Sunday, November 28, 2010

Angka Sepuluh

Cerpen Bamby Cahyadi


AKU baru saja terbangun dari tidur di pagi yang dingin. Hawa sejuk merembes masuk melalui celah jendela kamar yang tak sepenuhnya tertutup. Di luar gerimis jatuh dari langit kelabu. Jam digital di rak buku menunjukkan pukul 07.11 WIB. Salat subuhku terlewat. Aku muslim, tapi tak begitu taat. Seperti biasa, apabila salat subuhku tertinggal, sepanjang hari aku tak salat. Itu prinsipku. Maafkan aku. Oh ya, untuk Tuhan.

Pagi ini usiaku genap 35 tahun. Aku masih lajang, bujangan. Tapi jangan kau kira aku tak pernah tidur dengan perempuan. Aku belum menikah bukan karena tak mau, apalagi tak mampu. Aku malas berkomitmen, itu saja. Seperti halnya meninggalkan salat, aku pun tak segan berbuat dosa-dosa untuk hal-hal lain. Namun, aku percaya ada surga dan neraka. Jadi, aku bukan tokoh jahat, aku hanya manusia biasa, bukan setan, juga bukan malaikat. Artinya aku bisa berbuat suatu kekhilafan, tapi aku pun bisa berbuat suatu kebajikan. Aku yakin, urusan besar kecil dosa dan pahala, hanya Tuhanlah yang boleh menakar, dan memberinya ganjaran. Kelak.

Sebenarnya aku tak suka terbangun dari tidur. Aku selalu berharap rohku tertahan di alam tidurku, di alam mimpiku yang selalu bisa kukenang setelah aku terbangun. Aku tahu, itulah kematian. Aku telah banyak menyaksikan kematian. Kematian orang-orang terdekatku: ayahku, kakek dan nenekku, sahabatku, pelacur langgananku, guru mengajiku, dan orang-orang terkenal di Tanah Air dan di seluruh belahan dunia. Tentu aku hanya menyaksikan dan mendengar kabar kematian itu. Paling tidak, tidur–menurut agama dan pendapat beberapa ahli dan ulama, adalah kematian kecil. Jadi kematian kecil ini yang kualami, berkali-kali dalam setiap tidurku.

Aku menciptakan tidur lelap dengan menelan obat tidur dosis tinggi, tentu dengan resep dokter. Sejak 10 tahun lalu aku menderita insomnia akut. Dua tahun terakhir obat tidur itu mampu membuat mimpiku semakin indah. Siklus tidur biologisku, kukira terganggu saat aku berusia 25 tahun, dan dua tahun lalu suatu penyakit hampir saja merenggut nyawaku. Penyakit akibat kurang tidur, maka sejak saat itu aku menemui dokter secara rutin untuk mendapatkan obat tidur yang ampuh dan tentu aman bagiku. Perlu kau ingat, aku menemui dokter bukan karena aku takut nyawaku direnggut oleh kematian. Tapi aku masih gairah menikmati kematian-kematian kecil yang kualami saat aku tertidur pulas. Kini, aku tak perlu menunggu mengantuk untuk tidur, cukup menenggak dua butir obat tidur, maka tak berapa lama setelah itu, aku tertidur nyenyak dan masuk dalam dunia mimpiku.

Pukul 07.20 WIB. Aku masih termangu di pinggir tempat tidur, melihat dengan gamang sekeliling kamarku. Aku malas bangun, malas pula untuk melanjutkan tidur. Kukira, efek obat tidur itu sudah lenyap dari kelenjar melatoninku. Aku kembali mengedar pandangan ke seluruh penjuru kamar apartemen sederhana tipe studio yang kubeli dari royalti novelku yang laris manis seperti kacang goreng di pasar malam. Aku penulis paruh waktu. Pekerjaan utamaku..., tak perlu kuceritakan, agak rahasia sifatnya.

Kamar apartemenku berada di lantai 9, entah kenapa aku suka angka 9, ketimbang 1 atau 10. Apartemen ini berlantai 9, maka tentu saja aku berada di bagian tertinggi gedung apartemen ini. Aku teringat tentang angka 9 yang dianggap–mungkin juga dikeramatkan oleh Presiden SBY. Tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Presiden SBY kemudian dijadikan nomor kotak pos dan SMS di Istana: 9949, yakni 9 September 1949. Aku suka hal-hal klenik, tapi aku tak begitu suka seorang presiden percaya akan hal-hal klenik. Menyedihkan! Tak perlu heran, apabila nomor kamar apartemenku pun bernomor 9. Ya, apabila perlu, cukup mencariku di lantai 9 kamar 9 di apartemen sederhana di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

Hanya ada satu unit lift di apartemenku, dan sudah dipastikan tak beroperasi 24 jam. Lift beroperasi mulai jam 7 pagi, ketika orang-orang berebutan dan bergegas keluar untuk pergi bekerja atau melakukan aktivitas sangat penting, agak penting dan tak penting. Lift akan ditutup jam 10 malam, ketika sudah tak ada hal penting yang harus diurus oleh penghuni apartemen ini di luar sana. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Lift itu selalu dijaga oleh seorang pemuda bertampang lugu tapi selalu menyungging senyum yang tulus. Nama pemuda penjaga lift itu, Markum. Aku cukup akrab dengan Markum, walaupun aku bukan penumpang lift yang setia. Sebagai penghargaan atas kesetiaan Markum menjaga lift, aku pernah membuat sebuah cerita pendek dengan tokoh Markum sang penjaga lift, cerpen itu lalu dimuat di sebuah koran nasional. Markum begitu girang ketika aku membacakan kisah dalam cerpen itu padanya, namun ia begitu tampak sedih dan binar di bola matanya meredup, ketika mengetahui bahwa ia hanyalah sesosok hantu lift dalam cerpen itu. Tapi mata Markum kembali berbinar, ketika kukatakan, honor cerpen itu untuknya. Ia merampas koran itu dari tanganku, lalu menciumnya berkali-kali.

