Sunday, January 31, 2010

Saya Hanyalah Seekor Anjing

Cerpen Rama Dira J.


SAYA hanyalah seekor anjing dalam arti yang sebenar-benarnya: binatang berekor dan berkaki empat. Jangan buru-buru dulu membayangkan saya sebagai anjing yang bersih terawat, sebab saya hanyalah anjing jalanan, anjing buduk yang berlumur busuk, anjing yang tak punya tuan.

Karena sudah menjadi anjing jalanan, tentu saya tak punya rumah dalam arti yang sebenar-benarnya pula. Saya harus membiasakan diri hidup di alam terbuka : bergelut dengan asap dan debu, bersetubuh dengan panas dan bercengkerama dengan dingin. Sebagaimana anjing jalanan lainnya, untuk bertahan hidup, saya memakan sisa-sisa makanan di tong-tong sampah sepanjang jalan dan meminum air comberan. Tak ada lagi alasan untuk memilih-milih. Pilihan yang saya hadapi hanya dua: makan atau mati kelaparan.

Walau sulit pada mulanya, setelah melewati waktu setahun, saya jadi terbiasa dengan hidup model begini. Faktanya, sebagai bekas anjing rumahan, saya tak bisa langsung beradaptasi dengan gaya hidup yang harus dijalani selaku anjing jalanan. Sejak lahir, saya tak asing dengan kebersihan, terbiasa dengan kasih sayang dari tuan, nyaman dalam ruangan yang hangat kala cuaca di luar dingin dan dingin kala cuaca di luar panas, selalu disuguhi makanan enak, sudah terbiasa tidur di kandang yang dibuatkan khusus. Kini, semua kehangatan dan kenikmatan itu lesap. Saya hidup di alam terbuka. Saya telah dibuang oleh tuan saya.

Meski di luar tersedia lokasi-lokasi yang bisa digunakan sebagai tempat tinggal, saya tidak mau menetap sebab jika itu saya lakukan, saya khawatir nyawa saya terancam. Banyak anjing liar yang telah menjadi korban. Mereka diburu para pemburu anjing jalanan yang datang malam-malam. Orang-orang ini sering menjadikan lokasi-lokasi tetap yang biasa didiami anjing liar sebagai medan perburuan mereka: bangunan-bangunan tua tak berpenghuni, puing-puing reruntuhan, kolong jembatan layang, pojok gudang stasiun, dan tempat-tempat lain sejenis. Mereka ini mengincar anjing-anjing liar yang ada di sekitar lokasi-lokasi tadi. Mereka tangkap hidup-hidup bahkan tak jarang yang kemudian tewas tanpa ampun. Yang tewas ini biasanya adalah anjing-anjing yang berusaha melawan. Khawatir diserang, para pemburu anjing ini menembak mereka mati di tempat. Sebagaimana mereka yang tertangkap hidup-hidup, anjing yang tewas di tempat juga akan berakhir di kuali besar penggorengan atau di atas tungku pembakaran untuk kemudian menjadi hidangan lezat bagi para penggemar daging anjing.

Dengan berpindah-pindah, saya merasa lebih aman, lebih bisa menghindar dari buruan para pemburu itu.

Meskipun demikian, bukan berarti saya terbebas dari ancaman lain. Selain manusia pemburu, ancaman bahaya datang juga dari sebangsa saya. Mereka adalah anjing-anjing liar penguasa kawasan tertentu.

Mereka ini merupakan jenis anjing jalanan dalam arti yang sebenar-benarnya: lahir di jalan, besar di jalan, hidup di jalan, dan mati di jalan. Bisa kau bayangkan bagaimana mereka akan berusaha mati-matian mempertahankan surga yang seolah sudah ditakdirkan menjadi milik mereka itu. Saya yang selalu berpindah-pindah tempat, tentu menjadi ancaman bagi mereka-mereka ini. Jika ada anjing penguasa yang mulai menunjukkan tanda-tanda marah dan bersiap menyerang saya, saya dengan tenang menjelaskan padanya bahwa tak ada maksud saya untuk menetap di kawasan kekuasaannya itu. Saya hanya anjing pengembara, luntang lantung tak punya tujuan. Saya mampir di sana sekadar melepas lelah dan berharap bisa mendapat sedikit sisa-sisa makanan untuk bertahan. Sehabis itu, saya langsung berangsur pergi dan si anjing yang sudah marah tadi tak jadi menyerang saya.

Namun, malam ini tampaknya angin keberuntungan sedang tak bertiup di sekitar saya. Bagaimana tidak? Saya yang tengah tidur-tiduran sejenak di bawah kursi kayu taman, tiba-tiba diserang dua ekor anjing hitam. Tanpa bertanya, tanpa menunjukkan tanda-tanda kedatangan, mereka berdua langsung menyerang saya. Karena tak siap menghadapi serangan mendadak itu, gigitan-gigitan kedua anjing itu tak bisa saya hindari. Tentu saya kesakitan. Saya berusaha membela diri, tapi saya kewalahan. Sungguh, rasa-rasanya dua ekor anjing ini memang gemar bergelut. Dalam keputusasaan-tak disangka-sangka-kali ini justru para pemburu anjinglah yang menolong saya (bukan menolong dalam arti yang sebenarnya).

Maksud saya begini: waktu dua ekor anjing itu terus menyerang saya membabi buta, tiba-tiba terdengar suara-suara ribut yang begitu akrab di telinga kami. Mengenalnya sebagai suara para pemburu, dua ekor anjing itu mendadak berhenti menyerang saya, fokus pada upaya menyelamatkan diri. Justru mereka berdualah yang langsung menjadi objek buruan para pemburu itu. Sementara saya, dalam keadaan setengah sadar mendapat kesempatan melarikan diri ke arah lain yang tak menarik perhatian para pemburu. Ternyata, angin keberuntungan yang sempat berlalu pada mulanya, kini menghinggapi saya. Dengan terpincang-pincang, saya meninggalkan tempat itu, mencari tempat aman untuk bersembunyi sementara waktu. Saya akhirnya sampai di tepi sebuah kali di pinggir kota. Di sana ada sebuah jembatan. Di bawah jembatan itulah saya bersembunyi dan aman dari incaran para pemburu. Dalam persembunyian itu, barulah saya sadar kalau kondisi saya mengenaskan. Sekujur badan saya penuh luka dan bekas gigitan. Saya kesakitan. Sungguh, saya menderita. Saya meringis, saya menangis. Saya tak tahan.

Terus terang, saya mulai merasa teramat lelah bergelut dengan kehidupan jalanan. Saya tiba-tiba merindukan saat-saat yang menyenangkan dulu, kala saya masih menjadi anjing rumahan. Ingin rasanya saya mendapatkan kembali perhatian dari seorang tuan. Jika boleh meminta kepada Tuhan, saya ingin mati saat ini juga dan dilahirkan kembali sebagai anjing rumahan dengan catatan, tuan saya nanti akan memberi kesempatan kepada saya untuk tinggal di rumahnya sampai kapan pun, agar saya tak terbuang di jalan, supaya saya tak lagi menjalani hidup yang mengenaskan seperti ini.

Pikiran saya ini membawa saya pada tuan yang pernah merawat saya dulu, yang sebelumnya telah membeli saya yang masih anak anjing dari toko binatang piaraan. Tuan saya itu adalah seorang lelaki yang meskipun buruk rupa tapi kaya, berkat keuntungan tak henti-henti dari pabrik rokok miliknya. Meski demikian, ia tetaplah lelaki penyendiri yang kesepian. Tuan saya ini menganggap saya telah mampu membantu membunuh kesepiannya. Dengan demikian, ia sangat menyayangi saya. Ia memperlakukan saya dengan penuh kasih. Saya ketahui kemudian, ia memutuskan membujang sampai akhir hidupnya. Itu terjadi bukannya tanpa sebab. Dalam obrolan yang sering ia lontarkan kepada saya dalam bahasa manusia yang lumayan saya pahami, ia mengeluhkan dirinya yang sering dipermainkan dan disakiti wanita. Rata-rata mereka adalah wanita-wanita yang hanya mengincar hartanya. Dengan begitu, ia bersumpah untuk membujang selamanya dan setelah itu, ia memperlakukan perempuan-perempuan, semata sebagai hiburan. Setiap malam, ia membawa pulang perempuan yang berbeda-beda. "Tak boleh ada cinta. Cinta terlalu menyakitkan." Itu yang sering ia gumamkan jika ada di antara para perempuan itu yang menawarkan diri untuk menjalin hubungan serius dengannya.

