Sunday, September 26, 2010

Lemari Buku Ayah

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


AYAH sibuk sekali sore itu. Berkali-kali ia keluar masuk rumah, mengambil peralatan yang ia butuhkan: gergaji, palu, paku, dan kayu. Lalu ia duduk di sebuah bangku kayu kecil yang biasa mbak pakai saat menggilas pakaian. Dengan bersemangat ayah menggergaji batang kayu dan berlembar tripleks, membiarkan serbuk kayu berhamburan di udara dan membuatku terbersin-bersin. Lalu ayah menyuruhku menjauh.

Aku beringsut dari rimbunan pokok-pokok pisang dan bersandar pada dinding sumur. Dinding itu dingin, ditumbuhi jamur dan tanaman suplir. Membuat baju putih yang aku kenakan menjadi kotor kehitam-hitaman. Nyamuk berdenging di telingaku.

Ayah mulai mengeluarkan palu dan paku. Sambil bersiul ia mulai merangkai kayu-kayu dan tripleks yang telah ia potong menjadi sebuah lemari. Ayah terlihat berkeringat, kaus dalam yang ia pakai tampak basah di bagian punggung. Wajahnya pun berkilap dihiasi titik keringat dan sisa serbuk kayu yang menempel di alis dan kumis.

Lemari itu sangat sederhana, berbentuk kubus bertingkat tiga. Sebagai penutupnya, ayah memaku dua ujung sebuah tirai jendela pada bagian teratas. Tirai itu berwarna krem dengan garis-garis vertikal cokelat. Tirai yang sudah lama dilepas oleh bunda sejak tirai yang baru akan dipasang memenuhi rumah.

Dengan bangga ayah memanggil bunda dari dalam rumah. Mengajaknya keluar dan memamerkan hasil karyanya.

“Kayunya bukan kayu bagus, Yah. Sayang sekali, tidak akan tahan lama,” komentar bunda yang muncul dengan daster batiknya.

Dan ternyata bunda benar. Tak sampai satu tahun dari sore yang sibuk itu, lemari buku ayah sudah keropos dimakani oleh rayap-rayap yang bersarang di dalamnya.

Menghasilkan banyak serbuk kayu di lantai dan membuat mbak harus membersihkannya tiap pagi dan petang. Semprotan Baygon-pun tak banyak membantu.

Akhirnya ayah membiarkan bunda menggantikan lemari bukunya dengan sebuah lemari buku yang dibeli bunda di sebuah toko furnitur di kawasan Enggal. Lemari itu sangat besar, terbuat dari kayu jati, dua kaca besar berbingkai kayu menjadi pintu gesernya dan empat buah pintu geser kayu berada di bagian bawah.

Lemari buku yang ayah buat diletakkan bunda di luar rumah. Di dekat rimbunan pokok-pokok pisang, menunggu tukang sokli yang akan mengangkutnya esok pagi.

Awalnya ayah tidak bersemangat menyambut lemari bukunya yang baru. Dibiarkannya bunda dengan bantuan mbak menyusun buku-bukunya di lemari itu. Namun, karena kepandaian bunda menyusun buku—saat itu bunda menjabat sebagai ketua di sebuah perpustakaan kampus—ayah jadi mulai melirik lemari bukunya. Bunda meletakkan buku-buku di bidang hukum pada susunan teratas, buku-buku sosiologi di bagian tengah, dan buku-buku bebas di bagian rak bawah. Semua buku-buku ayah tersusun rapi, buku-buku yang awalnya tidak mendapat tempat berdiri dan terpaksa bertumpuk-tumpuk di lemari yang lama sekarang seolah bernapas lega. Tempat yang kosong bunda isi dengan hiasan bunga plastik dan boneka kucing. Hanya satu tumpuk buku yang mengisi lemari bagian bawah yang berpintu kayu, sisa ruangnya yang luas membuatnya menjadi salah satu tempat kesukaanku bersembunyi saat main petak umpet dengan abang.

Bunda meletakkan lemari itu di ruang yang paling banyak mendapat cahaya matahari di rumah kami: ruangan yang berada di antara ruang tamu dan lorong menuju ruang makan. Dengan bantuan mbak diangkatnya pula meja kerja Ayah. Dulu ruangan itu dipakai sebagai ruang tamu ke dua, namun sejak hari itu, kami menyebutnya ruang kerja ayah.

Ketika aku sudah pandai membaca, hiasan bunga dan boneka kucing yang bunda pajang sudah lama dikeluarkan. Buku ayah bertambah banyak dan tak ada lagi tempat kosong yang tersisa. Lemari bawah pun sudah dipenuhi oleh kliping-kliping penelitian milik ayah. Aku mulai membaca buku paling tipis yang aku temukan di tumpukan buku di lemari bawah: sebuah buku bergambar tangan perempuan yang dirantai dan memegang sepucuk bunga mawar. Lalu, dari tumpukan yang sama, aku mencoba mengambil buku tebal yang berjudul Bumi Manusia.