Terus terang, aku lebih suka menapaki anak-anak tangga apartemen ketimbang berebut antre untuk turun dan naik menuju kamarku atau suatu tujuan tertentu. Delapan tahun tinggal di apartemen ini membuatku hafal betul lekuk-lekuk anak tangga yang kutelusuri setiap hari. Bahkan aku sangat akrab dengan suasana di setiap lantai apartemen ini, hingga aku menapaki anak tangga terakhir di pelataran lantai dasar, atau lorong lantai 9 ini.

Pukul 07,30 WIB, lampu kecil berwarna merah pada jam digital di rak buku berkedip-kedip diikuti suara bip-bip yang berbunyi agak pelan, sedikit keras dan akhirnya memekakkan telinga. Rencananya, aku akan bangun jam setengah delapan pagi ini. Tapi nyatanya aku terbangun pukul 07.11 WIB. Ya, sudah.

Dengan langkah malas aku menuju kamar mandi, mengambil handuk yang tersangkut di atas komputer dan meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Kulihat layar ponsel, ada 23 pesan yang belum kubaca dan beberapa panggilan yang tak kujawab. Pasti ucapan selamat ulang tahun dari beberapa perempuan dan teman-teman akrab, juga dari rekan penulis dan sanak saudara. Aku letakkan kembali ponselku di atas meja dan buru-buru ke kamar mandi. Aku ingin buang hajat dan sekaligus mandi.

Aku suka berlama-lama di kamar mandi. Duduk di kloset sambil membuang hajat besar dan merokok. Menghabiskan dua-tiga batang rokok sambil melamun. Sebungkus rokok kretek selalu tersedia di kotak toiletris. Setelah itu aku bercukur, mengerok bulu-bulu kasar di sekeliling mulut dan daguku dengan pisau cukur modern sambil memandang wajahku di cermin kecil yang tertempel di kotak toiletris itu.

Ya, ya, wajahku tampan. Alis mataku tebal, hidungku mancung, tatapan mataku tajam, gigi-gigiku rapih walaupun sedikit kuning akibat nikotin. Banyak perempuan yang telah kulumat mulutnya dengan mulutku. Bahkan, banyak puting payudara yang telah kujilati dan kukulum dengan lidah dan bibirku. Sudahlah, aku tak mau membayangkan adegan percintaanku dengan Gladis, perempuan yang kemarin malam mendesis-desis dan mengerang-ngerang karena orgasme berkali-kali. Cukup luka bekas gigitan Gladis yang kukenang di bagian tengkukku.

Selesai bercukur, gosok gigi. Memandang nanar ke cermin yang memantulkan wajahku. Oh, apa rasanya berada di balik cermin sana. Apakah rasanya sama dengan di sini? Mungkin sama, mungkin juga tidak.

Mandi. Ah, air berasa dingin sekali mengguyur sekujur tubuhku. Sabun cair berbusa-busa kugosok-gosok pada setiap lekuk tubuhku. Bersyukur, tanpa fitnes tubuhku tumbuh atletis. Pantaslah Tante Mona, begitu keranjingan menyuruh aku telanjang. Alasannya untuk sebuah momen seni fotografi berkualitas. Tentu kau tahu apa yang kulakukan selesai sesi pemotretan. Sudah lupakan dulu penggalan kisahku dengan Tante Mona, aku masih mandi. Rambutku sedang kukeramas dengan sampo antiketombe. Saat-saat mandi hal-hal liar dan menggairahkan sering terlintas dalam benakku. Aku sangat imajinatif, membayangkan Gladis dan Tante Mona, kelaminku meremang. Aku sudah malas bermasturbasi. Itu kegiatan seks anak baru gede. Ah, sudahlah. Aku bergegas menyelesaikan ritual mandi, membilas rambut dan tubuhku dengan air dingin, berhanduk, dan membebatkan handuk pada bagian perut. Handuk menutupi pusarku hingga lutut.

Keluar dari kamar mandi, jam digital di atas rak buku menunjukkan pukul 08.52 WIB. Ya, begitulah. Aku bisa menghabiskan waktuku di kamar mandi satu sampai dua jam, lama bukan?

Aku menoleh ke arah jendela. Langit Jakarta masih abu-abu, pagi benar-benar jatuh di peraduan awan kelabu yang menutupi cahaya matahari. Gerimis sudah berhenti.

Pukul 09:00 WIB. Aku telah rapih. Mengenakan polo T-shirt warna hitam, celana jins warna biru dan menyiapkan tas selempang warna hitam berisi laptop. Aku menutup lemari pakaianku yang masih terbuka, sekilas kulihat tumpukkan beha dan celana dalam perempuan warna-warni dengan bentuk-bentuk yang seksi. Maaf, itu bukan punyaku. Beha dan celana dalam perempuan itu milik Gladis, Tante Mona, Tiwi, Effi, Nikky dan Mbak Putri. Nama yang kusebut terakhir adalah tukang cuci di apartemen ini. Bagaimana perangkat pakaian dalam perempuan itu berada di lemariku? Tak akan pernah kuceritakan.

Perutku terasa melilit ketika jam digital menunjukkan pukul 09:10 WIB. Apakah ada makanan tersisa di kulkas berukuran mini yang teronggok di pojok dekat pintu kamar mandi itu? Pikirku. Rasa lapar menyergapku. Aku membuka kulkas, mengeluarkan sebungkus kecil kopi instan dan menyeduhnya dengan air panas dari dispenser air dalam kemasan galon. Aku menyeruput kopi itu, rasanya cukup menghangatkan. Lalu, kuambil beberapa iris roti tawar dan mengolesnya dengan selai rasa cokelat kacang. Memakan dua tangkup roti berselai cokelat kacang dengan lahap sekaligus.