Saya memastikan bahwa tuan saya ini telah terjatuh dalam lingkaran pergaulan seks bebas bersama bermacam perempuan. Suatu malam, tuan saya tidak membawa pulang perempuan. Saya bertanya-tanya sambil memperhatikannya yang terlihat dilanda kebingungan. Ia bolak-balik berjalan tak tentu tujuan di dalam rumahnya sendiri. Ia bahkan sama sekali tak menghiraukan keberadaan saya. Ujung-ujungnya, ia duduk terbenam di sofa dan menutup wajahnya dengan kedua tangan dan tiba-tiba saja tangisannya pecah. Dalam tangisannya itu saya mendengar ia bilang dirinya begitu takut setelah mendengar kabar tak lama lagi akan kiamat. Di penghujung tangisnya, ia menyatakan ingin bertobat supaya tak masuk ke neraka jika kiamat tiba.

Setelah malam itulah, ia menjelma lelaki yang sama sekali berbeda. Gaya hidupnya berubah seluruh. Ia serius dalam usahanya dan tak lagi bergaul dengan wanita-wanita. Ia menjadi rajin beribadah. Keberadaan saya mulai tak dihiraukannya. Perubahan nyata yang saya lihat, secara kejiwaan ia tak lagi kesepian. Ia telah menjadi lelaki periang yang mulai merasakan nikmatnya hidup di jalan yang lurus. Akhir-akhirnya ia sering mengajak teman-temannya untuk datang. Bersama-sama, mereka mendengarkan petuah dari seseorang kiai. Selain itu, mereka juga sering melantunkan ayat-ayat suci Alquran yang merdu dan membuat saya terbuai nikmat jika berhasil mencuri dengar.

Semakin hari, tuan saya makin mengabaikan saya. Hingga sampailah pada malam ketika ia tiba-tiba mendatangi kandang saya dan menampilkan wajah amarah yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Ia mengusir saya malam itu. Mulanya saya tak mengerti, saya anggap ia hanya berkelakar saja. Namun kemudian, ia memuntahkan perkataan yang membuat saya merasakan sakit bertubi-tubi.

"Pergi kau dari sini, binatang najis. Kau telah menghalangi malaikat datang ke rumahku. Kau pula yang menghalangiku masuk surga." Saya tak langsung pergi sehabis ia mengutarakan itu. Namun, setelah ia melemparkan sebongkah batu yang mengenai badan saya, barulah saya tersadarkan bahwa ia tak main-main. Keberadaan saya tak diharapkannya lagi di rumah itu. Saya akhirnya pergi. Meninggalkan tuan yang telah mengusir saya, meninggalkan kehidupan menyenangkan sebagai anjing rumahan.

Semenjak pengusiran itu, saya tak pernah berani mendatangi atau sekadar melintas di depan rumah itu. Baru malam inilah saya memberanikan diri datang setelah mengumpulkan sisa-sisa nyali karena saya tak lagi tahan hidup di jalan. Di sinilah saya kini, di seberang jalan kecil depan rumah bekas tuan yang dulu sangat baik pada saya. Malam-malam begini, saya masih mendengar ia melantunkan ayat-ayat suci dengan merdu. Tampaknya, mantan tuan saya ini benar-benar telah bertobat dan mengisi hidupnya hanya dengan ibadah demi ibadah. Saya percaya, ia kini tentu juga telah mengetahui cerita masa lalu mengenai pelacur yang masuk surga hanya gara-gara memberi minum anjing yang sekarat karena kehausan. Pasti ia sudah mendapatkan kisah itu dan mau menolong saya yang sekarat ini.

Nyanyian-nyayian surgawi itu terus mengalir dan membuai saya. Saya akhirnya tertidur dalam kelaparan dan luka.

Saya bangun ketika terdengar lantunan azan subuh dari musala di perumahan itu. Saya lihat, mantan tuan saya bersiap mengunci pintu pagar rumahnya. Saya merasa gembira melihat mantan tuan saya itu. Tentu ia sudah menjadi ahli ibadah. Saya doakan ia diganjar surga nantinya. Ada perasaan rindu yang tiba-tiba menendang-nendang dada saya. Saya ingin menghambur dalam pelukannya sebagaimana dulu. Saya ingin menjilat-jilat pipinya sebagaimana dulu. Saya ingin, ia memperlakukan saya, juga seperti dulu. Saya pun tak bisa lagi menghalangi kaki-kaki saya yang membawa saya mengarah dan mendekat padanya, ingin menunjukkan diri, dan saya yakin ia mau menerima kehadiran saya kali ini dan mau menolong saya.

Sadar dengan kehadiran saya, dengan cepat ia justru mengambil segenggam batu dan melempar saya dengan beringasnya. Saya hanya bisa menangis. Tampaknya, ia tak akan pernah lagi menerima saya. Saya berlari menghindari serangan batu-batunya. Setelah di luar jangkauan lemparan, saya berhenti berlari dan mengamatinya dari kejauhan, sambil bertanya-tanya: "Belumkah ia mengetahui cerita mengenai pelacur yang masuk surga itu? Kemana lagi saya akan pergi? Ia akhirnya berhenti melempar saya lantas melanjutkan laju langkahnya menuju musala.

Saya duduk di rerumputan. Lagi-lagi, kebingungan menghantam kepala saya: Ke mana saya akan pergi? Saya memutuskan untuk tak langsung pergi. Saya tetap akan melakukan berbagai upaya untuk mendekati dan mengambil hati mantan tuan saya itu. Saya berharap usaha saya akan membuahkan hasil nantinya. Siapa tahu pula, dalam hari-hari ke depan ia mendapatkan cerita mengenai pelacur masuk surga itu.

Begitulah kemudian, saya tidak meninggalkan kawasan perumahan tersebut dalam minggu-minggu ini dan saya selalu menyempatkan diri berada di depan rumah mantan tuan saya setiap harinya. Saya sudah bulat dengan tekad untuk tetap menunjukkan padanya bahwa meski hanya seekor anjing, saya tak akan pernah lupa dengan kebaikannya. Meski ia membenci saya kini, saya tak akan pernah membencinya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya layak menemaninya dan saya bisa membalas budinya. Saya yakin, jika saya gigih, ia pasti kembali memberikan kesempatan kepada saya untuk tinggal di sana, meski hanya di luar rumahnya.

Malam ini hujan turun dengan derasnya. Dari balik pepohonan, saya melihat dua orang menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan. Dua orang itu mengendap-endap di samping rumah mantan tuan saya. Sekejap kemudian, dengan sebatang besi mereka membuka paksa satu dari jendela rumah itu. Salah satu dari dua orang itu masuk dan yang satunya lagi berjaga di luar. Saya mulai berlari mendekat setelah melihat gelagat yang tidak baik itu.

Saya terus berlari dan mulai menggonggong. Saya langsung menerkam orang yang berjaga di luar dan saya gigit tangannya. Ia tak bisa menghindar, tak mampu mengimbangi serangan saya. Ia akhirnya berlari meninggalkan rumah itu, setelah gigitan pada tangannya saya lepaskan. Setelah itu, saya meloncat masuk melalui jendela yang terbuka. Saya langsung menerkam membabi buta seorang yang tengah mengancamkan pistolnya pada mantan tuan saya. Serangan mendadak saya membuatnya terduduk kemudian terbaring. Kesempatan itu digunakan mantan tuan saya untuk menyelamatkan diri. Ia berteriak-teriak ke luar rumah meminta bantuan tetangga.

Sesaat kemudian, saya mendengar sebuah letusan. Letusan itu ternyata berasal dari pistol yang masih berada di tangan rampok ini. Sebuah peluru bersarang di perut saya. Saya melemah, saya melepas perampok itu yang kemudian berusaha bangkit tertatih dan melepaskan lagi sebuah tembakan tepat mengenai kepala saya. Ia melarikan diri meninggalkan tempat itu, meninggalkan saya dalam genangan darah.

Dalam keadaan setengah mati, setengah hidup, saya tahu bahwa mantan tuan saya kembali datang bersama beberapa orang. Mantan tuan saya tak berani masuk ke rumah. Ia hanya memperhatikan saya dari beberapa jarak. Dua orang pemuda mendekati saya dalam rangka memastikan apakah saya masih hidup atau sudah mati. Setelah memastikan nyawa saya masih ada, mereka bertanya pada mantan tuan saya. "Bagaimana dengan anjing ini?"

"Tolong singkirkan dari dalam rumah saya." Mendengar itu, rasa-rasanya maut makin kuat menarik saya. Dua pemuda itu bergegas memasukkan saya ke dalam karung bekas beras dan mengikatnya serta membuang karung itu bersama saya di dalamnya ke kali, di luar perumahan.

Demikianlah, mantan tuan saya sudah benar-benar melupakan saya dan menganggap saya hanyalah seekor anjing belaka.

