Sunday, February 28, 2010

Tandan Tanggal

Cerpen S.W. Teofani


KEMUDIAN yang tertinggal penggalan kenang yang hampir tanggal. Bertandang dari laman-laman masa silam. Pada setiap waktu yang kita ramu. Pada warta-warta terkata.

Ketika masa mengaribkan kita, kau wanodya penuh ria. Aku suka menghitung tapakmu di antara bunga rumput dan bebatu. Dengan cengkrama yang selalu berbeda, kau wedarkan segala ruah rasa. Dalam tawa dan nelangsa, kau cecap setiap makna. Lalu aku terbiasa dengan seluruhmu; sungging senyum, kecumik manja, sedan hampa, hingga nganga luka yang kau punya.

Pernahkan kita menyesalkan undak yang kita tapak?

Karena esok bukan lalu. Kini kurasai seluruhku masai tanpamu.

Kulipat setiap kenang pada duka paling luka. Saat kusaksikan tandan waktu menanggalkanmu; aku ngungun di pusara itu.

Dukaku tandas di atas tanah merah berbasah resah. Muncul keriap kenang yang mencemaskan waktu. Saat kau menyisir lempang jalan menuju rumah hitam. Tempat bartaut suai pemikiran-pemikiran lalu dan yang baru. Berbincang tentang canang kejayaan masa usang dan kehancuran sejarah sudah. Buah pikir manusia dari negeri-negeri yang gemah. Akal budi tokoh negeri yang kita "adili". Kearifan sufi dari lorong yang tak kosong. Kebijakan pujangga pada racikan kata dan makna. Kita akan membincangkannya hingga senja hampir binasa.

Esok pagi, sebelum matahari bergegas tinggi, kita akan mengayunkan langkah menuju cita-cita yang jauh. Tentang pendidikan yang memanusiakan manusia. Tentang hukum-hukum yang adil. Lalu kita gunjingkan tapak-tapak Paulo Freire dan Romo Mangun, Ivan Ilich dan

Roem Topatimasang. Juga jejak-jejak penindasan yang mamasung cita.

Di sebuah masa yang luka, saat kaum muda memancang bendera, kita menjelma pagar jalanan. Meneriakkan pekik-pekik keadilan. Meninggikan panji-panji peradaban. Pada barisan sayap-sayap yang mengepak menuju lazuardi tertinggi. Akan kita basahi jalanan itu dengan seluruh peluh muda membara. Kita bacakan Bunga dan Tembok dengan dendam paling dalam. Sekelam kisah sang pujangga yang hilang ditelan zaman yang muram. Kita tersenyum dengan kulum paling ranum, kala lelah tanpa upah menjadi mur'ah yang kita pilah.

Saat suara menggema tentang wanita-wanita pendamba mahkota, kau dan aku bertukar kata. Kemana kiblat bangsa kita? Pada wanita pemuja benda, atau kaum hawa yang sedang memberai temali budaya? Dan kita memilih requim Sachico Murata. Wanita pewarta harmonisasi semesta. Dan kita pun seiya bahwa Mumammad, ksatria dari Arabia, manusia utama yang pertama peduli pada takhta wanita.

Sempat juga kita umpat diktat-diktat yang membuat sekarat. Karena kita kecewa dengan isinya, dan tak punya uang untuk membelinya. Sementara diri dipaksa memilikinya demi nilai-nilai yang tak lagi bernilai.

Ada kala kita tergelak. Menandaskan tetes terakhir dari secawan air. Menyuap nasi dari pinggan yang sama. Menjejak tapak di jalan itu juga. Kau sering berkata, semua akan jadi kenang yang sulit kita ulang. Aku membalasnya dengan tatap tak terkata. Tapi kembali kau mengajakku dalam derai suka.

Kau pernah menanda sesayat duka. Aku takzim mendengarnya. Tentang lara, tetang asma. Kusimak kau berwacana, mari kita lupakan derita fisik yang sementara. Bukankan jiwa masih menyala? Menerangi setiap sudutnya. Kita sibukakan dengan karya-karya sebagai jamuan surga. Karena kesedihan adalah bahagia yang bertengger di puncak kesunyian. Lalu Kau cari telaga untuk membasuh duka. Merendam seluruhnya hingga hilang tiap tilasnya. Lalu menghapus segala cerita dengan ceria. Kau enggan menatah duka, tak suka memahat luka. Hidup bagimu tapak-tapak suka dan taman tawa. Memeram muram pada cahaya. Memindai minda menjadi baskara jiwa. Dan aku terbawa pada rebawa bahagia. Kita pinda rasa lega sempurna.

Kadang kita empaskan semua, melupa untuk beberapa jenak. Menyimak Caravansari pada dayu lunak. Lalu kita bersembunyi di bilik hati paling sepi. Demi temukan segugus sunyi yang kita cari.

Pernah kita memadu harap. Mengeja kemungkinan-kemungkinan tentang perubahan. Untuk bangsa yang merapuh, pada sejarah yang sepuh.