Seseorang mengetuk pintu kamar apartemenku. Pasti tukang koran. Aku terus menyeruput kopi dan melahap potongan roti terakhir dalam kunyahan. Tukang koran menyelinapkan koran pagi di bawah celah daun pintu. Aku melangkahkan kakiku menuju daun pintu. Membungkuk mengambil Koran Tempo yang tergeletak di lantai, membuka pintu sejenak, barangkali saja tukang koran itu masih berada di lorong apartemen ini. Menjulurkan kepala, menoleh ke kiri, ke kanan. Tak ada siapa-siapa di lorong itu. Cepat sekali tukang koran itu berlalu, padahal aku bermaksud membayar koran-koran beberapa hari yang lalu yang belum sempat kubayarkan padanya.

Sebuah koran edisi hari Minggu 10 Oktober 2010 segera kubaca. Kasus Bibit-Chandra menjadi headline news. Masalah Deponeering Berisiko Politik, kata koran ini. Halaman berikutnya, KPK Akui Sulit Mengejar Anggoro Widjojo. Sebenarnya tak sulit-sulit amat kok, batinku. Berita banjir di Wasior, Papua. 30 truk tangki NATO dihancurkan di Afghanistan. Kubuka halaman berikutnya, membaca sekilas rubrik Topik. Lembar berikutnya. Aih, resensi buku: Ada Klenik dalam Politik SBY. Apakah kebetulan yang tak disengaja tentang angka 9 yang kubahas tadi? Entahlah. Halaman berikutnya, wawancara dengan Panglima TNI yang baru, Laksamana TNI Agus Suhartono. Lembar berita olahraga kubaca, lagi-lagi cukup sekilas. Tiba pada lembar yang kusuka pada koran ini: Sastra, cerpen Sungging Raga yang imajinatif. Puisi Esha Tegar Putra yang ekspresif. Halaman-halaman iklan otomotif, berita-berita kecil yang tak penting. Artikel tentang kesehatan, Tak Cuti, Cepat Mati. Ah, apa iya? Tanyaku bergumam. Halaman kuliner kulalui. Membaca Pada Mulanya Kata, ”Sementara aku tahu diri sebagai ciptaan Tuhan, aku juga berkewajiban menyadari serta mengingat bahwa setiap orang lain dan segala sesuatu yang lain juga ciptaan Allah,” begitu kata Maya Angelou, seorang penyair asal Amerika.

Oh! Cukup tersindir aku dan kau dengan pernyataan Maya Angelou yang baru kukenal itu. Saat membaca halaman terakhir koran terbaca judul provokatif, Tutup Mulut Politikus. Pintu apartemenku kembali diketuk oleh seseorang dari luar. Jam digital yang terletak di rak buku tepat pada angka 10:00.

Aku lipat koran yang selesai kubaca dan melemparkannya di atas tempat tidur begitu saja. Lantas berjalan pelan menuju pintu dan membuka daun pintu. Seseorang berdiri gelisah di depanku, raut wajahnya menyiratkan ketegangan yang amat sangat. Aku tahu siapa lelaki separuh baya itu. Aku kenal ia. Aku sangat kenal. Pak Sam, tersangka korupsi sebuah bank besar di Jakarta. Kasusnya sedang kutangani. Istri lelaki itu bernama Mona dan anak gadis semata wayangnya bernama Gladis.

Dengan cemas ia menyeruak masuk ke dalam kamar apartemenku, tanpa permisi. Apalagi basa-basi.

"Maaf Pak Sam, bukan di sini tempat Bapak menemui saya," tegurku.

"Hentikan kasus saya!" katanya memohon. Aku menggeleng.

"Kita bertemu di Kuningan saja, besok," jawabku pendek.

"Tidak bisa! Hentikan kasus korupsi saya, atau kubunuh kau!" Pak Sam mencabut pistol yang ia simpan di saku celananya.

Aku kembali menggeleng dan mengangkat kedua tanganku. Saat itulah aku mendengar suara letusan pistol. Dada kiriku terasa panas, seketika aku terjerembab di atas karpet warna merah yang membalut lantai kamar apartemenku, tak bisa kubedakan lagi mana warna merah karpet, mana warna merah darahku. Samar-samar kulihat jam digital menunjukkan pukul 10:10 WIB, lantas jam itu berhenti berkedip. Mati.

Aku terbangun pada pukul 10:10 waktu Indonesia entah bagian mana, di suatu tempat yang tak asing bagiku. Di sinilah hidup baruku bermula bersamamu. Kukira aku mulai suka angka 10. n

Jakarta, 10 Oktober 2010


-------------
Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970. Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Menulis cerpen di koran nasional dan lokal. Kumpulan cerpennya, Tangan untuk Utik (Koekoesan, 2009).



Lampung Post, Minggu, 28 November 2010

Sunday, November 21, 2010

Tarian dalam Dirimu

Cerpen Alex R. Nainggolan


SELALU ada yang menari dalam dirimu. Yang tak bisa kutanggalkan setiap kali bertemu.

"Jadi kau akan terus menari, sampai kapan?"

"Sampai mimpi tak lagi terbagi."

"Tapi tubuhmu bau selokan, begitu miskin, dan amis."

"Biarlah, toh, bukan diriku yang terlihat di sini. Melainkan tarianku."

"Ya, tarianmu bagus. Serupa gentar yang tak kelihatan. Seperti menusuki bekas cuaca, kini aku seperti menemukan bagian diriku yang hilang. Barangkali telah sekian waktu tak terbaca."

Orang-orang berkerumun ke arahmu. Merapikan diri mereka. Mereka mendekat. Seakan meneliti dirimu dengan seksama. Barangkali, agak heran, sebab di daerah ini jarang ada seorang perempuan yang memperlihatkan tarian ke khalayak. Namun kau seakan tak peduli, kau tetap saja terus menari, seakan terus membagi bagian sunyimu. Cuaca seakan membaca seluruhnya. Segalanya diam, keheningan yang menelusup ke setiap pori.

"Kau tak letih menari?" tanyaku ketika melihat tubuhmu telah dipenuhi peluh, "Orang-orang di sini mengharamkan seorang perempuan untuk menari."

"Kenapa?"

"Entahlah, barangkali pantangan tidak baik. Terlebih lagi, acapkali kau perlihatkan lekuk tubuhmu."