"Jangan baca buku-buku itu, Atu. Sudah berdebu dan berkuman, bisa merusak matamu," kata Bunda.

"Tapi buku ini bagus," sanggahku.

Bunda terdiam lalu perlahan ia menjawab, "Bolehlah kau baca buku itu, asalkan kau mau menggosok setiap halamannya."

Kali ini aku yang ganti terdiam. Kupegang buku yang sedang kubaca. Halamannya ratusan. Tapi aku mengangguk dan segera beranjak ke ruang gosok, menggosoki satu per satu halaman agar aku diizinkan bunda membacanya.

Karena tugas menggosok halaman buku sangat melelahkan, aku tak pernah berani untuk membaca sebuah buku yang amat tebal. Buku itu berjudul Di Bawah Bendera Revolusi.

Saat aku hampir selesai sekolah menengah, ayah dipromosikan untuk menjabat sebuah jabatan penting di kampusnya. Sejak itu aku tahu bahwa meraih jabatan itu tidak semudah yang aku pernah duga. Kadang sampai malam ayah melayani mahasiswa-mahasiswa yang datang untuk berdiskusi. Kadang juga harus pergi memberi ceramah di kegiatan-kegiatan mahasiswa. Pernah juga suatu malam, ketika aku sedang bermain di komputer ayah, beberapa orang mahasiswa datang dan meminta ayah mundur dari pencalonan.

"Sepertinya tidak bijak kalau Bapak terus maju," kata mereka.

"Kenapa?" tanya Ayah.

"Kami tahu Bapak tidak bersih lingkungan."

Ruang tamu menjadi senyap. Aku tetap asik bermain tetris. Tak mengerti apa artinya itu bersih lingkungan.

"Siapa kasih tahu kalian hal seperti itu?" tanya Ayah lagi.

"Kami punya sumber yang bisa dipercaya, Pak," jawab seorang mahasiswa.

Lalu ruang tamu kembali senyap. Tak lama, mahasiswa-mahasiswa itu berpamitan pulang.

Ayah masuk ke ruang kerja dan memintaku menyudahi permainanku. Wajahnya terlihat gundah.

Tanpa sedikit pun menyanggah, aku pun berlalu dari hadapannya.

AYAH tidak pernah maju dalam pencalonan pejabat kampusnya. Ia lebih banyak belajar di rumah. Berkutat hingga subuh hari dengan tulisan-tulisannya. Lemari buku ayah pun makin padat isinya. Ada perubahan yang aku lihat, jika dulu buku-buku yang masuk banyak dari sosiologi dan hukum, tapi sekarang lebih pada agama. Buku-buku Ali Syari'ati dan Murtada Mutahhari yang banyak menemani keseharian ayah.

Dua tahun kemudian, ketika aku akan merayakan ulang tahun ke tujuh belas, ayah meninggal dunia.

Sejak itu bunda sibuk sekali. Mengajar dari pagi hari hingga malam hari, menggantikan kelas-kelas yang dulu ayah ajar dan menggantikan nafkah yang dulu ayah cari. Bersama mbak dan abanglah, aku banyak menghabiskan hari.

Aku masuk ke dunia kampus tepat di saat terjadinya reformasi. Beserta kawan-kawan yang lain, aku pun terseret arus demonstrasi dan diskusi yang selalu selesai jika malam telah tiba. Menginap dari pekon ke pekon untuk pengorganisiran basis. Kegiatanku ini bukannya tidak membuat bunda khawatir. Seringkali bunda meminta untuk aku tidak ikut dalam aksi. "Kuliah saja," pinta bunda, "lalu pulang. Jangan pergi demo ataupun turun ke rakyat. Itu akan sangat berbahaya."

Bunda tahu bahwa aku tidak akan mengabulkan permintaannya dan ini kerap membuat bunda terlihat sangat sedih. Seperti di meja makan siang itu.

"Bunda tidak mengerti," kataku angkuh. Menyuapkan nasi terakhir ke mulutku.

"Bunda mengerti, Atu. Tapi Bunda tidak mau kehilangan kamu."

"Untuk sebuah perubahan tentu butuh korban, Bunda," kataku lagi, menggurui.

Bunda terdiam dan bangkit berdiri. Mengangkati piring-piring makanan dan juga piring yang kami pakai makan tadi. Ia beranjak pergi, menuju tempat cuci piring di samping rumah. Dari sela-sela suara air yang mengucur aku dapat mendengar isak tangis bunda.