Tarakan, 23--25 Oktober 2009


Lampung Post
, Minggu, 31 Januari 2010

Sunday, January 24, 2010

Keranda

Cerpen Muhammad Amin

DI setiap usungan keranda, ia percaya ada manusia bahagia di dalamnya. Ada manusia-manusia yang lega terbebas dari petaka. Ada pula manusia-manusia yang terbebas dari lilitan utang yang sekian lama menjeratnya atau sebuah tanggung jawab besar yang jika ia masih hidup akan membuatnya kian tersiksa. Maka, dengan kematian seseorang telah terbebas dari banyak hal. Terputus dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Maka ia-seorang laki-laki tak dikenal itu, membuat kesimpulan sendiri menurut versinya: orang-orang yang berada di dalam usungan keranda dan terbungkus dalam kain putih bersih adalah manusia-manusia bahagia.

Dia melihat sendiri bagaimana saat-saat terakhir orang di dalam usungan keranda itu. Dia tahu persis kronologisnya. Bahkan dia masih dapat membayangkan bagaimana seseorang di dalam usungan keranda tersebut meregang nyawa. Wajahnya hanya tampak merasa sakit sesaat, beberapa jenak, kemudian hening dan kosong-tak ada lagi nyawa dalam tubuh tak berdaya itu.

Kematian lebih baik daripada seseorang di dalam usungan keranda itu harus merasakan sakit luar biasa karena tulang belulangnya remuk-redam terbentur kepala mobil pikap yang melaju kencang dari arah kiri saat ia menyeberang. Tubuh renta itu terpental dan terbentur lagi dengan tembok pagar rumah dan mobil pikap itu melaju tergesa-gesa, kabur sebelum tertangkap massa.

Kematian akan lebih baik daripada sanak-saudaranya harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk pengobatan. Dan mungkin saja lelaki tua di dalam usungan keranda itu telah lama digerogoti kanker atau diabetes beserta penyakit komplikasi yang menahun. Lelaki tua itu mungkin telah lama mendambakan kematian karena menganggap dirinya tak berguna lagi, tak mampu melakukan apa pun dan hanya merepotkan keluarga saja.

Dengan kematiannya tadi siang, maka tuntaslah dahaganya akan kematian. Dan lelaki tua di dalam usungan keranda menjadi manusia paling bahagia karena baru saja terbebas dari segala hal yang dapat menyiksa raga dan jiwanya. Begitulah sementara kesimpulan yang ada di kepala lelaki tak dikenal itu.

Dia mengikuti rombongan yang mengantar jenazah ke tanah permakaman. Dia melihat orang tua di dalam bungkusan kain kafan itu diturunkan ke liang kubur. Di situlah rumahnya yang terakhir, sepi, dan jauh dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Meski wajahnya tampak sayu dan tak bersemangat, dia tahu lelaki tua itu sedang menyembunyikan kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang tak terperikan.

Lelaki tak dikenal itu bertanya pada seseorang di sebelahnya-yang tampaknya tetangga si jenazah, tentang lelaki tua yang telah diturunkan ke liang lahatnya dan siap ditimbun tanah.

"Orang tua ini namanya Pak Soemanti. Dia sangat dihormati di lingkungan kami karena ia seorang mantan pejuang. Dia tinggal di kompleks sana akhir-akhir ini, di rumah anaknya. Namun tinggalnya tak pernah tetap."

"Apa dia tak punya tempat tinggal. Bukankah mantan pejuang dijamin pemerintah sisa hidupnya?"

"Dulunya punya, tapi setelah digusur untuk pembangunan hotel berbintang, ia pontang-panting menumpang tempat tinggal pada anak dan cucunya. Ketika dia masih kuat, dia sering berjualan pisang berkeliling kompleks, bahkan sampai ke pasar. Tapi sekarang tidak lagi karena dia sudah semakin berumur dan tak kuat lagi berjalan."

Suasana jadi hening dan takzim ketika seorang kiai memimpin pembacaan doa dan tahlil. Setelah acara penaburan bunga oleh anggota keluarga yang berduka, mereka meninggalkan tanah permakaman.

***

Laki-laki itu duduk merenungkan percakapannya tadi dengan seseorang. Dia tak mengira sebelumnya lelaki tua yang tertabrak mobil pikup siang tadi adalah seorang mantan pejuang. Seorang pahlawan yang telah menyelamatkan banyak orang. Betapa malang nasib seorang mantan pejuang, gerutunya dalam hati. Untung aku tidak hidup di zaman penjajah dan memilih menjadi seorang pejuang.

Kini keyakinannya bertambah bahwa orang tua tadi benar-benar bahagia atas kematiannya. Bahkan sangat bahagia karena baru saja terlepas dari kekangan kemalangan dan perlakuan tak adil. Mungkin saja anak cucunya telah rela dan merasa lega.

Dia membayangkan betapa hebat lelaki tua itu ketika mudanya. Kekita peluru-peluru berdesing meluncur ke arahnya, dia dengan sigap serta merta dapat menghindar dengan tepat, dan dengan satu tombakan bambu saja satu tentara musuh melayang. Saat tentara-tentara lawan menyerbu markas, mereka dapat mengatasinya dengan baik. Mereka dapat mengusir para penjajah dari tanah leluhur meski jumlah mereka lebih sedikit dibanding jumlah tentara lawan dan senjata yang tak memadai. Begitulah imajinasi lelaki tak dikenal itu mengenai peperangan zaman penjajah.

Dugaannya sangat kuat, orang tua tadi akan mendapat tempat terhormat di dalam kuburnya. Dengan kejadian tadi siang dia telah mendapat sebuah inspirasi buat melepas kesusahannya selama ini: kematian!

Bila lelaki tak dikenal itu mengingat-iangat kesusahannya selama ini, dia akan stres berat dan hampir menjadi orang gila baru. Maka ia tak ingin sedikitpun mengingat-ingatnya lagi, apalagi menceritakannya pada orang lain. Merepotkan dan membuat hati tak nyaman. Apalagi jika harus mengorbankan kewarasan hanya untuk mengingat hal-hal sulit yang tak penting lagi dipikirkan. Maka jangan harap mendengar cerita itu dari mulutnya.

Karena itu, biar kuceritakan sedikit tentang kesusahannya itu. Sedikit saja karena hanya itu yang kutahu. Jangan sampai ada yang menceritakannya lagi pada orang lain dan jangan sampai dia mengetahui hal ini. Sebenarnya ia tak mau aku mencerikan ini pada siapa pun, tapi apa boleh buat. Tentu kau akan merasa penasaran jika tak kuceritakan di sini. Demikian kira-kira sedikit pengetahuan tentang kesusahannya itu.

Dulu dia besar dan dibesarkan di lingkungan dan keluarga yang susah. Rumah kecil mereka berada di belakang musala. Setiap kali ia mendengar suara tutup keranda membuka kemudian menutup kembali, tak lama setelah itu dari corong mikrofon disiarkan kabar duka orang meninggal. Dia menyimpulkan itulah pertanda paling konkret mengenai keranda dan orang meninggal setelah beberapa puluh kali pengalaman itu terus berulang.

Kemudian setelah dewasa, nasib mengutusnya menjadi seorang yang penting dalam masyarakat. Dia menjadi pejabat yang baik. Pejabat yang sangat dihormati sekaligus terkenal sebagai pejabat yang bersih.

Namun, karena tuntutan kebutuhan dan anak istri, gaya hidup yang mewah dan iblis-iblis laknat di sekitarnya baik yang terlihat maupun tak terlihat sering merayunya, akhirnya ia menerima juga tawaran suap yang dulu selalu mengalir dan selalu ditolaknya.

Awalnya mereka hidup tenang dan nyaman, dengan kebahagiaan yang mengalir terus-menerus tanpa sedikit pun gangguan dan gesekan. Namun, setelah sekian lama gelagatnya tercium juga oleh aparat hukum. Kasusnya diusut tuntas dan diadili. Dan diputuskan ia bersalah telah menerima suap ditambah tuduhan menggelapkan dana proyek. Dia tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyerah. Meski tuduhan menggelapkan dana proyek tak terbukti, kasus penyuapan yang menjeratnya. Dia sudah berupaya membayar pengacara hebat, juga berkompromi dengan aparat tersebut, tapi tak berhasil. Rupanya tak semua aparat hukum dapat diajak "kompromi". Akhirnya dia menerima kekalahan dan menjalani hukuman sebagaimana mestinya.

Bertahun-tahun dia mendekam dalam kurungan, kedinginan tanpa fasilitas-fasilitas yang selama ini dinikmatinya. Hidupnya berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dia frustrasi.

Setelah keluar dari penjara, ia tak lagi punya apa-apa. Kembalilah ia ke anak-istrinya. Namun tak pernah diduga sebelumnya, mereka sama sekali tak menerimanya. Bahkan istrinya, tanpa sepengetahuan dia, telah menikah dengan pengusaha kaya dan hidup enak bersama anak-anaknya. Anak-anaknya juga sama sekali tak menghendaki bapaknya kembali, karena ia sudah tak punya apa-apa lagi.