"Biar!" kau tak peduli. Tepatnya kau telah menikmati ekstase dirimu sendiri, kau terus menari. Setiap waktu, dengan atau tanpa iringan musik. "Aku takut," kataku, "Kenapa?"

"Aku takut kehilangan dirimu, tidakkah kau mendengar bisik-bisik orang-orang itu? Yang bercakap-cakap selama kau menari?"

"Apa? Ceritakan dong!" Kau terus saja menari, seakan waktu bagimu telah lama berhenti, diam di antara gerakan tubuhmu yang dengan sekejap memanjang, dan memendek. Kau terus saja bergerak, peluhmu bercucuran, begitu banyak, pakaian yang kau kenakan basah. Hampir seluruh lekuk tubuhmu terlihat.

"Syahdan, ada seorang perempuan datang ke daerah ini. Ia mempunyai bakat menari, sama seperti dirimu. Hampir setiap saat ia menari, hingga suatu saat...orang-orang membakarnya. Ia ditangkap di sebuah malam yang hitam. Tubuhnya terbakar di atas api, tangannya terikat, dan ia lantak menjadi abu. Sejak itu pula tak ada seorang pun yang berani menari di daerah ini. Orang-orang tak ada yang berani menggoyangkan anggota tubuh mereka, bahkan ketika alunan musik terdengar."

"Kok, ceritanya cuma sebentar?"

"Menurut juru cerita, orang-orang membakarnya karena tarian yang disuguhkan telah menjelma jadi wabah yang dianggap membahayakan. Ia mesti berhenti menari. Sebelum segalanya tambah parah. Maka ia dianggap aib. Ia mesti dimusnahkan dengan segera."

"Ia punya anak?"

"Entahlah, katanya dulu ia memunyai seorang kekasih. Lelaki yang mengagumi tarian yang disuguhkannya."

"Ia punya anak?" tanyamu datang lagi.

"Kabarnya, kaulah anaknya."

"Tapi, orang tua yang aku ketahui cuma seorang lelaki yang menetap di ujung daerah ini."

"Apa pernah kau tanyakan dirimu dengan sesungguhnya padanya?"

"Kau bohong!" lalu kau pergi meninggalkanku. Meski saat meninggalkan diriku, aku masih melihat tarian dari beberapa anggota tubuhmu. Tarian yang dipenuhi elegi.

***

Di hari berikutnya, aku melihatmu menari kembali. Kali ini, jauh lebih hebat. Kau berdiri di sebuah papan yang agak tinggi, dengan diiringi alunan musik. Orang-orang datang berkerumun. Peluhmu terus bercucuran, tapi dengan demikian justru terlihat bahwa kau istimewa. Semua mata melekat kepada dirimu. Tak ada ekor mata yang seperti lepas dari dirimu. Setiap orang menahan napasnya, dengan degup jantung yang seperti ditahan. Ah, betapa kau begitu sempurna saat itu. Dirimu tampak sebagai perempuan dewasa. Terkadang tinggi, sesekali rendah. Suatu hal yang mengingatkanku pada ombak di pantai yang terus datang bertubi-tubi.

Orang-orang masih saja berkerumun, tapi aku menyaksikan dirimu di kejauhan. Melihat dirimu yang tampak seperti siluet yang membentangkan hiburan baru. Ya, betapa orang-orang di daerah ini haus hiburan. Diam-diam, aku menyukai dirimu. Diam-diam, aku mengagumi setiap lekuk yang kau tawarkan, seperti seteguk air yang disuguhkan saat aku sedang kehausan. Betapa setiap gerakanmu telah menjelma menjadi suatu yang patut dikenang. Lekuk pinggul, payudara, dan bundar wajahmu telah menyihirku. Aku terpukau, kesiap yang melecut dengan seketika. Bayangan dirimu terus saja berkelebat. Yang memaksaku malas untuk menutup mata barang sebentar.

"Kau hebat ketika menari," aku menghampirimu.

"Selalu pujian yang kau berikan. Aku muak!" katamu.

"Tapi ini sungguh-sungguh. Dari sana aku menyaksikan keteguhanmu."

"Lalu, kau akan bermaksud melarangku? Kau akan menceritakan lagi kisah itu, bahwa aku memunyai seorang Ibu yang juga menari. Bila ibuku mati dibakar, begitu?"

"Kau tak percaya?"

"Buktinya, orang-orang memujaku. Lihatlah, bagaimana mereka puas dengan suguhanku. Seorang lelaki tadi menghampiriku, ia menawarkan kartu nama. Katanya pencari bakat dari sebuah production house. Katanya, tarianku dapat dipromosikan lebih besar lagi. Bisa menyaingi goyangan Inul Daratista."

"Siapa namanya?"

"Marta."

"Jadi, kau akan menerima tawaran dari dirinya?"

"Mengapa tidak? Kesempatan tak akan datang dua kali."

Tiba-tiba kembali ada yang berdesir, berenang menjauhi dadaku. Aku melihat pijar di kedua bola matamu. Dan, aku berfirasat bila kau akan pergi, jauh, meninggalkan diriku. Aku membayangkan akan ditinggalkan dirimu. Padahal, aku belum sempat mengutarakan bila aku menyukai dirimu, tepatnya telah jatuh cinta pada dirimu.

***

Sampai di hari-hari berikutnya, kau benar-benar telah menghilang dari daerah ini. Tinggal aku sendiri, mengingat-ingat tarian yang acapkali kau utarakan. Bagaimana seluruh lekuk tubuhmu seakan berbicara padaku. Suatu bahasa yang sekejap dilahirkan dengan tiba-tiba.

Aku merasa kehilangan dirimu. Seketika pula, aku kembali terkenang pada kisah di mana seorang penari yang juga Ibumu mati dibakar orang.

Tapi nyatanya, kemarin malam, aku melihat dirimu menari di televisi. Ya, dirimu! Dengan peluh yang berkucur banyak di wajahmu.