Kini rencana-rencana menjadi mumi yang bertengger pada masa yang bisu. Karena seluruhmu tak sampai pada cerita bangsa yang berbeda.

Setelah musim wisuda tiba, kita terberai titimangsa. Karena Freire tidak cukup pada kata, Romo Mangun tak selesai pada wicara. Pilihan pengabdian berbeda menjadi jurang yang nganga. Tapi jiwa selalu saling sapa. Meski kita jarang bertukar warta. Hari menggugus dalam pergantian tahun, kita menjadi jiwa yang saling mendamba untuk berjumpa. Meski kesibukan menjadi hantu yang memberaikan. Kita bertukar tawa dalam ruang yang tak lagi sama.

Hingga pada pagi yang lengas, kudengar sebait berita dari alam maya. Daun gugur di kala hijau, rumput mengering menanggung risau. Setandan jiwa telah tanggal. Jiwa yang tak pernah tega mewartakan duka. Jiwa yang menyimpan rapi setiap nelangsa. Hanya tawa dan ria yang kau wartakan pada dunia. Aku mengeja: hidup adalah tandan-tandan yang akan tanggal pada saat yang ditentukan. Dan ketentuanmu telah datang saat hari masih memancarkan keelokan.

Sepenggal duka yang pernah kau buka, menanggalkan asamu yang masih nyala. Kau masih menggantang hari depan saat maut mengintaumu. Jiwamu mengejar cahaya ketika alam lain menyambut kedatanganmu. Kau tak tinggalkan keluh juga nelangsa sebagai pinanda kepulangan. Maut kau sambut dengan senyuman. Bukan ratap ketakutan. Kematian mengerangkeng seluruh asan yang hendak kau wajudkan.

Hari itu, aku menjumpai jasadmu terbujur kaku. Kita bertemu untuk berpisah. Laksana magrib yang tiba demi sang malam. Kita berjumpa untuk sayunara, bagai mimpi yang hadir di ujung pagi. Aku siramkan suri suci, berserta bunga rindu dan wewangi madu. Rindu yang tandas, karena perjumpaan fisik menjadi kemustahilan. Aku berikan ciuman terakhir, menghantarkan duka yang akan terkubur bersama seluruhmu.

Tak bisa kunahan gemawan kemana berarak, di mana terserak.

Karena dia dituntun Tangan yang lebih kuat. Tapi jiwaku pun dibimbing Tangan yang sama. Di mana pun kelak, jiwa kita akan bersua.

Aku ingin bersenandung bersama rinai di fajar jingga. Mengabarkan tunas-tunas baru yang memesona. Kerena duka hari ini pasti tinggal. Tapi seluruhmu tak akan luruh pada serpih muram itu. Keriapmu akan hadir pada lembar hari yang mewujud dalam kinanti hati. Kau kinatan penabur pinar, pincara pesan-pesan Tuhan, tentang kasih, cinta, dan ketulusan. Duhai kinasih kehidupan... aku melepasmu dengan rebas tertahan: Selamat jalan.

Rajabasa, Februari 2010

Mengenang Rosa Novalinda

Berpulang; Jumat, 5 Februari 2010


Lampung Post, Minggu, 28 Februari 2010

Sunday, February 21, 2010

Biola Tua dan Sepotong Mimpi

Cerpen Nurhandayani

SUARA merdu yang mengalun dari gesekan biolamu selalu dapat membawaku kepada mimpi-mimpi terdahulu, yang pernah kugantungkan pada langit-langit dan kulupakan begitu saja. Untuk alasan yang tak pernah kumengerti, tak kulanjutkan mimpi itu. Mimpi itu pun terlupakan sampai akhirnya aku menemukanmu.

Dan kini mimpi itu mencuat kembali...

"Aku mau belajar main biola. Ajari aku," pintaku padamu suatu petang.

Kala itu aku duduk di hadapanmu, terkesima pada permainanmu, tertegun melihatmu memainkan lagu kesenanganmu dengan biola tua itu.

"Ehm, boleh. Tapi gimana caranya? Aku kan cuma punya satu biola..." tanyamu.

"Hm, kita bisa gantian kan? Ajari aku, ya? Mau ya?"

Kau tak mampu menolak pintaku. Kau hanya mengangguk sambil menyunggingkan senyum khasmu.

Tak pernah aku segirang ini, mendapati kesempatan mewujudkan mimpi yang lama terendap itu...

***

Entah bagaimana kita tiba-tiba jadi sedekat ini. Dulu tidak. Kau senang membunuh waktu dengan teman-teman sebayamu. Bersenda gurau, tertawa, tak menghiraukan orang lain di sekitar kalian yang mungkin terusik.

Tanpa kausadari, waktulah yang sebenarnya telah membunuhmu... Sementara aku lebih suka kesendirian, menyepi, menulis diari...

"Ngok...ngik...ngok..."

Di tanganku biolamu berdecit sumbang seperti derit pintu yang rusak.

Astaga, bukan main stresnya aku di hari pertamaku belajar bermain biola.

