Sunday, October 31, 2010

Mirip Diana...

Cerpen Isbedy Stiawan Z.S.


malam menguncup
angin laut menusuk
di palka ini perempuanku
menulis kisah-kisah silam
dari setitik tahilalat...


KAU mirip dengan temanku semasa kecil. Dia lincah, manis, namun berani memanjat pohon hingga ke paling pucuk. Ia juga layaknya seekor kera kerap menggantung dengan satu tangan dan kaki hanya menginjak ranting kecil, sementara satu tangannya lagi meraih buah: mangga, jambu, sirsak, ataupun murbei. Kami mengejeknya sebagai perempuan kera. Tetapi, dia tak marah. Hanya cengar-cengir. Kemudian melempar buah yang sudah di genggaman tangannya.

Wajahmu hampir tak berbeda. Bagaikan pinang dibelah dua. Cocok sekali kalau kau adalah kembaran teman kecilku. Cuma kalau ada yang membedakan, itu pun tak akan tampak oleh sekali pandang, yaitu rambutmu sedikit panjang dan hitam. Teman perempuan semasa kecilku agak pirang dan selalu sebahu rambutnya. Selain itu, ada tahi lalat di leher belakang: tahi lalat itu akan terlihat jika kami menyibak rambutnya atau ketika ia mengoncet.

"Aku juga ada tahi lalat di leher belakangku," katamu.

Ah, boleh aku melihat? Pastilah kulit di lehermu putih dan mulus. Kau mendelikkan mata. Tanganmu mulai mengangkat. Aku bergeser seinci. Aku meminta maaf, dan tak akan mengulang ucapan atau keinginan jahil.

Ya. Kau memang mirip benar dengan teman semasa kecilku. Dia namanya Diana. Aku lupa nama panjangnya. Dia juga sekelas denganku sejak kelas satu SD hingga lulus. Kami sering beradu setiap ada perlombaan baca puisi atau mengarang. Kami saling bergantian juara. Cuma aku tak tahu lagi tatkala dia memilih SMP Negeri 1, sedang aku mengambil SMP khusus perindustrian. Kabarnya, Diana tak lagi suka mengarang puisi atau cerita. Tetapi ia gemar berias wajah.

Setiap pergi ke sekolah, kami masih sering bersama-sama menuju sekolah kalau kebetulan bertemu di depan gang, Diana tampil modis. Rambutnya kerap dibiarkan tergerai rapi, bibirnya dipoles lisptik berwarna ungu atau merah. Alis matanya hitam karena ditoreh pensil alis mata. Pakaian seragamnya bersih putih, dan rok birunya agak naik di atas lutut. Sepertinya sengaja dia memamerkan lutut dan sedikit di atasnya.

Jika pulang sekolah kami lebih banyak tak bersama. Sebab aku pulang agak sore, karena kerap berada di laboratorium sekolah. Ternyata pada suatu hari aku mendapat kabar, setiap pulang sekolah teman kecilku itu tak langsung pulang. Melainkan menonton film yang biasa diputar pukul 14.00. Memang waktu itu, hampir banyak bioskop�bukan seperti atau bernama Teater 21 miliknya Dwisekatmono�menayangkan film-film yang sudah diputar untuk ditayang siang hari. Sasarannya adalah para remaja sekolah atau mereka yang suntuk lalu memilih menonton siang hari.

Waktu itu memang banyak juga yang usianya di atas kami menonton. Mereka memilih bioskop hanya untuk memudahkan bercumbu dengan pacarnya di saat lampu gelap dan film main. Atau menonton orang lain yang tengah memadu kasih. Ah, ingat semua itu aku jadi malu sekaligus juga menginginkan kembali ke masa-masa indah itu.

Kau tersenyum. Sepertinya kau suka dengan cerita masa kecilku ini. Aku ingin meneruskan ceritaku, tepatnya kenangan masa kecilku dengan Diana. Ya! Diana lalu tumbuh sebagai remaja cantik dan manis. Kulitnya semakin putih. Aku paling sering mengintipnya saat mandi. Kunaiki pohon sirsak di belakang rumahku, lalu di atasnya kubuat semacam rumah-rumahan. Aku sering tidur-tiduran di dalam rumah pohon itu, dan tatkala jam mandi dadaku mulai berpacu kencang. Kudekatkan mataku ke lubang kecil yang sengaja telah kubuat. Napasku mulai tak beraturan, namun sekuat mampuku agar tak membuat ada gerakan. Kalau bergerak sedikit saja, alamat aku dibuat malu.

"Kau memang jahil," desismu sambil melirik.

Angin laut sesekali mengacak rambutmu, namun secepat itu tanganmu merapikan lagi.

"Nakalnya masa anak-anak," kataku.

"Biasanya membekas sampai sekarang," katamu lagi.

"Tidak," sergahku.

"Maksudnya, tidak salah...."

Nah, senyummu tak beda dengan Diana. Juga tatkala kau mendelikkan matamu tadi, pun ketika tanganmu mengangkat ingin memukulku. Sungguh, jika saja tadi kau benar-benar memikulku atau melemparku dengan benda, aku tak akan marah apalagi menuntutmu sebagai perlakukan tak menyenangkan.

Sebenarnya aku ingin mengenang masa lalu. Ketika Diana melempar batu ke punggungku, karena aku tiba-tiba mengangkat roknya saat melintasi gang kecil akan pergi ke sekolah. Aku berlari kesakitan sambil memegangi punggungku. Tetapi esok pagi, kami jalan bersama lagi. Hanya saja, aku sudah tak berani lagi menarik tinggi roknya, namun aku masih berani mengangkat rambutnya untuk melihat tahi lalat yang ada di leher bagian belakang yang selalu disembunyikan oleh rambutnya.

"Mungkin tahi lalat di aku sama besarnya dengan tahi lalat temanmu itu," kau mulai lagi. "Memang banyak lelaki yang bilang kalau tahi lalatku ini indah dan menggiurkan. Aku sendiri tak faham soal keindahan apalagi menggiurkan. Apanya yang menggiurkan, pikirku, hanya sebuah tahi lalat. Tahi lalat cumalah setitik bercak yang sebenarnya sebagai kotoran di kulit."

"Siapa bilang? Aku lupa namanya, yang jelas artis, dia cantik karena ada tahi lalat persis di dagu sebelah kiri dekat bibirnya. Lidya Kandou mungkin sedikit hilang kecantikannya, jika dia tak memiliki tahi lalat...." kataku memuji tahi lalat yang menghiasi perempuan sesungguhnya menambah nilai baginya: kalau tak semakin cantik ya kian manis.

"Aku tetap tidak sependapat," bantahmu. "Tahi lalat tidak lebih hanya tanda, sebagai pengenal bagi seseorang. Dia hanya disebut jika pemilik tahi lalat itu hilang atau tak pulang. Iklan orang hilang atau tak pulang, akan menulis �ciri-cirinya ialah ada tahi lalat di anu dan anu, selain itu mengenakan pakaian berwarna...� ah, kurasa, sudah klise, selalu saja itu yang disebut untuk mencirikan orang. Memangnya tak ada yang lain?"

"Ya tak mungkin kalau iklan orang hilang atau tak pulang, menyebut orangnya cerdas, manis atau jelek, hitam atau putih dan seterusnya. Itu dianggap aib, bukan ciri seseorang..." jawabku cepat.

"Lalu apa pentingnya tahi lalat? Aku saja merasa tak ada kekhususan, tak ada arti apa-apa...."

"Baiklah," ujarku kemudian enggan bertengkar. "Kita lupakan ihwal tahi lalat. Aku juga sudah bosan membicarakan, meski aku meyakini bahwa tahi lalat tetap sebagai pencirian seseorang. Seperti kita mencirikan diri kita masing-masing, sehingga kita merasa sesaudara karena disatukan oleh negara..."

"Kau mulai melebar bicaranya. Untuk apa menarik persoalan tahi lalat ke masalah negara. Sudahlah, semua orang juga sudah memaklumi. Kita memang sebangsa, namun kita tetap berbeda karena kita tak sama dalam keyakinan, etnis, mapun bahasa ibu," kilahmu.