"Ah, Bunda tak akan mengerti," pikirku, "Jika saja ayah ada, pastilah ia mendukung perjuanganku ini."

"Organisasi apa yang dulu ayah ikuti?" tanyaku pada paman, ketika kami bertemu di Hotel Garuda, kota Medan. Pamanku, adik ayah, adalah seorang politisi. Di Medan kami bertemu di sebuah forum yang dibiayai Partnership for Good Governance untuk menyambut pemilu.

"P-sebelas lalu Muhammadiyah."

"Tidak mungkin," sanggahku.

"Kenapa?" tanya paman.

Aku ceritakan pada paman tentang malam hari saat mahasiswa ayah datang dan memintanya mundur dari pencalonan pejabat. Tentang ucapan mereka bahwa ayah tidak bersih lingkungan. Aku bertanya pada paman, "Bukankah itu berarti bahwa ayah dari organisasi kiri? Dan karena itulah aku pun sekarang di sini. Ingin mengikuti dan membaui seluruh jejak perjuangan ayah."

Paman tersenyum, dielusnya rambutku dan berkata pelan, "Bukan. Bukan ayahmu itu, Atu."

"Lalu siapa?" tanyaku, hampir menutup telinga. Tak sanggup rasanya mendengar kenyataan yang berbeda dengan apa yang aku yakini selama ini. Karena kenanganku akan ayah yang berjuang di organisasi kiri-lah yang selalu menjadi api di hatiku.

Sesampai di rumah aku langsung ke ruang kerja ayah. Menuju lemari buku dan membuka pintu geser kayu. Mencari apa-apa yang mungkin selama ini aku lewati. Kembali aku buka satu per satu buku-buku yang sejak kecil dulu aku kunyah dan aku cerna. Sampai akhirnya tanganku menemukan buku Di Bawah Bendera Revolusi, buku yang selama ini selalu aku jauhi karena tebalnya. Perlahan aku buka sampulnya. Di lembar pertama buku itu tertulis sebuah nama.

Dan itu bukan nama ayah.

Kubaca berulang kali nama yang telah melamur itu.

Di atas nama itu meliuk indah tulisan tangan bunda: Untuk bapak dan ibu/ yang mati ditembak/ di hadapanku.

Newcastle upon Tyne, July 2010.


Lampung Post, Minggu, 26 September 2010

Sunday, September 19, 2010

Mun

Cerpen Dhe A. Sujana


AKU harus menuliskan cerita ini, Mun. Tapi bukan untukmu. Kau tahu sebabnya, Mun. Ah, jangan-jangan kau sudah lupa. Baiklah, aku ulang lagi perkataan itu untuk menyegarkan ingatanmu. Mun, kisah tentang seseorang bukanlah untuk orang itu. Kisah itu lahir dan hidup di dalam peradaban untuk orang lain yang belum tentu kenal dengan orang yang menjadi pokok cerita.

Kini, aku duduk menghadap layar komputer�sambil sesekali mengisap rokok�untuk menulis cerita tentang dirimu. Apakah kau boleh marah setelah membaca cerita ini? Tentu boleh, Mun. Itu sepenuhnya menjadi hakmu. Tetapi, aku sudah bilang di awal, cerita yang kulahirkan ini bukan untukmu. Jadi, sepatutnya, kau memang tak perlu marah.

Persoalannya, bisakah kau marah kepadaku hanya karena cerita ini, setelah segala macam dentuman berulang kali pernah kita rasakan bersama di masa lalu?

Mun, baru-baru ini kudengar seorang presiden marah karena disamakan atau lebih tepatnya dianalogikan (sebab tak ada yang benar-benar sama kan, Mun?) dengan seekor kerbau. Ahai, mungkin dia belum pernah seperti kita ya, Mun. Kau ingat, alangkah kita sangat berbahagia ketika diibaratkan seekor anjing (buduk pula!).

Saat itu, kita malah tertawa. Ya, kita terbahak-bahak saat dikatakan mirip anjing buduk. Justru sangat baik dibilang seperti anjing, katamu saat itu. Anjing itu binatang yang setia kepada tuannya.

"Tapi siapa tuan kita?"

Kau terdiam menyambut selorohku itu. Sampai kini, aku masih menyesal dengan seloroh yang menyebabkan kita sama-sama menghentikan kata-kata bermuncratan dari mulut. Kalau saja tak ada seloroh itu, mungkin kita bisa lebih cepat tertawa. Namun, dasar masing-masing kita seolah punya mulut lebih dari satu dan otak yang liar ke sana-sini, maka pecahlah diam itu.

"Tuan kita, ya...diri sendiri. Tuanmu ya kamulah. Tuanku ya aku sendiri."