Perlahan dan ragu kugesek dawai biolamu. Betapa pun aku berusaha berhati-hati agar dapat menghasilkan suara yang merdu, tetap saja biolamu tak mau bekerja sama denganku. Ia menjerit seakan tak mau kumainkan.

"Kalau biola ini bisa bicara, dia pasti sudah berontak meminta aku berhenti memainkannya..." keluhku ketika aku mulai putus asa.

"Ya, namanya juga baru belajar. Mana ada orang yang belajar langsung bisa. Jangan nyerah dong..."

"Bunyinya kok aneh begini, ya? Bunyinya aneh, kayak..."

Aku terus menggerutu. Aku tak mampu menemu diksi yang tepat untuk melukiskan keherananku pada biola yang tak mau bersuara merdu di tanganku itu.

Lantas dengan sabar engkau tunjukkan cara memegang bow--alat penggesek biola yang menyerupai busur--dengan benar. Karena hanya ada satu biola, kau dan aku bergantian memainkannya.

"Cara menggeseknya jangan ragu-ragu dan terlalu lambat. Tadi itu gesekannya kurang tekanan...

Ehm, kau tahu, Nis? Aku belajar sesuatu dari biola ini."

"Apa?"

"Belajar biola sama halnya dengan belajar menjadi tegas."

"Kok bisa?"

"Ya, karena memainkan biola membutuhkan ketegasan untuk membuat gesekan dan tekanan yang tepat. Dalam permainan biola, ketegasan dalam membuat tekanan yang tepat itu perlu sekalipun kau bermaksud menghasilkan nada yang lembut..."

Aku terdiam demi mencerna kata-katamu. Tak mengerti dengan apa yang kauucapkan, kulanjutkan usahaku untuk dapat menghasilkan nada-nada dasar dengan tepat.

Ketika aku berusaha menghasilkan bunyi do tinggi, biolamu meraung lagi. Kulirik dirimu tengah mencoba menyembunyikan tawa yang nyaris meledak.

Aku tahu. Itu nada tersumbang yang pernah kuhasilkan selama aku berlatih padamu.

***

Kecerdasan musikalmu selalu dapat membuatku tertegun-tegun, mencuatkan anganku ingin bisa mengalahkan permainan biolamu. Atau paling tidak bisa menyamai kemahiranmu.

Lantas, ketika aku tengah terkagum-kagum di sela permainanmu, seringnya tanpa kusadari aku mendapati diriku sendiri bergumam, "Kapan ya aku bisa sehebat kamu?"

Kau tergelak.

"Makanya, jangan mudah nyerah," katamu singkat.

Untuk menemani latihanku kali ini, engkau membuatkan dua cangkir kopi. Satu untukku, satu lagi untukmu sendiri.

Tanpa menghiraukan uap panas yang masih mengepul, kuraih kopi yang kau sajikan untukku. Kuseruput...

Hm, manis sekali kopi buatanmu.

Sebenarnya aku tak suka manis. Namun demi menghormatimu, aku berpura-pura menikmatinya.

Kuraih biola yang tersandar di kursi anyaman di sisimu. Aku mulai menggesek-gesekkan bow di atas dawai biola tuamu, berkonsentrasi pada bunyi-bunyi yang kuhasilkan.

"Untuk memainkan biola, kau harus mengenal setiap nada dengan baik. Kau mesti tahu perbedaan setiap nada. Yang diutamakan adalah kemampuan mendengarkan perbedaan setiap bunyi," uraimu seraya tetap asyik dengan petikan gitar akustikmu.

"Menggunakan feeling maksudnya?"

Kau mengangguk.

Aku mengernyit, berkonsentrasi pada bunyi-bunyi yang kuhasilkan dari gesekan biolaku. Berulang-ulang nada yang kuhasilkan meleset. Untuk menghasilkan nada-nada dasar dengan tepat, aku mesti mengulang berkali-kali.

Rasa pegal mulai menjalar di lengan kiriku karena menahan tubuh biola berjam-jam. Pundak kiriku pun luar biasa pegalnya karena terus-menerus menjepit pantat biola selama berlatih.

Kau tersenyum hangat melihatku hampir menyerah. Kuberikan biola kepadamu. "Giliranmu..."

"Pegal? Lama-lama juga terbiasa," ujarmu seraya mulai memainkan lagu-lagu klasik yang biasa kau mainkan.

Aku takjub mendengar bagaimana biola itu mendendangkan suara yang merdu. Di tanganmu, biola itu mau bernyanyi dengan indah. Turun naik kau mainkan bow di atas senar biolamu. Jemari kirimu menari-nari dengan lincahnya di sepanjang leher biola seakan bergerak sendiri tanpa instruksi darimu.

Sebentar-sebentar jemarimu menggetar-getarkan dawai, memainkan teknik vibrato, menghasilkan nada yang begitu lembut. Tak ada bunyi yang sumbang. Tak ada nada yang meleset. Sempurna!