Kau cerdas, desisku. Serupa benar dengan temanku semaca kecil bernama Diana. Karena kecantikan Diana, aku sering menyanyikan syair lagu yang waktu itu sangat populer: "Diana Diana kekasihku, bawalah aku ke orang tuamu. Diana Diana..." ah aku lupa lengkapnya. Aku sangat menyukai lagu itu, sering kunyanyikan di setiap kesempatan. Bahkan di depan Diana. Marahkah Diana? Ia hanya tersenyum-senyum. Kami seperti sepasang kekasih waktu itu yang tengah menjalani cinta monyet. Meski kami tak pernah mengutarakannya.

Tetapi serampung SMA dia dilamar oleh gurunya di SMA itu. Guru muda dan lajang. Dia diboyong ke perumahan. Sejak itu aku tak lagi berjumpa dengannya. Kabarnya dia sudah memiliki tiga orang anak: dua perempuan manis, dan seorang lelaki yang sayangnya autis.

"Tapi aku bukan Diana itu..." katamu kemudian setelah agak lama kau hanya mendengar ceritaku.

"O tentu. Kau juga bukan kembaran Diana. Karena aku tahu Diana itu tidak lahir kembar, dia cuma punya adik perempuan yang wajah dan segala hal amat berbeda."

Aku makin menguatkan perasaanku, bahwa perempuan yang duduk di sebelahku dalam perjalanan kapal feri Merak-Bakauheni pastilah bukan Diana. Hanya aku tak hendak mencari tahu namanya. Cukuplah batinku menyebut dia sebagai Diana. Artinya setiap aku bicara, di hatiku lebih dulu melafaskan Diana, kemudian: ".... tujuanmu ke mana setelah sampai di Rajabasa? Jangan sampai.... diganggu di Termninal Rajabasa nanti."

"Saya akan ke Kotabumi, aku kan asli dan kelahiran sana. Ya aku tahu kalau Rajabasa memang tidak aman, sejak dulu..." katamu.

"O ya, di Semarang bekerja? Juga dengan suami?"

Kau mendesah. Mengibaskan rambutmu, dan ah terlihat tahi lalatmu di leher belakang. Ya, persis dengan tahi lalat milik Diana. Ah, kenapa pula aku bisa dipertemukan dengan orang yang tanpa perbedaan di waktu kini dengan masa silam? Apakah benar kata pendapat ahli, bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kemiripan lebih dari sepuluh orang? Bukankah itu sama saja Tuhan, kadang-kadang kuanggap, kehabisan ide sehingga membuat mahluknya dengan kesamaan? Kalau ya, berarti tak kreatif?

Tiba-tiba aku sadar. Aku sudah mengecilkan ke-Mahapenciptaan dan ke-Mahabesaran Tuhan. Ya, aku ingat pula dengan petuah guru mengajiku dulu di surau: "Dengan adanya kemiripan itulah, Tuhan ingin menunjukkan kepada manusia bahwa apa pun yang ingin dilakukan sekali kun maka jadilah. Tetapi, manusia sering congkak dan merasa bisa membuat kitab suci, padahal ketika disuruh membuat semisal saja, tidak mampu!"

Kau memang bukan Diana. Cuma beri aku kebebasan untuk memanggilmu Diana. Jika kau keberatan akan kucabut keinginanku ini, dan kulupakan nama Diana. Meski aku tak bisa melupakan bahwa kau mirip dengan Diana.

"Oke," katamu pendek dan ringan. Sungguh aku tak mengerti, karena aku tak bisa menafsir atau memahami ucapanmu yang amat pendek itu. Lalu kau tersenyum. Makin aku tak faham, kecuali saat kau mengaku bahwa kau singel parent di Semarang.

***

KAU mirip dengan temanku semasa kecil. Diana namanya. Dia lincah, manis, namun berani memanjat pohon hingga ke paling pucuk. Ia juga layaknya seekor kera kerap menggantung hanya dengan satu tangan dan kaki hanya menginjak ranting kecil, sementara satu tangannya lagi meraih buah: mangga, jambu, sirsak, ataupun murbei.

Tetapi kau lebih modis. Tinggimu mungkin hanya lebih seinci dari Diana. Kalau teman kecilku sangat menyukai sepatu cat, sedangkan kau bersepatu hak. Perbedaan lain, kau perokok.

"Tapi aku bukan pecandu, aku merokok karena situasi saja. Sehabis makan, lagi suntuk, atau sedang di perjalanan seperti ini," kau berasalan.

"Aku tak tahu kemudian, jangan-jangan Diana juga perokok. Mungkin terpengaruh suaminya yang memang pecandu rokok," ujarku kemudian.

"Cuma yang jelas, aku bukan Diana. Aku Dina..." katamu lagi.

"Diana... Dina..." desahku. Mirip pula namamu.

"Jangan samakan aku dengan dia!" hentakmu.

Aku terperangah.*

11042010


Lampung Post, Minggu, 31 Oktober 2010

Sunday, October 24, 2010

Rumah Kelelawar

Cerpen Guntur Alam


RUMAH itu sudah lama jadi sarang kelelawar. Orang-orang di Dusun Tanah Abang pun telah lupa kapan tepatnya. Tak ada yang dapat mengingat dengan pasti, pekan ke berapa di purnama yang kesekian pada tahun yang tertera di bilangan angka almanak rumah. Rumput kanji telah sebatas lutut, membelukar di pekarangannya seolah berlomba dengan batang jambu air yang kian merimbun, tumbuh di beberapa hasta dari tangga depan Limas itu. Saban tahun, pohon jambu itu berbuah lebat. Buahnya memerah di sela daun yang hijau-kuning, di bawahnya buah-buah itu menghampar. Gugur masak dan membusuk. Pada musim kemarau, daun-daun jambu air itu yang akan menguning di bawahnya. Seperti itu, saban tahun. Dan orang-orang pun mulai tak memperdulikan Limas yang sesungguhnya megah itu.

Tapi, pada suatu petang-yang kelak akan diingat orang-orang Tanah Abang sebagai hari yang ganjil dalam adat-istiadat leluhur mereka, seseorang membuat rumah kelelawar itu menjadi pusat perhatian. Pokok pembicaraan. Dan berita yang tak habis-habisnya diurai di toko-toko kopi, pondok bambu bawah kolong Limas, batang (1), belantara balam, bahkan bilik-bilik pengap yang menderukan napas.

Mulanya, kisah itu dibuka pada suatu malam di Limas reot yang ada di ujung dusun. Jauh dari Limas megah itu berdiri. Seorang lelaki renta yang datang ketika hari mulai berselimut pekat yang memulainya. Ia datang mengendap, seolah tak ingin dilihat orang-orang se-Dusun Ngangah.

"Kopinya, Bak," Mak Sarifah meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja kayu, depan lelaki renta itu. Asap menggumpal-gumpal dari permukaannya, menimpali asap tipis dari beberapa potong ubi rebus putih yang merekah dalam piring kecil. Lelaki renta itu tak berkata, tangan kanannya menjangkau gelas kopi, meniup pelan permukaannya, lalu menyeruput isinya sedikit, pelan.

"Cakmane? Apa kalian bisa?" lelaki itu kembali pada pokok pembicaraannya setelah tangannya kembali meletakkan gelas kopi hitam itu di atas tatakan. Mak Sarifah mengadu pandang dengan lelaki yang duduk senyap di sebelahnya.

"Aku turut apa kata ebak-nya Safar saja, Bak," Mak Sarifah tak kuasa membuat keputusan. Baginya, ini perkara kaum lanang. Bukankah memang telah seperti itu? Tiap perkara penting, lananglah yang harus membuat keputusan. Terlebih perkara seriskan ini. Perihal rumah Limas yang sejatinya harus diurus anak lanang tertua dalam keluarga mereka. Lelaki renta itu melarikan retinanya ke arah menantunya.

Pak Saleh menelan ludah. Sejatinya, ia sendiri kebingungan. Begitu banyak pertanyaan yang bergumul-gumul dalam batok kepalanya. Apa kata orang sedusun? Bagaimana pula nanti sikap abang iparnya, Badrun, mengenai permintaan mertuanya ini? Ah, mendadak saja, Pak Saleh merasa betapa sakit kepalanya saat ini.

"Bagaimana dengan Bang Badrun, Bak?" Itulah kata pembukaan yang bisa lelaki itu ucapkan. Dari sekian pertanyaan dan kalimat yang menyerang tempurung kepalanya, kalimat tanya itu yang paling kencang bergaung.