"Berarti, kita setengah anjing, setengah manusia, Mun?"

"Bolehlah kalau begitu. Kita memang setia kepada yang setengah-setengah!"

Lalu kita tertawa keras sekali. Setia kepada yang setengah-setengah? Ah, dari mana kau dapat frase itu, Mun!

Aku senang, Mun, sebab kita selalu tahu cara bikin hati jadi gembira. Kerap tak perlu uang untuk itu. Modal kita hanya pikiran-pikiran liar dan celotehan spontan. Entah apa kau bahagia dengan hal yang kukatakan ini.

Tapi aku ingat, kau senang ketika kita berhasil meminjam motor Joyok dengan berbohong kepadanya. "Mau nengok Lili yang diopname," alasanmu kepada Joyok yang tak berapa lama memberikan kunci motornya.

Joyok sebenarnya baik dan tidak pelit, tetapi karena kita sudah terlalu sering meminjam motornya hanya untuk keliling tanpa tujuan, kemudian menggeletakkan motor itu tanpa bensin di tangkinya, maka Joyok menjadi malas meminjamkan motor kepada kita. Untuk itulah kebohongan harus diucapkan; dusta harus diembuskan kepada Joyok agar luluh hatinya.

Lalu kita putar-putar kota. Keliling tanpa arah, hanya mengikuti jalan beraspal. Dan...Masya Allah! Ada operasi polisi lalu-lintas di dekat Pesantren Al Huda. Kita tak bisa mengelak. Untuk mundur sudah terlalu sulit karena kerumunan polisi itu telah melihat kita. Malah seorang di antara mereka menghidupkan motor, kemudian menghampiri kita yang tiba-tiba berhenti.

"Selamat sore," ucap polisi itu setelah berdiri di samping kita yang sedang gugup. "Bisa lihat surat-suratnya."

Karena aku yang tepat berada di belakang setang motor, maka akulah yang harus mengeluarkan surat-surat itu. Aku mengambil dompet, membuka-bukanya; entah untuk mencari apa. SIM aku tak punya. STNK pun tiada karena sebelumnya kita lupa memintanya kepada Joyok. (Oh, kenapa kita begitu pandai membohongi Joyok untuk mendapat pinjaman motor sekaligus pandir karena tak meminjam pula STNK motor itu.)

Aku keluarkan amplop warna ungu dari dompetku. Kemudian menatap mata si polisi sambil memegang amplop yang berisi surat cinta dari mantan pacarku itu. Tentu saja bukan surat itu yang dimaksud si polisi. Tapi, sumpah, Mun, saat itu aku tak tahu harus mengeluarkan surat-surat apa. Melihat tingkahku, aku yakin kau ingin tertawa kalau saja tak ada polisi di depan kita. Dan kau memang ingin tertawa, namun menahannya�mungkin agar si polisi tak sakit hati.

"Operasi apa, Pak?" Kau memberanikan diri bertanya kepada si polisi.

"Ada motor hilang. Baru dicuri dari daerah kampus," jawab si polisi dengan muka serius. "Mana surat-suratnya?"

Aduh, kenapa pertanyaan itu muncul lagi.

"Ini motor pinjeman, Pak. Kami mau menengok teman yang sakit. Tadi buru-buru. Jadi lupa bawa surat-suratnya. Gimana, Pak?"

Mun, kau sigap sekali saat itu. Lincah sekali lidahmu bersilat.

Polisi itu terdiam mendengar penjelasanmu. Namun, matanya melihat-lihat pelat nomor motor yang kita naiki. Mungkin dia memeriksa keaslian pelat itu.

"Ini motor Joyok, Pak. Teman saya dari Jombang," ucapku. "Pelat Jombang memang W kan, Pak?"

Polisi itu tetap terdiam. Kulanjutkan cerita tentang Joyok kepada dirinya. Aku katakan bahwa Joyok itu anak yang baik, keluarganya adalah petani melon di Jombang yang rajin ikut istigasah dan ia selalu tak lupa salat lima waktu. Tetapi, Mun, mengapa saat aku berbicara kepada polisi itu, tanganmu malah menyolek pinggangku berulang kali? Apa ada yang salah dengan ceritaku?

"Ya sudah. Kalian balik saja. Jangan terus," kata polisi itu setelah menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mun, mungkinkah polisi itu terkesima dengan ceritaku hingga dia berperilaku demikian? Nanti, kalau kita bertemu dia lagi, sebaiknya kita tanyakan hal itu kepadanya. Tapi, Mun, apa kau masih ingat wajahnya? Aku sih sudah lupa.