Selama bermain, sepasang mata sayumu terpejam, entah dirimu berusaha berkonsentrasi pada nada-nada yang kaucoba hasilkan ataukah kau tengah menikmati permainanmu sendiri??

Kurang dari sepuluh menit engkau membuka mata. Kau usaikan permainanmu.

Andai saja engkau melihatnya, engkau akan mendapatiku tengah terpesona padamu, masih mabuk dengan sisa-sisa kekagumanku padamu tadi.

"Ayo, coba lagi! Dengarkan nadanya, rasakan perbedaannya. Gunakan pendengaran, perasaanmu, bukan penglihatan..."

Kuraih biola yang kausodorkan padaku.

Aku memejam mata, mencoba meniru caramu bermain, mulai membuat gesekan-gesekan di atas dawai biolamu.

Biolamu meraung-raung lagi di tanganku.

***

Kali ini aku bermain lebih baik dari minggu-minggu sebelumnya. Aku mulai pandai menghasilkan nada-nada dasar dengan tepat.

"Coba mainkan sebuah lagu."

Aku tercenung. Lagu apa ya yang mau kumainkan?

"Aku kan masih pemula. Mana bisa aku mainkan lagu-lagu klasik seperti yang biasa kau mainkan. Itu kan susah..."

"Belajar dari yang mudah dulu. Coba mainkan melodi Ibu Kita Kartini."

Aku menurut. Kucoba mainkan lagu yang kauminta dengan nada yang terpatah-patah. Berkali-kali aku keliru membunyikan beberapa nada.

Aku nyaris putus asa. Kulihat kau hanya tersenyum menyaksikan permainanku yang buruk.

"Aku memang tak berbakat," keluhku seusai permainanku.

"Kau berbakat."

"Bohong!"

"Tidak. Aku sungguhan."

Aku memberengut, memeluk biolamu, mengelus-elusnya dengan perasaan putus asa.

Melihatku putus asa, kau tergelak.

"Pasti bisa, asal jangan menyerah. Kamu tahu Nisa? Aku tak berguru dengan siapa pun saat belajar biola. Tak ada yang mengajariku. Kau punya aku. Ada aku yang akan mengajarimu. Kau punya bakat.

Ah, jangan risaukan bakat kalau kau merasa tak berbakat. Lagi pula bakat bukan syarat utama keberhasilan seseorang. Yang penting kau mau berusaha.

Kau punya mimpi. Kau punya semangat. Nah, tunggu apa lagi? Wujudkan saja mimpimu..."

Aku tertegun mencerna kata-katamu.

"Ehm, apa impianmu?"

Kau menggosok tali busur biolamu dengan rosin. Katamu, sebelum bermain, tali busur perlu digosok dengan rosin agar peret. Sementara aku duduk di kursi anyaman di hadapanmu, memandang polos setiap gerakan tanganmu yang begitu terampil menggosokkan rosin pada tali busur biolamu.

"Aku tidak akan berhenti bermain biola sampai aku bisa melebihi Hendri Lamiri. Aku ingin suatu saat nanti bisa bermain biola dengan biolis-biolis hebat, seperti Hendri Lamiri itu..."

Setelah kaurasa tali busur biola itu peret, kau menjajalnya.

Lantas kau mengakhiri sesi latihanku hari itu dengan memainkan melodi Rayuan Pulau Kelapa, yang mampu membangkitkan rasa nasionalisme bagi siapa pun yang mendengarnya. Spontan kuraih gitar yang bergeming sejak tadi di sisi kursi anyaman di sisimu. Kuiringi permainan biolamu dengan petikan gitarku yang tak bagus-bagus amat.

Aku ingin melihatmu menggapai mimpimu...

***

Aku tergesa. Berlari di antara kerumunan orang yang lalu lalang di rumah sakit itu.

SMS dari kakak perempuanmu pagi tadi mengejutkanku.

Jantungku berdegup kencang mendengar kabar sebuah truk menabrak sepeda motor yang kau kendarai saat kau hendak ke kampus pagi tadi. Sialnya, sopir truk yang menabrakmu pergi meninggalkanmu begitu saja terkapar di jalan.

Aku lekas menuju ruangan tempatmu dirawat.

Setibanya aku di ruangan itu, aku mendapati keluargamu berkumpul mengelilingimu, menangisi keadaanmu.

Sementara kau tergolek di ranjangmu. Wajahmu penuh luka. Perban yang membungkus paha kiri, kedua kaki, dan lengan kananmu basah oleh darahmu sendiri yang merembes.

Perban yang melingkar di kepalamu pun tinggal sebagian kecil saja daerah yang masih terlihat putih, selebihnya didominasi merah darah yang mengucur deras dari kepalamu.

Dan, astaga, lengan kirimu paling banyak mengeluarkan darah...

Aku terhenyak melihat keadaanmu.

"Kata dokter, lengan kirinya patah..." bisik kakak perempuanmu dengan menahan isaknya.

***

Kau jadi pemurung semenjak kecelakaan itu.