Masyarakat tempat tinggalnya pun yang awalnya bersimpati dengannya turut tak menerimanya. Bahkan ia dicemooh dan dilempari dengan batu dan sampah. Rangkaian kejadian yang tak diduganya inilah yang membuatnya sakit hati dan hampir gila.

Di dalam pikirannya sebuah usungan keranda adalah jalan terbaik buatnya, daripada harus mendekam di Rumah Sakit Jiwa bersama orang-orang sinting.

Malam itu ia tak bisa tidur memikirkan kematiannya, kematian yang bagaimana yang paling baik buatnya.

Saat mendengar gerbong kereta api melintas, dia sadar bahwa tempat duduknya saat ini sangat dengat dengan lintasan rel kereta api, hanya melewati dua buah rumah melalu sebuah gang sempit. Dia menimbang-nimbang keputusannya karena muncul pikiran untuk memasangkan salah satu anggota tubuhnya-lehernya, di atas besi lintasan kereta api dan menunggu roda-roda besi tajam melindasnya dengan cepat. Dia hanya perlu tidur telentang dan memasangkan lehernya. Dia yakin hanya akan terasa sakit sebentar, sedikit nyeri, setelah itu nyawanya melayang.

Namun setelah menimbang-nimbang kembali rencana ini, ia jadi ragu. Dia berpikir siapa yang akan bertanggung jawab dan menguburnya. Betapa repot dan menjijikkan jika otak dan tetelan dagingnya berserakan tak menentu. Dia ingin mencari cara yang lebih sederhana, namun efesien.

Di hadapannya segala macam kendaraan melintas dengan deras di atas jalan mulus. Dia bias memilih salah satu kendaraan, tentunya kendaraan pribadi agar pemiliknya mau bertanggun jawab dan menguburkannya dengan layak.

Dia mencari momen yang tepat. Saat sebuah Mercy hitam melintas, dia sengaja menyeberang dan menabrakkan tubuhnya. Dia terpental ke pinggir trotoar. Darah kental mengalir ke aspal, dan dia menggelepar. Mobil yang menabrak tadi berhenti.

Dua orang anak yang memaai seragam sekolah itu turun karena kaget. Salah satunya menjerit dan satunya tergagap-gagap.

"Itu Papa!" teriak anak yang tergagap tadi. Lelaki muda yang menyetir mobil dan siap ke kantor tadi juga kaget. Kemudian dengan bantuan orang-orang, tubuh lelaki yang tertabrak itu dibopong dan dimasukkan ke dalam mobil. Mereka mengantarnya ke rumah sakit.

Laki-laki tak dikenal itu mendengar anak-anaknya menangis, tapi ia tak sepenuhnya sadar.

***

Lelaki yang tertabrak siang tadi kaget mendapati tubuhnya yang ringan tanpa beban. Beginikah rasanya mati, ucapnya dalam hati. Kini ia telah menjadi manusia paling bahagia seperti yang ia dambakan selama ini karena cita-citanya telah tercapai.

Dia melihat tubuhnya yang kaku terbungkus kain kafan di dalam usungan keranda dibawa ke tanah permakaman. Dia bangga bukan main. Dan kaget bukan main saat melihat anak istrinya menangis tersedu-sedu. Melihat mereka menangis begitu dia merasa ingin kembali.

Setelah pembacaan doa dan tahlil, penaburan bunga oleh sanak keluarga, mereka pergi meninggalkan tanah perkuburan. Tinggal dia sendiri meringkuk di bawah tanah. Setelah itu, dua makhluk tak dikenal datang tergopoh gopoh membawa buku catatan seperti tukang kredit menagih tunggakan dalam pikiran lelaki itu. Dia heran karena merasa selama ini tak pernah mengambil barang kreditan.

Kotaagung, 2009


Lampung Post, Minggu, 24 Januari 2010

Sunday, January 17, 2010

Stasiun Bersayap Embun

Cerpen Sungging Raga

RARA sudah membayangkan bahwa ingatannya akan dengan cepat kembali ke masa lalu setiap kali ia duduk di bangku stasiun ini. Ia tak bisa lagi memendam kerinduan yang tak asing itu. Di sini, tiga tahun lalu. Ia melepas kepergian Ani, sahabat yang sudah dekat dengannya bertahun-tahun selama kuliah.

"Aku tak pernah menyangka perpisahan begitu menyakitkan."

"Benar. Menyakitkan dan nyata."

"Mungkin hanya ini yang tersisa dari pertemanan kita. Sebuah stasiun yang ramai. Selebihnya tak ada lagi."

"Aku pasti mengunjungimu, suatu saat nanti."

"Haha. Ya kalau ingat!"

"Kalau aku sudah tua pasti pikun."

"Hahaha."

Bangku kayu itu terletak di ujung barat stasiun, masih bertahan juga meski sudah banyak bangku-bangku baru yang lebih kuat, tersusun dari besi dan aluminium yang catnya masih belum mengelupas. "Sedikit demi sedikit, stasiun ini memang sudah banyak berubah," gumam Rara. Namun bangku kayu yang nyaris lapuk itu tetap saja ada meski letaknya kini terpinggirkan, hampir tak ada yang mau duduk di situ kecuali orang-orang yang sudah tidak kebagian tempat.

Hari ini, Rara sudah membulatkan tekad untuk pergi, "Setiap manusia pada akhirnya akan berjalan sendiri-sendiri," ia menghayati betul kalimat yang dibuatnya sendiri. Manusia datang sendiri dan pergi juga sendiri. Kata "sendiri" berkecamuk di kepalanya. Namun Rara masih merindukan Ani.

Gadis berkacamata yang terlampau pintar itu memiliki nama lengkap Ani Maharani, berasal dari Lampung, namun Rara tak tahu di kota mana tepatnya. "Jadi kamu mudik ke barat, sementara aku mudik ke timur." Begitulah yang biasa diucapkan ketika musim mudik mahasiswa tiba, mengingat Rara berasal dari ujung timur pulau Jawa.

Meski bersahabat dekat, nasib akademis mereka seperti langit dan bumi, Ani melewati kuliah seperti menikmati sebuah roti kismis, enak dan lancar sekali, Ani lulus kurang dari empat tahun dengan predikat nyaris cumlaude, berbeda dengan Rara yang harus menunggu sampai tujuh tahun, sampai akhirnya menyerah dan terpaksa meninggalkan kampus tanpa gelar sarjana di belakang namanya. Meski begitu, persahabatan mereka tak pernah renggang.

Bahkan saking lengketnya, Rara dan Ani pernah diduga memiliki hubungan yang tak lumrah dan terkesan menjijikkan, namun keduanya hanya tertawa setiap kali mendengar itu. Mereka memang sangat lengket, serasi seperti sepasang sayap malaikat jelita. Stasiun ini hanya salah satu dari banyak tempat yang menjadi saksi persahabatan mereka. Kebetulan Ani dulu menyewa tempat tinggal tak jauh dari stasiun, hanya menyeberang jalan dan beberapa detik melewati gang sempit. Rara suka sekali menginap di sana, pagi hari bisa berjalan kaki ke stasiun, melihat matahari terbit, menyentuh puteri malu, menyusuri rerumputan di sekitar rel yang dihiasi embun. Hmmm... Dahulu di stasiun ini, seringkali ada sepasang sayap malaikat yang berembun.

Bayangan Ani tergambar jelas, Rara masih memutar kenangan, kini ia ingat suasana kampus, ketika mengerjakan tugas kuliah bersama, ke kantin bersama, atau ke kamar kecil yang bersebelahan dan saling bicara di balik dinding, semua hal kecil dan remeh tiba-tiba menjadi sangat penting. Dan jarang sekali ada masalah antara keduanya. Bahkan dalam urusan cinta, mereka tak pernah berebut laki-laki sebagaimana mereka juga tak pernah berebut boneka. "Laki-laki itu seperti boneka, tak layak diperebutkan. Di toko banyak, bisa memilih pula!"

Tetapi selalu saja ada obrolan tentang asmara, terkadang mereka membahas siapa laki-laki yang paling bodoh di kampus, siapa laki-laki yang hanya mengandalkan wajah namun otaknya keropos. Namun keduanya bukan tipe wanita yang suka memelihara laki-laki bergantian setiap bulan.

Semua sudah berlalu, sekarang hanya satu hal yang Rara tahu, nomor handphone Ani berubah, mungkinkah sahabatnya sudah sukses di sana? Ia tak pernah mendengar kabar, tetapi jika ia mau menebak-nebak, ia pasti menebak hal yang positif. Sahabatnya itu sudah mendapat kerja yang mapan, tak usah repot-repot lagi memikirkan uang indekos bulanan. Pendapatan tetapnya sudah lumayan, bahkan mungkin sudah ada pasangan. Ah, betapa indah hidup yang seperti itu.