***

Aku tulis cerita ini, Mun, untuk mengingatmu, tetapi bukan untukmu. Cerita ini untuk orang-orang yang mungkin belum pernah mengenal dirimu. Aku mengarang kisah ini, Mun, agar mereka tahu bahwa kita selalu punya cara bikin hati jadi senang, termasuk ketika kesedihan menerjang. Seperti peristiwa di pinggir jalan itu, ketika kita duduk di warung Cak Gondrong.

Malam itu pekat, Mun. Seolah dua gelas kopi yang sedang duduk santai berhadap-hadapan dengan kita telah melunturkan warnanya kepada malam. Tetapi kita tak marah kepada kopi yang membuat malam kian suram secara meyakinkan. Sebab kita kembali memesannya kepada Cak Gondrong kalau isi gelas di depan kita tinggal ampas.

Aku sangat masygul ketika kau buka suara hanya untuk mengantarkan kesedihan yang disebabkan oleh gadis dari Kota S itu kepadaku. Seolah kau mengkhianati kegembiraan yang selalu kita ciptakan sebelumnya. Kau bercerita bahwa kau kecewa karena gadis itu akhirnya memilih lelaki lain hanya karena ibunya selalu melihat lelaki itu dalam mimpi.

"Bagaimana kalau setan yang datang ke mimpi ibunya?"

Kau tak menjawab pertanyaanku. Tanganmu malah asyik menggoyang gelas yang menyebabkan air pekat di dalamnya serupa pikiranmu; menari-nari tak tentu gerak. Jujur saja, saat itu aku kuatir kau akan membantingnya.

"Kalau benar-benar setan yang ada di mimpi si ibu itu, berarti kamu yang menang, Mun."

"Kok bisa?" (Eh, kamu tergoda juga menyahuti ucapanku)

"Ya, soalnya cewek itu sudah ikut ke jalan yang sesat. Setan kan sudah berjanji menyesatkan manusia, Mun," jawabku santai.

"Sialan."

Aku tertawa kecil. Kau pun tersenyum. Tapi pasti hatimu belum gembira. Maka aku berjanji untuk menunjukkan jalan kegembiraan kepadamu.

"Kita harus balas dendam kepada cewek itu, Mun."

"Hah! Buat apa?"

"Biar dia kapok karena sudah melukai hatimu," jawabku.

Aku tak menoleh sama sekali ke arahmu. Padahal, aku mengintip lewat sudut mataku, kau tengah memandangku lekat-lekat. Aku tahu kau tak sabar ingin mendengar rencanaku. Asal kau tahu saja, Mun, aku berekspresi macam itu agar hatimu penasaran dan jantungmu kian berdegup kencang.

"Ayo, kasih tahu. Gimana cara balas dendamnya?"

Nah, kau penasaran kan? Bahkan sampai dua hari sejak obrolan malam itu, kau tetap bertanya perihal yang sama kepadaku. Tapi aku tetap tak menjawab. Itulah caraku, Mun, mengalihkan kesedihanmu menjadi rasa penasaran tak tentu.

Beberapa hari kemudian, kau datang membawakan senyuman untukku. Rupanya kau baru saja mendengar bahwa aku telah membalaskan dendammu kepada gadis itu. "Dasar gendeng!" Katamu sambil memukul bahuku.

Ya, Mun. Cinta memang harus gila. Aku memang membaca puisi bikinanku ketika si gadis sedang berada di rumah indekosnya. Kalau kau bersamaku saat itu, Mun, kau akan melihat teman-teman indekos si gadis berkumpul di beranda rumah dengan roman muka riang gembira menyaksikan aku membaca puisi berjudul Les Gratis untuk Temanku, yang bait pertamanya berbunyi:

Terimakasih, telah kau perkenalkan temanku kepada cinta

Malam itu, kami duduk bermuka-muka dan temanku telah

Mengubah kesedihan menjadi kata-kata.

Oh, wanita! Ternyata kau pun membawakan temanku secawan duka

Cinta yang kau ajarkan kepada temanku memang gratis adanya

Tetapi, aku harus membayarkan bergelas-gelas kopi untuknya

Oh, wanita! Kesedihan temanku merajalela

Dan kini kantongku makin tipis karenanya

Itulah Mun, caraku membalas penolakan si gadis terhadap cintamu. Itulah caraku yang telah membuat teman-teman indekos si gadis bertepuk tangan sebagai tanda bahwa aku tak mempermalukan dirinya. Mun, aku bukan Tuhan yang pernah mengirimkan banjir sebagai hukuman kepada umat Nabi Nuh. Dan, karena aku bukan ibu si gadis, bagaimana mungkin aku membalaskan dendammu dengan mengutuknya menjadi batu?

***

Setelah kubaca lagi cerita ini dari awal, Mun, aku sadar bahwa kisah ini bukanlah lagi semata-mata tentang dirimu. Inilah cerita tentang kita yang dulu selalu tak lelah mencari cara agar gembira.