"Aku tidak akan bisa bermain biola lagi..." ujarmu parau ketika aku--untuk ke sekian kalinya--ke rumahmu untuk melihat keadaanmu.

Bim, kau membuatku cemas...

Aku bisa merasakan kepedihan yang mendalam dari suaramu yang bergetar.

Kecelakaan itu telah membuat lengan kirimu patah. Kenyataan bahwa kau tak bisa menggunakan lengan kirimu untuk bermain biola telah membuatmu menjadi sosok yang rapuh.

Dan yang terparah, kecelakaan itu telah merenggut semangatmu...

"Tapi kata dokter kau masih bisa sembuh, Bima."

"Itu hanya kata-kata penghibur! Aku bukan anak kecil yang tak bisa menerima kenyataan, yang harus dibohongi hanya untuk membesarkan hatinya!!!"

"Bukan dokter yang berkuasa menyembuhkan, tapi Tuhan. Dokter boleh berkata kau tak kan sembuh, tapi kita tetap harus mencoba segala cara agar lengan kirimu pulih. Kita bisa coba pengobatan alternatif mungkin...?"

Belum sempat kutuntaskan kalimatku, dengan gerakan tak terduga kau meraih bahuku dengan tangan kananmu yang tak cedera dan mengguncangnya dengan keras, "Aku cacat Nisa! Apa kau tidak mengerti? Sekarang aku cacat! Aku tak kan bisa bermain biola lagi!"

Nada suaramu meninggi seiring bulir-bulir bening yang menderas dari mata sayumu, membentuk aliran sungai kecil di pipimu yang cekung.

Lantas dengan kasar kauempaskan bahuku, berbalik memunggungiku.

Aku hanya bergeming menatap ketakberdayaanmu, seperti biola tua yang tergolek membisu di sudut kamarmu itu.

Kulihat bahumu terguncang, aku tahu kau berusaha menyembunyikan tangismu. Namun seperti juga isakmu, tak pernah isakku sedalam ini.

Kesakitanmu adalah kesakitanku, Bima...

Aku berjalan ke arahmu, membuat jarak di antara kita sedekat mungkin. Penuh kehatian-hatian kusentuh bahumu.

"Aku tahu ini berat buatmu. Kau tidak cacat. Jangan menyerah dulu, Bima..."

Tiba-tiba kau berbalik dan memelukku dengan gerakan yang kaku. Lengan kirimu tak memungkinkanmu leluasa untuk memelukku. Segera saja kau membasahi pundakku dengan tangis yang tak mampu lagi kaubendung.

"Maafkan aku Nisa..."

"Jangan menyerah, Bima. Kau punya semangat. Kau punya mimpi. Kau tahu bahwa menggapai mimpi itu tak mudah. Ini belum apa-apa, Bim. Bisa jadi ini baru sandungan kecil. Masih banyak tantangan di depanmu, menunggumu..."

Kurasakan pundakku terasa dingin. Air matamu merembes, membasahi dress ungu mudaku.

"Tolong aku, Nisa..."

"Meski tak banyak yang bisa kulakukan untuk membantumu, paling tidak aku ingin kau tahu bahwa kau tak sendirian. Kau punya aku. Ada aku yang akan menjagamu. Aku di sisimu untuk menggapai mimpi-mimpimu. Nah, tunggu apa lagi? Wujudkan saja mimpimu. Jangan pernah berhenti meyakini bahwa mimpimu akan tercapai..."

Isakmu makin keras.

Dan, hei, apakah penglihatanku salah? Biola tuamu--yang sejak tadi tersandar di tepi tempat tidurmu--dawainya bergetar-getar.

Aku menyeka air yang terasa penuh di kedua mataku agar tak menghalangi pandanganku. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat, aku mengucek mata. Kali ini bukan hanya dawainya yang menggetar-getar, tali busur biolamu pun ikut bergetar.

Aku tersenyum, mungkin nyaris setengah tertawa.

"Ayo kita main biola lagi..." bisikku di telingamu. *


---------------
Nurhandayani, lahir di Tanjungkarang, 12 Juni 1986, mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung.


Lampung Post, Minggu, 21 Februari 2010

Sunday, February 7, 2010

Sang Suami

Cerpen Ganda Pekasih

SANG suami tiba-tiba merasa bahwa segala usahanya mencari harta dan kekayaan sia-sia. Ia mempunyai istri yang dirasanya kini hanya menghabiskan tabungan dan penghasilannya saja. Dua anaknya yang masih berusia balita juga sama. Baginya mereka meminum susu yang sangat mahal, yang tak pernah dibayangkannya kini harganya terus melambung. Sang Suami ingat dulu ketika kecil dia tidak pernah diberi susu formula oleh kedua orang tuanya yang hidup miskin. Jadi untuk apa susu susu itu, karena tidak minum susu pun dia sekarang bisa hidup.