Rara tersenyum, gadis yang kalau dilihat asal-muasalnya ternyata masih ada keturunan Rusia itu seperti hendak menertawakan dirinya sendiri. "Aku merindukannya meski mungkin dia tak pernah merindukan aku. Mungkin sudah ada seseorang yang lebih pantas untuk dia rindukan di sana. Sudah ada laki-laki yang senantiasa menemaninya, meneleponnya berjam-jam di malam hari sampai tertidur, mengucapkan selamat malam yang diimbuhi kata-kata sayang."

Gadis berambut panjang itu terus mengingat-ingat kembali masa-masa kebersamaannya, semakin ia menajamkan pikirannya, potongan kejadian usang itu seperti terangkai lebih utuh dari sebelumnya. Ia merasa ada hal-hal yang belum terselesaikan dari persahabatan itu. Alangkah indahnya jika setiap kenangan bisa diputar berulang-ulang seperti film, tak ada yang terlewatkan meski sekecil apa pun.

Rara hanya bisa membayangkan tempat-tempat yang entah sekarang masih ada atau tidak. Beberapa bulan lalu ia mendengar kabar bahwa warung bubur kacang ijo yang dulunya biasa ia kunjungi bersama Ani sudah terbakar habis. Ia juga masih ingat jalanan yang dilalui ketika di malam tahun baru bersepeda keliling kota sampai mau pingsan, aneh sekali memang jika dua gadis bersepeda malam-malam, Rara tertawa kecil. Ia tak habis pikir betapa banyak ide tak masuk akal yang dulu dilakukannya bersama Ani.

Mereka juga pernah bersepeda melewati tempat pelacuran di malam yang lain, dan tiba-tiba rantai sepeda Rara putus, para lelaki hidung belang pun segera mendekat, mereka pasti mengira Rara dan Ani adalah sampah baru yang masih mulus. Ia merasa geli bercampur takut setiap kali ingat kejadian memalukan itu. Namun alangkah cepatnya waktu beranjak. Alangkah cepatnya waktu memakan peristiwa demi peristiwa.

Semua ingatan itu diakhirinya ketika ia mengambil sebuah MP3 player dari balik saku, ia memutar lagu gugur bunga, hanya midi--nada saja, tanpa vokal--Nuansa sedih kini mengalun di telinganya. Ia merasa heran sendiri mengapa tidak membawa lagu disko saja agar hatinya senang menjelang kepergian ini. Bukankah ia sudah tahu bahwa stasiun akan membawanya kepada suasana kegetiran? Mengapa ia justru menyuburkannya? Rara bernyanyi dalam hati, sedikit mengganti lirik lagu itu. Betapa hatiku tak kan pilu, telah pergi sahabatku. Betapa hatiku tak akan sedih, aku ditinggal sendiri.

Rara memutar lagu gugur bunga berulang-ulang.

Bagaimana kenangan bisa begitu rapi tersimpan? Padahal setiap saat, setiap detik pikiran dimasuki berbagai peristiwa lain yang lebih segar, yang lebih membutuhkan perhatian, tetapi setiap kali kenangan bertemu dengan tempat-tempatnya, maka sesungguhnya kenangan itu bisa menerobos apa saja, seperti batu karang di tepi pantai yang tak akan hilang jika hanya sepuluh atau dua puluh tahun.

"(09/11/09. 14.12. Di sini Rara. Merindukan Ani :)" Ia tuliskan kalimat dan tanda itu di bangku stasiun yang ia duduki, tak ada yang memperhatikannya, terlalu banyak manusia untuk saling memperhatikan, kecuali mereka yang mencuri-curi pandang. Rara menuliskannya dengan pena, sedikit ditekan dan diulang-ulang agar tampak jelas.

Tiba-tiba Rara merasa ingin menulis banyak hal, ada banyak yang ingin disampaikan, ada bermacam-macam keinginan yang ingin dititipkannya di stasiun yang sesaat lagi akan ditinggalkannya itu. Ia ingin menulis satu paragraf panjang, ah tidak, bahkan cerita yang sangat panjang. Namun, bangku kayu itu tentu tak cukup untuk menampung.

Lagi-lagi Rara tersenyum sendiri, entah, apakah ada yang memperhatikan senyum gadis itu sejak tadi? Adakah yang bisa menerka bahwa itu bukan senyum kebahagiaan melainkan senyum kegetiran? Tidak, setiap manusia sibuk dengan urusannya. Rara melihat-lihat sekitar, wajah-wajah dengan beragam tujuan itu, stasiun adalah arena perpisahan yang seringkali menyakitkan. Entah berapa lambaian tangan yang ia lihat setiap kali ada kereta yang baru saja berangkat. Beberapa kali ia melihat anak-anak kecil menangis, mungkin pamannya sudah harus kembali ke kotanya, atau kakek neneknya yang baru minggu lalu datang, sekarang harus pulang lagi. Di sana juga ada pasangan muda-mudi yang tentunya tersadar bahwa dunia ini tidak sempit, bahwa dunia ini bukan milik mereka berdua saja sebagaimana kalimat orang-orang dimabuk cinta. Jarak akan sangat sempurna memisahkan mereka. Stasiun akan mengeksekusi kesetiaan mereka.

Petugas stasiun memberikan pengumuman melalui pengeras suara, "Kami beritahukan bahwa kereta api Gaya Baru mengalami kerusakan, dan dijadwalkan baru tiba sekitar tiga jam lagi. Bagi calon penumpang kereta api Gaya Baru, diperbolehkan ikut kereta Gaya Lama yang akan datang lima belas menit lagi."

Rara mendengarnya, namun ia tak begitu peduli, sepertinya ia tahu bahwa yang namanya kereta adalah wajib untuk terlambat. Ia merasa stasiun menjadi begitu jahat baginya, memaksanya untuk terus memutar kenangan. Sekali lagi ia melihat sekeliling, gadis itu baru sadar bahwa tak akan ada yang melepas kepergiannya, tidak seperti ketika ia melepas kepergian Ani. Waktu itu bahkan ada beberapa kawan lain yang turut melepas kepergian sahabatnya. Ada peluk cium, ada senyuman yang terlambat dihadiahkan.

Dahulu Ani meninggalkannya ke arah barat. Sedangkan saat ini ia akan naik kereta ke arah timur. Jarak mereka akan semakin jauh. Rara membayangkan kereta yang akan membawanya itu adalah kereta yang dulunya mengantarkan Ani.

Gadis itu bersiap-siap untuk berdiri, mungkin tak ada gunanya membuka kenangannya sendiri. Kereta pengganti yang akan mengangkutnya pergi ke kota lain akhirnya datang. Di barat stasiun, palang pintu sudah menutup, diiringi munculnya sebuah cahaya putih yang berangsur-angsur mendekat dan membesar. Lantas masuklah kereta itu ke jalur nomor dua. Beberapa penumpang sudah berdiri di tepian jalur.

Rara buru-buru mengambil tasnya, takut tak kebagian tempat duduk. Ia sedikit berebut ketika naik ke atas gerbong, dan beruntung, gadis itu langsung mendapatkan tempat duduk di dalam gerbong nomor tiga. Bahkan ia bisa bersandar di jendela kaca yang ternyata sedikit basah, entah karena embun atau air hujan. Mungkin kereta ini baru saja menembus daerah penghujan. Mungkin juga kereta ini membawa embun yang sudah menempel sejak pagi tadi. Sejenak ia melihat stasiun yang akan ditinggalkannya. Ani sudah sukses di barat sana, aku juga harus sukses seperti dia. Rara bergumam.

"Mau ke mana, Mbak?" Suara seseorang membuyarkan lamunannya. Di sebelahnya baru saja duduk seorang laki-laki yang tampak rapi, sepertinya seorang pengusaha muda yang bisnisnya antarkota antarprovinsi.

"Eh? Mau ke Surabaya."

"Lho, sama." Laki-laki itu tersenyum. Rara membalasnya dengan senyuman meski sangat tipis, setipis air di permukaan kaca yang kemudian menempel ke helai rambutnya. Lantas terjadi beberapa percakapan, mereka bertukar nama, nomor telepon, alamat, dan entah apalagi, alangkah banyaknya orang yang hadir dan pergi dari kehidupan kita. Rara tentu belum tahu apakah laki-laki yang sedang berbincang dengannya itu hanya akan ditemui di kereta atau akan ada cerita lainnya di kemudian hari. Hidup akan selalu menjadi misteri. Misteri.

***

Senja tiba. Kereta Rara tentu sudah jauh di sana. Stasiun masih cukup ramai. Sebuah kereta kelas ekonomi yang seharusnya sudah datang tiga jam lalu akhirnya memasuki stasiun. Banyak sekali penumpang yang hilir mudik. Dari kerumunan manusia yang kebanyakan menggerutu itu, seorang wanita muda tampak sibuk mengeluarkan barang bawaannya, sebuah kopor besar dan tas, dahinya berkeringat, akibat perjalanan yang melelahkan tentunya.