"Ia tak akan pulang lagi ke Tanah Abang. Ebak telah tengok sepekan silam ke Pagar Alam. Ia akan terus berkebun kopi dan lada di sana, mati pun ia nak dikubur di tanah itu. Mungkin, hanya sesekali saja ia menjejakkan kaki di dusun ini, bila kau buat hajat atau ada ihwal yang memang penting dan harus ia datangi. Mengenai perkara ini, Ebak telah mufakatkan dengan ia. Ia pun setuju saja," kata-kata mertuanya itu membuat Pak Hasan kembali senyap.

"Mengapa bukan Bang Badrun saja yang urus, Bak?" mertuanya diam, "Banyak orang dusun kita yang berkebun kopi di Pagar Alam sana, tapi Limas mereka masih dapat dirawat. Satu purnama sekali, Bang Badrun dapat pulang. Berganti-ganti dengan anak-anak bujangnya," sambung Pak Hasan.

"Badrun kadung malu, San. Malu dengan koar-koarnya beberapa tahun silam. Ia tak akan tinggal di Tanah Abang kalau tak jadi orang yang kaya-raya."

Lagi, ketiga orang itu senyap. Pun dengan secangkir kopi hitam yang tak lagi mengepulkan asap dari permukaannya. Juga dengan beberapa potong ubi rebus yang ikut-ikut mendingin. Sedingin udara malam yang mulai berembus dari permukaan Sungai Lematang, bertiup ke arah tengah dusun, menggelitik, merayu dedaun yang dilewati, menerobos celah-celah papan Limas, lalu terbang bersama malam yang kian merangkak dalam kepastian menuju puncaknya.

Kedua laki-bini itu kembali mengadu pandang. Lalu, serempak menarik napas panjang. Keduanya pun bersama-sama mengembuskannya, melegakan dada yang seketika menyempit mendadak. Seperti tak bersebab, seperti tak berpangkal. Sesak. Mengimpit dan terasa begitu menjepit.

"Bila kami bersedia, berapa yang harus kami serahkan pada Ebak karena maknya Safar seorang perempuan, Bak? Telah termaktub dalam hidup orang dusun kita. Bila anak perempuan yang mengambil alih Limas, wajib membayar pada Ebak dan anak lanang yang berhak. Sementara, kami tak punya apa-apa. Hanya sebidang kebun balam yang menjadi pokok kami makan. Tak mungkin kami menjualnya. Kebun balam itulah tempat cucu-cucu Ebak menggantungkan harap."

"Berapa pun yang kau anggap pantas," ujar lelaki renta itu. Ada desisan lega dari nada suaranya. Tersirat di gurat-gurat wajah. Terbaca di binar-binar mata.

Mak Sarifah meraba lehernya. Cuma itu yang ia punya. Sesuku kalung emas. Hampir genap satu tahun lamanya, ia mengumpulkan uang untuk dapat membeli kalung itu. Harapnya, itu harta cadangan yang dapat digunakan bila sewaktu-waktu ada keperluan mendesak. Lamat, ia membukanya dari leher hitamnya yang jenjang.

"Kami hanya punya ini, Bak," tangannya gemetar mnenyorongkan kalung emas itu. Mata renta lelaki itu meredup, ada kaca-kaca yang hendak pecah, menyeruak dan terasa sangat menyesak. Mengimpit kembali dada tuanya.

"Apa kau ikhlas?" suaranya berubah serak dan gemetar.

"Insya Allah, Bak," Mak Sarifah lekas menegakkan jantungnya.

Lelaki renta itu merogoh saku baju batiknya, merentang selembar surat bermaterai. Tiga tanda tangan telah terbubuh di atas kertas bertulisan huruf sambung itu, bertinta hijau. Ia menyorongkan kertas itu kepada mantunya.

"Tanda tangan dan simpanlah. Surat ini serah terima Limas itu kepadamu, dari Ebak dan Badrun," desisnya.

Pak Hasan membawa wajah ke bininya. Wanita itu tak berkata. Tidak mengangguk atau pun lainnya. Ia bergeming di atas lantai, serupa batu yang telah dikutuk. Malam ikut senyap dalam merangkak. Angin diam saat menjadi saksi yang mengesahkan tangan Pak Hasan menggerakkan pena di atas kertas itu. Lalu, hening menyelimuti semesta pekat.

***

BEGITULAH mulanya, lalu orang-orang sedusun Tanah Abang terperangah begitu di pagi kalangan, Pak Hasan anak-beranak menebas rumput kanji yang membelukar di pekarangan limas itu. Menyapu daun-daun jambu air yang menguning. Menyalakan api dari tumpukan sampah, meliukkan asap putih tebal yang memerihkan mata ke arah Limas. Kelelawar mencericit begitu asap itu mulai menyelimuti rumah.

Berbondong-bondong mereka terbang dari tiap jendela Limas yang telah dibuka lebar-lebar, jendela yang telah bertahun-tahun tak menampilkan daunnya. Sawang-sawang digulung, debu-debu di sapu. Dan mata-mata orang Tanah Abang pun kian tertuju.

"Apa hal Hasan anak-beranak bersihkan rumah mertuanya itu?"

Itu kalimat tanya yang menjadi muasal pembicaraan yang kelak akan terjadi begitu panjang. Kalimat yang dilontarkan Wak Saiful dari toko kopi Seno yang memang hanya berjarak dua-tiga Limas dari rumah kelelawar itu.

"Nak ditunggunya mungkin," sahut Mang Batul spontan, cuek, dan terdengar santai. Jawaban yang sebenarnya biasa saja, akan tetapi menjadi tak biasa di telinga orang se-Dusun Ngangah.

"Hah? Nak ditunggunya?" kening Wak Saiful berkerut, "Ai, mati lah itu jurai Hamzah kalu anak mantu dan anak perempuannya yang tunggu Limas itu."

Setelah itu terdengar dengungan suara lanang-lanang yang mencaungkan kaki di toko kopi Seno itu. Beragam kata yang terlontar. Kemudian angin yang memang suka berbisik, membawa dengungan kata itu terbang mengintari langit Tanah Abang. Menyinggahkannya di tiap-tiap Limas, di antara perempuan-perempuan yang mencari kutu dan uban bawah kolong Limas, dan seluruh penjuru dusun.

"Sarifah anak-beranak nak nunggu Limas ebaknya. Mati lah itu jurai keluarganya."

"Oi, ada nian?" mata Bi Robiq membelalak, kutu yang hampir saja ia cengkeram dengan jemarinya di atas kepala Bi Mar langsung menyelamat diri begitu perempuan itu lengah karena terkejut mendengar ucapan Bi Mar barusan. Wak Neng dan Mak Jami ikut-ikutan melarikan mata ke arah Bi Mar.

"Kata siapa?" wajah Wak Neng berjinjit ngeri.

"Oi, lihatlah tengah dusun situ. Dia anak-beranak sedang bersih-bersih."

"Inilah akibat ebaknya Sarifah itu tak pandai mengatur harta, habis karena anak lanang. Sekarang terlunta-lunta di tanah orang. Nak tinggal di dusun lagi lah malu. Terpaksa, mematikan jurai suruh anak betine yang jaga Limas. Ya cacam..," geleng Wak Neng sembari mengerut dada.

"Kalu aku, kubiarkan baelah Limas itu jadi sarang kelelawar. Daripada cak ini. Matikan jurai keluarga," dengus Mak Jami, berapi-api. Bi Robiq mengangguk-angguk setuju.

"Betul itu, Bi."

Pada akhirnya, dengungan kalimat-kalimat yang kian banyak itu kembali diterbangkan angin. Setelah berputar-putar beberapa hari, berbilang pekan, angin pun menyinggahkan dengung itu di Limas reot Pak Hasan. Tepat di bilik pengap mereka angin mendaratkannya. Pada suatu malam yang lengang, ketika orang-orang dusun Tanah Abang mulai terlelap.

"Apa kau telah dengar, Bang, perihal orang-orang dusun yang mengatakan tentang kita?" Mak Sarifah menggerai rambut legamnya.

"Aku lah dengar, Dik."

"Lantas?" perempuan itu menghentikan tangan kanannya yang tengah menyisir rambut legamnya. Ia membawa mata cokelat beloknya ke arah lelaki yang ada di atas ranjang. Lelaki itu senyap.

"Apa kita tetap di sini, di Limas Abang ataukah kita ke rumah kelelewar itu?" tanya Mak Sarifah kembali begitu lelaki di atas ranjang bungkam.

"Menurutmu?" lelaki itu balik bertanya.