Suara istri dan rengekan uang jajan anak anaknya yang kelas empat sekolah dasar itu pun kini terasa sakit di telinga. Tangis anak bungsunya yang berusia dua tahun itu pun terasa sumbang pula. Sang suami merasa sumpek dan tak menikmati lagi ritme-ritme berbeda dari suara suara itu yang dulu menjadi obat pelipur lara dan kekagumannya akan Sang Maha Pencipta, yang menitipkan anak-anak padanya yang pernah dia sebut sebagai anak anak keajaiban.

Istrinya muncul di pintu kamar. Kebiasaannya hari-hari belakangan ini setelah sang suami bertingkah aneh, tergesa menanyakannya kenapa ia belum berangkat ke kantor. Aku bekerja tidak mendapatkan apa-apa, kata sang suami dalam hati, wajah si istri tampak kuyu dan lelah. Untuk apa sebenarnya aku bekerja? Pikirnya lagi. Karena dengan adanya istri dan anak-anak, banyak keinginan dalam hidupku tak mampu kumiliki, pikirnya.

Ia merasa hanya punya rumah sederhana dengan dua kamar tidur, satu dapur, satu kamar mandi dan ruang tamu serta secuil halaman. Mobil tua tahun 90-an yang sama sekali tak bergengsi lagi karena setiap jalan yang dilaluinya kini terasa sempit oleh mobil-mobil baru dan mewah. Dia mestinya bisa memiliki apa pun jika sejak lama tak ada anak-anak dan istrinya, yang semuanya hanya bisa menghabiskan penghasilannya.

Pikiran macam apa yang datang menggangguku, pikir sang suami gelisah, hari harinya dia rasakan hanya berisi kejenuhan dan rutinitas yang tak berpindah. Bangun pagi, sarapan, bergaul dengan istri dan anak-anak. Urusan rutin kantor, tetek bengek ini itu, lalu malam panjang senyap menghantam. Ia gelisah, katanya rumahku surgaku, tiba di rumah, dirinya merasa seperti hiasan tanduk kepala rusa kering yang ada di tengah tengah rumah mereka, waktu telah tercecer entah ke mana.

Lalu....

Dia pernah menanyakan kepada teman-temannya tentang masalah yang dihadapinya. Beberapa di antara mereka mengatakan bahwa pikiran yang kini bersemayam di kepalanya semacam tekanan atau stres yang akan bisa mengakibatkan kemunduran loyalitas dalam banyak hal. Ada yang bilang dia disorientasi atau telah kehilangan haluan hidup.

Seharusnya istri dan anak-anaknya tetap menjadi motivasi terbesar dan memaknai semua permasalahan kehidupan sebagai ujian yang bersandar kepada-Nya. Semua yang datang dari-Nya adalah titipan yang harus dijaga. Berbahagialah orang yang dititipkan karunia-Nya demi keberlangsungan ciptaan-Nya.

Tapi beberapa temannya yang lain ada juga yang berpikiran sama dengannya, bahwa untuk apa memelihara istri dan anak-anak, segala kebutuhan apa saja toh bisa dilayani pembantu. Urusan beres-beres rumah, cuci, sarapan sampai urusan ranjang bisa disiapkan orang lain. Mereka bisa dibayar dan mengerjakan apa yang dibutuhkan untuk paruh waktu. Sementara uang yang dihasilkan bisa bukan hanya untuk memelihara pembantu, melainkan membeli apa saja untuk kenikmatan, gengsi, dan kehormatan.

Sang suami merasa gembira bahwa pikiran itu ternyata tidak dimiliki dirinya semata, ada beberapa rekannya yang juga punya pikiran yang sama, istri dan anak-anak pada saatnya hanya akan menjadi beban saja. Jangan harapkan imbalan dari mereka, mereka memiliki jiwa dan raga sendiri, mereka ibaratnya anak panah yang lepas dari busurnya dan anak panah tak akan kembali setelah dilepaskan.

&&&

Sang suami, bersama rekannya duduk santai di sebuah kafe, melepaskan beban bekerja untuk selusin target yang harus dicapai. Mereka terperangkap seperti ikan dalam bubu pikiran yang mereka ciptakan sendiri. Mereka minum bir dan merokok ditemani seorang pelayan kafe yang cantik, berpakaian seksi dengan atasan yang menonjolkan belahan buah dadanya. Sang pelayan rajin menuangkan bir dingin ke gelas dua orang sahabat itu yang merasa berat sekali untuk pulang ke rumah.

"Minggu depan aku akan keliling Jawa, audit beberapa usaha rekanan, jadi aku tidak pulang ke rumah seminggu! Untuk sementara aku keluar dari perangkap tikus!"

"Kau enak bisa jalan-jalan, aku mau ke mana, tugasku numpuk. Sementara uangku habis hanya untuk anak-anak dan istriku. Aku tak punya apa-apa. Bahkan untuk ikut asuransi saja sulit," kata sang suami.

"Libur saja sendiri. Habiskan uangmu. Itukan penghasilanmu. Suruh istrimu beli susu yang murah. Jangan kasih mertua dan keluarga istrimu sering-sering datang. Untuk apa, mereka toh datang hanya meminta uang."