Namun apakah kini kita telah bertemu dengan gembira? Aku tak tahu, Mun. Mungkin pertanyaan itu lain kali mampu kujawab dengan cerita. Untuk itu, kita harus bertemu, Mun.

Seputaran Pasar Cendrawasih, 1 Maret 2010

--------------
Dhe A. Sujana, lahir pada 21 Desember 1983 di Jakarta. Alumnus Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Jember. Saat ini bermukim di kota masa kecilnya; Metro, Lampung.



Lampung Post
, Minggu, 19 September 2010

Sunday, September 5, 2010

Kota Puisi

Cerpen Aris Kurniawan

Sekembali dari terowongan itu, Darja mendapati gerobak ketopraknya masih teronggok di sisi jalan. Gerobak itu seperti menunggu tuannya dengan setia. Keadaannya masih utuh. Piring, gelas, sendok, stoples plastik, cobek, ulekan, ember, semuanya masih lengkap. Letaknya tak bergeser sama sekali. Bahkan beberapa butir air sisa bilasan di punggung piring belum lagi kering. Hanya kantung plastik yang terlihat sedikit menyembul keluar, bergetar-getar ditiup angin.

Darja mengerjap-ngerjapkan matanya, celingukan tiga kali. Cuaca masih terang. Dilihatnya jam tangannya. Masih pukul setengah lima sore. Lantas dengan perasaan yang masih dirongrong kebingungan, didorongnya ia punya gerobak. Baru beberapa langkah, dari arah berlawanan dilihatnya Narti, istrinya, bejalan tergesa menuju ke arahnya.

Darja menyeka wajahnya dengan sebelah tangan. Dia tak ingin Narti mengetahui kebingungannya. Perempuan itu suka ngedumel kalau melihatnya melamun, atau tampak seperti baru sadar dari lamunan. Lantas menyindir-nyindir tentang cita-citanya jadi penyair. Meracik dan mengulek bumbu ketoprak saja belum becus, mau jadi penyair, begitu Narti pernah berkata. Dia memang keterlaluan. Apa coba hubungannya mahir ngulek ketoprak dengan menulis puisi? Padahal dulu Narti selalu bilang puisi-puisi Darja bagus. Indah tiara tara. Dan gara-gara dirayu dengan puisi pula Narti jadi pacar Darja hingga akhirnya mereka menikah. Perempuan memang selalu ada maunya.

Dari kejauhan Darja sudah dapat melihat muka Narti yang semrawut seperti kain tak disetrika. Seakan sudah tahu hari ini jualannya hanya habis separuh. Bisa ditebak sebentar lagi mulut perempuan itu bakal menumpahkan ceramah tentang cara jualan yang benar. Bagaimana memasang muka kepada pelanggan. Ceramah akan diakhiri dengan kalimat yang sama, yaitu "Abang sih jualan melamun mulu. Kalau nggak melamun pembeli diajak ngobrol puisi. Mikir dong Bang...." Dasar perempuan, kamu pikir orang melamun itu tidak pakai pikiran?

Maka sebelum dia sampai, Darja telah memutuskan untuk tidak akan pernah menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya. Salah-salah Narti makin mempanjang durasi acara ceramahnya. Bisa memicu migrainnya kambuh.

Benar saja, begitu sampai Narti langsung nyap-nyap. Tapi kali ini Darja bertekad tak peduli. Darja sibuk mengingat-ingat peristiwa yang baru saja dialaminya beberapa menit lalu. Ya, beberapa menit saja, tapi mengapa terasa begitu lama berlangsung? Seperti bertahun-tahun? Peristiwa yang baginya sendiri terlalu sulit dimengerti, tapi sungguh-sungguh dia alami secara begitu nyata, sangat nyata, bahkan lebih nyata dari kenyataan. Ah!

Rasanya tidak ada yang salah dengan terowongan itu. Lorong di bawah jalan tol yang menghubungkan Kampung Krapyak di sebelah utara dengan Kampung Semantak di selatan. Orang-orang di kedua kampung itu selalu melalui lorong berukuran lebar dua meter dan tinggi satu setengah meter itu. Dan sejauh yang dia tahu semua berjalan baik-baik saja. Memang pernah ada kabar berembus bahwa terdapat hantu penunggu lorong tersebut. Hantu seorang warga yang mati secara misterius gara-gara menolak pembebasan tanahnya untuk pembangunan jalan tol tersebut. Konon hantu itu gemar mengganduli orang yang melintas di terowongan.