Setelah turun, dia berjalan mencari tempat yang sepi, duduk di bangku yang terletak paling ujung, lalu pelan-pelan mengusap keringat di wajahnya.

"Di stasiun ini dulu..." Dia mulai bicara namun ucapannya segera tertahan, sebab tanpa disengaja, dia membaca kalimat yang ditulis Rara tadi.

(Lempuyangan, 2009. Untuk Adi Marhadi di Kotabumi, Lampung. Turut Berbelasungkawa atas berpulangnya ibunda tercinta.)

Lampung Post
, Minggu, 17 Januari 2010

Sunday, January 10, 2010

Belajar Bercerita tentang Tokoh Fiktif Belaka yang di antaranya Bernama Kasdi

Cerpen F. Moses

PEMBACA terkasih, semoga kau tak kecewa kepadaku. Apalagi berniat menghukumku lantaran aku tak becus bercerita. Beginilah ceritanya.

Dari desa yang selalu cerah bersama latar perbukitan bak bukit barisan yang mengelilingi daratan dan kesegaran udara paginya yang konon selalu ditunggu-tunggu karena begitu melengkapi kecerahan dari desa yang memang selalu cerah ini, membuat seluruh warga tak pernah memalaskan diri untuk segera menyambut pagi. Mulai anak-anak hingga para orang tua, ingin menghirup udara segar kemudian menikmati pesonanya. Namun apa daya, sontak bisa saja berubah seperti mendung tengah menggantung hebat.

Pagi ini, seluruh warga desa menunggu kedatangan Kasdi. Terlebih kekasihnya, Lasmi. Ia tahu benar bahwa Kasdi pasti pulang.

"Kasdi oh Kasdi sayang, aku selalu setia menunggumu di sini," katanya pelan penuh kesabaran. Penuh keyakinan. Optimistis. Sedikit pun jauh dari utopis.

"Untuk kau ketahui, seluruhnya sudah dipersiapkan, Lasmi," kata Ponimin, bapaknya, tiba-tiba saja.

Ponimin memang berharap anak gadis satu-satunya itu dijodohkan dengan Kasdi sejak mereka di bangku SMP. Maklum, Ponimin tahu benar sebab Kasdi--kalau boleh dibilang--seorang remaja paling cakap nan gagah di desa ini. Gagah nan tampan, paling percaya diri yang acap bikin mabuk kepayang para bapak di desa ini untuk menjodohkan tiap anak gadisnya.

Tentang mabuk kepayang, memang sudah bukan milik para ibu lagi, melainkan para bapak. Kini semuanya tercapai dari bukan hasil paksaan. Karena sejak dulu mereka memang sudah saling mencintai.

"Seluruh warga desa sudah menyiapkannya dengan rapi, Lasmi. Mulai dari rangkaian hiasan dari janur kuning untuk ditempatkan di tiap sudut pelosok jalan, hingga gebyok1 yang terbuat dari kayu untuk latar kursi pengantin kalian hasil ukiran anak buah si Bonang. Kau tahu, kan, siapa tak kenal pemuda bernama Bonang di desa ini. Bonang yang terkenal paling saleh juga rajin. Dan Bonang yang selalu bercita-cita ingin mengabdikan dirinya secara total di pesantren. Tentang ketenaran si Bonang itu, jangankan desa, bahkan sampai kota besar banyak orang tahu siapa dia. Meski sekarang sudah entah ke mana dia. Untungnya masih ada beberapa anak buahnya. Sama jagonya dengan Bonang dalam soal bikin ukiran-ukiran kayu," kata Ponimin menjelaskan.

Tentang si Bonang yang memang tak asing lagi, dengan segala kreativitasnya, yang di antaranya mahir bikin ukiran-ukiran dari kayu, juga paling terkenal di kota. Apalagi desa. Dia memang patut ditiru oleh banyak pemuda di sini. Meski hanya duduk di bangku SD, namun dia tahu benar cara memanfaatkan kemahirannya itu. Mulai dari mahir silat, bikin ketan, bikin tempe, bikin cincin maupun gelang dari serat rotan, hingga mahir untuk membuat macam ukiran yang terbuat dari kayu. Kesemuanya dilewati dengan pahit getir dan bermacam asam-garam. Hingga kini dia lebih memilih bikin macam ukiran dari kayu yang di antaranya gebyok. Gebyok dari kayu jati yang selalu dibikinnya banyak macam gaya dan keindahan agar tak terlihat membosankan saat menjadi latar sepasang mempelai yang sudah menjadi begitu khas. Anehnya, akhir-akhir ini dia sudah jarang terlihat. Kabar burung paling santer mengatakan kalau cita-citanya sudah tercapai dengan hidup menyantren. Untung saja, masih dapat diteruskan oleh beberapa anak buahnya dalam usaha ukirannya itu.

***

KESEJUKAN dari cerah pagi masih tetap menyelimuti desa. Lasmi setia dan memang selalu setia untuk menunggu Kasdi pulang. Sebab Kasdi bagi hatinya adalah lelaki yang tak pernah beringkar janji.

Dulu, zaman Kasdi menaksir Lasmi secara diam-diam, Kasdi berjanji kepada Lasmi untuk kembali mengadakan pengajian buat para pemuda desa yang sudah berhenti sejak lama. Sungguh sebuah niatan yang mulia. Tak hanya itu, Kasdi juga dianggap sebagai pemuda yang cukup berhasil menciptakan kerukunan sesama pemuda antardesa. Kalau bukan Kasdi yang menyatukan mereka lewat ragam acara kepemudaan yang digalangnya, siapa lagi. Apalagi saat menyambut hari ulang tahun negeri ini, membuat Kasdi semakin sibuk mengajak seluruh warga untuk ikut memikirkan kesemarakan apa yang mesti dilakukan desanya untuk negeri tercintanya ini.

Semua itu dilakukan atas dasar ketulusan yang utuh tanpa pamrih. Untuk persatuan, tentunya. Seperti semboyan negeri ini sejak dulu: bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Sungguh pemuda bermental nasionalis.

Ya, itulah yang menjadikan Kasdi banyak mendapat rasa simpati dari semua warga desa. Sekarang Ponimin merasakan semua itu menjadi kenyataan.

Makanya, tiga minggu sejak Kasdi melamar Lasmi pada waktu itu, seluruh warga desa tak segan menyibukkan diri. Bersibuk tak kenal lelah menyiapkan segalanya. Segala keperluan pernikahan mereka beberapa hari lagi. Sebab tiada lagi memang yang dapat membantu menyiapkan pernikahan mereka tanpa gotong-royong.

Mungkin itulah sebab: Kasdi pemuda baik-baik, Kasdi juga termasuk anak muda seorang diri dalam keluarganya. Anak satu-satunya dari kedua orang tua yang sudah entah ke mana sejak dirinya masih SD. Kabar entah dari siapa pernah menyebut kalau ibunya sebagai tenaga kerja di negeri seberang sudah mati karena disiksa majikan. Dan tak lama berselang dalam hitungan tahun bapaknya mati kecelakaan saat membawa truk sampah. Mengenaskan. Tragis.

Dari masa lalu, ia juga pernah bertempat tinggal dengan cara menumpang di rumah Bonang. Bonang yang baik hati yang kini juga sudah entah ke mana. Pastinya, entah kabar dari mana, juga menyebut kalau cita-cita Bonang sudah kesampaian dengan hidup menyantren. Bisa dibilang, Bonang sangat berpengaruh dalam mencetak mental Kasdi menjadi cakap; menjadikan Kasdi perlahan menjadi pemuda yang dewasa dan mandiri bermental mantap.

***

SEGALA persiapan untuk pernikahan Kasdi dengan Lasmi hampir siap. Perasaan Ponimin yang sangat senang hati mulai sedikit gusar.

"Lasmi, di mana Kasdi?"

"Belum ada kabar, Pak. Tenang aja, nanti juga pasti pulang," jawab Lasmi singkat dengan ringan dan tenang.

Tak hanya Lasmi yang ringan dan tenang, seluruh warga juga tak mempersoalkan belum terlihatnya Kasdi hingga sore ini. Meski besok pagi acara pernikahan mereka mesti dimulai. Tak ada kegusaran, kecuali Ponimin yang memang terlihat mulai gusar, Ponimin yang terlihat mondar-mandir ke sana ke sini di selasar rumahnya. Seperti banyak ingin diucapkannya ke seluruh warga agar membantu mencari Kasdi. Namun, Ponimin yang gusar dan mulai terlihat panas akhirnya sedikit mencair. Sebab seluruh warga, kenyatannya, juga tenang-tenang saja. Mereka yakin Kasdi tak akan ke mana.