"Jangan terlalu pelitlah untuk diri sendiri, lihat penampilanmu, tidak sesuai dengan jabatanmu. Kau bisa lebih sedikit metroseksual, beli pakaian yang sedikit mahal, ganti frame kacamatamu, beli dasi impor, beli parfum, itu akan membuat suasana lain yang menyenangkan. Jangan terlalu membebani diri sendirilah."

Benar apa kata rekannya itu, dia telah berusaha melupakan dan menghindari istri dan anak anaknya sesering mungkin, dia ciptakan dunianya sendiri di luar dunia istri dan anak-anaknya. Dia telah keluar dari perangkap tikus perkawinan, lalu dia masuki perangkap lain yang diciptakannya sendiri. Perkawinan sepasang manusia dia katakan ibarat masuk perangkap tikus.

&&&

Sang suami makin terperangkap dalam kekikirannya. Dia bertambah berat memberikan gajinya kepada sang istri. Bahkan, ketika dia sadar untuk siapa dia pelit, tak lain teman hidup dan darah dagingnya sendiri, dia tetap tak peduli. Dia mencemaskan semua pemberiannya kepada anak-anak dan istrinya hanya sia-sia karena mereka seperti anak panah yang lepas dari busurnya dan tak akan pernah kembali setelah dilepaskan.

Makin hari sang suami makin egois sendiri.

Makin hari si istri makin terlihat lungkrah dan tak bergairah. Sang istri mulai setop membeli bedak dan lipstik. Susu anak diganti dengan susu murahan, makanan mereka tak lagi mengutamakan kualitas gizi. Wajah si istri lebih sering memucat, tulang wajahnya makin tirus dan menonjol, anak-anak sering merengek karena permintaan mereka banyak tak terpenuhi.

Sang suami menumpuk tabungan, alasannya karena ingin membeli peternakan sapi dan mobil keluaran baru. Sang istri kelimpungan mengirit makanan, tak bisa lagi memberi uang kepada orang tua dan biaya kuliah adiknya.

Istrinya ingin bekerja, tapi bekerja di mana. Dia sudah berjanji untuk mengabdi sebagai istri yang taat, baginya mengurus anak-anak dan suami itu lebih utama bagi seorang wanita. Rumah adalah tempatnya mengabdi kepada Tuhan dan bekerja. Dulu, suaminya tak mau dia bekerja kalau cuma mengandalkan ijazah akademi, lebih baik di rumah saja, kata suaminya penuh tanggung jawab saat itu. Aku yang akan bekerja, kau konsentrasi di rumah saja mengurus anak-anak, tegasnya.

Dia juga ingat suaminya selalu minta didoakan siang dan malam agar karirnya terus meningkat, agar diselamatkan dari orang yang ingin menjatuhkannya, dan dia telah lakukan itu semua. Sang istri pun merasa cukup dengan apa yang diberikan suaminya, dia bisa membeli pakaian yang bagus, bedak dan lipstik yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan yang pernah dia beli sewaktu kuliah dulu. Ibunya bisa mendapatkan pengganti ongkos pulang ke kampung jika dia ke Jakarta karena kangen cucu-cucunya, merehab rumah, membayar uang kuliah adik-adiknya bahkan memodali pamannya beternak kambing di Purbasari.

Anak-anak tetap mendapat susu yang terbaik, sekolah yang terbaik, makanan yang terbaik. Berlebihankah aku dalam menghabiskan uang? Lihat bagaimana segala barang kebutuhan sekarang harganya terus naik, bagaimana mungkin kini suaminya menyerahkan uang dan berkata, cukup atau tidak cukup, terserah kamu, itu berarti dia kini telah melepas tanggung jawabnya.

"Ibu dan adik-adikmu jangan sering-sering lagi ke mari!" katanya. Memang mereka sudah lama tidak datang, sudah lebih enam bulan sejak sang istri mengatakan langsung kepada mereka hal itu. Aku istri yang tahu diri bahwa rumah adalah surga keluarga. Orang lain adalah tamu yang segala urusannya harus selesai dan pergi dalam sekejap, walau orang lain itu adalah mertua, adik kandung, ipar, paman, keponakan, dan tetek bengek lainnya.

&&&

Sang istri makin terjepit.

Libur panjang sekolah, sang istri membawa anak-anaknya ke Semarang ke tempat neneknya, si istri belum tahu berapa lama mereka akan tinggal di sana. Tapi, dia berjanji kepada suaminya hanya seminggu, karena bekal mereka pas-pasan dan sang suami tidak memberi ongkos dan uang untuk kebutuhan liburan.

Setelah seminggu di Semarang, mengingat perangai suaminya yang kikir dan egois tak memerdulikan dirinya dan anak-anak lagi, istrinya memutuskan untuk tidak kembali. Itu berarti mereka akan tinggal di Semarang sekitar tiga minggu hingga sebulan atau selamanya tak pulang. Cerai? Kenapa tidak! Dia pun sudah muak dengan suaminya itu.

