titah. Tapi aku tak percaya, kau berani mengingkari tembang rejang kehidupan.

Langkahmu gundah, mendekat batang betung dengan pasrah. Tanganmu gemetar saat menempelkan parang pada batang yang tak hendak rebah. Ketika parang kau angkat, riuh jerit rimbun rebung pilu menyayat. Direbutnya parang hatimu yang mendekat. Tangis mereka pecah saat besi tajam itu semakin rapat. Gendang telingamu tak mampu menangkap apa pun, selain sayat pilu sedu sedan rebung. Tanganmu goyah, entah ke mana parang terarah, hingga senjata itu memilih tuannya. Darah mengucur di pucuk-pucuk rebung, juga bambu betung. Tangis rebung reda, atas peristiwa tak terduga, berganti isakku kehilanganmu. Tak lama, rebung-rebung itu, petung itu, aur itu, turut tersedan. Melafalkan kidung penyesalan akan kepergian. Menembangkan kehilangan manusia yang akan menjaga dan merawatnya, juga memolesnya hingga memesona. Kemudian, kota ini menjadi sepi, tak lagi wangi.

**

"Mengapa tak sekarang saja kita tebang rimbun aur itu, Ibu? Kan kubuat sebuah kota dengan rumah-rumah bambu di atasnya. Pasti negeri ini akan masyhur lagi."

"Anakku, menanam ada masanya, memetik pun ada waktunya, jangan kau ganggu bambu-bambu itu. Lihatlah, anak-anaknya tengah menyusu."

"Ah..ibu, manalah putingnya, manalah airnya, ibu jangan mengada-ada. Akulah anak ibu yang akan merawatnya, dengan menjadikannya lebih berharga."

"Pada mangsa setelah dasa, kala bulan tak lagi purnama, tebanglah induknya saja. Biarkan anak-anaknya bertumbuh menggantikannya."

"Akan aku tebang semuanya, Ibu. Agar tak lagi ada ular yang bersembunyi di semaknya. Kan kubangun rumah-rumah bambu di atasnya, biar tanah kita jadi legenda."

"Anakku, buah cinta hutan bambu, jangan turuti nafsu. Apalah arti legenda, jika musnah segala yang ada. Kita ambil sebagian saja, seperlu hajat kita, bumi akan panen raya setelah padam purnama."

"Duh Ibu, kekasihku, teman jiwa ayahku,...mengapa kau eja purnama, zaman tak lagi menghiraukannya. Esok ada batang beton yang menggantikan bambu betung itu."

"Duh..anakku, kau saksikan matahari muncul di waktu pagi, terbenam di senja kala, tentu ada maksudnya. Tuhan tak ciptakan itu dengan sia-sia. Adalah perputaran waktu yang menggantikan warsa. Membuat kita belajar tentang musim, tema titimangsa. Benar semua waktu baik, Anakku. Maka disebut baik, karena mengandung kebaikan untuk yang lainnya. Pandailah kau membaca sasmita, pertanda yang dipersembahkan alam untuk kita. Cermatlah dirimu berteman dengan musim, agar menjadi sahabat semesta."

"Duh..Ibu, tidakkah semua telah berlalu. Kita hidup di zaman tanpa musim, tak beda ketika purnama atau gulita."

"Anakku, ibu telah tua. Tinggal merawatmu, juga rumpun rebung itu. Menjaga kinasih ayahmu, menata kelarasan mayapada."

"Duh Ibu, aku anakmu seorang saja, kan kulakukan yang terbaik bagi semua."

***

"Suamiku, maafkan aku. Tak tuntas kuajarkan kearifan pada anak kita. Kini aku hidup tanpamu, tanpa hutan bambu. Yang tertinggal ngiang kidung rebung yang meratapi namamu."

Jatimulyo, ujung 2010

Happy birthday my best friend Elly D., 25 Desember 2010

Kado untuk Suluh Jiwa, 20 Desember 2010


Lampung Post, Minggu, 2 Januari 2011