Jakarta Barat, 2004-07-17

-----
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisan berupa cerpen, puisi, dan esai dimuat di berbagai media.


Lampung Post
, Minggu, 21 November 2010

Sunday, November 14, 2010

Senja di Mata Diana

Cerpen Alexander G.B.


SENJA di mata Diana. Wanita yang mati dan tergeletak di pinggir jalan bergitu saja. Tak ada yang menggambil inisiatif menguburnya hingga hari ini. Sebelumnya, keberadaan Diana dianggap meresahkan warga. Ketika kedapatan ia mati, warga bersorak bahagia. Aneh. Mengapa mereka malah senang dengan kepergian Diana? Bukankah Diana sosok yang baik hati pikirku. Apalagi jika mayat Diana tetap dibiarkan tergeletak di situ, apa mereka tak terganggu bau busuk yang akan segera menyebar ke seluruh kompleks perumahan?

Seekor kupu-kupu masuk ke kamar melalui jendela yang terbuka. Ia berputar-putar, menabrak-nabrak dinding. Lalu dalam sebuah kesempatan seekor cicak menangkapnya. Usia pula nasibnya. Aku memperhatikan kupu-kupu itu. Lalu telepon berdering berkali-kali. Setelah kuangkat, baru kutahu jika mayat Diana masih di tempat yang sama seperti dua hari yang lalu. Maka aku bangun dan segera meluncur ke kantor polisi. Saya menjumpai orang-orang berkepala serigala. Beberapa pasang mata mengawasi dari celah pintu.

Saya pengajar sebuah sekolah swasta di kota ini. Sekolah sederhana bagi anak-anak yang tak punya biaya mengenyam pendidikan formal. Baru satu tahun mengajar dengan gaji cukup lumayan bagi pemula. Maklum mengajar mereka juga dibutuhkan keahlian dan kesabaran yang berbeda. Tapi saya sangat menikmati pekerjaan ini.

***

Tiang-tiang listrik menggigil menahan udara pagi. Aroma besi karat menyeruak kemana-mana. Beberapa orang dengan santai melangkah, mungkin sudah kebal dengan dingin dan amis karat besi. Kenapa Diana selalu pulang pagi sementara orang-orang masih terlelap nyaman bermimpi sambil menikmati hangatnya pelukan suami? "Sebab Diana bukan wanita baik-baik, tidak punya suami," ujar Dewi salah satu tetangga yang kurang senang dengan perilaku Diana.

Sudah bukan rahasia jika wanita-wanita di kompleks itu tidak menyukai kehadiran Diana. Rasa benci ini mungkin dipicu karena mereka tak pandai merawat tubuh, atau barangkali mereka kalah bersaing dari sisi kecantikan. Mungkin karena didorong ketakutan suami-suami mereka tregiur pinggul Diana. Tapi sejauh ini, setelah lebih lima tahun selama aku tinggal di kompleks, hal tersebut sama sekali tidak terbukti. Bahwa Diana selalu memakai pakaian seksi, itu benar. Tetapi jika kita menduga ia menggoda suami-suami meraka, sama sekali tidak benar. Diana tampak selalu menjaga sikapnya jika bertemu semua orang.

Mayat yang tergeletak di pinggir jalan itu mungkin Diana, sudah beberapa hari ini tak tampak batang hidungnya. Biasanya menjelang subuh berjalan sambil menenteng tas merah, menyusuri gang yang sempit yang senantiasa remang.

***

Cemburu, mungkin itu yang membuat Diana kerap menjadi sasaran sumpah serapah dan pergunjingan wanita-wanita yang diduga tak sanggup memuaskan suaminya. Saya mengakui mata Diana memiliki daya tarik tersendiri, cokelat dan penuh harap. Mungkin itu yang membuat banyak lelaki berdegup jantungnya dan merangsang titik-titik tertentu sehingga mereka selalu berhasrat mendekat pada Diana. Tetapi apakah Diana suka mengganggu lelaki yang sudah punya istri? Setahu saya tidak. Tetapi Dewi dan juga wanita-wanita lain lebih suka menyalahkan Diana selalu pulang pagi.

"Tentu saja, memang kerja apa sih sampai subuh baru pulang?" kata Dewi.

"Jangan begitu, sekarang banyak jenis kerja yang waktunya harus malam."

"Alah, ya ga mungkin. Masak sejak dulu ia selalu pulang pagi. Iya kan, Mur?" ujar Dewi pada Murti.

"Iya, kalau bukan, mau usaha apa coba?"

"Eh liat dia baru keluar itu, sok sopan, padahal kalau pulang pasti pake rok mini, ih amit-amit."

"Jangan begitulah. Diana itu wanita. Kita juga wanita. Jadi mungkin dia terpaksa harus bekerja begitu. Meskipun kerjanya ga bener. Kasian kan udah hidup sendiri kita musuhi pula. Bisa jadi dia pelacur, tapi kan bisa juga tidak. Dia itu baik, kemarin saja dia bantu biaya pengobatan si Bayu waktu dia kena malaria."

"Eh, Nur kamu tahu apa tentang dia. Kalau kamu ga suka lagi kumpul sama kami-kami juga tidak apa-apa. Iya kan Mur?"

"Iya Nur, terus terang aku juga sedang khawatir, sebab Nurdin seuamiku sekarang sering pulang terlambat, pernah sekali waktu aku melihat ia menegur Diana ramah banget," ujar Murti.

"Jangan-jangan dia pake susuk atau jampi-jampi sehingga setiap lelaki tertarik padanya."

"Huss ngawur aja."

Obrolan kadang berlanjut hingga nama Diana babak belur.

***

"Aku mau kejelasan."

"Tentang apa? Jika hal yang kau tanyakan sama seperti sebelumnya, maka jawaban yang akan kau dengar akan sama saja dari yang sebelumnya. Aku mau pulang."

Lelaki itu diam sebentar lantas meraih tangan wanita itu.