"Sebenarnya, aku lebih nyaman di sini. Tak mendengar cibiran orang-orang dusun, dan doa-doa mereka yang menyakitkan hati." Perempuan itu menghela napas.

"Bagaimana dengan ebakmu?" lelaki itu terbayang dengan mertuanya.

"Aku yang akan bicara, Bang. Kita biarkan saja rumah itu jadi sarang kelelawar, daripada jurai keluargaku mati seperti yang dikatakan orang-orang." Lelaki di atas ranjang senyap. Ia tak dapat berkata. Direbahkannya tubuh di atas ranjang, berbantal kapuk. Matanya lama menerawang bersama kepak-kepak kelelawar yang berseliweran.

***

RUMAH itu sudah lama jadi sarang kelelawar. Orang-orang di dusun Tanah Abang dapat mengingat dengan jelas tepatnya. Pada suatu petang yang mereka ingat sebagai hari yang ganjil dalam adat-istiadat leluhur mereka, seseorang membuat rumah kelelawar itu menjadi pusat perhatian. Pokok pembicaraan. Dan berita yang tak habis-habisnya diurai di toko-toko kopi, pondok bambu bawah kolong Limas, batang, belantara balam, bahkan bilik-bilik pengap yang menderukan napas.

/C59, September 2010

1) Rakit dari gelondongan kayu yang di atasnya dipakukan beberapa papan sebagai lantai, merupakan tempat mencuci, mandi, oleh kaum perempuan di Desa Tanah Abang, Kabupaten Muara Enim, dan beberapa dusun yang ada di sepanjang aliran Sungai Lematang, seperti Desa Bumi Ayu, Siku, Dangku, dan lainnya.


Lampung Post, Minggu, 24 Oktober 2010

Sunday, October 17, 2010

Lipstik di Bawah Guyuran Hujan

Cerpen Miftah Fadhli


SEPULUH tahun silam dia pernah di sini, bersama seorang lelaki. Lelaki yang menyapu wajahnya yang basah kuyup karena hujan. Dengan takzim lelaki itu berucap, "Kita akan bertemu lagi di sini, sepuluh tahun lagi."

Maka sepuluh tahun kemudian, tepatnya hari ini, perempuan itu duduk lagi di sini. Di hari yang sama. Di hujan yang juga sama: bergedebum, membawa gigil dingin. Dia merogoh saku kanan roknya. Dikeluarkannya sebuah lipstik dan diputarnya gagangnya sehingga ujung lipstik berwarna merah menyembul bagai baut yang ditarik oleh sesuatu yang gaib. Bagai melukis, dia memoles bibir pucatnya—karena dingin—dengan lipstik itu dengan harapan, dia bisa seperti dulu lagi. Lalu diedarkannya pandangan kepada kaki kirinya. Dia mendesah, bagai resah. Ternyata dia tidak persis seperti dulu lagi.

Gerakan tangannya terhenti di tengah bibir. Dia tengadah. Hujan tidak akan berhenti, gumamnya. Lalu lipstiknya bergerak ke kanan dan kiri, lagi, di bibir atas. Kemudian bibir bawah. Begitu pelan. Begitu senyap. Hanya gemuruh hujan dan silang-sengkarut guntur bergemebyar di langit. Langit yang keruh, membawa jiwa yang rapuh. Apakah perempuan itu akan tetap bertahan di situ?

Setelah dirinya merasa sempurna, bibirnya terasa liat saat dicecap, dia memasukkan kembali lipstik merahnya di saku yang sama. Betapa gugup, betapa rikuh. Dia tidak langsung menarik tangannya keluar, melainkan berhenti sejenak di dalam saku sambil tetap memegang lipstik itu. Dia menahan gigil. Apakah lipstik itu juga menahan gigil?

Sepuluh tahun silam, dia mengingat, juga memakai lipstik yang sama. Lipstik yang umurnya bahkan melebihi umur kebersamaan dirinya dengan lelaki itu. Perjumpaan di tempat yang sama. Juga perpisahan di tempat yang tak berbeda. Berlangsung di taman yang bunganya tak memiliki warna lain selain warna merah. Semerah bibir basahnya yang tak lagi pucat.

Lelaki itu datang kepadanya dengan tangan melindungi kepalanya. Tetapi kepalanya akan tetap basah. Mata mereka bersitatap. Lama. Tapi mereka tak saling tahu, bahwa ada benang merah mengikat hati mereka berdua. Benang yang setia menembus guratan hujan yang menderu. Yang membikin ricuh. Apakah perempuan itu juga masih tidak tahu bahwa benang itu masih berada di situ?

Orang-orang berlindung di bawah payung, yang lewat di depannya menatap heran: seorang perempuan-apakah dia gila? putus asa? dan sendirian-duduk termangu, membiarkan tubuhnya kuyup dibasuh hujan menderu. Tapi dia tak peduli. Dia ingin menguji kesetiaan. Hanya itu. Tak peduli bagaimana orang memandangnya dengan kesimpulan yang bisa saja melukai perasaannya. Tak peduli hujan yang bisa saja membuatnya mati di situ.

Huh.

Dia menarik napas panjang. Mencoba bertahan dari dingin senyap yang telah merambat di ubun-ubun kepalanya. Lipstik di bibirnya pecah. Merembes ke dagu dan jatuh di pangkuannya. Merah bagai darah menyembul bagai titik sendiri di paha. Sesaat hilang sesaat muncul lagi, hilang dan muncul lagi hingga bibirnya kembali seperti asal mula: pucat, berkerut, tak terlindungi.

Dia merogoh saku roknya lagi. Mengeluarkan lipstik namun tak memoleskannya di bibir karena lipstik itu sudah tinggal pangkal. Tinggal sisa berwarna merah menyala berselemak di sekitar gagang kuningannya. Dia mendengus. Kesal? Takut? Rindu? Lantas belesakkannya lipstik itu begitu saja di saku kiri roknya.

Nun jauh di tenda-tenda biru, berpasang muda-mudi berteduh. Saling menghangatkan diri. Saling menautkan diri dengan peluk dan cium di kening. Diapun dulu begitu. Sepuluh tahun yang lalu. Menautkan diri dengan lelaki itu saat hujan tiba-tiba mengguyur tubuh, dan mereka memilih tetap di situ karena tahu hari perpisahan adalah muasal kerinduan yang tidak boleh disia-siakan.

Begitupun dirinya, saat ini. Dia ingin dipeluk. Dicium. Dan mengakhiri kerinduan yang bukan lagi sekadar muasal, tapi sudah membikin sesal. Apakah itu alasan dia tidak ingin meninggalkan tempat ini? Selain janji yang dulu disematkan, tentunya.

Tiba-tiba perempuan itu panik. Dia mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari. Menahan getar, mengulum lapar. Tadi diletakkan di sini, pikirnya. Dia bergerak sedikit ke kanan, lalu ke kiri. Tidak ada. Dia mencoba berdiri. Tidak bisa. Ia duduk lagi. Dengan kegelisahan yang tak berkurang, justru kian bertambah. Tadi di sini, bisiknya. Kantungku robek.

Hujan semakin deras. Dia tahu, hujan selalu begitu. Tapi dia tidak bisa kalau tidak menunggu. Di mana? Dia ingin menangis. Bahkan sudah menangis. Hanya saja air hujan yang rebah di wajahnya membikin kamuflase dirinya yang tegar dan tak gentar. Bangku panjang itu ditelitinya dengan tubuh tetap di tempat semula. Tak bergerak banyak. Hanya gerak meraba dan memicingkan mata di tanah yang tergenang. Di mana? Pikirnya lagi dengan buncah ketakutan yang menggelepar.

Dia terngiang, "Saat kita bertemu lagi di sini, kita harus menunjukkan benda ini."

Apakah itu sebabnya dia merasa takut?

Lagi-lagi dia teringat satu hal kembali, "Benda ini, kuberikan untukmu, agar kau tetap merasa cantik."

Apakah dia tidak akan merasa cantik lagi jika benda itu tidak ada di sisinya?

Begitu cepat. Begitu dekat. Bagaimana jika dia tiba-tiba datang? Dia ingin sekali lagi menangis, mengalahkan gemeriuh hujan yang turun, berkelebat, mengalir di taman-taman yang tanahnya menurun.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, lelaki itu menatapnya dan memberikannya lipstik merah itu. Untuk pertama kali dia memoleskan bibirnya dengan lipstik itu, yang membuat segalanya menjadi tenang. Yang membuat segalanya menjadi lengang.