Keputusan istrinya membuat sang suami gembira karena kini dia bisa menikmati hidup leluasa. Dia merasakan kegembiraan lain yang tak didapatnya selama ini. Dia mulai mengurus makanan dan mencuci pakaiannya sendiri seperti dia mahasiswa dulu, dia lakukan semuanya dengan senang hati. Dia bebas menonton film porno yang selama ini sangat dibenci istrinya, bermacam-macam judul dia tonton setiap hari, disetel dengan volume yang tinggi. Dia mengajak berkumpul teman-teman kantornya ke rumah, berpesta, merokok, dan minum bir, atau mereka di kafe-kafe yang sering mereka kunjungi. Sang suami benar-benar merasakan senangnya hidup sendiri, bebas seperti burung merpati seperti dia masih bujangan dulu, ke mana pun dia ingin terbang maka dia kepakkan sayapnya ke sana.

&&&

Suatu hari, dalam sebuah pameran mobil, sang suami berjumpa wanita bekas pacarnya dulu sewaktu kuliah di Bandung, merasa surprise, mereka ngobrol di kafe sampai tengah malam. Si wanita telah punya satu anak berusia tujuh tahun dan kini menjanda, dia telah bercerai karena suaminya ketahuan selingkuh. Pasangan selingkuh itu akhirnya menikah dan menceraikan istri pertamanya karena sang istri tak mau dimadu.

Si wanita yang tak mau dimadu ini hatinya luka. Sejak lama dia kesepian, hingga dia dahaga dan ingin sekali dibelai lelaki. Pertemuan pertama dengan bekas pacarnya membuatnya menyuruk pasrah, mereka menginap di sebuah hotel malam itu, saling curhat, berpelukan sampai pagi tiba hingga membuat mereka terjaga kaget tak sadar telah melakukan hubungan intim layaknya sepasang suami istri.

&&&

Setelah tiga minggu menghabiskan waktu liburan bersama anak-anaknya di Semarang, sang suami mendapat telepon bahwa istri dan anak-anaknya akan pulang, mereka minta dijemput di kantor travel langganan mereka. Cepat sekali waktu berlalu, anak-anaknya sudah menyelesaikan liburan, pikir sang suami. Sang suami akhirnya memutuskan, bahwa dia tak bisa menjemput, pulang saja naik taksi setelah sampai Jakarta, tegasnya.

Perempuan bekas pacarnya di Bandung dulu menelepon pula, minta berjumpa di hotel yang mereka tiduri kemarin malam, dan sang suami lebih memilih berjumpa selingkuhannya itu di hotel.

Saat tiba di hotel, tiba-tiba dia mendapat telepon dari travel bahwa mobil yang membawa istri dan anak-anaknya bertabrakan dengan bus antarkota. Sang suami dengan kesal segera menghubungi ponsel istrinya, tapi yang menyahut bukan istrinya, suara di seberang mengaku polantas yang menyebutkan kecelakaan dan identitas penumpangnya tengah diteliti.

Sang suami tambah kesal.

Menurut berita dari kantor travel, korban kecelakaan telah dibawa ke rumah sakit terdekat, beberapa orang tewas seketika dan beberapa lainnya sekarat, juga ada beberapa anak-anak dalam mobil itu dan balita.

Sang suami memutuskan keluar hotel dan terpaksa menuju kantor travel.

Sang suami dianjurkan untuk ke rumah sakit bersama beberapa orang dari kantor travel melihat keluarganya.

Sang suami akhirnya menurut ketika diajak rombongan kantor travel, entah ke rumah sakit mana, entah di daerah mana. Dia merasa pikirannya mendadak melayang-layang....

&&&

Istri dan anak-anaknya telah terbujur kaku di kamar mayat rumah sakit ketika sang suami tiba. Mereka telah diam tak bergerak-gerak, mereka tidak menangis apalagi merengek-rengek meminta uang jajan atau susu. Mereka terbaring kaku, cuma dengan T-shirt sederhana yang mereka pakai, celana pendek murahan, sepatu murahan. Tubuh mereka kurus kurus, sama seperti tubuh istrinya yang sejak lama berpipi tirus itu.

Mereka terbungkus di dalam selimut tikar pandan buatan tangan yang berlumur darah. Mereka tersenyum dalam diam mereka seperti mengatakan bahwa apa yang mereka inginkan sudah ada yang mencukupi untuk selama-lamanya.

Sang suami shock, dia merasa sangat terpukul melihat pemandangan yang tak pernah dia duga itu, pemandangan yang mengerikan, dia menggigil dan ingin berteriak, tetapi suaranya hanya tertahan di dada.

Semua senyum dan tawa-tawa mereka kini tak akan dia miliki dan dilihatnya lagi untuk selamanya. Mereka yang dia sebut dulu sebagai anak-anak keajaiban yang menyempurnakan dirinya sebagai sang suami. Kini telah ada yang mengambil alih semua kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka untuk selama lamanya.... n

Lampung Post, Minggu, 7 Februari 2010