"Jangan kurang ajar, jangan berbuat yang macam-macam nanti aku terpaksa berteriak," ujar wanita itu sedikit mundur. Tetapi lelaki itu lebih sigap, segera diraihnya pergelangan tangan dan ia dorong wanita itu hingga keluar trotoar sampai ke dekat gudang, bangunan tua di pinggir jalan. Wanita itu mencoba menenangkan diri. Ia hendak berteriak, tapi segera sebilah pisau mengancam lehernya. Ia tertegun, tapi tak hendak mengalah. Tak tampak raut takut diwajahnya. Ia tatap lelaki itu.

"Kita sudah cukup lama berteman. Selama ini aku sudah memperlakukan kamu dengan baik, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu hingga tega berbuat begini."

"Aku akan membiarkanmu jika berjanji tak pergi dengan laki-laki lain," ujarnya.

Wanita itu tersenyum sinis, berkukuh dengan pendapatnya.

"Kau pikir aku pelacur? Mereka rekan bisnis. Dan aku butuh teman yang banyak, sebab aku harus dapat banyak uang setiap bulannya. Lagi pula apa hubungannya denganmu dengan semua yang kulakukan. Toh aku tak pernah merugikan dirimu juga orang lain. Untuk saat ini dan selanjutnya aku sama sekali tak tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun, apa pun bentuknya selain pertemanan. Aku juga tidak mau terikat dengan janji seperti yang kau tawarkan."

"Jangan keras kepala, aku tak mau menyakitimu."

"Lelaki macam apa yang mengancam wanita dengan sebilah pisau."

Lelaki itu terkejut ketika menyadari apa yang baru dilakukannya. Pisau terjatuh.

"Maafkan aku. Aku tak suka kamu punya banyak teman laki-laki."

"Aneh, aku bukan kekasih atau istrimu. Dan hati-hati kamu bisa kehilangan pekerjaanmu. Kamu tahu sejak dulu kita sebatas teman dan selamanya akan begitu. Jadi aku bebas pergi ke mana saja dengan siapa saja. Aku tidak mau ada orang yang mau ikut campur urusanku. Memang kamu siapa mau ngatur-ngatur hidupku. Dan tolong kamu dengar baik-baik, salah satu alasan kenapa aku lebih suka sendiri adalah karena aku tak mau terikat dengan aturan-aturan semacam itu. Biarkan aku hidup dengan caraku. Lagipula aku tak pernah merepotkan dirimu, sebaiknya kamu jaga ucapan dan sikapmu."

"Kalau begitu lekaslah pergi dari sini. Banyak orang yang tak menyukai kehadiranmu."

Wanita itu terdiam sejenak.

"Tidak, aku harus tetap di sini."

"Dasar kepala..."

Lelaki itu benar-benar geram, dan tak bisa mengendalikan dirinya. Dan wanita itu merasakan semua menghitam. Sempat ia masih tersenyum. Pagi menggigil.

***

Peristiwa satu malam sebelumnya.

"Pulang, Tante?"

"Iya Bud. Cuma bertiga nih?"

"Ga Tante, Ucil, Hasan dan Aam kebetulan sedang keliling."

"Owww...Ini untuk beli nasi goreng sama rokok biar bisa jadi temen ronda. Cukup untuk kalian berenam."

"Makasih Tante. Tumben baru jam dua sudah pulang?"

"Sudah selesai kerjaannya. Lagi pula badan sedang kurang fit jadi agak lebih awal pulangnya. Ya udah, Tante pulang ya?"

"Iya Tante. Makasih."

Wanita itu segera berlalu dari pos ronda.

"Asyik juga jika tiap malam bisa datang rezeki seperti ini. Misalnya semua warga baik seperti dia, makmur juga kita. Lagipula banyak orang kaya, tapi dasar pelit sebatas air putih saja susah banget keluar, ya?"

***

Di kantor polisi.

"Dia sebatas penari latar di klub-klub malam, kafe, atau pesta-pesta."

"Kamu yakin."

"Ya, aku sering melihatnya."

"Sebatas itu?"

"Sebatas itu."

"Kamu membelanya? Dari beberapa laporan dia meresahkan warga?"

"Tidak, itu yang sebenarnya. Mungkin karena dia baik, cantik, dan seksi jadi sebagaian orang iri dan sebagian lagi ingin memilikinya sendiri."

"Beberapa laporan menyebutkan kamu adalah warga yang paling dekat dengannya?"

"Benar, tapi hanya tahu beberapa hal yang dilakukannya."

"Menurutmu modus pembunuhan wanita itu apa?"

"Mungkin cemburu atau perasaan terlalu ingin memiliki."

"Terima kasih atas kerja samanya."

Saya segera meninggalkan kantor polisi dan menyimpan kebingungan.

***

Wanita setengah baya itu kini terbujur kaku. Saya tahu sebagian warga khususnya wanita-wanita itu pasti bersorak kegirangan atas kematian Diana, dan sebagian juga bersedih jika mengenang kebaikkannya. Polisi-polisi tersenyum puas. Tak ada penyelidikan lebih lanjut. Perkara dihentikan. Kecantikan sumber petaka baginya, atau ada hal lainnya? Kini tas merah itu terus menyiksa saya. Sebab di dalamnya ada nama yayasan atas nama dirinya yang digusur pemerintah kota secara paksa. Anak-anak gelandangan menundukkan kepala sebab kehilangan tempat belajar dan bernaung seperti biasanya, sementara beberapa orang menggelar pesta sebab hilang sudah penghalang pembangunan mal yang sempat terhenti karena rumitnya negosiasi. Saya diam di kamar beberapa hari. Kini saya menderita, hidup rasanya lebih buruk dari neraka.

Hatiku terluka, dan luka itu kini kutahu bernama Diana.