"Kakimu akan baik-baik saja." Kalimat itu bergema di kepalanya.

Perempuan itu kembali mengedarkan pandangannya kepada kaki kirinya. Sambil menangis dia mengelus-elus paha kirinya yang mati rasa karena dingin. Bukan karena gigil, tapi karena dia telah mengecewakan janji sepuluh tahun silam. Apakah dia sadar kalau benang merah itu sudah tak lagi di situ? Di dadanya? Di hatinya? Di perasaannya?

Agaknya dia tahu. Dia juga tahu muasal benang yang dulu tersambung dan kini putus. Oh, aku telah menghilangkannya. Dia meraba bibirnya. Bekas lipstiknya benar-benar hilang. Dia menatap ke pangkuan, huh, dia mendengus. Di situ juga tak ada lagi sisa warna lipstik yang tadi dipakainya.

Lalu di mana?

Padahal dia sudah menunggu cukup lama untuk ini. Sudah bersikap, lebih dari kata sabar untuk perjumpaan ini. Tapi dia tak lagi bersama benda itu? Lipstik itu? Lipstik, yang seingatnya, menumbuhkan kembali harapan dan kecantikan yang dipikirnya telah hilang? Tidak. Lebih dari itu. Dia telah membunuh muasal pertemuan dan perpisahan dirinya dengan lelaki itu?

Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menahan tangis. Namun sedu-sedan. Dirasakannya asin menggores lidah-meludah, mencecap, mengedarkan pandangan ke arah kaki lagi-, ia benar-benar menahan tangis. Oh, dulu aku tidak seperti ini, katanya, dalam kepala.

Perempuan itu tidak ingin mengeluh. Betapapun dia ingat, dulu, dirinya adalah bunga cantik yang tak layu. Kini, bunga itu telah menguncup dan hanya meninggalkan rindu. Meninggalkan sebelah kakinya. Meninggalkan keraguan. Apakah rindu? Apakah masih sedu-sedan itu?

Tapi saat dia menghalau air hujan masuk ke matanya—perlahan, meski air hujan lagi-lagi masuk—dari sela jejari dia melihat lelaki itu. Tidak mungkin dia tidak ingat. Lelaki itu, tubuhnya—"Aku akan mengenakan baju merah, seperti benda itu"—basah kuyup, menatapnya takzim-masih seperti dulu-tersenyum dengan rekah yang tak berubah: "Mira?"

Bagai gugup, giginya bergemelutuk. Mereka tahu mereka sudah saling menunggu. Sangat lama. Menunggu untuk tak menemui perubahan yang bisa saja terjadi dalam sepuluh tahun. Tapi apa? Apakah benda itu? Di mana dia? Bisiknya dalam hati.

Lelaki itu duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat dia hanya menunduk-melindungi matanya—tanpa berkata sepatah pun. Tapi perlahan dia mengedarkan pandangannya ke bawah. Tepatnya kepada kaki perempuan itu. Dia mendesah. Tersenyum. Lalu mendongak demi melihat wajah perempuan itu.

"Kau masih cantik," bisiknya di telinga.

Perempuan itu tersenyum—Semoga aku bisa segera menemukannya—dan menggamit tangan lelaki itu. Rindukah? Permintaan maafkah? Kecewakah? Dia tidak tahu, tak berkata apa pun selain mengeluarkan desah napas: dia mulai kedinginan—apakah dia juga ingin dipeluk? Dicium?

Lelaki itu merogoh sakunya. Mengeluarkan sesuatu dari sana: berdetak, bergerak beriringan dibasuh hujan—tak tik tuk, sebuah jam.

"Sesuai janji, setelah sepuluh tahun, aku memberikan ini kepadamu." Tangan kirinya mengangkat tangan kanan perempuan itu.Dibukanya—bagai kulit pisang—jemari tangan hingga yang terlihat hanya kulit pucat, saling merapat, tiga garis melengkung—dua bertemu di ujung—lalu meletakkan benda itu di atasnya.

Tapi lelaki itu tidak menduga: "Kenapa kau menangis?"

Perempuan itu menggeleng. Takzim. Tapi terenggut kecantikannya. Dia berusaha menyembunyikan kesedihan dari lelaki itu. Dia memalingkan wajah. Matanya bertubrukan dengan tongkat penyangga yang tersender di sampingnya. Ah, apa yang harus kulakukan?

"Benda itu...hilang." Apa yang telah aku lakukan?

Lelaki itu memeluk. Ah. Hangat. Apakah rindunya sudah tuntas hari ini?

"Jangan khawatir. Kau masih secantik yang dulu." Erat. Keduanya mendesah. Menghapus dingin yang tiba-tiba masuk dari mulut mereka. Erat. Keduanya bagai perekat.

Apakah rindunya sudah tuntas hari ini?

Seorang anak berdiri di depan. Bagai dipaku. Dia kehujanan. Tubuh mungilnya menahan gigil. Dia tak berkata-kata: melihat dua orang saling berpelukan, erat—sepasang kekasih?

"Oh, Rian. Kenapa tidak menunggu?" sambut lelaki itu.

Sepuluh tahun silam, perempuan itu ingat, mereka hanya akan bertemu di tempat yang sama. Ada hal yang lain? Perempuan itu menginginkan yang lain? Sesuatu yang, tidak sekadar menuntaskan rindu? Tapi lelaki itu tidak: hanya sebuah pertemuan.

"Kami hidup berdua, Mira. Tidak ada orang lain. Kami hanya berdua: ayah, dan anaknya," ucap lelaki itu, kini mereka berada di bawah tenda—nun jauh dari situ, bangku taman itu terlihat dingin.

Apa yang telah kuhilangkan? Tanya perempuan itu dalam hati. Ia menahan rasa sakit pada pangkal kaki kirinya—di lututnya—, sisa kehilangan yang lain. Oh, apa yang benar-benar telah kuhilangkan?

***

Nun jauh dari tenda biru, di mana seorang lelaki dan seorang perempuan tanpa kaki kiri menuntaskan kerinduan, hujan menyeret sebatang lipstik dengan kekuatannya. Menuruni dataran berumput hijau. Mengarungi selokan dan tak akan kembali lagi ke taman itu.

Lipstik itu pernah membuat seorang perempuan merasa cantik.

2010-05-29
Tumpatan


Lampung Post, Minggu, 17 Oktober 2010

Sunday, October 10, 2010

Menunggu Kawan

Cerpen Imam Wahyudi


AKU sedang menunggu kawan, sementara itu hujan turun dengan lebatnya. Air bagai dimuntahkan dari langit. Jatuh ke bumi, menerpa atap-atap seng dan benda-benda lainnya, menimbulkan suara gemeretak yang memekakan telinga. Sesekali angin berkesiut kencang, menerbangkan sampah-sampah ringan dan ranting-ranting kering. Banyak pula pepohonan, papan reklame, dan tiang-tiang kecil berjatuhan, tersapu gemulai sang angin. Setelah kemarau yang cukup panjang, tampaknya hujan ingin menumpahkan segenap rindunya. Berhari-hari tak jua berhenti. Aku gelandangan tua yang papa, terjebak sendirian di emperan toko ini. Tubuhku basah dan menggigil terkena tempias air hujan.

Sudah berhari-hari aku terdampar di sini. Tanpa kawan, tanpa makanan. Perutku melilit-lilit, badanku terasa payah. Tak ada orang melintas, jalanan begitu senyap. Hanya genangan air yang terlihat makin lama, makin melebar, dan meninggi. Tak lama lagi pasti akan menyapu tempat ini. Ah, ada yang salah dengan tata kota di sini. Setiap musim penghujan, banjir selalu ada di mana-mana.

Kawanku belum juga datang. Ia lelaki muda berwajah bersih dan terlihat suci. Aku belum lama mengenalnya. Baru tadi pagi, ketika hujan mengendurkan curahnya. Di antara rintik gerimis yang lembut ia mendatangiku. Tanpa payung, tanpa mantel hujan. Rintik gerimis seolah memberi ornamen lain di sekelilingnya. Lelaki itu, sahabat gerimis. Tak tampak basah membekas pada tubuh dan pakaiannya.

"Selamat pagi, Pak Tua. Jangan takut, aku kawanmu..."