Tapi, peristiwa yang dialami Darja sama sekali tidak ada urusannya dengan kabar tentang hantu yang diembus-embuskan orang itu. Lagi pula Darja sudah lama tidak percaya dengan cerita-cerita hantu semacam itu. Seperti orang-orang di Kampung Krapyak yang mau menyeberang ke Kampung Semantak dan sebaliknya, saban hari Darja melalui terowongan tersebut. Dinding-dindingnya dilabur cat putih susu, di sudut langit-langit terpasang lampu cukup terang. Sore tadi Darja melintas di sana, dan tidak terjadi apa-apa seandainya Darja tidak berbalik ke dalam terowongan lantaran dia merasa penasaran ingin membaca sampai habis sebait tulisan di dinding terowongan. Tulisan biasa-biasa saja yang digoreskan menggunakan arang kerjaan iseng anak muda. Huruf-hurufnya sama sekali jauh dari kesan rapi. Mana ada tulisan yang digoreskan arang terlihat rapi. Huruf r tampak seperti huruf n dan kadang k. Tapi begitulah, dia tambatkan sebentar gerobak ketopraknya di mulut terowongan demi memenuhi rasa penasarannya. Dia merasa tulisan itu seperti puisi.

Setelah dibaca secara penuh penghayatan dan berulang-ulang, tulisan itu memang puisi. Sangat indah. Penyair manakah yang iseng menggoreskannya di dinding terowongan ini? Pertanyaan ini bukan bagian penting dari kejadian yang dialami Darja. Sebab, beberapa detik berikutnya puisi itu menariknya ke dalam pusaran. Lantas, entah bagaimana prosesnya, tahu-tahu Darja terempas ke sebuah gang yang lengang. Permukaan gang yang terbuat dari paving block membuat kulitnya sedikit lecet-lecet. Anda pernah melihat bagaimana Mr. Bean jatuh ke bumi? Begituah kira-kira yang terjadi pada Darja. Itulah sudut kota yang hanya dia kenal lewat bait-bait puisi seorang penyair kondang yang digandrunginya.

Lamat-lamat dia dengar puisi itu...

Kota itu tak bernama

Dinding-dindingnya sangat tua

Dan musik menggenang sepanjang jalan-jalannya

Yang sunyi.

Darja bangkit dan mempertajam pendengarannya. Lalu dia bergerak menelusuri sumber suara. Berjalan tersaruk mengikuti udara yang dirambati suara lantunan orang membaca puisi. Darja mendapati dirinya bagai mabuk oleh kebahagiaan. Dia meraba detak jantungnya untuk memastikan kejadian ini bukan bagian dari lamunan.

Dari dulu Darja memang sangat menggandrungi puisi, dan menjadi penyair merupakan cita-cita terbesarnya sejak remaja. Alangkah bahagianya menjadi penyair, begitu dia selalu berpikir. Adakah yang lebih hebat dan mulia dari seorang penyair? Cita-cita ini menghuni benaknya sejak dia terpesona melihat tetangganya yang jadi penyair. Berambut gondrong, pintar ngomong, berbaju agak kumal, dan punya banyak pacar. Apa saja yang dilakukannya orang maklum karena dia penyair.

Demi merintis cita-citanya, Darja pun masuk ke Fakultas Sastra jurusan puisi. Saban hari tak ada yang dikerjakannya selain menulis puisi dan membaca buku-buku teori tentang puisi. Berdiskusi hampir saban malam tentang puisi dengan siapa saja yang kebetulan bertemu atau berkunjung ke kamar indekosnya yang penuh dengan buku puisi. Tidak seperti penyair umumnya yang malas menata kamar, Darja menata buku-buku puisi koleksinya dengan rapi. Dia susun berdasarkan tahun terbit. Dia melarang keras jika ada yang bermaksud meminjam koleksi bukunya itu.

"Cita-cita kok jadi penyair sih, Darja. Apa tidak ada yang lain?" tanya bapaknya.

"Tidak ada artinya hidup ini selain jadi penyair, Pak."

"Jadi orang jangan berlebihan dong, Darja. Tapi sudahlah, terserah kamu. Tapi ingat, jadilah penyair yang berguna untuk rakyat."

"Maksud Bapak?"

"Membela rakyat, Darja."

"O, tentu saja, Pak," sahut Darja sekenanya lantaran tidak betul-betul paham dengan tema pembicaraan yang terjadi begitu saja. Kalau ingat percakapan ini Darja ragu sendiri, benarkah ini terjadi dalam sebuah kenyataan atau sekadar di panggung drama?