Bandar Lampung, Desember 2009



Lampung Post, Minggu, 14 November 2010

Sunday, November 7, 2010

Tubuh Kinan

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka


SETIAP kali mengalami orgasme aku selalu memejamkan mata. Kurengkuh tubuh Kinan. Kudekap erat-erat. Kunikmati kehangatan yang mengalir dari tubuhnya ke tubuhku. Dan perlahan-lahan kurasakan seluruh tubuhku menjadi basah. Bahkan bukan sekadar basah, karena kemudian aku merasakan bukan lagi berada di atas tubuh Kinan; tapi seperti terapung di atas lautan, terayun-ayun dimainkan ombak, air asin yang terjilat. Aku terhanyut dan mengalir entah ke mana.

Seluruh tubuhku basah. Kinan mencair bagai lautan. Rasa asinnya seakan terasa di lidah, terus mengalir lewat kerongkongan dan menusuk-nusuk jiwaku. Untuk beberapa saat aku kehilangan tubuh Kinan. Yang kurasakan cuma kehangatan. Ya! Kehangatan air laut yang mendekap. Betapa asin. Seperti sesuatu yang pernah kulihat dan kurasakan setiap kali aku berenang di pantai. Genangan air yang rasanya asin tidak saja seperti air laut, tapi juga seperti air mata. Ya! Memang lebih tepat jika rasa asinnya kukatakan seperti air mata. O, genangan air mata yang kudekap di atas ranjang!

Dan aku terapung-apung mengalir entah ke mana. Seakan dipermainkan ombak lautan lepas. Lautan air mata! Dengan rasa asin yang menjilat-jilat. Duhai! Sejauh mata memandang hanyalah kaki langit. Lalu pelangi berlintasan di cakrawala. Berwarna-warni. Sepertinya begitu dekat tapi tak pernah mampu kugapai. Kecuali hanya untuk kupandang dalam mata yang terpejam, hingga perlahan-lahan aku membuka mata, kulihat Kinan tergolek di sisiku. Terdengar suara desahnya yang lirih. Begitu lirih bagai deburan ombak malam hari menyanyikan kesunyian buih-buih.

Kinan menatapku dengan bola mata yang pasrah. Kadang bola matanya yang bundar itu berkaca-kaca. Kadang bercahaya penuh kemanjaan. Kadang menerawang penuh misteri. Berlama-lama tatapan serupa itu ditujukan kepadaku. Dan selalu sesudah itu aku membelai-belai rambutnya yang hitam dan panjang sampai ke tumit kakinya sambil aku berbisik di telinganya: “I love you."

***

Kinan gadis yang cantik. Aku bertemu dengannya pertama kali di depan sebuah mal saat hujan turun dengan deras. Ia berdiri sambil memperhatikan kaki hujan yang menari-nari di lantai terbuka. Wajahnya muram. Tatapannya jauh menembus cakrawala. Dan dia cukup terkejut mengetahui aku berdiri di sisinya. Aku mencoba mengajaknya tersenyum. Dia balas tersenyum. Lalu kami terlibat dalam perbincangan yang dimulai dengan basa-basi tapi selanjutnya menjadi akrab. Dan Kinan tidak menolak ketika kuutarakan keinginanku untuk mengantarnya pulang. Kami makan di sebuah kafe terlebih dahulu.

Sejak itu aku sering bertemu dengan Kinan. Tepatnya kami janjian untuk bertemu. Kadang kami pergi jalan-jalan ke tepi pantai. Makan di kafe atau restoran. Nonton film. Berenang. Main game di warnet. Atau sekadar mutar-mutar di jalan raya. Dan semua itu membuat hubunganku dan Kinan semakin intim.

"Andai saja aku bertemu denganmu jauh sebelum ini," cetus Kinan suatu ketika saat kami berdua. Lalu ia terdiam membiarkan angin senja mengusap pepohonan sepanjang pantai. Atau dia memberi kesempatan untukku merespons ucapannya?

Tapi mulutku masih terkunci memandangi wajahnya yang serupa pelangi dilingkungi mendung. Seakan kulihat sebuah misteri yang melambai. Dan aku mencoba untuk menembus lorong panjang yang terbuka di kelopak matanya yang indah itu. Lorong bundar dan gelap. Dan aku tak pernah bisa membacanya.

Tak lama kemudian Kinan melanjutkan kata-katanya. "Mungkin segalanya terasa begitu indah dan menyenangkan," Kinan menatap ke arahku dan tersenyum. Aku balas tersenyum.

***

Hari-hariku bersama Kinan memang terasa begitu indah dan menyenangkan. Jauh lebih indah dan menyenangkan dibanding hari-hari bersama istriku. Mungkin inilah sebabnya mengapa orang-orang suka mengatakan "selingkuh itu indah". Karena menawarkan sesuatu yang baru. Karena segalanya begitu romantis. Karena penuh dengan muslihat. Ya, penuh dengan muslihat!

Betapa tidak! Kau harus pandai-pandai membagi waktu atau mungkin lebih pas "mencuri-curi waktu" bila kau punya selingkuhan. Agar selalu bisa berdekatan. Agar selalu bisa survive berkencan. Dan ini memerlukan siasat yang jitu. Memerlukan kecerdasan untuk me-manage-nya. Sebab itu, menurutku "muslihat" merupakan estetika tersendiri yang menjadi bagian keindahan dari dunia perselingkuhan.

Begitulah keindahan dan keriangan itu kureguk bersama Kinan. Bila berduaan seakan tak habis gairah untuk ditumpahkan. Bila berjauhan seakan tak habis rindu untuk diungkapkan.

"Sayang..., dah mam belum?" tanya Kinan melalui hape.

"Sudah sayang... Kamu...?"

"Ako juga sudah. Gi ngapain kamo sekarang?"

Kinan selalu mengucapkan kata "aku" menjadi "ako" dan kata "kamu" menjadi "kamo" untuk menunjukkan kemanjaannya. Buatku itu suatu hal yang cukup menarik dan menyenangkan. Karena ternyata dunia cinta juga mampu memberikan sumbangan terhadap pengayaan bahasa.

"Biasa, lagi rehat baru selesai makan. Kamu ga sekolah?"

"Sekolah dong, ini baru mo berangkat. Kalo ga sekolah tar jadi bodo, hehe...."

"Bodo apa bobo...?"