"Besok sudah hari pernikahannya. Masak Kasdi menghilang. Tak masuk akal dan sungguh tak mungkinlah," kata Masno di sela kebersamaan warga lain saat memasang tenda besar di selasar rumah Ponimin. Masno mencoba menenangkan kegamangan Ponimin.

Lain hal berbeda dengan Lasmi yang tampak tenang dan santai. Ia malah asyik sibuk sendirian di kamar pengantin yang tampak siap dinikmati bagi sepasang kekasih.

Lasmi dalam benak membayangkan akan dengan bersahaja juga leluasanya berbagi kasih dengan Kasdi sang pujaan hati, dengan bebas bergerak ke sana ke sini di atas ranjang besar bertabur ranum bunga dari berbagai jenis. Lasmi juga membayangkan betapa anggun mengenakan gaun kebaya yang tengah tergantung di sebalik pintu kamar pengantinnya. Juga jas milik Kasdi yang terlihat begitu hitam mengilat bersama dasi kuning. Betapa tampak jumawanya Kasdi nanti. Terlebih kedua cincin yang sudah terukir nama mereka berdua di antara laci dari rak cermin berwarna kuning keemasan bakal menjadi simbol keutuhan cinta mereka.

***

SEGALANYA sudah disiapkan sejak jauh hari. Segalanya pula semakin dimatangkan hingga hari ini. Segalanya dirasa mantap pula sampai hari ini. Segalanya, bila perlu, memang siap dilaksanakan hari ini juga.

Ya, memang siap dilaksanakan hari ini juga. Namun, tak terbayang bagaimana perasaan Ponimin. Kenyataan semakin tak dapat dihindarkan: Ponimin semakin gamang. Limbung. Ponimin sekuat tenaga tak akan pernah menyangka apalagi berangan buruk dalam harap cemasnya ini. Bila terjadi apa-apa menjelang pernikahan si anak dengan seorang pemuda yang sangat dibanggakannya.

Suatu ketika, dalam hitungan waktu, dengan kepanikan yang serasa begitu mendekapnya, jantung Ponimin seperti tunggang-langgang berdegup seorang diri.

Kenyataan mengatakan kalau Ponimin ke sana ke sini bertujuan entah tanpa sepengetahuan warga desa.

Dalam hitungan waktu yang sebentar lagi pagi, Ponimin pergi ke kota sambil bertanya ke sana ke sini. Hasilnya nihil. Namun, tetap saja Ponimin mencarinya.

***

PADA lain tempat, di daerah permukiman elite kawasan ibu kota, di sebuah rumah mewah tempat sarangnya beberapa orang ekstrem, seorang pemuda terendus berniat lebih memilih menjadi pengantin di sini--bersama teman lamanya. Ketimbang menjadi pengantin di desa bersama kekasihnya.

Ya, pemuda itu, bersama teman lamanya semasa bertempat tinggal di desa, terdoktrin aliran sesat oleh orang asing yang baru dikenalnya. Orang asing dari kaki tangan buronan kelas satu negeri ini yang mati beberapa waktu lalu dengan kondisi mengenaskan oleh Tim Pemburu Teroris.

Semoga kau tak kecewa kepadaku, sebab aku mengakhiri cerita hanya dengan cara begini. Yang bukan dari aku semata sebagai pengarang.

Beginilah akhirnya.

Semoga saja pemuda itu, yang ternyata Kasdi dengan teman lamanya bernama Bonang, mengurungkan niatan ekstrem itu dan menguburnya dalam-dalam: menjadi pengantin bermahkota bom yang sekejap mampu meluluh-lantakkan sekitar.

Kita tunggu saja bagaimana kabar terakhir dari mereka. Dan kabarilah aku dengan ceritamu apabila kau mengetahuinya.

Gangg. Manyar Telukbetung, 2009

Catatan:

1. Istilah dari bahasa Jawa yang berarti "dinding kayu"

2. Bukan istilah sebenarnya dari yang berarti "mempelai lelaki atau perempuan dalam pernikahan", melainkan "pelaku bom bunuh diri"


---------------
F. Moses, lahir Jakarta, 8 Febuari, alumnus Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2005). Menulis puisi dan cerpen yang pernah termuat di beberapa media. Aktif bersama KOMPI (Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia) wilayah Lampung. Tinggal dan bekerja di Telukbetung

Lampung Post, Minggu, 10 Januari 2010

Sunday, January 3, 2010

Ped

Cerpen Dhe A. Sujana

USAI mengantarkan pepaya sebanyak satu truk ke pasar, Mat Sodik bertemu dengan Mat Rifah. Ajakan Mat Rifah untuk singgah sebentar di warung tak ditampik oleh Mat Sodik pada sore itu.

"Aku benar-benar minta tolong," ucapan Mat Rifah itu kian membuat hati Mat Sodik tak tega. Bagaimana mungkin ia tak akan membantu teman sepermainan yang ia kenal mulai umur lima tahun. Mereka berpisah karena Mat Rifah memutuskan untuk merantau, menimba ilmu di tanah seberang.

"Ah Rifah, jangan bicara begitu," Mat Sodik mencoba untuk mengelak. "Pendidikanmu saja lebih tinggi daripada aku. Tentulah tak layak kalau kau sampai mengiba seperti itu kepadaku."

"Sodik, bantulah kawanmu ini," Mat Rifah belum bisa berhenti untuk memaksa. "Kau pasti bisa membantuku. Kau punya banyak kenalan. Pastilah mudah mencari orang untuk meluluskan niatku."

"Rifah, belum ada dua jam kita bersua lagi, tapi kau sudah memintaku untuk meruntuhkan langit."

"Ya tak apalah kalau kau tak mau membantu," sahut Mat Rifah sambil berdiri, seraya bersiap menemui pemilik warung untuk membayar apa-apa yang sudah mereka habiskan. "Bagaimanapun juga, Sodik, aku tetap kawanmu."

"Aku bukan tak mau membantumu, Rifah. Aku hanya tak sanggup melakukannya."

//

Pulang kampung memang bukan hal yang disukai oleh Mat Rifah. Tak ada apa-apa di kota tempat ia pertama kali belajar membaca dan menghitung itu. Tapi, Mat Rifah memang harus pulang untuk membantu pencalonan Pak Minan dalam pemilu.

Politisi yang sudah berusia magrib itu, Minan Hadiwaskito, memang terkenal punya hubungan baik dengan aktivis mahasiswa. Ia memberikan dukungan dana yang cukup besar untuk beberapa aktivis mahasiswa selama bertahun-tahun. Tak hanya itu, Minan juga memberikan jalan kepada mereka untuk berganti baju menjadi aktivis parpol.

Kolega Minan di parpol tempat ia bernaung menjulukinya sebagai pengijon kader. Julukan yang mirip dengan artian sebenarnya. Ibarat buah, aktivis mahasiswa yang diasuh Minan memang masih hijau ketika pertama kali bertemu dirinya. Bantuan dana yang disalurkan Minan kepada mereka bagaikan uang panjer yang diberikan pengijon kepada petani ketika buah di kebun mereka belum lagi masak.

Aktivis mahasiswa yang diasuh Minan akan membalas bantuan itu dengan kesediaan mengerjakan semua keinginan Minan; menggalang aksi massa untuk meruntuhkan lawan politik tuan mereka, menjadi tempat penampungan dana korupsi yang diambil Minan dari gedung Dewan, dan ketika musim pemilu tiba, mencarikan suara untuk Minan agar si gaek itu tetap duduk masyhuk di kursinya.

Mat Rifah tahu betul kenyataan yang akan dia dapat kalau berhubungan dengan Minan. Tapi, menggunakan dana bantuan Minan ialah tindakan paling rasional yang bisa dilakukan olehnya. Kiriman uang dari orang tuanya kurang.

Dan Mat Rifah ingat kepada Mat Sodik, temannya yang bertubuh paling besar di antara kawan sepermainannya dulu. Mat Sodik yang selalu melindunginya dari keroyokan anak-anak desa tetangga. Mat Sodik yang tidak mau ikut merantau ke tanah seberang karena harus melanjutkan usaha bapaknya. Maka, setelah mendengar cerita-cerita dari ibunya, Mat Rifah segera mencari Mat Sodik di pasar.

Mereka berbicara layaknya sepasang kekasih yang lama memendam rindu di warung pojok pasar itu.

"Ibu yang bilang kepadaku," ujar Mat Rifah setelah menghisap batang kreteknya. "Kalau ingin bertemu kawanku yang besar ini, cari saja dia di pasar."

"Ah, bisa saja ibumu. Bagaikan aku ini pemilik pasar saja," jawab Mat Sodik diiringi tawa.

Mereka mengurai lagi masa lalu sambil meraba-raba kondisi masing-masing saat ini. Mat Sodik bercerita kalau dia sudah menikah dan punya dua anak.