Darja terus berjalan tersaruk-saruk dengan dada dirasuki perasaan sukacita. Udara kota tua itu menyemburkan harum di penciumannya. Benar-benar kota puisi, bisiknya. Adakah puisi berbau harum? Hanya Darja yang bisa menjelaskan secara pasti. Dia sampai di sebuah kafe yang di dalamnya tengah berlangsung pembacaan puisi. Dari sinilah rupanya asal suara itu. Darja nyelonong begitu saja ke tengah-tengah hadirin yang tengah khusyuk menyimak pembacaan puisi. Cara mereka menyimak pembacaan puisi membuat Darja terkagum-kagum setengah mati. Dia celingukan tiga kali seperti kebiasaannya kalau sedang mumet mencerna peristiwa tak lazim, lantas menyadari betapa tak ada penyair favoritnya di sana. Bahkan tak ada satu pun yang dikenalnya. Astaga ini negeri mana ya? Gumam Darja, bego seperti biasa. Mendadak sepotong tangan menjawil pundaknya.

"Darja?"

"Eh, Anda siapa ya?"

"Ah Darja kenapa kamu jadi pelupa? Tinggal di mana sih kamu selama ini? Pasti di lembah kemiskinan ya? Pantes mudah lupa," bisik seseorang yang ternyata perempuan berdada dan berbokong besar dengan leher jenjang dan bibir seksi menawan serta tatapan mata penuh rayuan.

Perempuan itu mengajak Darja menginap di kamar apartemennya di lantai 13. Pada pertemuan pertama itu mereka langsung bercinta secara dahsyat sekali. Darja sampai tak mengira dirinya masih mampu bercinta dengan begitu dahsyat. Maklum saja selama ini dia seperti telah kehilangan gairah bercinta dengan Narti. Selain pintar nyap-nyap, mulut Narti berbau amoniak.

"Kamu ternyata tidak hanya berbakat jadi penyair, Darja. Kamu berbakat jadi seorang pemain cinta yang luar biasa." Puji perempuan yang bahkan namanya Darja belum sempat tahu.

"Sebenarnya kita pernah bertemu di mana sih sebelum ini?" Darja bertanya setelah mengenakan kembali celana jins semata wayang andalannya.

"Alah Darja, itu sudah tak penting sekarang."

"Tapi siapa namamu? Kenapa kamu mau membawaku kemari dan bercinta denganku?"

"Darja, Darja, kenapa sih kamu selalu ingin tahu hal-hal yang penting seperti itu?"

"Baiklah, tapi apakah namamu juga tidak penting kuketahui?"

"Namaku Julia, Darja. Julia Perez, lengkapnya. Ingat pakai z, bukan s."

"Terima kasih Julia. Terus apa acara kita selanjutnya?"

Julia Perez menjelaskan, di kota ini setiap orang tidak punya kesibukan apa pun selain menulis dan membaca puisi, kemudian bercinta sepuasnya. Semua warga kota ini dibekali kartu ATM dengan saldo yang terus bertambah.

"Semua kebutuhan hidup kita sudah ditanggung pemerintah," ujar Julia Perez seraya menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dengan nikmat, lantas mengembuskan asapnya ke wajah Darja, membuat laki-laki itu tergeragap dan batuk-batuk.

"Menyenangkan sekali," kata Darja mulai reda gugupnya.

"Mulanya ini memang menyenangkan, Darja. Tapi lama kelamaan kami ternyata merasa bosan juga. Ingin sesekali pulang menjenguk ke lembah kemiskinan tempat asalmu itu." Julia Perez memungut sebotol vodka dari kulkas berdinding tembus pandang. Lantas mengangsurkannya pada Darja.

"Kami bosan menulis puisi dengan tema itu-itu juga. Pasir pantai, cangkang kerang, wayang, tali kutang. Kami ingin menulis tentang kemiskinan. Tapi mana bisa? Kami hidup dalam gelimang kemewahan. Kamu tahu Darja, kemewahan bikin orang jadi bebal."

Namun, berada di kota puisi yang penuh kenikmatan itu tak membuat Darja melupakan hari-harinya sebagai penjual ketoprak, sebagai suami yang acap ditindas istri. Terkenang suara Narti kala perempuan itu mengajari bagaimana meracik dan mengulek ketoprak secara cepat dengan hasil yang tetap baik.

"Kemahiran meracik dan mengulek ketoprak menjadi ukuran sejauh mana kamu mampu menulis puisi yang berkualitas," kata Narti sok tahu. Tentu saja Darja tak sudi mempercayai ocehan istrinya itu.

**

Tiga minggu sejak kejadian itu, pada suatu sore yang biasa-biasa saja, ketika angin berembus apa adanya, Narti sendirian berjualan ketoprak. Dia mendorong gerobak sendiri dengan air mata berlinangan. Dia tak mau lewat melalui terowongan itu. Tak ingin mendengar suara Darja merinith-rintih membaca puisi.

Pondok Pinang Juli 2010.


Lampung Post
, Minggu, 5 September 2010