Ia menyalamiku, kemudian meraih tubuhku lalu menepuk-nepuknya pelan. Aku diam, tak menyahut ucapnya. Aku merasa asing dengan orang-orang. Sudah lama aku merasa bukan manusia lagi. Aku sampah yang menyerupai manusia renta.

"Tunggu sebentar, aku akan membawa makanan dan beberapa kawan untukmu."

Lelaki itu bergegas pergi, kemudian menghilang di kejauhan. Mula-mula aku tak menggubrisnya. Bertahun-tahun aku mengembara seorang diri. Lengang dan sunyi adalah kawan terbaikku. Tetapi entah mengapa, makin lama aku seperti merindukan kehadirannya. Berharap ia segara muncul dari kejauhan, lalu menemaniku menggigil kedinginan di emperan ini.

Lelaki itu belum juga datang. Mungkin ia lupa, atau memang hanya main-main semata. Dalam hati, aku berharap tidak seperti itu. Hari mulai gelap, hujan makin menderas. Dingin sekali. Tubuhku makin menggigil. Aku terbatuk-batuk. Ada darah kental keluar dari mulutku.

***

Malam mulai merambat senyap. Aku masih menunggu lelaki muda itu. Untuk kesekian kalinya, aku kembali mengerang. Tubuhku tetap saja menggigil, namun dadaku terasa panas. Batuk keparat ini telah mengikuti hidupku bertahun-tahun. Kadang hanya batuk-batuk kecil biasa, tetapi tak jarang ia begitu menghebat. Seperti malam ini, tubuhku menjadi terguncang-guncang. Perutku yang melilit-lilit, makin sakit tak terperi. Mukaku memerah, mataku menjadi basah. Air liur bercampur darah kembali muncrat di antara batukku.

Seekor tikus got basah memandangku heran di pojok gelap. Mungkin ia iba, mungkin juga sedang mengejekku. Aku tak peduli. Bukankah aku sekarang tak lebih hina dari tikus got itu?

Dahulu sekali, aku pernah mengalami masa-masa kejayaan. Masa di kala tubuhku masih muda dan kuat. Masa di kala banyak orang memuja dan mengeluk-elukanku. Masa di kala para gadis berlomba-lomba menarik perhatianku, mencoba meraih cintaku. Bukan karena wajahku yang rupawan. Tetapi di kala itu, aku adalah bintang panggung yang cukup terkenal. Sosokku melenggang dari panggung sandiwara, ketoprak, wayang orang, hingga merambah layar film. Ah, masa-masa yang sungguh menggairahkan. Ada bahagia bercampur haru mengenangnya. Aku pernah diakui sebagai manusia. Bahkan, aku pernah mendapat penghormatan dan penghargaan sebagai manusia lebih dari yang lainnya.

Aku masih ingat, banyak orang-orang penting di negeri ini melirik dan mendekatiku. Mereka menawarkan persaudaraan dan kemewahan, yang sebenar-benarnya, tak pernah kuinginkan sama sekali. Aku terlalu lugu dan jujur untuk itu semua. Mereka mengajakku bersenang-senang. Mengundangku makan-makan dan tentu saja memintaku berpentas di acara mereka dengan bayaran yang cukup tinggi. Aku menerima semua itu dengan perasaan senang namun biasa saja, tanpa pernah berpikir yang macam-macam. Sampai banyak di antara mereka, mulai membujukku agar ikut dalam kelompok mereka. Kelak, jika aku bersedia, jabatan dan kekuasaan serta harta berlimpah menantiku sebagai imbalannya. Aku berpikir sederhana. Aku tak tahu apa-apa tentang politik. Aku hanya bisa bermain ketoprak dan sandiwara. Aku cuma penghibur semata. Aku menolaknya dengan halus. Mereka tampak kecewa, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.

Dan politik memang benar-benar kejam. Walau sudah berusaha menghindarinya, akhirnya aku terserempet juga. Bukan hanya terserempet, tetapi lebih dari itu jatuh terjungkal kemudian terlindas olehnya hingga berkeping-keping. Aku yang pernah dipuja-puja, berakhir sebagai gelandangan hina seperti ini.

Ah, hujan semakin lebat saja. Suasana gelap sekali, rupanya listrik kembali padam. Entah apa yang terjadi di negeri ini. Hujan atau tidak hujan, sesuatu yang mahapenting di masa kini itu selalu byar pet, seperti tak terurus dengan baik. Aku terbatuk, darah kembali muncrat. Dadaku terasa ngilu. Hatiku seperti teriris.

Di malam yang berhujan dan gelap seperti ini pula, bertahun-tahun silam, aku mulai mengalami titik-titik kehancuran. Orang-orang itu mendatangi rumahku, terus menghujaniku dengan bermacam-macam tuduhan yang tak kumengerti sama sekali. Mereka menyeretku keluar rumah, kemudian menaikkanku ke atas truk. Istriku menjerit-jerit, kedua anakku yang masih kecil menangis sejadi-jadinya. Aku digelandang ke suatu tempat bersama banyak orang yang juga tak tahu apa kesalahannya.

Sejak itu, aku benar-benar terpisah dengan keluargaku. Hidup dalam siksaan demi siksaan. Berpindah-pindah dari satu penjara ke panjara lainnya. Tubuhku remuk, otakku sekarat. Hingga akhirnya aku menghirup kembali kebebasan sebagai orang yang berbeda. Tak ada lagi sanak saudara, orang-orang yang yang kukenal, apalagi yang mengenaliku. Aku mengembara dari kota ke kota, menapaki tahun demi tahun dalam keterasingan dan kesendirian sebagai seorang gelandangan. Di mata orang-orang, aku tak lebih dari gelandangan gila yang tiap hari menyusuri lorong-lorong kota tanpa henti, tanpa tujuan. Meskipun aku sebenarnya waras, bahkan lebih waras dari kebanyakan mereka, kukira.

Ah, kejujuran memang terasa pahit. Bukankah, seorang seniman itu harus jujur dan menuruti hati nurani. Aku tak tahan melihat penderitaan orang kecil. Aku jengah dengan penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan para penguasa. Aku tak tahan untuk berteriak dan protes. Tetapi cuma sebatas itu, sebatas suara dan gerak yang kubingkai dalam wujud sebuah seni pertunjukan. Aku tak punya kekuasaan, tak punya senjata, apalagi anak buah yang sanggup merongrong sebuah kekuasaan. Aku hanya kumpul-kumpul dan menghibur para petani, buruh-buruh pabrik, lonte-lonte jalanan, dan mereka-mereka yang terpinggirkan. Aku tak punya maksud lain, kecuali itu.

Mataku berkaca-kaca, tetapi tiada bisa menangis.

Malam semakin larut dan hujan. Aku menelan ludah. Kawan baruku itu belum juga muncul.

***

Kilat membelah langit. Selintas cahayanya menerangi kegelapan. Gelegar halilintar segera susul menyusul. Entah mengapa, aku merasa suasana begitu mencekam. Ada perasaan takut mengaliri perasaanku. Ah, bukankah aku sudah lama kebal dari rasa takut. Lagi pula siapa yang akan bermain-main dengan ketakutanku. Bahkan, setan paling mengerikan pun pasti enggan menggoda dan mempermainkanku.

Hmm, tetapi kali ini rasanya lain. Aku takut sekali. Aku takut sendiran di emperan ini. Aku merindukan kawan, entah siapa pun itu. Lelaki muda itu tak datang-datang. Kurasa, telah lewat tengah malam. Sepi sekali.

Pada malam-malam biasa, terutama malam Minggu, di sepanjang jalan ini selalu ramai oleh pasangan muda yang berasyik masyuk. Mereka bersembunyi di keremangan. Aku sering melihat mereka beradu mulut sambil mendesah-desah. Tak jarang mereka melakukan hubungan intim selayaknya suami isteri tanpa malu-malu. Mereka seperti menihilkan keberadaanku. Oh, sudah sedemikian bobrokkah akhlak anak-anak muda zaman sekarang?