"Aku belum lagi berani untuk menikah, Sodik. Takut diatur oleh perempuan. Hahaha..."

"Menikahlah, apalagi yang kau cari. Gelar sudah pula kau rengkuh dari tanah seberang."

Pembicaraan segera memasuki ruang yang serius. Mat Rifah menyampaikan maksud kedatangannya kembali ke kampung mereka. Dia bercerita soal pencalonan Minan dan berharap kepada Sodik agar membantunya mencari suara untuk memenangkan Minan.

Mat Rifah sangat paham bahwa ia bisa menggunakan jasa Mat Sodik dalam menggalang orang-orang untuk memilih Minan. Pekerjaan Mat Sodik sebagai juru ekspedisi, yakni orang yang mengambil hasil bumi untuk dijual ke pasar dari kantung-kantung pertanian di seputaran kabupaten, telah membuatnya begitu akrab dengan pemuka-pemuka dari macam-macam desa.

Para petani di kabupaten menggolongkan Mat Sodik sebagai "Ped", yakni ekspedisi yang tidak menggunakan mobil jenis pikap, tetapi memakai truk besar untuk mengangkut barangnya. Artinya, kenalan Mat Sodik bukanlah para petani gurem tak berlahan, tapi para tuan tanah bergelar haji, para lurah yang memiliki bengkok luas dan tentu saja para kyai yang sering memperkerjakan santrinya di sawah.

"Apalah lagi yang kau ragukan, Sodik?" Mat Rifah mencoba untuk mengusir gundah yang tertuang dalam sorot mata kawannya itu. "Tenanglah, semua ada hitungannya. Kau paham maksudku, kan?"

"Aku sangat paham Rifah. Sebelum kau, pernah ada orang yang datang kepadaku meminta hal serupa ini. Tapi aku menolaknya."

"Siapa orang itu?"

"Haji Sarmud. Dia juga mencalonkan diri dari kabupaten kita."

"Tapi, orang yang meminta bantuanmu sekarang adalah aku, Sodik. Kawanmu ini."

"Aku tolak permintaan Haji Sarmud karena aku kuatir bakal ada apa-apa di masa depan. Aku memang tak begitu paham soal politik, tapi aku tidak buta, Rifah." Suara Mat Sodik mulai menunjukkan jati dirinya sebagai lelaki yang tegas.

"Apa ada jaminan kalau di masa depan, calonmu itu tidak melupakan janjinya kepada orang-orang yang aku kenalkan kepadanya? Kalau calonmu itu lupa, aku akan tergelincir pula. Bisa-bisa, kenalanku itu tidak akan menggunakan jasa Ped yang sudah dirintis oleh kakekku ini," lanjut Sodik.

Mat Rifah agak mengerut hatinya. Mat Rifah sudah mengerti tabiat Minan. Jika Pemilu sudah usai, Minan memang sengaja lalai pada janji-janjinya ketika kampanye. Maka tak aneh kalau Minan selalu berganti-ganti daerah pemilihan tiap kali pemilu diselenggarakan.

Tapi, Mat Rifah tak mampu menghapus bayangan Minan yang telah membantunya menyelesaikan kuliah dan kini membiayai dirinya pula untuk mendapatkan gelar S-2. Maka, ia kembali memaksa kawannya itu.

"Bantulah aku, Sodik. Pak Minan orang yang setia pada janji. Aku yang akan menjamin."

Mat Sodik ingin berteriak "Pembohong!" ke wajah Mat Rifah. Tapi tak mungkin hal itu dilakukannya. Mat Rifah sudah seperti saudara baginya. Jangankan hanya mandi berdua ketika masih kanak; terjebak kedinginan -- ketika berteduh dari siraman hujan -- di dalam rumah kosong yang konon paling angker di kampungnya, pernah pula dijalani oleh dua sekawan itu.

Pembicaraan di warung itu memang tak menghasilkan apa-apa.

///

Ibu dari dua anak itu duduk menghadap suaminya. Perbincangan suami-istri itu mulai beraroma kurang sedap. Padahal sebelumnya, obrolan berjalan dengan mesra; si istri menjadikan paha suaminya sebagai bantal sembari tiduran di sofa.

"Semua terserah Abang," ucap Aya dengan nada getir. "Tapi, apa Abang lupa pesan almarhum bapak?"

Mat Sodik memang belum lupa dengan pesan itu. "Jangan kau ikut bermain politik, Sodik. Usaha yang dibangun kakekmu ini bisa luluh lantak," kata bapaknya menjelang dijemput sang maut.

"Tak mudah, Bang, menjaga kepercayaan orang yang sudah ditimpakan kepada Abang selama bertahun-tahun," lanjut Aya. "Pelanggan Abang bahkan ada yang sudah menggunakan jasa Ped milik kita sejak kakek masih hidup."

"Sungguh aku bingung, Aya. Aku tak sampai hati menolak permintaan Rifah," ucapan Sodik bergetar pelan. Pandangannya jatuh ke lantai.

"Bang," lembut sekali suara Aya. Suara itu seolah ingin menyelinap ke dalam kesadaran suaminya. "Tak selamanya kawan itu sama seperti bayangan yang menemani kita ke mana saja."

"Ah, tak tahulah. Andai saja Rifah yang mencalonkan diri, tak perlu dia datang minta tolong kepadaku. Asal kudengar kabar itu, pasti aku yang datang menawarkan bantuan kepadanya," suara Mat Sodik seperti menggelepar tak berdaya.

"Tapi Bang, persoalannya bukan siapa yang menjadi calon. Abang tidak boleh ikut bermain politik. Apa pun alasannya!"

Bisnis ekspedisi hanya bermodalkan kepercayaan dan kejujuran. Mereka bisa saja mencuri hasil bumi dari petani yang dikirimkan ke pasar lewat jasa Ped. Tapi petani pasti mengetahui tindakan itu. Sebab, para pedagang di pasar juga memiliki hubungan baik dengan para petani. Pedagang-pedagang itu tak jarang menelpon si petani untuk menanyakan perihal jumlah muatan yang dikirimkan lewat Ped. Kalau sampai muatan itu berkurang, maka Ped yang mengantarkan barang itu akan dicoret oleh si petani. Kepercayan memang mudah datang tapi tak sulit untuk terbang menghilang.

Ped yang sudah tak dipercaya oleh seorang petani harus bersiap-siap mengalami kebangkrutan karena kabar akan menyebar lebih cepat ketimbang datangnya musim kemarau. Tidak akan ada petani yang sudi menggunakan jasa ekspedisi yang culas.

Ped juga bisa bangkrut kalau ia menjadi makelar suara ketika musim pemilu tiba. Saingan Mat Sodik, yang bernama Dulah, harus menjual truknya dan beralih menjadi pedagang warung kecil karena calon gubernur yang dijajakannya kepada para pengguna jasa ekspedisinya tidak bisa memenuhi janji saat kampanye, yakni menurunkan pajak terhadap hasil bumi. Dulah dicap pembohong oleh para pelanggannya; dianggap bersekongkol dalam dusta yang disebarkan si calon gubernur pemenang pemilu. Mat Sodik tak pernah ingin bernasib seperti Dulah. Ped bukan saja terkait dengan hidup dan mati keluarganya, melainkan juga soal kecakapan menjaga usaha turun-temurun.

"Ped itu tugasnya mengantarkan barang, bukan membawa orang ke bilik suara, Bang," ucap istri Mat Sodik sambil melangkah menuju kamar.

////

Batin Mat Sodik berdesir ketika hampir melewati rumah Mat Rifah siang itu. Tampak olehnya sebuah mobil ambulans diparkir di luar pagar rumah bercat hijau itu. Orang-orang berkerumun; lelaki menggunakan peci dan perempuan memakai kerudung untuk menutupi kepala mereka. Mat Sodik memelankan laju truknya ketika sampai di depan rumah itu, kemudian bertanya kepada seseorang yang sedang memasang bendera warna kuning.

"Siapa yang meninggal?"

"Mat Rifah," jawab orang itu sambil menatap Mat Sodik. "Mobilnya masuk ke jurang tadi pagi."

Mat Sodik lemas menggenggam setir truknya. Seminggu sejak pertemuan di warung itu, ia memang menghindar dari Mat Rifah. Ia tak kuasa menolak permintaan Mat Rifah, tapi tak pula ingin memenuhinya. Jantungnya berdegup kencang. Tatapannya kosong. Ulu hati Mat Sodik bagai dibobol sebutir timah panas. Otaknya seperti tersambar halilintar. Mat Sodik menyesal tak bisa memenuhi permintaan terakhir Mat Rifah, kawan sepermainannya itu.

Jember-Metro, Maret-November 2009

Lampung Post, Minggu, 3 Januari 2010