"Ich mauuu... Hehe... Sayang, kangen..."

"Sama dong!"

"Kapan kamo pulang...?"

"Lusa. Besok masih ada meeting."

"Jangan lupa ya oleh-olehnya, salak pasir."

"Kamu ga mau kaus joger?"

"Ya iyalah Sayang, sama kaus joger juga. Truuss...."

"Terus apa?"

"Tapi janji dulu kamo mau memenuhi permintaan ako."

"Iya, iya, apa sih yang ga buat kamu?"

"Kalau kamo pulang, kamo harus temui ako dulu ya. Kalau kangen ako sudah hilang, baru dech kamo boleh pulang ke rumah."

"Tapi...."

"Tu kan boong. Katanya semua buat ako!"

"Bukan begitu, Sayang. Tapi aku sudah bilang sama "orang rumah" kalau aku pulang lusa."

"Bodolah! Ako ngambek!"

Kinan mematikan hape. Tut..., tut..., tut...

***

Kinan memang suka bermanja. Bahkan seringkali berlebihan. Seorang temanku bilang begitulah jadinya kalau aku selalu menuruti keinginannya.

"Sudah lagi, Bro. Sayangi istri dan anakmu. Kinan itu anak ingusan. Dia bukan cinta kepadamu, dia cuma butuh uangmu!"

Dipikir-pikir, betul sungguh ucapan temanku itu. Lantaran perbedaan usiaku dengan Kinan yang begitu jauh. Terkadang aku suka risih juga bila berjalan berdua dengan Kinan di tengah keramaian. Dalam kesendirian aku terkadang merenung-renung. Apa sebetulnya yang sedang kujalani bersama Kinan?

Aku tidak tahu; apakah ini kemenangan atau kekalahan. Atau justru kemenangan dan kekalahan itu sudah menjadi dua sisi mata uang yang memberi nilai bagi kehidupanku. Di satu sisi aku merasa meraih kemenangan dengan mendapatkan Kinan. Tapi di sisi lain aku merasa mengalami kekalahan karena lunturnya kesetiaan terhadap istriku. Ach! Apakah Kinan yang telah merebutku dari diriku, atau justru aku yang menyerahkan diri kepadanya. Aku merenung-renung.

"Kau ini orang cerdas, Bro. Kau dipercaya memegang jabatan yang cukup bergengsi. Tapi kau cuma cerdas secara intelektual. Tidak cerdas secara emosional dan spiritual. Kau dipecundangi anak ingusan," ungkap temanku.

Kurang ajar! Aku sempat tersinggung dibuatnya. Ingin aku meninjunya kalau saja aku tidak takut dibilang emosiku idiot. Tapi dipikir-pikir; betul sungguh ucapan temanku itu.

"Awalnya aku hanya merasa kasihan pada Kinan, Bro," aku berkilah.

"Ya, kemudian emosimu menjadi buta. Karena kesombonganmu yang mengukur segalanya bisa dibeli dengan uang. Kau bukan sedang berbagi kesenangan untuk sesama, tapi kau sedang mengejek kemiskinan. Kau tahu itu?" lanjut temanku.

"Terserahlah kau mau bilang apa, Bro. Kau membuatku jadi gamang."

"Hahaha...., baguslah itu. Sebagai teman baik, aku memang harus berucap seperti itu. Harus membangunkan kau dari tidurmu. Hahaha...."

Temanku itu memang suka bicara terus terang. Blak-blakan. Meskipun terkadang menyinggung perasaan, pandangan-pandangannya mengenai hubunganku dengan Kinan harus kuakui kebenarannya. Aku hanya bermimpi memiliki Kinan. Pada kenyataannya aku tidak sungguh-sungguh ingin memilikinya. Karena betapa pun aku adalah seorang yang menganggap sakral pernikahan. Cukup sekali dalam hidup ini. Ya!

***

Aku merenung-renung. Seandainya hubunganku dengan Kinan kuakhiri, siapakah yang akan tersakiti. Kinan? Atau justru diriku sendiri. Meskipun aku tidak sungguh-sungguh ingin memilikinya. Seperti kata temanku, sesungguhnya aku hanya sedang membeli tubuhnya dari kemiskinan yang menderanya, dan bukan ingin memberi kasih sayang untuk memiliki dirinya.

"Karena itu kau cuma menyetubuhi air mata!"

Selalu terngiang-ngiang ucapan temanku itu. Bagaikan dipancarkan oleh speaker raksasa. Kalimat itu membahana di cakrawala sehingga senantiasa terdengar di mana pun aku berada. Terutama saat-saat berdekatan dengan Kinan.

Suatu kali aku menatapnya tajam-tajam. Menatap diri Kinan dengan segenap indraku. Dia tampak kikuk.

"Kenapa menatap ako seperti itu?"

Aku menggeleng-geleng. Namun di dalam benakku mengatakan; Kinan gadis yang cantik. Mungkinkah ia ditakdirkan menjadi tubuh dari air mata; tubuh dari kemiskinan yang melanda lebih dari seperlima rakyat negeriku?

"Sayang..., jawab, dong!"

Aku hanya tersenyum. Dan kembali menggeleng-geleng.

"Ya sudah kalau ga mau ngomong. Mau sedikit bicara banyak kerja, ya. Hehe...."

Entah kekuatan apa yang membuatku kemudian mengembangkan kedua tanganku. Lalu Kinan meluruk ke arah diriku. Dan Aku memeluknya. Merengkuh dirinya erat-erat. Kunikmati kehangatan yang mengalir dari tubuhnya ke tubuhku. Dan perlahan-lahan kurasakan seluruh tubuhku menjadi basah. Bahkan bukan sekadar basah, karena kemudian aku merasakan bukan lagi mendekap tubuh Kinan; tapi seperti terapung di atas lautan, terayun-ayun dimainkan ombak, air asin yang terjilat. Aku terhanyut dan mengalir entah ke mana.

Bandar Lampung, 07/10 Maret.


Lampung Post
, Minggu, 7 November 2010