Jika melihat anak-anak muda itu, aku jadi teringat anak-anakku. Tentu, mereka sudah besar sekarang. Jauh lebih besar dari anak-anak muda itu. Di manakah mereka kini? Waktu aku digelandang pergi dulu, mereka masih kecil-kecil. Si sulung kelas tiga SD, sedang si bungsu belum sekolah. Mereka adalah kebanggaanku, sepasang anak laki-laki dan perempuan yang sedang nakal-nakalnya. Kadang, aku sering dibuat jengkel oleh ulah mereka, minta macam-macam mainan kemudian baru berselang beberapa hari sudah dirusak atau dibuang bagai sampah yang tak bernilai. Aku sering marah-marah kepada mereka jika kondisiku sedang capai dan emosiku tidak stabil. Untunglah ada Laila, istriku yang cantik dan penyabar. Dia adalah perempuan sempurna, anugerah terindah yang pernah kumiliki. Oh, Laila, istriku. Bagaimana kehidupanmu dan anak-anak setelah aku tak berada di sisimu? Apakah kamu terlunta-lunta juga? Atau malah kini engkau telah diperistri laki-laki lain yang sanggup menghidupimu dan merawat anak-anak kita? Laila, jika itu terjadi, aku tak akan menyalahkanmu.

Air mataku menetes. Baru kali ini aku merasa takut sendirian. Baru kali ini pula aku benar-benar merasa kehilangan, padahal sejatinya sudah bertahun-tahun aku kehilangan banyak hal. Aku merindukan Laila dan anak-anakku. Aku merindukan sahabat-sahabat dan masa laluku yang penuh kehangatan.

Ah, mungkin sebentar lagi fajar menjelang. Hujan disertai halilintar sepertinya mulai mereda surut. Batukku perlahan juga mulai menghilang. Lelaki muda itu pasti tak jadi datang. Tiba-tiba, mataku ingin mengatup, melupakan banyak hal. Aku ingin tidur dengan santai dan tenang.

***

Samar aku terbangun. Di sekelilingku terang mulai menjalar. Pagi bergegas memulai hari. Udara membawa bau tanah yang segar setelah hujan deras semalam. Aku mengusap-usap mata. Walau cuma sesaat, aku merasa tidurku nyenyak sekali. Tubuhku terasa enteng dan nyaman.

Di kejauhan, kulihat beberapa orang bergerak ke arahku. Semakin lama, semakin mendekat. Aku mengenali lelaki yang berjalan paling depan. Ya, dia lelaki muda berwajah suci itu. Rupanya dia menepati janjinya, menemuiku dengan mambawa beberapa kawan. Wajahnya tampak bersinar, memancarkan cahaya kedamaian, keagungan, dan kemuliaan. Pun beberapa orang yang mengikuti di belakangnya. Mereka tersenyum menghampiriku.

"Pak Tua, aku Izrail. Ini beberapa kawan yang kujanjikan untukmu. Kami akan menjemputmu menuju rumah yang pasti sangat kau idamkan."

Aku merasa bahagia sekali. Mendadak aku seperti mengenal baik beberapa nama kawan baru yang menjemputku itu. Mereka adalah orang-orang hebat. Ada Fuad Muhammad Syafruddin, Baharudin Lopa, Munir, Rendra, Mbah Surip, dan juga yang sangat aku muliakan : Gus Dur. Sedang yang perempuan itu, ya, dia adalah si pemberani itu, Marsinah.

Aih, aku merasakan kedamaian sampai ke sukmaku.

Kp, awal Februari 2010


Lampung Post
, Minggu, 10 Oktober 2010

Sunday, October 3, 2010

Layung Sore

Cerpen Musyafak Timur Banua


ORANG-orang sedusun sudah menebak Gandari bakal mati digerogoti penyakit mematikan itu. Kanker rahim. Ya, tumor ganas yang hampir tak dikenali orang-orang Dusun Sumurup. Mereka hanya tahu dari mulut ke mulut bahwa penyakit itu amat ganas dan bisa membunuh tuannya sewaktu-waktu.

Sebelum seorang dokter rumah sakit Kota Glagahwangi menerangkan Gandari mengidap kanker rahim, orang-orang Sumurup mengira perut besar perempuan beranak lima itu kena santet, teluh, atau sejenisnya. Selama ini orang Sumurup hanya kenal dua jenis penyakit mematikan, yakni pagebluk dan santet.

Kini hari ketujuh belas Gandari berbaring di dipan. Berulang kali ia mengeluhkan rasa nyeri di bagian dalam perutnya. Rambutnya mulai berguguran di atas bantal.

Sementara Kozin, anak bungsu Gandari, malah pergi merantau. Orang-orang tetangga mencerca Kozin tak berbudi lantaran meninggalkan ibunya yang tengah sekarat itu. Mereka sempat mencegah Kozin agar menunggui ibunya sampai sembuh�ah, lebih tepat mereka anggap menunggu kematian menjemput Gandari.

Yang paling setia menunggui Gandari adalah Nurjanah, putri ketiga Gandari yang kurang waras akalnya. Ia sering berbicara sendiri tak ubahnya monolog tak berkesudahan. Belakangan ia sering membicarakan soal kematian. Sebuah perpisahan yang mengerikan, katanya. Meskipun Nurjanah tidak sempurna akalnya, ialah yang menyelesaikan pekerjaan rumah sehari-hari. Mencuci, memasak, dan bersih-bersih, semua menjadi tanggungannya.

Melihat Gandari tergolek dengan wajah pasi sebagai mayat itu, Wak Wira merasa pelas. Kakak ipar itu kian pupus berharap kesembuhan Gandari. Racauan Nurjanah tentang kematian membuatnya keder. Terbesit kecurigaan yang diucapkan perawan kurang waras itu benar. Ia percaya, terkadang orang-orang seperti Nurjanah mempunyai waskita�kepekaan lebih.

"Seandainya Maskum masih ada, Ndar. Penyakitmu ini bakal diobatkan," kata Wak Wira.

Maskum adalah mendiang suami Gandari yang meninggal enam tahun silam. Suami yang telah menitiskan lima anak di rahim Gandari itu mati mengenaskan. Tersengat listrik yang dipasangnya sendiri untuk memerangkap tikus di sawah.

Hanya bola mata Gandari yang sedikit bergeliat. Inderanya menerawang tajam ke wajah Wak Wira. Seolah tak terima mendiang suaminya diungkit-ungkit.

"Bagaimana jika tanah sawahmu di pojok dusun itu dijual? Banyak harapan sembuh jika kau mau dioperasi, Ndar. Separuh sawahmu bakal laku dua puluh lima juta untuk biaya operasinya. Sisanya separuh sawah nanti untuk bekal masa tuamu. Anak-anakmu sudah besar. Yang tiga sudah berumah tangga. Tak perlu ada hal yang kau takutkan."

Pintu diketuk tiga kali. Wak Wira hapal betul suara yang baru saja berucap salam. Mbah Surip datang lagi. Sudah lebih lima kali ini dukun tua itu datang.

Dalam hati Wak Wira tidak sepakat penyakit seganas kanker rahim Gandari hanya diobatkan kepada dukun. Bukan ia tak percaya sepenuhnya pada dukun. Ia punya alasan kuat, bahwa dukun tua dusun Sumurup itu pun tidak banyak tahu tentang kanker. Ia cukup yakin tak ada mantra untuk kanker. Penyakit ganas itu hanya diketahui orang-orang cendekiawan masa kini.

Wak Wira mengenyahkan diri seusai Mbah Surip meminumkan ramuan jamu yang disembur rapalan mantra pada Gandari.

***

Tiga anak lelaki Gandari dikumpulkan Wak Wira. Nurjanah, yang sepatutnya berada di tengah mereka tidak ada. Memang sengaja tidak diajak berkumpul. Sebab orang kurang kurang waras tak perlu diajak mengambil mufakat.

Mereka duduk melingkar di bale-bale rumah Kasan, anak tertua Gandari. Kasan yang sempat membisiki satu per satu adiknya membuat Wak Wira curiga mereka hendak bersekongkol.

"Keadaan ibu kalian makin mengkhawatirkan saja. Lebih baik sawah ibumu dijual untuk biaya pengobatannya. Seperti kata dokter di rumah sakit kota Glagahwangi, masih banyak harapan sembuh jika ibumu dioperasi," kata Wak Wira memulai pembicaraan.

Kasan lekas-lekas menggelengkan kepala. Kusen, adiknya tampak hendak bicara, tapi Kasan cepat-cepat menepuk pahanya.

"Wak Wira ada-ada saja. Mubazir mengobatkan ibu. Ia akan segera sampai�" kata Kasan.

"Hus! Jangan mendahului karsa Tuhan!"

Kasan beringsut. Dadanya ditegakkan, "Apalagi yang bisa diharap, Wak? Kata banyak orang, penyakit itu amat ganas. Tipis kemungkinan untuk sembuh."

"Kalian itu tak punya keyakinan untuk berikhtiar. Payah!"

Raut muka Wak Wira memerah. Sepertinya amarahnya mulai terpantik.

"Usulan Wak Wira bisa dicoba. Jika memang ibu dioperasi, semua kemungkinan pasti ada. Dan pstilah kita kemungkinannya berbuah baik," kata Kusen tiba-tiba.

Kasan tampak hendak bangkit dari duduknya.

"Tahu apa kau, Kusen? Bahkan kau tak tahu tanah itu warisan mendiang kakek pada bapak. Ingat Sen, tanah warisan kalau bisa jangan dijual. Tidak berkah!"

"Tidak, Kang Kasan. Masalahnya beda. Ini kebutuhan mendesak, tentang nyawa ibu. Jadi tidak soal jika tanah warisan itu dijual," sergah Kusen.

"Tak usah banyak cakap, Sen!" jawab Kasan, "Itu satu-satunya tinggalan mendiang Bapak. Jangan ungkit-ungkit lagi soal sawah itu."

Mata Wak Wira membeliak. Menentang tajam mata Kasan. Suasana menjadi hening. Tak ada yang lebih berkuasa ketimbang kegaguan masing-masing.

�Ya! Ya! Kalian boleh saja mengagungkan tanah warisan dari mendiang bapakmu itu. Tapi sama halnya kalian membunuh ibu kalian sendiri,� kata Wak Wira yang kemudian keluar rumah seraya membanting daun pintu keras-keras.

***

Hari kelima kematian Gandari. Kasan tak merasa menyesal karena tidak menjual sawah demi operasi kanker ibunya. Kematian ibunya dimaknai sebagai nasib sederhana yang tidak ada kaitannya dengan sikap atau keputusannya.

Ketika matahari condong ke barat sehingga membentuk bayangan benda setinggi satu setengah kalinya, Kasan mendukung belasan balok kayu sepanjang satu meteran di pundaknya. Ia berjalan membelah hutan rembulung di seberang rumahnya dengan perasaan agak kesal. Tatapan matanya masih nanap, dan merah. Riak amarah masih bersisa di air mukanya selepas tadi berseteru dengan adik-adiknya yang tidak mau diajak ke sawah. Kusen menolak membagi warisan sawah di masa seharusnya mereka harus rajin-rajin mendoakan mendiang ibunya.

Tapi Kasan tetap meyakinkan diri, takkan kena apa-apa membagi tanah warisan di masa perkabungan. Ia menepis kuat-kuat ucapan Kusen bahwa arwah orang tua akan mengutuk-rutuk anak-anak yang membagi warisan sebelum empat puluh hari kematian.

"Ah!" pikir Kasan menepis.

Sampai di sawah, Kasan mengalurkan meteran. Tanah sawah itu dibagi enam bagian. Ini adalah akal-akalannya untuk memudahkan pembagian. Ia tak mau repot membagi lima bagian sawah kotak itu. Enam bagian itu akan bersisa satu usai ia dan semua adiknya mengambil jatah. Sisa satu bagian itu diancar-ancar akan dibelinya dengan harga murah.

Matahari menggantung di kaki langit setinggi dua tombak. Kemuningnya mulai menyemburatkan mega berwarna tembaga di selaput tepi cakrawala. Kasan baru memasang tapal batas balok-balok kayu itu di empat bagian sawah. Dua bagian lagi butuh waktu setengah jam lebih.

Tiba-tiba cahaya matahari berangsur-angsur menjadi jingga ketika merendah setengah tombak. Kasan merasai hawa lain. Tak biasanya matahari semerah itu. Dari balik deretan batang pohon lamtoro, Kasan terus menatap matahari hendak surup itu.

Namun mendadak matanya terasa panas. Spektrum-spektrum sinar matahari itu laksana ribuan anak panah menembus matanya. Pedih. Pandangannya samar. Lembaran alam di hadapannya tampak sebagai siluet kuning semata. Punggung tangannya menyeka-nyeka kelopak matanya. Pandangannya justru betambah kabur.

Di perkampungan Dusun Sumurup, ibu-ibu masih menahan anaknya agar tidak keluar rumah. Orang-orang kampung khidmat menanti layung sore selesai. Ya, layung sore, sinar matahari yang merah kejinggaan sebelum terbenam. Suasana seperti itu diyakini membawa aura dan energi sangat buruk. Mereka yakin, ketika layung sore muncul, roh-roh halus seperti setan, jin, genderuwo, dan memedi tengah bertebaran ke alam manusia.

***

Tahlil belum juga dimulai. Orang-orang yang hendak berkirim doa untuk arwah Gandari masih mencar-cari tuan rumah, Kasan. Ia belum juga pulang ke rumah. Padahal magrib sudah lama lewat.

"Ke mana Kasan?" tanya Wak Wira.

"Sore tadi ia ke sawah," jawab Kusen.

"Bukankah kakakmu tak biasa ke sawah di sore hari?"

"Sebenarnya aku sudah menghalanginya. Bahkan kami sempat berseteru. Namun ia kukuh pergi ke sawah demi membagi warisan bapak di pojok dusun itu."

Wak Wira tercekat. Tenggorokannya tercekat sejenak. Jantungnya serasa dicambuk batang rotan. Lalu kepalanya menggeleng-geleng kecil. Kusen merasa bersalah lantaran tidak bisa mencegah kakaknya.

Di seberang sana, di sebuah jalan sempit yang membelah hutan rembulung, seorang kakek tua berjalan, dan di pundaknya terdukung sekeranjang rumput. Sembari menatih lelaki seperdua baya yang langkahnya payah. Tangan kakek tua itu menggenggam erat lengan lelaki baya itu, membimbingnya mencari jalan.

Selepas hutan rembulung itu adalah pekarangan rumah Kasan. Orang-orang dikejutkan kakek tua pendukung rumput membawa lelaki yang berjalan sempoyongan di iringannya.

"Owalah Kasan�" kata orang-orang hampir serentak ketika melihat wajah lelaki seperdua baya itu mendongak.

"Syukurlah kalau tuan-tuan mengenali lelaki ini," kata kakek tua itu.

"Aku temukan lelaki ini tersungkur di sawah pojok dusun. Aku giring dia masuk dusun ini. Ia tak bisa melihat. Matanya buta, bukan?"

Dada orang-orang berguncang seperti tersedak ketika mendengar ucapan kakek tua itu. Lalu seorang perempuan lari menuju Kasan dan memeluk tubuhnya yang berdiri lemas.

"Layung sore, Kang�. Layung sore. Katiwasan� katiwasan�� istri Kasan meratap.

"Barangkali ini semacam kutukan,� kata Wak Wira

Sementara itu, dari arah selatan seorang lelaki belia berjalan. Punggungnya tampak berat menggendong tas ransel yang membuncit. Sesekali ia menghentikan langkah dan menyempatkan menengok kanan kiri. Menamati keadaan beberapa waktu.

Orang-orang samar melihatnya dari kejauhan lantaran lelaki itu hanya tercium sinar lampu dari belakang punggungnya. Semakin mendekat, orang-orang kian menguatkan dugaan bahwa lelaki itu ialah Kozin, anak bungsu mendiang Gandari yang pergi merantau seminggu sebelum ibunya meninggal.

Sebagian orang segera memanggil Kozin. Namun lelaki itu tetap bergeming. Malah menengok kanan-kiri seperti orang kebingungan arah. Makin banyak orang menegurnya, tapi nKozin justru bungkam. Kozin memandangi orang-orang yang menyapanya dengan tatapan mata yang aneh dan asing.

"Permisi, apakah ada yang tahu rumah Mbok Gandari? Sudah dua jam aku berputar-putar di kampung ini. Tapi rumah itu tidak ketemu juga. Entah mata saya remang terhadap semuanya seketika menginjakkan kaki di dusun ini," kata lelaki itu.

Orang-orang mengelus dada. Seraya kepala mereka berguncang-guncang kecil.

Soeket Teki, 2009


---------------
Musyafak Timur Banua, lahir di Demak, 30 April 1987. Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, bergiat di Komunitas Sastra Horeg Semarang. Antologi puisinya, Kursi yang Malas Menunggu (2010). Tulisan-tulisannya baik cerpen, puisi, dan esai tersebar di beberapa media.


Lampung Post, Minggu, 3 Oktober 2010